HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station

dokumen-dokumen yang mirip
Karakteristik Produksi dan Fertilitas Telur Itik Rambon dan Cihateup Hasil Kawin Alam dengan Lama Pencampuran Jantan dan Betina Berbeda

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah telur Itik Rambon dan

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik

I PENDAHULUAN. dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,

EVALUASI TELUR TETAS ITIK CRp (CIHATEUP X RAMBON) YANG DIPELIHARA PADA KONDISI MINIM AIR SELAMA PROSES PENETASAN

KARAKTERISTIK HASIL TETAS TELUR ITIK RAMBON DAN CIHATEUP PADA LAMA PENCAMPURAN JANTAN DAN BETINA YANG BERBEDA

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor jantan dan 10 ekor betina Itik

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik

HASIL DAN PEMBAHASAN. pada Tabel 4 dan 5. Berdasarkan sampel yang diteliti didapatkan daya tetas telur

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

E

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kampung Teras Toyib Desa Kamaruton

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

HASIL DAN PEMBAHASAN. tetas dan ruang penyimpanan telur. Terdapat 4 buah mesin tetas konvensional dengan

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai

I. PENDAHULUAN. peternakan seperti telur dan daging dari tahun ke tahun semakin meningkat.

I. PENDAHULUAN. juga mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memilki daya adaptasi yang

Performan Pertumbuhan dan Produksi Karkas Itik CA [Itik Cihateup x Itik Alabio] sebagai Itik Pedaging

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

Performa Produksi Puyuh Petelur (Coturnix-coturnix Japonica) Hasil Persilangan..Wulan Azhar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

I. PENDAHULUAN. masyarakat di pedesaan. Ternak itik sangat potensial untuk memproduksi telur

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

PERKEMBANGAN AYAM KUB pada Visitor Plot Aneka Ternak BPTP NTB. Totok B Julianto dan Sasongko W R

A. Kesesuaian inovasi/karakteristik lokasi

I. PENDAHULUAN. Secara umum, ternak dikenal sebagai penghasil bahan pangan sumber protein

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke

Tipe Kandang Itik TIPE KANDANG ITIK. Dalam budidaya itik dikenal 3 tipe kandang. 60 cm. 60 cm

PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab.

Gambar 1. Itik Alabio

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

Karakteristik Eksterior Telur Tetas Itik... Sajidan Abdur R

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan waktu, pertambahan jumlah penduduk,

KARAKTERISTIK POLA PEMBIBITAN ITIK PETELUR DI DAERAH SENTRA PRODUKSI

Daging itik lokal memiliki tekstur yang agak alot dan terutama bau amis (off-flavor) yang merupakan penyebab kurang disukai oleh konsumen, terutama

I. PENDAHULUAN. Usaha peternakan merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara China, Amerika maupun Australia. Itik Peking merupakan itik yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia

1. PENDAHULUAN. Produktivitas ayam petelur selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga

HATCH PERIOD AND WEIGHT AT HATCH OF LOCAL DUCK (Anas sp.) BASED ON DIFFERENCE OF INCUBATOR HUMIDITY SETTING AT HATCHER PERIOD

Pengukuran Sifat Kuantitatif...Fachri Bachrul Ichsan.

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. semakin pesat termasuk itik lokal. Perkembangan ini ditandai dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. penyediaan daging itik secara kontinu. Kendala yang dihadapi adalah kurang

TINJAUAN PUSTAKA. telur sehingga produktivitas telurnya melebihi dari produktivitas ayam lainnya.

I. PENDAHULUAN. serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat. Akan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April November 2016 di Desa

HASIL DAN PEMBAHASAN. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 113 Tahun 2009 tentang Ornagisasi dan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

BAB III METODE PENELITIAN

tentang Prinsip-prinsip Pembuatan Kandang dan Kegiatan Belajar 2 membahas tentang Macam-macam Kandang. Modul empat, membahas materi Sanitasi dan

I. PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan. bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari.

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

I. PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan dan kecerdasan bangsa. Permintaan masyarakat akan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan kaidah-kaidah dalam standar peternakan organik. Pemeliharaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station Local Duck Breeding and Production Station merupakan suatu unit pembibitan dan produksi itik lokal yang berada pada kawasan Sustainable Livestock Techno Farm Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Wilayah ini merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 725-800 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan curah hujan rata-rata per tahun mencapai 492,64 milimeter, rata-rata suhu 27 o C dengan ratarata kelembaban mencapai 60 persen. Pada Local Duck Breeding and Production Station terdapat kandang pemeliharaan untuk DOD, starter, itik dara dan itik dewasa, gudang pakan, gudang peralatan, ruang penetasan dan mess karyawan. Lokasi Local Duck Breeding and Production Station cukup strategis karena dekat dengan jalan raya sehingga memudahkan dalam transportasi pengadaan sarana dan prasarana, termasuk untuk mengangkut hasil produksi. 4.2 Produksi Telur Itik Rambon dan Cihateup pada Lama Pencampuran Jantan dan Betina Berbeda Produksi telur yang dinyatakan dalam duck day production diperoleh setelah melakukan pengamatan selama 32 hari masa pemeliharaan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, produksi telur Itik Rambon pada lama pencampuran jantan dan betina berbeda disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Produksi Telur Itik Rambon pada Lama Pencampuran Jantan dan Betina Berbeda Variabel Lama Pencampuran Jantan dan Betina 6 jam/hari 12 jam/hari Rata-rata (%) 35,94 36,56 Simpangan baku (%) 15,83 15,78 Koefisien variasi (%) 44,06 43,17 Pendugaan Interval ratarata (95%) 30,24 41,66 30,87 42,25 30 Selain Itik Rambon, terdapat Itik Cihateup yang diamati selama penelitian dengan lama pencampuran antara jantan dan betina masing-masing 6 jam/hari dan 12 jam/hari. Produksi telur Itik Cihateup pada lama pencampuran jantan dan betina berbeda dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Produksi Telur Itik Cihateup pada Lama Pencampuran Jantan dan Betina Berbeda Variabel Lama Pencampuran Jantan dan Betina 6 jam/hari 12 jam/hari Rata-rata (%) 41,25 16,89 Simpangan baku (%) 16,01 10,61 Koefisien variasi (%) 38,82 62,85 Pendugaan Interval ratarata (95%) 35,48 47,02 13,05 20,70 Berdasarkan Tabel 5 dan Tabel 6, Itik Rambon pada lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari dan 12 jam/hari masing-masing menghasilkan produksi telur (duck day production) sebesar 35,94±15,83% dan 36,56±15,78%.

31 Hasil ini menunjukkan bahwa produksi telur (duck day production) Itik Rambon relatif sama pada lama pencampuran jantan dan betina yang berbeda. Fenomena tersebut tidak terjadi pada Itik Cihateup, lama pencampuran jantan dan betina antara 6 jam/hari dan 12 jam/hari menghasilkan produksi telur yang sangat berbeda, masing-masing sebesar 41,25±16,01% dan 16,86±10,61%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Itik Cihateup betina pada lama pencampuran dengan jantan 6 jam/hari memiliki produksi telur lebih tinggi dibandingkan Itik Cihateup betina pada lama pencampuran dengan jantan 12 jam/hari. Perbedaan tersebut diduga karena ransum yang dikonsumsi itik betina pada lama pencampuran dengan jantan 12 jam/hari selain dimanfaatkan untuk produksi telur juga untuk aktivitas lain dalam bentuk pergerakan yang sangat aktif dan perkawinan. Sedangkan ransum yang dikonsumsi oleh itik betina pada lama pencampuran dengan jantan 6 jam/hari sebagian besar dimanfaatkan untuk produksi telur karena itik tersebut sangat sedikit melakukan aktivitas berlebih dan memiliki waktu istirahat yang lebih panjang setelah diberi ransum. Itik-itik betina yang telah disatukan dengan jantan selama 6 jam/hari, selanjutnya dipisahkan dari itik jantan dan dimasukkan kedalam ruang istirahat individual yang luasnya lebih kecil (0,7x0,2m 2 ) dibandingkan dengan ruang reproduksi (1,7x1m 2 ) sehingga itik-itik betina tersebut akan terkurung di dalam ruang individu tersebut hingga esok hari sebelum dilakukan pencampuran kembali. Hal ini sejalan dengan pendapat Windhyarti (1998) bahwa luas kandang adalah salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan itik. Luas kandang akan berpengaruh pada ruang gerak itik tersebut. Apabila itik dimasukkan pada kandang yang luas maka gerak itik menjadi terlalu bebas.

