HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Identifikasi Masalah

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Minyak Buah Makasar terhadap Denyut Jantung Itik Cihateup Fase Grower

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

MONITORING HEMODINAMIK TIM ICU INTERMEDIATE ANGKATAN I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi

Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 :: ISSN :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KELOMPOK A3: EVRIS HIKMAT. S OMAN SETIYANTO GEDE EKO DARMONO SITI NUR HIDAYATI VERONIKA JULIE RIZKA PUTRI IKA ERTI

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

ANESTESI INFUS GRAVIMETRIK PADA ANJING (The Gravimetric Infuson Anaesthesia in Dogs)

Buletin Veteriner Udayana Vol. 2 No.1. :21-27 ISSN : Pebruari 2010

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembedahan belum bisa dilakukan tanpa anestesi (Hall dan Clarke, 1983).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Identifikasi Masalah Apakah minyak Lavender menurunkan frekuensi denyut jantung.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstrak memberikan rendemen sebesar 27,13% (Tabel 3).

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt

HASIL DAN PEMBAHASAN

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses

Pengantar Farmakologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi.

Pengantar Farmakologi Keperawatan

ANOREKSIA. Keluhan yang paling sering disampaikan oleh pemilik anjing dan kucing

Para-aminofenol Asetanilida Parasetamol Gambar 1.1 Para-aminofenol, Asetanilida dan Parasetamol (ChemDraw Ultra, 2006).

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada (kurangnya aktivitas fisik), merupakan faktor resiko independen. menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010)

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam detak per menit atau beats per minute (bpm). Frekuensi denyut jantung

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi, tetapi juga dari aktivitas atau latihan fisik yang dilakukan. Efek akut

SISTEM SARAF SEBAGAI SISTEM PENGENDALI TUBUH

BAB I PENDAHULUAN. lain. Elektrolit terdiri dari kation dan anion. Kation ekstraseluler utama adalah natrium (Na + ), sedangkan kation

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :

SISTEM SIRKULASI PADA HEWAN AIR

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan

MEKANISME PENGATURAN KARDIOVASKULAR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KARDIAK OUTPUT DAN HUKUM STERLING

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu)

Lampiran 1 Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi menurut American Society of Anaesthesiologist (ASA)

Sistem Ekskresi Manusia

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengantar Farmakologi

I PENDAHULUAN. Indonesia selama ini banyak dilakukan dengan sistem semi intensif.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rataan volume urin (ml) kumulatif tikus percobaan pada setiap jam

PERUBAHAN FISIOLOGIS KARENA LATIHAN FISIK Efek latihan a. Perubahan biokhemis b. Sistem sirkulasi dan respirasi c. Komposisi badan, kadar kholesterol

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Klinik Pada Anjing Lokal Selama Teranestesi Ketamin Dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Secara Subkutan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan

ANSIOLITIK/SEDATIVE - HIPNOTIKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. oksigen dalam darah. Salah satu indikator yang sangat penting dalam supply

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

FISIOLOGI PEMBULUH DARAH DAN PENGATURAN TEKANAN DARAH

HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA. PENYEBAB Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai masalah.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Bentuk-bentuk sediaan tembakau sangat bervariasi dan penggunaannya

Obat2 Sistem Saraf Otonom. I Dewa Gede Supartama, S. Farm., Apt

SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI

PENGANTAR FARMAKOLOGI

Transkripsi:

10 Variabel yang diamati : Gambar 5 Alur penelitian terhadap babi A, B, dan C 1. Gejala pada saat periode induksi 2. Onset anestesi 3. Durasi anestesi 4. Temperatur tubuh ( o C) 5. Frekuensi denyut jantung per menit 6. Frekuensi respirasi per menit Prosedur Analisis Data Hasil pengukuran dinyatakan dalan rataan dan simpangan baku. Data diolah menggunakan SAS 9.1.3. ( SAS Institute Inc.). Perbedaan antar kelompok dan dalam satu kelompok perlakuan diuji secara statistik melalui analisa ragam (Analyse of Variant/ANOVA) dan dilanjutkan dengan pengujian Duncan pada selang kepercayaan 95% (α=0,05). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisa terhadap variabel-variabel yang diamati menunjukkan adanya perbedaan pada kelompok perlakuan. Data temperatur tubuh, frekuensi denyut jantung, frekuensi respirasi dan gejala saat induksi kelompok C tidak dianalisa karena kombinasi anestetikum yang digunakan tidak dapat mencapai stadium anestesi. Onset dan Durasi Anestesi Anestesi yang ideal yaitu memiliki onset cepat dan durasi panjang (Gunawan et al. 2009). Data hasil penelitian nilai rataan onset dan durasi anestesi ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai rataan onset dan durasi anestesi pada kelompok babi (menit) No Parameter Kelompok A Kelompok B Kelompok C 1 Onset 5,7±2,39 a 6,8±2,38 a - 2 Durasi 42,6±19,60 a 52,3±17,74 a - Keterangan: Huruf superscript (a) pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan. (-) = tidak teranestesi. Berdasarkan hasil uji Duncan diketahui bahwa rataan nilai onset dan durasi anestesi kelompok A tidak berbeda nyata dengan kelompok B (P>0,05). Hal ini karena anestetikum yang digunakan memiliki karakteristik dan rute pemberian yang sama (IM). Ketamin, xylazin, dan zoletil (Tiletamin-zolazepam) merupakan bahan kimia larut lemak (Gunawan et al. 2009). Bahan kimia larut lemak akan berdifusi secara langsung melalui membran sel kapiler tanpa harus melewati pori-pori sehingga dapat merembes ke semua area membran kapiler. Kecepatan transport zat larut lemak lebih cepat dari pada zat yang tidak larut lemak (Guyton dan John 2007). Anestetikum yang diberikan secara IM akan langsung masuk ke interstitium jaringan otot atau lemak, melewati pembuluh darah kapiler menuju darah sistemik. Bahan kimia yang larut lemak lebih lama dieksresikan dari dalam darah, karena harus diubah menjadi polar (larut air) terlebih dahulu agar dapat diekresikan melalui ginjal atau empedu. Bahan kimia yang akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh merupakan bahan kimia yang terikat pada protein plasma yaitu albumin. Tempat ikatan pada protein plasma tersebut terbatas, sehingga bahan kimia pada dosis terapi akan menggeser obat lain yang terikat pada tempat ikatan yang sama. Bahan kimia yang tergeser ini akan lebih banyak yang bebas, sehingga akan keluar dari pembuluh darah dan menimbulkan efek farmakologik atau dieliminasi dari dalam tubuh (Gunawan et al. 2009). Hasil penelitian menunjukkan nilai onset dan durasi anestesi lebih lama dibandingkan temuan Ko et al. dalam Gunanti et al. (2011) yang membuktikan bahwa kombinasi zoletil-ketamin-xylazin memiliki induksi yang cepat dan babi akan tertidur dengan posisi lateral rekumbensi dengan selang waktu 2,27±0,6 menit setelah injeksi secara IM. Pada kombinasi zoletil 4,4 mg/kg BB, ketamin 2,2 mg/kg BB dan xylazin 2,2 mg/kg BB ini durasi analgesia yaitu 36,0±12,2 menit. Perbedaan yang terjadi pada jenis hewan yang digunakan perlu mendapat perhatian dalam pemilihan anestetikum yang digunakan. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menilai keefektifan dosis kombinasi zoletil-ketamin-xylazin yang digunakan terhadap babi lokal Indonesia. Berdasarkan temuan Gunanti et al. (2011), onset anestesi pada babi lokal menggunakan anestetikum kombinasi zoletil-ketamin-xylazin adalah 3-5 menit dan durasi anestesinya adalah 20-30 menit. Hasil tersebut lebih cepat dari pada hasil yang didapat pada penelitian, hal ini karena dosis kombinasi anestetikum yang digunakan Gunanti et al. (2011) lebih besar dari pada dosis yang digunakan dalam penelitian. Pada kelompok C tidak tercapai stadium anestesi, babi hanya tersedasi, masih memiliki reflek rahang, reflek mata dan masih bisa merasakan sakit. Pemberian kombinasi anestetikum ini harus segera ditambahkan dengan maintenance, bahkan pada beberapa babi harus ditambahkan anestetikum lain 11

