HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Kurungan tunggal

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA. Rizka Yudha Aryata A

AGROVIGOR VOLUME 6 NO. 2 SEPTEMBER 2013 ISSN

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINGKAT KEJERAAN RACUN DAN UMPAN PADA TIKUS SAWAH

Pengendalian Hama Tikus Terpadu Tikus memiliki karakter biologi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mengenal Tikus Sawah

PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI TIKUS POHON DAN TIKUS SAWAH TERHADAP RODENTISIDA ARIEF YANA FUJILESTARI

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Jenis Hama yang Terdapat di Perumahan

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller)

Si Pengerat Musuh Petani Tebu..

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO

PERANCANGAN DAN PENGUJIAN PERANGKAP, PENGUJIAN JENIS RODENTISIDA DALAM PENGENDALIAN TIKUS POHON

TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA. Rizka Yudha Aryata A

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Tikus Sawah (Rattus argentiventer)

PERMASALAHAN HAMA TIKUS DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA (CONTOH KASUS PERIODE TANAM )

TINDAKAN MASYARAKAT PERKOTAAN DI BOGOR TERHADAP KEHADIRAN TIKUS SHERLY ASRILIA A

PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA

TINGKAT KEJERAAN TIGA SPESIES TIKUS HAMA TERHADAP RODENTISIDA DAN UMPAN SERTA FAKTOR PENYEBABNYA MINKHAYA SILVIANA PUTRI

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI PALATABILITAS UMPAN PENDETEKSI TIKUS PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L) DI LABORATORIUM FAJAR ANALIS A

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIKAN HAMA PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3K Nglegok

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Rencana Strategis Kementrian Kesehatan (2011), Pembangunan

(Rattus tiomanicus MILLER) MENUJU. Dhamayanti A.

PENGUJIAN PREFERENSI PAKAN, PERANGKAP, DAN UMPAN BERACUN PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN MENCIT RUMAH (Mus musculus L.

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO

TINGKAH LAKU TIKUS DAN PENGENDALIANNYA

Daun dan Biji Sirsak: Pestisida Alami Untuk Mengendalikan Wereng

UJI BENTUK UMPAN DAN RODENTISIDA RACUN AKUT TERHADAP TIGA SPESIES TIKUS NURIHIDAYATI

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Biologi dan Ekologi

SELEKSI DAN IDENTIFIKASI AKTINOMISET SEBAGAI AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT KRESEK YANG DIAKIBATKAN OLEH

Untuk mengatasi serangan hama tikus, dapat dilakukan cara cara sebagai berikut:

T E M P E 1. PENDAHULUAN

UJI BENTUK UMPAN DAN RODENTISIDA RACUN AKUT TERHADAP TIGA SPESIES TIKUS NURIHIDAYATI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

1 Menerapkan pola tanam yang teratur dan waktu tanam yang serempak (tidak lebih dari 2 minggu)

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging)

Uji Efektifitas Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Sebagai Pestisida Nabati terhadap Perilaku Makan Tikus Hama (Rattus argetiventer)

TINJAUAN PUSTAKA Hama Burung

PENGENDALIAN HAMA TIKUS SAWAH MENGGUNAKAN TEKNOLOGI TBS DAN LTBS

JENIS DAN KARAKTER JANGKRIK Jangkrik di Indonesia tercatat ada 123 jenis yang tersebar di pelosok daerah. Namun hanya dua jenis saja yang umum dibudid

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Hal ini

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

I. PENDAHULUAN. sayuran terutama sawi. Hal ini terjadi karena sawi memiliki kandungan gizi yang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sejak tahun Sentra produksi ubi jalar adalah Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

Medan, November 2010 Ketua peneliti, Luthfi Aziz Mahmud Siregar, SP, MSc, PhD

UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A

TANAMAN PENGHASIL PATI

PENGARUH BAHAN REMPAH SEBAGAI REPELEN TERHADAP MENCIT RUMAH (Mus musculus L. Rodentia: Muridae) DALAM MENGKONSUMSI UMPAN DAN RODENTISIDA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. fermentasi tercapai, sehingga harus segera dikonsumsi (Hidayat, 2006).