32 Akibatnya banyak tenaga terbuang sehingga itik tidak dapat memanfaatkan pakan secara optimal untuk produksi telur. Rata-rata duck day production yang relatif sama antara lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari dan 12 jam/hari pada Itik Rambon dan sangat berbeda pada Itik Cihateup memberikan perspektif lain. Fenomena tersebut memberikan perspektif bahwa Itik Rambon lebih mudah beradaptasi dengan manajemen pemeliharaan minim air dan manajemen lama pencampuran jantan dan betina dibandingkan dengan Itik Cihateup. Hal ini dikarenakan Itik Rambon adalah itik berasal dari Cirebon yang merupakan daerah pesisir pantai sehingga Itik Rambon lebih mudah beradaptasi karena kondisi pemeliharaan yang digunakan tidak berbeda jauh dengan lingkungan asalnya. Lain halnya dengan Itik Cihateup yang merupakan itik berasal dari Tasikmalaya yang biasa hidup pada ketinggian 378 m di atas permukaan laut (dpl) sehingga Itik Cihateup memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan yang dingin tetapi rentan terhadap lingkungan yang panas. Dengan sistem pemeliharaan minim air, itik hanya mendapatkan air untuk minum dan tidak ada kesempatan itik untuk berenang dan mendinginkan suhu tubuhnya sehingga Itik Cihateup memiliki tingkat stres pada individu itik tersebut lebih tinggi yang mengakibatkan produksi telur rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Natamijaya (1993) bahwa faktor yang mempengaruhi produksi telur yaitu faktor genetik, sistem pemeliharaan, cekaman (stres), penyakit dan manajemen pemeliharaan. Munculnya stres pada ternak unggas dapat menjadi pemicu munculnya berbagai macam penyakit, laju pertumbuhan dan produksi telur menurun dan berakhir dengan turunnya tingkat keuntungan. Penurunan produksi (pertumbuhan dan produksi telur) antara lain disebabkan oleh

33 berkurangnya pengeluaran nitrogen oleh tubuh ternak dan berlanjut ke penurunan daya cerna protein dan beberapa asam amino (Tabiri, dkk., 2000). Data hasil penelitian selanjutnya dianalisis menggunakan pendugaan parameter interval rata-rata dengan kepercayaan 95%. Hasil analisis menunjukkan bahwa duck day production Itik Rambon dengan sistem pemeliharaan minim air, pada lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari memiliki rentang antara 30,24 41,66% atau sebesar 5,71%, sedangkan pada lama pencampuran jantan dan betina 12 jam/hari memiliki rentang antara 30,87 42,25% atau sebesar 5,69%. Hasil analisis duck day production pada Itik Cihateup dengan sistem pemeliharaan minim air, pada lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari memiliki rentang antara 35,48 47,02 atau sebesar 5,77% sedangkan pada lama pencampuran jantan dan betina 12 jam/hari memiliki rentang antara 13,05 20,67% atau sebesar 3,82%. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% ratarata produksi telur seluruh populasi Itik Rambon menggunakan sistem pemeliharaan minim air dengan lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari antara 30,24% hingga 41,66% dan lama pencampuran jantan dan betina 12 jam/hari antara 30,87% hingga 42,25%. Sedangkan rata-rata produksi telur seluruh populasi Itik Cihateup menggunakan sistem pemeliharaan minim air dengan lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari antara 35,48% hingga 47,02% dan lama pencampuran jantan dan betina 12 jam/hari antara 13,05% hingga 20,67%. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata populasi dapat ditaksir berdasarkan hasil analisis terhadap nilai rata-rata sampel. Sesuai dengan pernyataan Sudjana (2006) bahwa pendugaan interval digunakan untuk menaksir nilai parameter diantara batas dua nilai. Pada pendugaan interval rata-rata titik