12 seperti kombinasi zoletil-ketamin-xylazin agar babi dapat teranestesi. Hal ini karena dosis yang digunakan belum cukup sehingga kadar anestetikum yang berikatan dengan reseptornya belum mampu untuk menimbulkan anestesi pada babi. Mekanisme kerja suatu anestetikum merupakan ikatan antara neurotransmiter dengan reseptornya sehingga akan mempengaruhi kanal ion. Temperatur Tubuh Rentang normal temperatur tubuh babi menurut McCurnin dan Joanna (2006) adalah 38,3-39,5 o C. Nilai rataan temperatur tubuh pada kedua perlakuan ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai rataan temperatur tubuh pada kelompok babi ( o C) Waktu Kelompok A Kelompok B 0 37,33±1,12 a,x 37,97±1,04 a,x 15 35,83±0,46 b,x 36,57±0,70 ab,x 30 35,27±0,64 b,x 36,00±1,00 ab,x 45 34,97±0,81 b,x 35,97±1,20 ab,x 60 34,77±0,72 b,x 35,63±1,38 b,x Keterangan: Huruf superscript (a, ab, b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar nilai rataan frekuensi respirasi setiap 15 menit. Huruf superscript (x) pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kelompok A mengalami penurunan temperatur tubuh yang berbeda nyata pada menit ke-0 dengan menit ke-15 s/d 60, sedangkan pada kelompok B penurunan temperatur tubuh yang berbeda nyata terjadi pada menit ke-0 dengan menit ke-60 berdasarkan hasil uji Duncan (P>0,05). Namun demikian, hasil perhitungan rataan nilai temperatur tubuh babi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan. Perbedaan nyata pada kelompok A karena kombinasi ketamin-xylazin pada dosis tersebut bekerja menekan pusat termoregulator yaitu di bagian anterior hipotalamus. Hal ini sejalan dengan Plumb (2005) yang menyatakan bahwa ketamin merupakan anestetikum yang dapat menekan hipotalamus sehingga menyebabkan penurunan temperatur tubuh. Namun menurut Riebold et al. (1995) penggunaan ketamin sebagai anestetikum pada babi diduga dapat menyebabkan temperatur tubuh yang meningkat. Hal ini karena dipengaruhi oleh suhu ruangan, apabila suhu ruangan dingin maka suhu tubuh akan menurun, tetapi apabila suhu ruangan panas maka temperatur tubuh juga akan meningkat. Penelitian ini dilakukan pada ruang yang dingin, sehingga hal inilah yang menjadi salah satu penyebab penurunan temperatur tubuh pada kedua kelompok perlakuan. Penurunan temperatur tubuh yang terjadi pada kelompok A juga dipengaruhi oleh pemberian xylazin, xylazin dapat menekan mekanisme termoregulasi sehingga dapat menyebabkan hipotermia (Plumb 2005). Kelompok B mengalami penurunan nilai temperatur tubuh yang berbeda nyata pada menit ke-0 dengan menit ke-60, hal ini karena pada menit ke-60 kombinasi zoletil-ketamin-xylazin menekan pusat termoregulator lebih kuat. Zoletil merupakan kombinasi dari tiletamin dan zolazepam dengan perbandingan

1:1. Tiletamin memiliki efek farmakologis serupa dengan ketamin, namun efek yang ditimbulkan tiletamin sangat spesifik pada setiap spesies (Lumb dan Jones 2007). Menurut Gunawan et al. (2009) zolazepam tidak mampu menghasilkan tingkat depresi saraf sekuat golongan barbiturat atau anestesi umum. Menurut Lee dan Myung (2012) pada babi temperatur rektal akan meningkat setelah pemberian zoletil namun tidak signifikan, sehingga kombinasi pada kelompok B dapat mempertahankan temperatur tubuh lebih stabil. Penurunan temperatur tubuh pada kelompok B sejalan dengan studi yang dilakukan Gunanti et al. (2011) dimana babi dianestesi menggunakan kombinasi anestetikum zoletil-ketamin-xylazin (zoletil 8 mg/kg BB, ketamin 6 mg/kg BB dan xylazin 2 mg/kg BB) pada saat operasi laparoskopi. Temperatur tubuh yang diukur yaitu 35,5-37.8 o C. Pada kondisi ini babi mengalami hipotermia, hal ini disebabkan karena terjadi penekanan kerja hipotalamus terhadap respon suhu darah yang dingin. Selain itu penurunan temperatur tubuh juga disebabkan karena paparan suhu dingin pada waktu lama, ketidakmampuan dalam menjaga kehilangan panas dan ketidakmampuan dalam menciptakan panas, serta pada saat operasi tidak menggunakan sumber panas ekstra untuk menjaga suhu tubuh hewan. Xylazin yang dikombinasikan dengan agen anestetikum dapat mendepres sistem saraf pusat dan mekanisme termoregulasi sehingga dapat menyebabkan hipotermia (Plumb 2005). Xylazin merupakan sedativum yang bekerja sebagai α 2 adrenergik agonis yang menyebabkan terjadinya inhibisi aktifitas saraf simpatis. Inhibisi aktifitas pada saraf simpatis menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah di kulit (Ganiswara et al. 1995). Hal ini akan meningkatkan kecepatan pemindahan panas ke kulit yang merupakan mekanisme untuk menurunkan panas tubuh (Cunningham 2002; Guyton dan John 2007). Frekuensi Denyut Jantung Hasil perhitungan frekuensi denyut jantung babi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Rentang normal frekuensi denyut jantung babi menurut McCurnin dan Joanna (2006) adalah 60-90 per menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok A dan kelompok B mengalami penurunan nilai yang tidak berbeda nyata setiap tahapan pengamatan berdasarkan uji Duncan (P>0,05). Tabel 3 Nilai rataan frekuensi denyut jantung pada kelompok babi (per menit) Waktu Kelompok A Kelompok B 0 77,33±31,07 a,x 76,00±22,27 a,x 15 72,00±24.33 a,x 72,00±10,58 a,x 30 76,00±10,58 a,x 65,33±10,07 a,x 45 61,33±19,73 a,x 64,00±8,00 a,x 60 74,67±19,73 a,x 60,00±16,00 a,x 75 72,00±24,98 a,x 64,00±4,00 a,x Keterangan: Huruf superscript (a) pada kolom yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar nilai rataan frekuensi jantung setiap 15 menit. Huruf superscript (x) pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan. 13

