TINJAUAN PUSTAKA Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) Tanaman ini merupakan tanaman herba semusim dengan tipe pertumbuhan semak berbentuk semak tegak (Balittas 1996). Kenaf termasuk kedalam famili Malvaceae (Duke dan ducellier, 1993). Selanjutnya Ochse et al. (1961) menyatakan bahwa kenaf termasuk dalam genus Hibiscus yang terdiri atas beberapa spesies, diantaranya: okra (Hibiscus esculentus L.), rose (Hibiscus syriacus L.), kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis L.), kenaf (Hibiscus cannabinus L.), rosela (Hibiscus sabdariffa L.), (Ochse et al., 1961). Klasifikasi tanaman kenaf menurut Ben Hill et al. (1960), sebagai berikut: Kingdom : Plant Kingdom Division : Spermatophyta Subdivision : Angiospermae Klas : Dicotyledoneae Ordo : Malvales Family : Malvaceae Genus : Hibiscus Species : Hibiscus cannabinus A B Gambar 1. Tanaman Kenaf (Hibiscus cannabinus L.): (A) Morfologi Daun Menjari Penuh, (B) Bunga
6 Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) adalah tanaman herba setahun yang berbentuk lurus, ramping, batang bulat, dan berbatang halus atau berduri dengan tinggi mencapai 2.4-3.6 m atau lebih. Daun yang paling bawah berbentuk chordata dan daun yang paling atas menjari berbentuk oblong, lancip. Bentuk bunga aksilar, besar (diameter 3-4 inchi), berwarna kuning atau dengan pusat berwarna merah tua. Buah berbentuk bulat, meruncing dan berbulu, benih kecil, berwarna abu-abu dan berbentuk seperti ginjal. Benih berbentuk triangular, dengan sudut yang lancip, berwarna abu-abu dengan titik kekuningan. Hilum berwarna coklat, dan secara umum berbentuk kecil (Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 1990). Menurut Sobhan (1983), daun kenaf terdiri atas tiga bentuk daun: tunggal (unlobed), semi menjari (partially lobed), dan menjari penuh (deeply lobed). Daun menjari ada yang berjari lima dan berjari tujuh. Selain itu, ada juga yang merupakan campuran daun tunggal dan menjari. Daun tunggal biasanya terletak pada bagian bawah, sedangkan yang menjari letaknya di bagian tengah dan atas. Kenaf dapat tumbuh hampir pada semua tipe tanah, tetapi tipe tanah yang ideal untuk kenaf yaitu tanah lempung berpasir atau lempung liat berpasir dengan drainase yang baik (Dempsey dalam Balittas 1996). Kebutuhan air untuk kenaf sebesar 600 mm. Tanaman semakin tua semakin tahan terhadap genangan (Iswindoyono dan Sastrosupadi dalam Balittas 1996). Kisaran ph cukup luas antara 4.5-6.5 sehingga kenaf dapat tumbuh baik di tanah agak masam seperti di lahan gambut. Curah hujan yang dikehendaki selama pertumbuhan sebesar 500-750 mm atau curah hujan setiap bulan 125-150 mm (Berger 1969, Sinha dan Guharoy 1987, Dempsey 1963 dalam Balittas 1996). Liu (2004) menyatakan bahwa serat kenaf terdiri atas serat bagian luar dan dalam. Serat bagian luar terdapat pada kulit sebesar 35 % bobot kering dan serat bagian dalam terdapat pada inti sebesar 65 % bobot kering. Dimensi dan komposisi kimia serat kenaf masing-masing dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
7 Tabel 1. Ukuran Serat Kenaf Tipe serat Panjang sel (mm) Lebar sel (µ) Tebal dinding (µ) Lebar Lumen (µ) Kulit 1.8-4.0 14-24 3.8-8.6 6.6-12.8 Core 0.4-1.0 22-37 4.8-8.2 16.5-22.7 Sumber: Liu (2004) Tabel 2. Komposisi Kimia Serat Kenaf Tipe serat Kadar abu (%) α-selulosa (%) Lignin (%) Kulit 5.5-8.3 53-57.4 5.9-9.3 Core 2.9-4.2 51.2 17.0 Sumber: Liu (2004) Keunggulan komoditas kenaf adalah berumur pendek (4-5 bulan), mampu beradaptasi di berbagai lingkungan marjinal, seperti: lahan banjir, podsolik merah kuning, gambut, dan tadah hujan (Direktorat Budidaya Tanaman Semusim Direktorat Jendral Perkebunan, 2007). Kultur Jaringan Kultur jaringan merupakan teknik mengisolasi bagian-bagian tanaman (sel, protoplasma, tepung sari, ovari, dan sebagainya) ditumbuhkan secara tersendiri, dipacu untuk memperbanyak diri, dan akhirnya diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap dalam suatu lingkungan yang aseptik dan terkendali (Gunawan, 1992). Pengertian lain menerangkan bahwa kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan bagian tanaman, sel, jaringan, dan organ dibawah kondisi lingkungan yang terkontrol atau aseptik (Evans et. al, 2003). Teknik kultur jaringan pada awalnya untuk membuktikan kebenaran teori totipotensi kemudian berkembang dalam bidang penelitian fisiologi tanaman dan biokimia. Acquah (2004) melaporkan bahwa teknik kultur jaringan didasarkan pada konsep totipotensi yaitu setiap sel hidup memiliki informasi genetik yang diperlukan untuk pembentukan organ dan fungsi hidup. Menurut Gunawan (1992) perbanyakan tanaman dengan teknik ini memiliki kelebihan yaitu: tanaman dapat diperbanyak setiap saat tanpa tergantung musim karena dilakukan di ruang tertutup, daya multiplikasinya tinggi dari bahan
8 tanaman yang kecil, tanaman yang dihasilkan seragam dan bebas penyakit terutama bakteri dan cendawan. Media Kultur Keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode kultur jaringan terutama didukung oleh pengetahuan yang baik mengenai komposisi hara sel tanaman dan jaringan yang akan dikulturkan (Gamborg, 1981). Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui fotosintesis. Media yang dipakai dalam kultur jaringan telah banyak dikembangkan beberapa peneliti. Didalam media tersebut terkandung senyawa-senyawa kimia yang diperlukan oleh jaringan tanaman untuk tumbuh. Wetherel (1982) melaporkan bahwa media kultur yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung hara makro dan mikro dalam kadar perbandingan tertentu, serta sukrosa sebagai sumber karbohidrat utama. Menurut Wetherel dan Constabel (1991) hara yang terdapat di dalam media kultur jaringan terdiri dari komponen utama (garam mineral, sumber karbon, zat pengatur tumbuh, dan vitamin) dan komponen tambahan (nitrogen organik, berbagai asam organik, dan senyawa metabolit). Media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan. Formulasi media dasar adalah kombinasi zat yang mengandung hara-hara esensial (makro dan mikro), sumber energi dan vitamin. Media dasar yang banyak digunakan antara lain media Murashige dan Skoog (MS), media B5, dan media WPM (Gunawan, 1992). Media yang dikembangkan oleh Murashige dan Skoog (MS) telah digunakan secara luas pada kultur sel dan kultur suspensi sel. Keuntungan penggunaan medium MS adalah kandungan nitrat, kalium, dan amoniumnya yang tinggi (Wetherel dan Constabel, 1991). Collin dan Edwards (1998) menambahkan bahwa media MS merupakan media yang umum digunakan dan dengan kandungan hara makro yang tinggi. Menurut Gunawan (1992) media MS mengandung 40 mm Nitrogen dalam bentuk NO 3 dan 29 mm dalam bentuk NH + 4.
Unsur-unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS pada umumnya juga mendukung kultur jaringan tanaman lain. 9 Zat Pengatur Tumbuh Konsep zat pengatur tumbuh (ZPT) didasari pada konsep hormon, dimana senyawa-senyawa organik tanaman yang dalam konsentrasi rendah mempengaruhi proses fisiologi. Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (< 1mM) dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wiendi et al., 1992). Dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Sitokinin sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis, sedangkan auksin dalam kultur jaringan digunakan untuk merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel, dan organ. Menurut Hopkins dan Huner (2004), auksin terdapat pada semua bagian tanaman, tetapi dominan di jaringan pucuk dan organ tanaman yang aktif tumbuh seperti koleoptil, ujung akar, tunas apikal batang, dan benih yang berkecambah. Konsentrasi auksin yang tinggi juga terdapat pada daun yang sedang tumbuh, proses pembungaan, dan fertilisasi. Gaba (2005) melaporkan bahwa pada umumnya penggunaan auksin dengan konsentrasi tinggi dapat menginduksi embriogenesis somatik. Fungsi auksin adalah untuk menginduksi sel-sel menjadi embriogenik. Berdasarkan laporan-laporan penelitian, pertumbuhan dan perkembangan kultur in vitro memerlukan