34 taksiran yang digunakan adalah rata-rata sampel yang diteliti, dengan kata lain besarnya nilai rata-rata populasi diduga menggunakan nilai yang diperoleh dari rata-rata sampel. Pada Tabel 5 dan Tabel 6 terlihat nilai koefisien variasi produksi telur Itik Rambon pada kelompok lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari sebesar 44,06% dan pada kelompok lama pencampuran jantan dan betina 12 jam/hari 43,17%. Sedangkan nilai koefisien variasi produksi telur Itik Cihateup pada kelompok lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari sebesar 38,82% dan pada kelompok lama pencampuran jantan dan betina 12 jam/hari mencapai 62,85%. Tingginya koefisien variasi produksi telur Itik Rambon dan Cihateup pada lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari maupun 12 jam/hari menunjukkan data hasil produksi telur yang tidak seragam. Nasution (1992) menyatakan bahwa data dinyatakan seragam apabila nilai koefisien variasinya dibawah 15%. Hal ini menunjukkan bahwa variasi produksi telur itik yang sedang diseleksi masih cukup tinggi sehingga masih perlu dilakukan perbaikan mutu genetik pada itik yang diteliti. Itik Rambon dan Itik Cihateup yang digunakan selama penelitian adalah itik generasi kedua yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan intensif minim air. Seleksi harus terus dilakukan hingga mendapatkan generasi itik yang memiliki produktivitas tinggi dan seragam dengan sistem pemeliharaan minim air. Susanti dan Prasetyo (2008) menyatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki produktivitas seekor itik adalah perbaikan terhadap mutu genetik disamping perbaikan pakan dan manajemen. Perbaikan mutu genetik merupakan alternatif yang relatif efektif karena akan memberikan dampak yang lebih permanen.

4.3 Fertilitas Telur Itik Rambon dan Cihateup pada Lama Pencampuran Jantan dan Betina Berbeda Fertilitas telur merupakan persentase jumlah telur fertil berdasarkan telur yang dierami. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, fertilitas telur Itik Rambon pada lama pencampuran jantan dan betina yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 7. 35 Tabel 7. Fertilitas Telur Itik Rambon pada Lama Pencampuran Jantan dan Betina Berbeda Variabel Lama Pencampuran Jantan dan Betina 6 jam/hari 12 jam/hari Rata-rata (%) 87,56 91,83 Simpangan baku (%) 13,29 9,20 Koefisien variasi (%) 15,18 10,02 Pendugaan Interval ratarata (95%) 76,45 98,67 84,14 99,52 Selain Itik Rambon, terdapat Itik Cihateup yang diamati selama penelitian dengan lama pencampuran antara jantan dan betina masing-masing 6 jam/hari dan 12 jam/hari. Fertilitas telur Itik Cihateup pada lama pencampuran jantan dan betina berbeda dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Variabel Fertilitas Telur Itik Cihateup pada Lama Pencampuran Jantan dan Betina Berbeda Lama Pencampuran Jantan dan Betina 6 jam/hari 12 jam/hari Rata-rata (%) 88,87 100 Simpangan baku (%) 15,49 0 Koefisien variasi (%) 17,43 0 Pendugaan Interval ratarata (95%) 75,92 100 0

36 Berdasarkan Tabel 7 dan Tabel 8, rata-rata fertilitas telur Itik Rambon dengan lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari lebih rendah dibandingkan dengan 12 jam/hari masing-masing sebesar 87,56±13,29% dan 91,83±9,20%. Demikian juga pada Itik Cihateup, rata-rata fertilitas telur itik pada lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari lebih rendah dibandingkan 12 jam/hari masing-masing yaitu 88,87±15,49% dan 100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pencampuran jantan dan betina 12 jam/hari memberikan fertilitas telur yang lebih tinggi dibandingkan lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari baik pada Itik Rambon maupun Cihateup dengan nilai rata-rata antara 91,8% - 100%. Tingginya nilai fertilitas telur tersebut menyamai bahkan lebih tinggi dari fertilitas telur yang dihasilkan Itik Cihateup pada pemeliharaan minim air dengan lama pencampuran jantan dan betina yang tidak dibatasi, yaitu 91,5% sebagaimana dilaporkan Panuntun (2014). Hasil ini menunjukkan bahwa pada lama pencampuran jantan dan betina 12 jam/hari, itik betina memiliki waktu bertemu dengan itik jantan lebih panjang sehingga kemungkinan terjadinya frekuensi perkawinan lebih tinggi dibandingkan pada itik dengan lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari. Tingginya tingkat frekuensi perkawinan memberi peluang lebih banyak sperma baru yang memiliki daya hidup tinggi untuk dapat membuahi sel telur sehingga kemungkinan dihasilkannya telur-telur fertil lebih besar. Van Tienhoven (1968) menyatakan bahwa terdapat kondisi tertentu harus dipenuhi agar fertilitas telur tetap terjaga salah satunya adalah diperlukan perkawinan yang cukup sering antara unggas jantan dan unggas betina. Hal ini dimaksudkan agar kualitas dan kuantitas sperma tetap terjaga sehingga fertilisasi dapat terjadi.