14 Ketamin pada sistem kardiovaskular dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung (Plumb 2005) dan tekanan darah (Thurmon et al. 1996). Peningkatan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah ini terjadi karena ketamin merangsang sistem saraf pusat secara langsung sehingga menyebabkan aliran simpatis meningkat (Thurmon et al. 1996; Guyton dan John 2007). Efek kardiovaskular yang ditimbulkan oleh ketamin dapat diminimalkan dengan pemberian sebelumnya benzodiazepin (zolazepam) atau α 2 agonis (xylazin) (Thurmon et al. 1996). Hal inilah yang menyebabkan penurunan frekuensi denyut jantung pada kelompok A tidak signifikan. Tiletamin merupakan anestetikum yang memiliki efek kardiorespiratori mirip dengan ketamin (Gwendolyn 2008; Thurmon et al. 1996). Pemberian tiletamin akan meminimalkan hipotensi akibat efek xylazin melalui kemampuannya merangsang saraf simpatis (Thurmon et al. 1996). Hal inilah yang menyebabkan penurunan frekuensi denyut jantung pada kelompok B tidak signifikan. Menurut Lee dan Myung (2012) anestesi menggunakan tiletaminzolazepam memiliki efek kardiorespirasi yang stabil. Penggunaannya pada babi menyebabkan frekuensi denyut jantung menurun setelah 5 menit induksi. Sedangkan menurut Thurmon et al. (1996) pemberian zoletil dan xylazin pada babi menyebabkan peningkatan frekuensi denyut jantung diikuti dengan penurunan frekuensi denyut jantung setelah 45 menit induksi di bawah nilai normal. Menurut Gunanti et al. (2011) penggunaan kombinasi anestetikum zoletilketamin-xylazin pada babi saat laparoskopi menunjukkan bahwa frekuensi denyut jantung babi berada dalam kisaran normal, yaitu 68,3±12,6 per menit. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dimana nilai rataan frekuensi denyut jantung babi berada dalam rentang nilai normal. Dengan demikian kombinasi anestetikum yang digunakan pada prosedur yang dilakukan pada babi tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung babi. Xylazin bekerja sebagai agonis reseptor α 2 adrenergik. Reseptor α 2 ini terletak di ujung saraf adrenergik dan pada sel efektor di otak. Selain itu reseptor α 2 juga terdapat pada membran prasinaps yang berfungsi dalam umpan balik negatif pelepasan norepinephrine (NE). Aktivasi reseptor α 2 pascasinaps dalam otak dapat menyebabkan berkurangnya perangsangan yang kemudian menyebabkan penurunan frekuensi denyut jantung (Adams 2001). Hal ini karena efektivitas pompa jantung dikendalikan oleh saraf simpatis dan parasimpatis yang sangat banyak menginervasi jantung (Guyton dan John 2007). Frekuensi Respirasi Hasil pengukuran frekuensi respirasi pada babi menunjukkan perubahan setiap pemeriksaan. Hasil penelitian pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kelompok A dan B tidak mengalami penurunan nilai frekuensi respirasi yang berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (P>0,05). Hal ini karena kombinasi anestetikum yang digunakan mempertahankan fungsi respirasi yang stabil. Pernyataan tersebut sesuai dengan Lee dan Myung (2012) yang menyatakan bahwa zoletil memiliki efek yang stabil terhadap respirasi. Selain itu depresi respirasi terjadi hanya pada dosis tinggi ketamin dan tiletamin (Thurmon et al. 1996). Namun nilai rataan