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN DEMAK

BUDIDAYA CENGKEH SECARA MUDAH OLEH HARI SUBAGYO BP3K DOKO

VII ANALISIS KEPUASAN PETANI MITRA TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proteksi Fakultas Pertanian

RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 10. HAMA DAN PENYAKIT TANAMANlatihan soal 10.1

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Tempat : Penelitian ini dilakukan di Green House Kebun Biologi,

PENGENDALIAN HAMA TIKUS DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN BURUNG HANTU (Tyto alba) Sylvia Madusari. Abstrak

I. PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakann penyakit yang. berkaitan erat dengan kenaikan populasi vektor Aedes aegypty.

Sistem Bubu TBS dan LTBS. TBS (Trap Barrier System)

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus)

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLaihan soal 10.3

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. sirih hijau (Piper betle L.) sebagai pengendali hama Plutella xylostella tanaman

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN DEMAK

EFEK MINYAK ATSIRI DAUN CENGKEH (Syzygium aromaticum) TERHADAP MORTALITAS ULAT DAUN Spodoptera exigua PADA TANAMAN BAWANG MERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha

PENGENDALIAN OPT PADI RAMAH LINGKUNGAN. Rahmawasiah dan Eka Sudartik Universitas Cokroaminoto Palopo ABSTRAK

BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

Transkripsi:

28 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap seng fosfida dengan perlakuan no-choice diperoleh hasil pada Tabel 2. Tabel 2 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap seng fosfida Perlakuan Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Subang Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor Seng fosfida 1 12.43 NT NT Seng fosfida 2 14.00 NT NT Seng fosfida 3 NT 14.05 10.00 Seng fosfida 4 NT 0.00 NT Rataan 13.22 7.03 10.00 Ket. NT tidak dilakukan pengujian Seng fosfida merupakan bahan aktif dari rodentisida akut yang dapat mematikan tikus hanya dalam beberapa jam dan hanya dengan sedikit konsumsi rodentisida tersebut. Pada umumnya seng fosfida diaplikasikan untuk tikus sawah tetapi juga beberapa diaplikasikan untuk tikus rumah. Seng fosfida tersebut memiliki kelemahan, karena dapat mematikan tikus dengan cepat. Pada aplikasi di lapangan jika seekor tikus sudah memakan rodentisida tersebut dengan umpan beras lalu mati tidak jauh dari tempat pemberian, maka tikus lain yang melihat seekor tikus sudah mati setelah memakan rodentisida, tidak mau memakannya lagi (jera racun). Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida akut berbahan aktif seng fosfida menunjukkan bahwa terhadap seng fosfida 2 (14%) memiliki tingkat kejeraan terhadap rodentisida yang lebih tinggi dari pada seng fosfida 1 (12.43%). Hasil tersebut tidak berbeda jauh karena menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Subang, dari 20 responden, semua menggunakan seng fosfida untuk mengendalikan tikus sawah. Tikus sawah pada uji tersebut sudah jera terhadap seng fosfida karena bahan aktif tersebut merupakan racun akut dengan bau yang menyengat, membuat tikus enggan untuk memakannya.

