II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

CONCEPTION RATE PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

TATALAKSANA PEMELIHARAAN PEDET DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU HPT) BATURRADEN, JAWA TENGAH TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

CALVING INTERVAL SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TENAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Sapi Perah Menurut Sudono et al. (2003), sapi Fries Holland (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

Lampiran 1. Kuisioner untuk data anak kandang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. menonjol di dunia karena jumlahnya cukup banyak. Sapi FH berasal dari negeri

PENDAHULUAN. dari sapi betina yang telah melahirkan. Produksi susu merupakan salah satu aspek

COMPARISON REPRODUCTION PERFORMANCE OF IMPORTED HOLSTEIN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

PETUNJUK PRAKTIS. Petunjuk Praktis Pengukuran Ternak Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah FH berasal dari Belanda bagian utara, tepatnya di Provinsi Friesland,

PERHITUNGAN BODY SCORING CONDITION (BCS) PADA SAPI PERAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Sapi Perah Produksi Susu Sapi Perah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah Iklim dan Cuaca Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum KPSBU Lembang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL. Oleh: Sohibul Himam Haqiqi FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008

SERVICE PER CONCEPTION PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI PAKAN TERNAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) di Indonesia dapat dibagi menjadi dua periode yaitu periode pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN DI KELOMPOK TERNAK KUD MOJOSONGO BOYOLALI

KAJIAN KEPUSTAKAAN. menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire,

TINJAUAN PUSTAKA. dan dikenal sebagai Holstein di Amerika dan di Eropa terkenal dengan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI CALVING INTERVAL SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG. (Skripsi) Oleh : Ahmad Fauzy Al-amin

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

UJI PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIEN HOLSTEIN KETURUNAN PEJANTAN IMPOR DI BBPTU-HPT BATURRADEN

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

BAB I PENDAHULUAN. Masalah utama peternakan kita sampai saat ini bertumpu pada

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Permintaan daging sapi terus meningkat seiring pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang

Moch. Makin, dan Dwi Suharwanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

Pengaruh Manajemen Peternak Terhadap Efesiensi Reproduksi Sapi Bali Di Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden berada pada wilayah yang meliputi 3 (tiga) area, yaitu : (a) area farm Tegalsari (34,802 ha); (b) area Farm Limpakuwus (96,787 ha); (c) area farm Manggala (100 ha). Ketiga area tersebut berada di lereng kaki Gunung Slamet sisi arah selatan. Area farm Tegalsari, dan Limpakuwus berada di dalam kawasan wisata Baturraden yang berjarak ± 15 km ke arah utara dari kota Purwokerto, sedangkan area farm Manggala yang berjarak ± 30 km ke arah barat dari kota Purwokerto. Secara administratif area Farm Tegalsari berada di wilayah Desa Kemutug Lor Kecamatan Baturraden; area Farm Limpakuwus berada di wilayah Desa Limpakuwus Kecamatan Sumbang serta area Farm Manggala berada di wilayah Desa Karang Tengah Kecamatan Cilongok dan Desa Tumiyang Kecamatan Pekuncen. Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden memiliki keadaan iklim yaitu temperatur berkisar 18 -- 28 0 C, curah hujan berkisar 6000 -- 9000 mm/tahun, serta kelembaban udara 70 -- 80 % merupakan habitat yang cocok untuk pengembangan sapi perah. BBPTU-HPT berada pada