frekuensi respirasi kelompok A berbeda nyata dengan kelompok B. Hal ini karena pada kelompok A dosis ketamin yang digunakan lebih tinggi dari pada kelompok B, sehingga penekanan yang terjadi pada respirasi lebih besar. Tabel 4 Nilai rataan frekuensi respirasi pada kelompok babi (per menit) Waktu Kelompok A Kelompok B 0 57,33±6,11 a,y 54,67±18,04 a,x 15 50,67±10,07 a,y 65,33±8,33 a,x 30 48,00±10,58 a,y 60,00±10,58 a,x 45 52,00±12,00 a,y 58,67±14,05 a,x 60 49,33±12,86 a,y 52,00±13,86 a,x Keterangan: Huruf superscript (a) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar nilai rataan frekuensi respirasi setiap 15 menit. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Ketamin sebagai anestetikum pada dosis biasa tidak menyebabkan penekanan respirasi yang signifikan sedangkan penggunaannya pada dosis yang tinggi menyebabkan terjadinya depresi respirasi (Plumb 2005). Pada babi, ketamin menyebabkan respirasi yang terengah-engah (tachypnoe). Untuk meminimalkan hal tersebut maka pemberian ketamin sebagai anestetikum pada babi dikombinasikan dengan diazepam atau xylazin (Thurmon et al. 1996). Xylazin menyebabkan penekanan respirasi (Adams 2001). Tiletamin dapat menyebabkan depresi respirasi apabila digunakan dalam dosis tinggi (Plumb 2005), hal ini terjadi juga apabila dikombinasikan dengan zolazepam pada dosis tinggi (Lee dan Myung 2012). Namun menurut Thurmon et al. (1996) pada kebanyakan spesies, tiletamin menyebabkan peningkatan frekuensi respirasi setelah injeksi. Pada babi frekuensi respirasi meningkat pada awalnya, namun akan kembali normal setelah 15 menit. Data hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa babi dalam keadaan tachypnoe. Menurut Riebold et al. (1995) babi dalam keadaan teranestesi memiliki frekuensi respirasi 10-25 per menit. Keadaan tachypnoe terjadi karena peningkatan PaCO 2 dalam sirkulasi, akibat anestetikum yang digunakan menekan reseptor saraf aferen dan eferen, serta mengurangi kontraksi otot (Slatter 2003). Maka sebagai kompensasi untuk mencukupi kebutuhan O 2 tubuh, paru-paru bekerja lebih sehingga frekuensi respirasi akan meningkat. Respirasi yang cepat pada babi juga dapat terjadi karena babi mengalami hypoxemia. Hypoxemia dapat disebabkan karena rendahnya pemasukan O 2, hypoventilasi, dan O 2 dalam vena yang rendah. Apabila O 2 yang ditranspor ke jaringan rendah maka cardiac output akan menurun. Akibat hal tersebut maka jaringan akan merespon dengan cara mengambil lebih banyak O 2 dari darah, dengan menurunkan kandungan O 2 dalam vena balik paru-paru (Slatter 2003). Peningkatan respirasi yang terjadi juga merupakan akibat dari stres karena anestesi atau tindakan bedah yang dilakukan. Menurut Gunanti et al. 2011 frekuensi respirasi babi teranestesi menggunakan kombinasi anestetikum zoletil-ketamin-xylazin selama dan sebelum operasi laparoskopi berlangsung relatif tidak berubah dan masih dalam rataan normal yaitu 41,3±14,1 per menit. Frekuensi respirasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan, ukuran tubuh, umur, kepenuhan saluran cerna, dan kondisi kesehatan. 15