29 Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida akut berbahan aktif seng fosfida menunjukkan bahwa tingkat kejeraan yang lebih tinggi terhadap seng fosfida 3 (14.05%) dibandingkan dengan seng fosfida 4 (0%). Hal tersebut karena perbedaan waktu dalam pengambilan, serta alat transportasi yang digunakan untuk mengambil tikus sawah uji tersebut. Pengambilan tikus sawah uji untuk perlakuan seng fosfida 3 lebih dahulu serta menggunakan alat transportasi berupa bus dan ditempatkan pada bagasi sehingga panas. Tikus sawah pada seng fosfida 4 diambil dengan yang menggunakan alat transportasi mobil sedan sehingga lebih mendapat udara bebas yang berpengaruh terhadap kondisi psikologis dari tikus sawah tersebut. Untuk tikus rumah jarang diberi perlakuan seng fosfida karena tikus rumah biasanya akan jera jika melihat tikus lain mati setelah mengonsumsi umpan yang diberi seng fosfida tersebut. Seng fosfida mempunyai kelebihan yaitu matinya tikus tidak jauh dari tempat memakan umpan yang diberi seng fosfida, maka dapat langsung diambil dan dikubur. Sementara itu pada rodentisida kronis tikus dapat mati di sembarang tempat, sehingga dapat menimbulkan bau yang tidak sedap. Persentase kejeraan tikus rumah terhadap seng fosfida sebesar 10% karena tikus rumah tersebut mengalami penundaan konsumsi yang cukup lama. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida Kumatetralil Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap kumatetralil dengan metode perlakuan no-choice didapatkan hasil persentase kejeraan yang terdapat pada Tabel 3. Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida kronis berbahan aktif kumatetralil menunjukkan bahwa tingkat kejeraan tertinggi terhadap kumatetralil 1 (38.33%) dan tingkat kejeraan terendah terhadap kumatetralil 3 (14.44%). Hal tersebut karena tikus sawah uji mengalami penundaan konsumsi terhadap kumatetralil 1. Dari 36 tikus uji, selama 1 hari mengalami penundaan konsumsi 1 tikus, 1 tikus selama 8 hari, 9 tikus selama 9 hari, 1 tikus selama 11 hari. Penyebabnya adalah faktor pemerangkapan tikus, yang mempengaruhi kejeraan tikus ketika diujikan di dalam kandang tikus tunggal, serta perlakuan adaptasi hanya 1-2

30 hari sehingga kurang lama yang menyebabkan tikus sawah kurang nyaman dengan kondisi lingkungan sekitar karena minimal waktu untuk adaptasi adalah 3 hari agar tikus mulai terbiasa dengan keadaan di dalam laboratorium pengujian (Permadi 2009). Tabel 3 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap kumatetralil Perlakuan Tingkat Kejeraan (%) Tikus sawah Subang Tikus sawah Pati Tikus pohon Bogor Kumatetralil 1 38.33 9.33 NT Kumatetralil 2 NT NT 6.38 Kumatetrallil 3 14.44 NT 1.21 Rataan 26.39 9.33 3.80 Ket. NT tidak dilakukan pengujian Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida kronis berbahan aktif kumatetralil menunjukkan bahwa persentase kejeraan terhadap kumatetralil sebesar 9.33%. Tingkat kejeraan tersebut seharusnya tidak setinggi ini, tetapi hal tersebut dapat terjadi karena perpindahan jarak yang jauh dari Kabupaten Pati sampai ke Bogor menyebabkan kondisi tikus menjadi kurang sehat dan psikologis tikus menjadi terganggu sehingga nafsu makan tikus menurun yang menyebabkan penundaan terhadap konsumsi rodentisida. Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif kumatetralil menunjukkan bahwa kumatetralil 2 (6.38%) mempunyai tingkat kejeraan tikus yang lebih tinggi dari pada kumatetralil 3 (1.21%). Hal tersebut karena tikus pohon mengalami penundaan konsumsi yang cukup lama untuk kumatetralil 2 yaitu ada 2 tikus yang mengalami penundaan konsumsi selama 5 hari, 1 tikus selama 3 hari, 3 tikus selama 2 hari, dan 4 tikus selama 1 hari. sedangkan untuk kumatetralil 3 hanya 2 tikus pohon yang mengalami penundaan konsumsi selama 3 hari. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer), Tikus Rumah (R. rattus diardii) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida Bromadiolon Pengujian tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida bromadiolon yang diujikan kepada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon dengan perlakuan no-