8 ketinggian tempat : (a) area Farm Tegalsari sekitar ± 675 mdpl; (b) area Farm Limpakuwus sekitar ± 725 mdpl; (c) area Farm Manggala sekitar ± 700 mdpl, sedangkan jenis tanahnya yaitu andosol coklat kekuningan serta assosiasi latosol dan regosol coklat dengan tekstur tanah lempung berpasir. Jumlah populasi sapi perah di BBPTU-HPT Baturraden adalah 1204 ekor dengan jumlah sapi betina produktif sebanyak 590 ekor, pejantan 3 ekor, sapi betina muda 407 ekor, dan pejantan muda 204 ekor. B. Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu ternak penghasil susu terbesar yang dapat menyuplai sebagian besar kebutuhan susu dunia. Beberapa jenis bangsa sapi perah yang umumnya dikenal dan dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil susu antara lain adalah: Ayshire, Brown Swiss, Guerensey, Jersey, dan Friesian Holstein. Diantara kelima jenis bangsa sapi tersebut yang paling banyak dipelihara di Indonesia adalah bangsa sapi perah Friesian Holstein atau disebut juga dengan sapi Fries Holand. Bangsa sapi Friesian Holstein adalah bangsa sapi perah yang berasal dari Belanda dari Provinsi Belanda Utara dan Propinsi Friesland Barat, di Amerika disebut Holstein dan di Eropa sering disebut Friesian. Sapi jenis ini di Indonesia di sebut Fries Holland atau Friesian Holand (FH) (Soetanto, 2003). Sapi yang berwarna hitam dan putih sangat menonjol karena banyaknya jumlah produksi susu namun kadar lemaknya rendah. Bangsa Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80--90% dari seluruh sapi perah yang ada. Sapi ini berasal dari Belanda yaitu di Provinsi North Holand

9 dan West Friesland yang memiliki padang rumput yang cukup luas. Sapi FH mempunyai beberapa keunggulan, salah satunya yaitu jinak, tidak tahan panas tetapi sapi ini mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan (Blakely dan Bade, 1998). Sapi FH termasuk salah satu jenis sapi perah yang banyak dipelihara karena beberapa faktor keunggulannya. Menurut Dematewewa et.al, (2007), sapi Friesian Holstein mempunyai masa laktasi panjang dan produksi susu tinggi, serta persistensi produksi susu yang baik. Selain itu sapi perah FH juga merupakan jenis sapi perah yang cocok untuk daerah Indonesia. Namun demikian produksi susu per ekor per hari pada sapi perah FH di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan produksi susu di negara asalnya (Atabany et.al., 2011). Sapi Friesian Holstein (FH) adalah sapi dengan produksi susu tertinggi dibanding jenis sapi perah yang lain, selain itu kadar lemak susunya rendah (Sudono et.al., 2003). Bangsa sapi perah yang asli berasal dari Indonesia dapat dikatakan tidak ada. Sapi perah di Indonesia berasal dari sapi impor dan hasil persilangan sapi impor dengan sapi lokal. Menurut Dirjen Peternakan dan Direktorat Pembibitan (2000), pada tahun 1995 di Indonesia terdapat sekitar 200.000 ekor sapi perah dan semuanya merupakan sapi FH dan keturunannya. Sapi FH tersebut berasal dari Belanda dan Australia. Sejak tahun 1972 Indonesia mulai impor semen beku dari New Zeland dan mulai tahun 1979 dilakukan import sapi perah dara langsung dari Australia dan New Zeland.

10 Menurut Aksi Agraris Kanisius (1995), sapi FH mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. warna bulu hitam dengan bercak putih; 2. pada dahinya tedapat warna putih berbentuk segitiga; 3. dada, perut bawah, kaki dan ekor berwarna putih; 4. ambing besar; 5. tanduk kecil pendek, menjurus kedepan; 6. tenang, jinak sehingga mudah dikuasai; 7. sapi tidak tahan panas, namun mudah untuk beradaptasi; 8. lambat menjadi dewasa; 9. produksi susu nya mencapai 4.500 --5.500 liter/laktasi. Ciri-ciri sapi FH yang berproduksi susu tinggi yaitu ukuran ambing simetris, letak ambing di bawah perut di antara ruangan kedua kaki yang lebar, ukuran ambing bagian depan cukup besar dan bagian belakang sama besarnya dengan batas-batas diantara keempat bagian, kulit ambing tampak halus, lunak, mudah dilipat dengan jari, dan bulu yang tumbuh pada ambing halus, bentuk dan ukuran dari keempat putting sama, silindris, penuh, bergantung dan letaknya simitris, pembuluh darah balik/ vena susu terdapat di bawah perut di mulai dari tali pusat sampai ambing, tampak besar, panjang, bercabang-cabang, dan berkelok-kelok nyata. C. Calving interval Calving interval atau selang beranak merupakan cara terbaik untuk menghitung efisiensi reproduksi pada suatu ternak. Menurut Hafez (2000), selang beranak (calving interval) adalah jangka waktu dari saat induk beranak hingga saat