komposisi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda untuk suatu varietas dengan varietas lain dari satu jenis tanaman. Jenis ZPT yang digunakan juga memiliki respon yang bervariasi antar varietas (Wiendi et al., 1992). Konsentrasi auksin yang digunakan akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap berbagai spesies. Konsentrasi yang tinggi akan mengakibatkan abnormalitas kalus dan menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri (Evans et al., 2003). Auksin sangat luas penggunaanya dalam kultur jaringan tanaman sebagai media tumbuh. Auksin dapat dibedakan lagi menjadi auksin endogen (IAA) yang diproduksi didalam tumbuhan sendiri dan auksin sintetik yang mempunyai sifat
10 fisiologis dan biokimia yang serupa dengan hormon tanaman. Salah satu auksin sintetik yang sering digunakan adalah 2.4-D, 2.4-5 T, Dicamba, dan Picloram. Wiendi et al. (1992) melaporkan bahwa penggunaan auksin terutama untuk induksi kalus, suspensi sel, dan pertumbuhan akar. Sitokinin adalah kelompok senyawa organik yang menyebabkan pembelahan sel yang dikenal sebagai sitokinesis. Sitokinin yang terdapat dalam tanaman adalah zeatin yang secara biologis sangat aktif. Menurut Wiendi et al. (1992) bahwa zat yang analog dengan sitokinin antara lain: Kinetin, BAP (6- benzyl amino purin), dan BA (6-benzyl adenine). Pengaruh sitokinin di dalam kultur jaringan tanaman antara lain berhubungan dengan proses pembelahan sel, proliferasi, penghambatan pertumbuhan akar, proliferasi kalus dan induksi umbi mikro. Wiendi et al. (1992) melaporkan bahwa dalam aplikasinya di dalam kultur jaringan tanaman, konsentrasi efektif untuk masing-masing zat pengatur tumbuh berbeda. Penentuan taraf konsentrasi disesuaikan dengan tipe organ atau eksplan, metode kultur jaringan, dan tingkat kultur jaringan (pembuatan kalus, induksi tunas, induksi akar, dan lain-lain). Kultur Jaringan Kenaf McLean, Lawrence, dan Reichert (1992) melaporkan bahwa bahan tanaman yang digunakan dalam multiplikasi kalus dan induksi rhizogenesis kenaf berasal dari eksplan internodal batang kenaf (Hibiscus cannabinus L.). Waktu yang dibutuhkan dari awal inisiasi sampai munculnya kalus adalah 4 minggu. Media yang baik untuk produksi kalus dan induksi rhizogenesis adalah media MS dengan kombinasi zat pengatur tumbuh 2.4-D/Kinetin dan NAA/BAP. Jumlah kalus tertinggi dihasilkan pada kombinasi konsentrasi 0.3/3.0 dan 1.0/3.0 mg/l 2.4-D/kinetin, dan kombinasi konsentrasi 1.0/1.0 dan 3.0/1.0 mg/l NAA/BAP. Rhizogenesis tertinggi dihasilkan pada kombinasi konsentrasi 0.1/3.0 dan 0.3/3.0 mg/l NAA/BAP. Lebih lanjut McLean, Lawrence, dan Reichert melaporkan bahwa tunas adventif dapat dikembangkan pada zat pengatur tumbuh 2.4-D/Kinetin dan NAA/BAP dengan masing-masing konsentrasi besar atau sama dengan 0.3 mg/l.
11 Purwati, Sudjindro, dan Sudarmadji (1999) melaporkan metode regenerasi yang sesuai untuk kenaf dengan menggunakan kotiledon beserta plumulanya sebagai eksplan. Media yang digunakan untuk induksi kalus adalah MS dasar dengan BAP (2mg/l) dan NAA (0.5 mg/1). Kalus yang dihasilkan pada media ini kemudian dipindahkan ke media inisiasi tunas yaitu MS dasar yang mengandung BAP (2.0 mg/1) dan GA3 (5.0 mg/1). Tunas yang diperoleh kemudian disubkultur ke media MS dasar tanpa zat pengatur tumbuh untuk pembentukan akar. Tunas yang telah berakar kemudian diaklimatisasi pada media pasir steril dan ditanam pada tanah steril di rumah kaca. Penelitian lain melaporkan bahwa media yang menginisiasi multiplikasi tunas adventif dari eksplan tunas apex kenaf merupakan kombinasi antara 2.4-D (0.0, 0.5, dan 2.3 mg/l) dan Thidiazuron (0.0, 1.0, 5.0, dan 20.0 mg/l). Regenerasi tunas adventif tertinggi per eksplan dari ketiga kultivar kenaf yang diuji (Tainung 1, Tainung 2, dan Everglades 71) dihasilkan dari konsentrasi 1.0 mg/l Thidiazuron. Tunas dibentuk setelah 2 minggu tanpa pembentukan kalus. Tunas memanjang dan berakar dalam waktu 2 minggu setelah inisiasi (Srivatanakul et al., 2000).