31 choice (tanpa pilihan) diperoleh hasil persentase kejeraan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap bromadiolon Perlakuan Tingkat Kejeraan (%) Tikus sawah Subang Tikus rumah Bogor Tikus pohon Bogor Bromadiolon 1 5.64 NT NT Bromadiolon 2 14.35 NT NT Bromadiolon 3 NT 5.33 NT Bromadiolon 4 NT 1.29 NT Bromadiolon 5 8.52 NT NT Bromadiolon 6 18.71 NT NT Bromadiolon 7 18.33 NT 11.67 Rataan 13.11 3.31 11.67 Ket. NT tidak dilakukan pengujian Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida kronis yang berbahan aktif bromadiolon menunjukkan paling tinggi pada bromadiolon 6 (18.71%) dan paling rendah pada bromadiolon 1 (5.64%). Hal ini karena pada bromadilon 6 dilakukan pengujian terhadap tikus sawah uji terlebih dahulu dibandingkan dengan bromadiolon 1. Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Subang, dalam sejarahnya pengendalian hama tikus sebelum tahun 80-an dilakukan dengan digali dan dipukul (gropyok). Mulai tahun 80-an digunakan emposan dan rodentisida. Awal tahun 2000-an digunakan sistem TBS (Trap Barrier System) serta gropyokan yang setiap minggu berjalan dengan baik, sementara penggunaan rodentisida sudah mulai berkurang. Efek dari penggunaan rodentisida yang secara intensif adalah meningkatkan kejeraan tikus terhadap rodentisida. Sejak awal tahun 2000-an penggunaan rodentisida sudah mulai berkurang tetapi efeknya dapat dirasakan sampai beberapa tahun ke depan, maka tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida tersebut mulai menurun setelah jarang digunakan rodentisida. Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif bromadiolon menunjukkan bahwa bromadiolon 3 (5.33%) menunjukkan tingkat kejeraan yang lebih tinggi dari pada bromadilon 4 (1.29%). Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor dari 16

32 responden ada 7 orang yang menggunakan rodentisida dan 2 diantaranya menggunakan bromadiolon 4, sehingga bromadiolon 4 lebih dikenali oleh tikus rumah, dilihat dari tingginya tingkat konsumsi, sehingga tingkat kejeraannya lebih rendah dibandingkan bromadiolon 3. Tikus pohon Bogor diprediksi menunjukkan tingkat kejeraan yang paling rendah dibandingkan dengan tikus sawah dan tikus rumah tetapi pada bromadiolon 7 mencapai 11.67%. Hal tersebut karena dari 12 tikus ada 1 tikus yang bertahan sampai hari ke 10 dengan tidak mengonsusmsi rodentisida tersebut dan akhirnya perlakuan dihentikan. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer), Tikus Rumah (R. rattus diardii) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida Brodifakum Hasil yang diperoleh dari pengujian tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida brodifakum menunjukkan persentase kejeraan pada Tabel 5. Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan bahwa brodifakum 14 (41.25%) memiliki tingkat kejeraan tertinggi dan brodifakum 16 (8.09%) memiliki tingkat kejeraan terendah. Tingkat kejeraan tersebut dikarenakan perbedaan waktu pengambilan tikus sawah tersebut. Dari hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Subang terhadap 20 petani, 3 diantaranya menggunakan rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum dan juga rodentisida akut berbahan aktif seng fosfida. Alasan kurang menggunakan rodentisida akut karena rodentisida tersebut akan luntur jika terkena hujan. Rodentisida akut berbentuk tepung, dengan umpan gabah yang dicampur dengan oli atau minyak sayur sebagai perekat. Pada musim hujan digunakan rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum dengan dosis yang tidak sesuai aturan, hanya menurut perkiraan yaitu 1 kg/ha untuk setiap musimnya.