11 beranak berikutnya. Calving interval yang optimal untuk sapi perah adalah 12-- 14 bulan (Sudono et.al., 2003). Menurut Izquierdo et. al. (2008), selang beranak pada sapi perah 12--14 bulan. Selang beranak atau calving interval ditentukan oleh lamanya masa kosong dan kebuntingan. Menurut Turkylenaz ( 2005), interval beranak sampai dengan bunting dan lama periode bunting atau masa kosong dan angka perkawinan per kebuntingan. Menurut Webster (1993), selang beranak pada sapi perah ditentukan oleh masa kosong dan periode laktasi yaitu 13 bulan untuk periode laktasi pertama dan 12 bulan untuk periode laktasi berikutnya. Menurut Hardjopranjoto (1995), evaluasi terhadap penampilan sapi perah sangat penting karena sapi perah betina hanya dapat menghasilkan susu setelah beranak. Baik buruknya penilaian terhadap seekor sapi perah ditentukan oleh teratur tidaknya sapi perah tersebut dalam beranak. Sapi perah dengan calving interval yang panjang menunjukkan bahwa sapi perah tersebut mempunyai efisiensi reproduksi yang rendah. Sebaliknya, sapi perah betina dengan calving interval yang pendek menunjukkan bahwa sapi perah tersebut memiliki efisiensi reproduksi yang tinggi. Beberapa faktor sangat memengaruhi panjang calving interval pada sapi perah, baik itu dari sistem reproduksi maupun faktor manajemen pemeliharaan. Menurut Kurniawan (2009), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap calving interval ditingkat ternak yaitu service per konsepsi, lama waktu kosong, birahi pertama postpartus, perkawinan pospartus, skor kondisi tubuh, lama waktu sapih, lama laktasi, dan penyakit-penyakit reproduksi.

12 Menurut Hartono (1999), terdapat beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap calving interval yaitu estrus pertama post partus, service per konsepsi, interaksi waktu kosong dengan periode laktasi, skor kondisi tubuh, panjang masa laktasi, dan waktu penyapihan pedet. Berdasarkan penelitian Hartono (1999) dan Kurniawan (2009) terdapat parsamaan faktor yang dapat memengaruhi panjangnya calving interval yaitu service per konsepsi, lama waktu kosong, birahi pertama postpartus, skor kondisi tubuh, lama waktu penyapihan pedet dan lama laktasi. Leksanawati (2010), menambahkan bahwa faktor yang memengaruhi lama jarak beranak adalah birahi pertama setelah beranak, perkawinan pertama setelah beranak dan S/C. 1. Service per conception (S/C) Service per coception (S/C) merupakan jumlah perkawinan atau pelayanan inseminasi yang dilakukan untuk menghasilkan suatu kebuntingan. Banyak faktor yang memengaruhi banyaknya kawin perkebuntingan yaitu fertilitas ternak perah, kualitas semen, keakuratan deteksi estrus, waktu dikawinkan, inseminator, pakan, dan recording. Service per conception seringkali digunakan untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi diantara individu-individu sapi betina yang subur (Toelihere, 1993). Service per conception merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap calving interval. Calving interval akan semakin panjang dengan bertambahnya jumlah perkawinan yang dapat menghasilkan kebuntingan bertambah.