16 Gejala Saat Periode Induksi Anestesi Tingkah laku hewan adalah respon atau ekspresi hewan oleh adanya rangsangan atau agen yang mempengaruhinya. Gejala-gejala pada babi sebelum teranestesi dapat dilihat pada Tabel 5. Tahapan anestesi umum secara ideal dimulai dari keadaan terjaga atau sadar kemudian terjadi kelemahan dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon nyeri (analgesia), tidak bergerak dan relaksasi (immobility), tidak sadar, koma dan kematian karena dosis berlebih (Gunawan et al. 2009). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa setiap anestetikum dapat menimbulkan gejala induksi yang beragam. Pada kelompok A rata-rata babi kehilangan keseimbangannya setelah satu menit induksi. Babi terlihat diam berdiri dan cenderung disudut kandang seolah mengantuk. Perbedaan signifikan terjadi pada kelompok A, babi yang terjatuh masih mampu untuk berdiri sebelum akhirnya terjatuh lagi. Babi terlihat sudah tidak ada perlawanan sebelum akhirnya tidak sadar. Gejala yang terlihat ini berjalan kasar dan babi terlihat tidak tenang saat memasuki stadium anestesi. Idealnya, sikap yang berlebihan dan merontaronta harus dihindari selama induksi, karena hal ini sangat tidak menyenangkan untuk hewan dan hal ini merupakan predisposisi aritmia jantung (McKelvey dan Wayne 2003). Tabel 5 Gejala pada babi sebelum teranestesi Aktivitas Waktu (menit) Urinasi* 0 - Hilang keseimbangan 1 1 Defekasi* 1 1 A B Diam menunduk, Hilang keseimbangan, telinga naik* - 1 Kepala naik-turun* - 1 Jatuh 2 2 Berdiri lagi 2 - Tonus otot kaki hilang 3 2 Tidak ada perlawanan 3 2 Reflek palpebrae hilang 4 4 Telinga naik* 5 - Mata menutup* 10 2 Keterangan: (-)= tidak terjadi pada kelompok babi, *=pada individu tertentu. Pada kelompok B babi terlihat diam menunduk seperti pusing atau mengantuk setelah induksi anestesi dan mulai kehilangan keseimbangan pada menit pertama. Babi mulai kehilangan keseimbangan, ditandai dengan gerakan babi yang secara spontan sudah tidak mampu lagi menopang tubuh pada keempat kakinya secara kuat. Babi akan terjatuh pada menit kedua, mata mulai menutup dan sudah tidak ada perlawanan. Pada kelompok ini babi yang terjatuh tidak

bangun kembali, hal ini berbeda nyata dengan kelompok A yaitu babi yang terjatuh masih dapat berdiri kembali sebelum akhirnya terjatuh kembali dan memasuki stadium anestesi. Kelompok B terlihat menunjukkan gejala yang lebih halus saat memasuki stadium anestesi. Pada kombinasi anestetikum kelompok ini terdapat xylazin dan zolazepam yang bersifat muscle relaxan, sehingga relaksasi otot yang terjadi lebih baik dibandingkan kelompok A. 17 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kombinasi zoletil-ketamin-xylazin dan ketamin-xylazin dosis maksimal sebagai anestetikum pada babi lokal (Sus domestica) memiliki efektifitas sama. Penilaian ini berdasarkan pada durasi anestesi yang lebih panjang, rataan nilai temperatur tubuh ( o C) yang lebih stabil, dan gejala pada peride induksi yang lebih halus pada kombinasi zoletil-ketamin-xylazin. Sedangkan pada kombinasi ketamin-xylazin dosis maksimal memiliki onset anestesi yang lebih cepat, rataan nilai frekuensi jantung dan respirasi yang lebih baik dari pada kelompok zoletilketamin-xylazin. Anestetikum kombinasi ketamin-xylazin dengan (ketamin 10 mg/kg BB dan xylazin 1 mg/kg BB) tidak efektif sebagai anestetikum pada babi lokal (Sus domestica) Indonesia. Saran Saran yang diajukan berdasarkan penelitian ini adalah metode yang digunakan dapat dimodifikasi menggunakan alat monitoring saturasi respirasi sehingga didapatkan hasil yang lebih akurat lagi. Selain itu perlu dilakukan penambahan jumlah hewan coba yang digunakan. DAFTAR PUSTAKA Adams HR. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ames: Iowa State Press. Altman J. 1973. Observational Study of Behavior: Sampling Methods. Chicago: University of Chicago. [Anonim]. 2012. Babi. http://id.wikipedia.org/wiki/babi. [6 Januari 2012]. Booth NH. 1995. Drugs Acting on the Central Nervous System, In Booth, N. H. dan Keith R. Banson ed. Veterinary Pharmacology dan Theurapeutics 5 th edition. The Iowa State University Press/Ames. UAA. Pp. 155-157; 250-262; 330-336. Cattet Marc. 2003. A CCWHC Technical Bulletin: Drug Residues in Wild Meat- Addressing A Public Health Concern. Canadian Cooperative Wildlife