33 Tabel 5 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum Perlakuan Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Subang Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor Tikus pohon Bogor Brodifakum 1 NT NT NT 4.00 Brodifakum 2 NT NT NT 10.91 Brodifakum 3 20.87 NT NT NT Brodifakum 4 10.91 NT 4.76 5.90 Brodifakum 5 13.30 NT 8.00 4.00 Brodifakum 6 NT NT 5.37 NT Brodifakum 7 NT NT NT 7.22 Brodifakum 8 27.59 NT NT NT Brodifakum 9 13.60 NT NT NT Brodifakum 10 NT NT 6.38 NT Brodifakum 11 33.33 5.93 0.00 3.45 Brodifakum 12 30.77 4.44 6.67 1.94 Brodifakum 13 40.87 4.29 3.33 0.61 Brodifakum 14 41.25 6.67 NT 4.52 Brodifakum 15 NT NT NT 6.00 Brodifakum 16 8.09 NT NT NT Brodifakum 17 NT NT NT 4.00 Brodifakum 18 20.53 NT NT NT Brodifakum 19 14.55 NT NT 1.67 Brodifakum 20 20.00 NT NT 4.62 Brodifakum 21 25.00 NT NT 0.00 Brodifakum 22 NT NT NT 1.67 Brodifakum 23 18.58 NT NT 0.00 Rataan 22.62 5.33 4.93 3.78 Ket. NT tidak dilakukan pengujian Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan bahwa tingkat kejeraan tertinggi pada brodifakum 14 (6.67%) dan tingkat kejeraan terendah pada brodifakum 13 (4.29%). Hal tersebut disebabkan oleh tikus sawah uji pada brodifakum 14 mengalami penundaan konsumsi lebih lama dibandingkan dengan brodifakum 13. Pada perlakuan brodifakum 14 ada satu tikus yang mengalami penundaan konsumsi sampai 5 hari yang dapat disebabkan oleh kondisi tikus yang kurang fit atau faktor psikologis dari tikus tersebut. Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Pati, pengendalian terhadap tikus sawah tidak banyak dilakukan, maka tikus sawah tersebut tidak banyak

34 mengalami tekanan pengendalian dari manusia, sehingga belum memiliki tingkat kejeraan yang tinggi. Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan persentase kejeraan tertinggi terhadap brodifakum 5 (8%) dan terendah terhadap brodifakum 13 (3.33%). Brodifakum 5 lebih sering diaplikasikan sehingga seharusnya tikus lebih mengenali brodifakum 5 dibandingkan brodifakum 13 karena menurut hasil wawancara yang dilakukan melalui kuesioner terhadap masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor bahwa dari 16 responden ada 7 orang yang pengendaliannya menggunakan rodentisida dan 4 diantaranya menggunakan brodifakum 5. Dengan sering diaplikasikan, maka tikus rumah sudah mengenali rodentisida tersebut maka seharusnya tikus tidak mengalami penundaan konsumsi tetapi yang terjadi sebaliknya karena tikus rumah pada perlakuan brodifakum 5 mengalami penundaan konsumsi selama 1 hari sebanyak 4 tikus. Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan bahwa brodifakum 2 (10.31%) memiliki tingkat kejeraan tertinggi serta brodifakum 21 dan 23 (0%) yang terendah. Hal tersebut karena pada brodifakum 2 ada 5 tikus yang mengalami penundaan konsumsi selama 2 hari dan 1 tikus mengalami penundaan konsumsi selama 1 hari. Menurut hasil wawancara yang dilakukan melalui kuesioner kepada masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor, bahwa dari 11 responden semua menjawab tidak pernah melakukan aplikasi rodentisida. Menurut pendapat mereka kerugian yang disebabkan oleh tikus pohon tersebut tidak terlalu besar maka tidak perlu dilakukan pengendalian, cukup hanya didiamkan saja. Hal tersebut yang menyebabkan persentase kejeraan brodifakum 21 dan 23 sebesar 0%. Dilakukan pengujian dengan menggunakan ANOVA terhadap rodentisida brodifakum. Perakuan yang digunakan untuk membandingkan adalah tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor. Untuk ulangan yang digunakan adalah dari setiap bahan aktif yang diujikan. Didapatkan hasil yang tertera pada Tabel 6.