13 2. Days open Days open atau waktu kosong adalah jumlah hari atau jarak waktu ternak tersebut beranak sampai saat perkawinan yang berhasil sampai terjadi kebuntingan. Lama masa kosong sapi perah yang ideal adalah 90 hari (Purwantara et.al., 2001). Salah satu ukuran yang menandakan adanya gangguan reproduksi pada suatu peternakan sapi khususnya sapi perah adalah masa kosong yang melebihi 120 hari dan tidak ada masa kosong kurang dari 30 hari (Hardjopranjoto 1995). Salah satu pengukuran kesuburan pada sapi perah adalah masa kosong. Masa kosong sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain musim beranak, manajemen, banyaknya populasi, tingkat produksi susu, umur dan teknik inseminasi buatan (Oseni et.al., 2003). Masa kosong sebagai deteksi awal kelainan reproduksi dan indikator efisiensi reproduksi. Menurut Murray (2009), masa kosong yang baik adalah 100 hari dan dibutuhkan perbaikan apabila masa kosong lebih dari 120 hari. Keputusan peternak untuk mengawinkan sapi perah memengaruhi lama kosong, kadang peternak mengawinkan sapi kurang dari 60 hari dengan alasan produksi susu sapi tersebut sedang tinggi tetapi tidak mempertimbangkan kondisi tubuh ternak. Semakin lama masa kosong sapi perah maka akan mengakibatkan penurunan produksi sapi perah, karena banyak waktu dan biaya yang terbuang. Pada penelitian di Amerika lama masa kosong 124 hari menghasilkan produksi susu perlaktasi yang paling baik, sedangkan penelitian di Saudi Arabia lama masa kosong yang menghasilkan produksi susu yang paling banyak adalah 75--125 hari, hal ini menunjukkan bahwa suhu berpengaruh terhadap lama masa kosong.

14 3. Estrus pertama postpartus Semakin panjang estrus pertama setelah beranak akan memperpanjang calving interval. Calving interval dipengaruhi oleh jarak dari beranak sampai dengan perkawinan pertama. Birahi pertama setelah beranak pada sapi perah lamanya bervariasi antara hari ke-30 dan 72 (Partodihardjo, 1980). Menurut Astuti (2007), pada sapi perah yang berproduksi tinggi, birahi pertama setelah beranak dapat diperpanjang karena adanya sekresi hormon yang merangsang pertumbuhan dan pemasakan folikel. Deteksi birahi merupakan faktor yang penting, karena deteksi birahi gagal maka siklus estrus akan terlewat dan peternak akan mengeluarkan biaya tambahan untuk pakan. Untuk memperoleh hasil deteksi estrus yang akurat peternak tidak hanya melihat dari catatan saja, akan tetapi dari pengamatan tiap hari. Pengamatan estrus tiap harinya akan lebih baik apabila dilakukan beberapa kali sehari, agar estrus dapat terdeteksi secara cepat sehingga dapat langsung dikawinkan. 4. Perkawinan pertama potspartus Kawin pertama setelah beranak pada sapi perah merupakan periode waktu antara sapi tersebut beranak sampai pelaksanaan perkawinan pertama setelah beranak. Lamanya waktu dikawinkan kembali setelah beranak akan berpenngaruh terhadap interval kelahiran. Interval kelahiran yang diinginkan yaitu 12 bulan, diharapkan akan memperoleh performa reproduksi yang optimal, oleh karena itu sebaiknya sapi dikawinkan 60 hari setelah beranak, (Van Demark dan Salisbury, 1950). Kebanyakan sapi akan timbul birahi kembali 30--50 hari setelah beranak, akan tetapi kondisi tubuh ternak belum sepenuhnya normal kembali. Sapi induk tidak

15 boleh dikawinkan kurang dari 50 hari setelah beranak. Hal ini disebabkan karena belum mencapai inovulasi uteri yaitu kembalinya uterus dari keadaan bunting menjadi normal yaitu selama 45 hari dan akan mengakibatkan penurunan fertilitas 48,3 % jika dilakukan pada saat itu (Bearden et.al. 2004). Seekor sapi yang melahirkan normal, maka organ reproduksinya akan kembali berfungsi normal 4--6 minggu setelah beranak. Periode waktu yang baik setelah sapi beranak untuk dikawinkan kembali yaitu 60--90 hari setelah beranak, karena bila sapi dikawinkan kurang dari 60 hari setelah beranak dapat mengakibatkan endometritis disebabkan uterus belum pulih secara sempurna (Makin et.al., 1980). Kawin pertama setelah beranak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu munculnya tanda birahi, ketepatan deteksi birahi, kesinambungan periode birahi setelah beranak, dan rencana peternak. 5. Lama waktu sapih Penyapihan adalah proses memperkenalkan sapi muda dengan sumber pangan dewasanya dan perlahan-lahan menghentikan pemberian air susu. Apabila semakin lama pedet menyusu pada induknya maka jarak antar melahirkan akan semakin panjang dikarenakan terjadi penundaan siklus ovulasi yang menyebabkan anestrus postpostpartus semakin panjang. Pedet pada sapi perah disapih pada umur 3--4 bulan, tergantung dari kondisi pedet. 6. Lama laktasi Masa laktasi adalah periode sapi selama menghasilkan air susu yaitu antara waktu beranak dengan masa kering (Sudono et.al., 2003). Masa laktasi yang normal