37 Data hasil penelitian dianalisis menggunakan pendugaan parameter interval rata-rata dengan kepercayaan 95%. Hasil analisis menunjukkan bahwa fertilitas telur Itik Rambon dengan sistem pemeliharaan minim air pada lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari dan 12 jam/hari masing-masing memiliki rentang 76,45 98,67% atau sebesar 11,11% dan 84,14 99,52% atau sebesar 7,69%. Sedangkan pada Itik Cihateup dengan lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari dan 12 jam/hari masing-masing memiliki rentang 75,92 100% atau sebesar 12,95% dan 0%. Berdasarkan hasil analisis ini menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% rata-rata fertilitias telur seluruh populasi Itik Rambon yang menggunakan sistem pemeliharaan minim air dengan lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari antara 76,45% hingga 98,67% dan pada lama pencampuran 12 jam/hari antara 84,14 % hingga 99,52%. Sedangkan rata-rata fertilitas telur seluruh populasi Itik Cihateup yang menggunakan sistem pemeliharaan minim air dengan lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari yaitu antara 75,92 % hingga 100% dan pada lama pencampuran 12 jam/hari adalah 100%. Pada Itik Cihateup dengan lama pencampuran 12 jam/hari nilai simpangan baku adalah 0 sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata sampel sama dengan rata-rata populasi yaitu sebesar 100%. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata populasi dapat ditaksir berdasarkan hasil analisis terhadap nilai rata-rata sampel. Sesuai dengan pendapat Sudjana (2006) bahwa pendugaan interval digunakan untuk menaksir nilai parameter diantara batas dua nilai. Pada pendugaan interval rata-rata titik taksiran yang digunakan adalah rata-rata sampel yang diteliti, dengan kata lain besarnya nilai rata-rata populasi diduga menggunakan nilai yang diperoleh dari rata-rata sampel.

38 Berdasarkan Tabel 7 dan Tabel 8 dapat terlihat nilai koefisien variasi Itik Rambon pada kelompok lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari adalah sebesar 15,18% dan pada kelompok lama pencampuran jantan dan betina 12 jam/hari mencapai 10,02%. Pada Itik Cihateup nilai koefisien variasi pada kelompok lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari sebesar 17,43% dan pada kelompok lama pencampuran jantan dan betina 12 jam/hari adalah 0%. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa fertilitas telur Itik Rambon dan Cihateup pada lama pencampuran jantan dan betina 6 jam/hari kurang seragam, sedangkan pada lama pencampuran jantan dan betina 12 jam/hari fertilitasnya memiliki keseragaman yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution (1992) yang menyatakan bahwa nilai koefisien variasi di bawah 15% menunjukkan data yang diperoleh merupakan data yang seragam. Ketidakseragaman fertilitas telur Itik Rambon dan Cihateup pada lama pencampuran 6 jam/hari dapat disebabkan pada lama pencampuran 12 jam/hari lebih banyak sperma yang tersedia untuk membuahi ovum, akibatnya lebih banyak telur fertil yang dihasilkan dibandingkan pada lama pencampuran 6 jam/hari. Ball dan Parker (1996) menyatakan keberhasilan fertilisasi ovum diduga akan meningkat sejalan dengan jumlah sperma yang dikeluarkan oleh jantan. Semakin banyak jumlah sperma maka semakin banyak pula telur fertil dihasilkan karena sperma baik tetap tesedia untuk dapat membuahi semua ovum.