35 Tabel 6 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum Perlakuan tikus sawah Subang tikus sawah Pati tikus rumah Bogor tikus pohon Bogor Tingkat Kejeraan 22.59 aa 5.33 bb 4.92 bb 3.78 bb Pr > F 0.0001 Ket. Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α = 5% (huruf kecil) dan taraf α = 1% (huruf besar) Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa menurut uji Duncan α = 5% dan α = 1% menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara tikus sawah Subang dengan tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor. Sedangkan antara tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan α = 5% dan α = 1%. Menurut Permadi (2009) pada perbandingan perlakuan brodifakum terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada tikus sawah dengan tikus rumah dan tikus pohon serta tidak berbeda nyata antara tikus rumah dan tikus pohon pada uji Duncan 5% dan 1%. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida Flokumafen Pengujian tingkat kejeraan terhadap rodentisida flokumafen pada tikus sawah dan tikus pohon dengan pengujian no-choice didapatkan hasil persentase kejeraan yang disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap flokumafen Perlakuan Tingkat Kejeraan (%) Tikus sawah Pati Tikus pohon Bogor Flokumafen 1 7.27 (n=44) 2.79 (n=43) Rataan 7.27 2.79 Ket. NT tidak dilakukan pengujian

36 Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida kronis berbahan aktif flokumafen menunjukkan besaran 7.27%. Hal tersebut disebabkan perpindahan jarak yang jauh dari daerah Pati sampai ke Bogor sehingga kondisi tikus tersebut kurang sehat serta kondisi psikologis yang terganggu karena perjalanan yang kurang lebih selama 12 jam dan kurang udara. Penyebab tersebut dapat menurunkan nafsu makan tikus sawah uji tersebut. Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif flokumafen menunjukkan besaran 2.79%. Hal tersebut dikarenakan rodentisida flokumafen mempunyai aroma yang khas bisa menarik tikus pohon tersebut untuk memakannnya sehingga tingkat kejeraannya rendah. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Nabati Pengujian tingkat kejeraan juga dilakukan terhadap rodentisida nabati yang diujikan kepada tikus sawah dan tikus rumah. Pengujian dilakukan dengan metode no-choice (tanpa pilihan) dan didapatkan hasil pada Tabel 8. Semakin banyaknya penggunaan rodentisida sintetis yang tidak sesuai aturan, dapat menimbulkan resistensi terhadap tikus serta tidak ramah lingkungan. Dengan demikian, perlu adanya perubahan pola pikir dan tindakan dilengkapi dengan penggunaan rodentisida nabati yang lebih ramah lingkungan, mudah untuk didapat serta murah. Meskipun ada kekurangannya, yaitu tidak tahan lama dan sedikit rumit dalam pembuatannya. Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap mahoni yang tertinggi pada konsentrasi 32% (52%) dan terendah pada konsentrasi 8% (5%). Untuk jarak, persentase kejeraan tikus sawah tertinggi pada konsentrasi 32% (35%) dan terendah pada konsentrasi 8% (5%). Hal tersebut disebabkan semakin tinggi dosis tanaman yang dicampurkan pada umpan, maka semakin membuat tikus menjadi curiga dan meningkatkan nilai kejeraannya. Untuk bintaro, dari semua konsentrasi persentase kejeraan sebesar 0%. Perbedaan antara tingkat kejeraan mahoni dan jarak merah dengan bintaro adalah pada mahoni dan jarak merah yang digunakan adalah ekstrak kasar yang dicampur dengan beras, sehingga tikus dapat melihat campuran tanaman