16 adalah 305 hari dengan 60 hari masa kering (Blakely dan Bade, 1998). Masa laktasi melebihi keadaan normal ternyata menurut beberapa penelitian menunjukkan hal yang menguntungkan. Menurut Cole dan Null (2009), banyak sapi FH yang mempunyai masa laktasi melebihi 305 hari karena sapi-sapi tersebut mempunyai persistensi yang tinggi dan tetap menguntungkan walaupun selang beranak melebihi satu tahun. Dematawewa et.al., (2007) menyatakan bahwa sapi FH mempunyai masa laktasi yang lebih panjang dari rata-rata (305 hari) akan mempunyai produksi susu yang lebih baik dan mencapai puncak produksi dan persistensi yang baik. 7. Periode laktasi Menurut Werth et.al. (1995), calvinig interval paling lama ditemukan pada sapi laktasi pertama dan kedua, dan selang beranak paling singkat ditemukan pada sapi laktasi kelima dan keenam. Hal ini disebabkan sapi yang bunting pada periode pertama dan kedua masih dalam fase pertumbuhan sehingga terjadi perebutan untuk mendapatkan makanan dengan fetus. 8. Skor Kondisi Tubuh Skor kondisi tubuh merupakan suatu indikator untuk menilai induk sapi terhadap tubuh ternak dengan kriteria kriteria tertentu disetiap nilai skor-nya. Dengan demikian dapat diketahui efisiensi produksi maupun reproduksi melalui penilaian skor kondisi tubuh. Skor kondisi tubuh sangat berpengaruh terhadap reproduksi. Sapi yang terlalu gemuk dapat menyebabkan timbulnya lemak dalam hati sehingga sapi mudah stress dan mudah terinfeksi penyakit.

17 Menurut Bearden et.al. 2004, kegemukan pada sapi dapat menyebabkan penimbunan lemak pada saluran reproduksi terutama ovarium yang dapat menyebabkan gangguan siklus birahi. Akibat lain yang dapat ditimbulkan dari kegemukan adalah tingkat kebuntingan yang rendah, distokia, abortus, dan retensio secundinae. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk pemeliharaan sapi yaitu dengan melihat body condition score, nilai BCS yang ideal adalah 3 (skala 1--4). Menurut Edmonson, et.al.,1989, penilaian sapi dengan dengan kriteria sebagai berikut: 1. Sangat kurus Sapi pada kondisi ini, tonjolan tulang belakang, tulang rusuk, tulang pinggul dan tulang pangkal ekor terlihat sangat jelas 2. Sedang Pada kondisi ini tonjolan tulang dan kerangka tubuh sudah tidak terlihat lagi, pertulangan dan perlemakan sudah mulai seimbang akan tetapi masih terlihat jelas garis berbentuk segitiga antara tulang rusuk bagian belakang dan tonjolan pangkal tulang ekor sudah membentuk kurva karna adanya penimbunan perlemakan pada pangkal tulang ekor. 3. Gemuk Pada kondisi ini kerangka tubuh dan tonjolan tulang sudah tidak terlihat dan perlemakan sudah lebih menonjol pada semua bagian tubuh. Garis tonjolan pangkal tulang ekor masih terlihat apabila dilihat dari belakang. Bagian

18 belakang tubuh sudah mulai berbentuk persegi panjang yang menunjukan perlemakan pada bagian paha, pingggul dan paha bagian dalam. 4. Sangat gemuk Pada kondisi ini kerangka tubuh dan struktur pertulangan sudah tidak terlihat dan teraba. Tulang pangkal ekor sudah tenggelam oleh perlemakan dan bentuk persegi panjang pada tubuh belakang sudah membentuk lengkungan pada bagian kedua ujungnya.