37 tersebut pada umpan beras. Semakin tinggi dosis tanaman, semakin banyak campuran yang terlihat oleh tikus, sehingga membuat tikus semakin curiga. Pada bintaro yang digunakan adalah ekstrak halus sehingga perasannya dicampur dengan beras, maka tikus tidak mengalami kecurigaan dan kejeraan. Selain itu bau yang ditimbulkan oleh mahoni dan jarak merah lebih menyengat dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh bintaro, sehingga tikus tidak tertarik untuk mengonsumsi jarak merah dan mahoni tersebut dan lebih tertarik terhadap bintaro. Tabel 8 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap rodentisida nabati Perlakuan Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor Mahoni 8% 5.00 NT Mahoni 16% 16.67 NT Mahoni 24 % 6.67 NT Mahoni 32% 52.00 NT Rataan mahoni 20.09 NT Jarak 8% 5.00 NT Jarak 16% 25.00 NT Jarak 24% 32.00 12.00 Jarak 32% 35.00 6.67 Rataan jarak merah 24.25 9.34 Bintaro 8% 0.00 NT Bintaro 16% 0.00 NT Bintaro 24% 0.00 NT Bintaro 32% 0.00 NT Rataan bintaro 0.00 NT Gadung 10% 26.15 5.71 Gadung 20% 9.09 5.45 Gadung 25% 2.50 0.00 Gadung 30% 5.45 25.00 Rataan gadung 10.80 9.04 Ket. NT tidak dilakukan pengujian Tingkat kejeraan tikus sawah terhadap gadung, paling tinggi pada konsentrasi 10% (26.15%) dan terendah pada konsentrasi 25% (2.5%). Hal tersebut dikarenakan pada konsentrasi 10% serta kontrol blok konsentrasi 0% (20%) pada saat pembuatannya karamel yang diberikan kurang sehingga tidak menarik bagi tikus sawah untuk mengonsumsi blok tersebut. Sedangkan untuk konsentrasi 25% adalah

38 dosis yang paling efektif dan yang paling menarik bagi tikus sehingga tingkat kejeraan rendah. Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap gadung tertinggi pada konsentrasi 30% (25%) dan terendah pada konsentrasi 35% (0%). Hal ini dikarenakan pada konsentrasi 30% dosis yang terkandung di dalamnya tinggi sehingga dapat meningkatkan kecurigaan dan kejeraan tikus rumah tersebut sedangkan untuk konsentrasi 25% sama seperti yang terjadi pada tikus sawah, sehingga tikus rumah juga tidak mengalami kecurigaan dan kejeraan. Tingkat kejeraan tikus rumah tertinggi terhadap jarak merah pada konsentrasi 24% (12%) dan terendah pada konsentrasi 32% (6.67). Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer), Tikus Rumah (R. rattus diardii) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Umpan Dasar Pengujian tingkat kejeraan tidak hanya dilakukan terhadap rodentisida tetapi juga dilakukan terhadap umpan dasar (beras dan gabah) yang diujikan kepada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon. Pengujian dengan metode no-choice (tanpa pilihan). Hasil yang didapatkan adalah persentase kejeraan yang disajikan pada Tabel 9. Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap umpan beras sebesar 7.15% dan pada gabah sebesar 0%. Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap umpan beras sebesar 3.55% dan pada gabah sebesar 0%. Hal tersebut disebabkan oleh tikus sawah yang lebih menyukai gabah dibandingkan beras karena perilaku tikus dalam mengupas kulit biji. Tikus perlu mengerat untuk mengurangi pertumbuhan gigi serinya yang tumbuh menerus (Priyambodo 2003). Di habitat tikus sawah yang sering ditemui adalah gabah, sehingga tikus sawah lebih mengenali gabah dibandingkan beras, maka tikus sawah sama sekali tidak mengalami penundaan konsumsi pada gabah. Menurut Permadi (2009) bentuk beras dan gabah sama tetapi ada sedikit perbedaan dari kulit permukaan dan aroma yang ditimbulkan. Aroma karbohidrat yang terkandung pada gabah lebih menyengat dibandingkan beras. Tikus sawah Subang memiliki tingkat kejeraan yang lebih tinggi terhadap beras dibandingkan

39 dengan tikus sawah Pati. Hal ini menunjukkan bahwa pada beras pun tikus sudah mengalami kejeraan dan penundaan konsumsi, terutama untuk daerah yang sudah banyak dilakukan pengendalian seperti Subang. Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap umpan umpan beras sebesar 0.8% dan pada gabah sebesar 0%. Tikus rumah biasanya lebih menyukai makanan yang berasal dari biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran, daging, ikan, dan telur yang sering ditemui pada habitatnya dari pada beras. Tikus rumah yang diujikan tidak memiliki tingkat kejeraan yang besar untuk beras dan gabah karena jika tidak menemukan umpan yang disebutkan di atas, tikus rumah akan memakan umpan atau pakan apa saja yang ada, seperti beras dan gabah. Tikus rumah uji tersebut sering menemukan beras dan gabah pada habitatnya sehingga sudah tidak mengalami kecurigaan. Tikus rumah hampir tidak mengalami penundaan konsumsi terhadap beras dan sama sekali tidak mengalami penundaan konsumsi terhadap gabah. Tabel 9 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap umpan Perlakuan Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Subang Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor Tikus pohon Bogor Beras seng fosfida 1 3.64 NT NT NT Beras seng fosfida 2 5.45 NT NT NT Beras seng fosfida 3 NT 1.67 NT NT Beras seng fosfida 4 NT 0.00 NT NT Beras kumatetralil 1 NT 10.00 NT NT Beras kumatetralil 2 NT NT NT 0.00 Beras bromadiolon 1 3.64 NT NT NT Beras bromadiolon 2 0.00 NT NT NT Beras bromadiolon 3 NT NT 0.00 NT dan 4 Beras brodifakum 1 NT NT NT 4.00 dan 2 Beras brodifakum 3 18.18 NT NT NT Beras brodifakum 4 2.00 NT NT 0.00 dan 5 Beras brodifakum 6 NT NT 2.00 NT Beras brodifakum 10 NT NT 2.00 NT Gabah brodifakum 11 dan 12 NT NT NT 2.00

40 Beras brodifakum 11 NT NT NT 0.00 dan 12 Beras brodifakum 13 NT 0.00 NT NT dan 14 Gabah brodifakum 13 NT 0.00 NT NT dan 14 Beras brodifakum 16 6.00 NT NT NT Beras brodifakum 17 NT NT NT 0.00 Beras brodifakum 18 20.00 NT NT NT Beras brodifakum NT NT NT 2.86 19,20,21 dan 23 Beras flokumafen 1 NT 4.62 NT 0.00 Beras kumatetralil 3, 5.45 NT 0.00 0.00 brodifakum23, bromadiolon 7 Gabah kumatetralil 3, 0.00 NT 0.00 0.00 brodifakum23, bromadiolon 7 Beras rodentisida NT 5.00 0.00 NT nabati Blok rodentisida NT 20.00 2.00 NT nabati Rataan beras 7.15 3.55 0.80 0.86 Rataan gabah 0.00 0.00 0.00 1.00 Rataan blok NT 20.00 2.00 NT Ket. NT tidak dilakukan pengujian Tikus pohon Bogor memiliki tingkat kejeraan terhadap beras sebesar 0.86% dan gabah sebesar 1%. Tikus pohon memiliki tingkat kejeraan terhadap beras dan gabah yang relatif tinggi, padahal seharusnya untuk umpan dasar tikus tidak mengalami penundaan konsumsi. Hal tersebut karena habitat asli tikus pohon uji (semak belukar) dan menurut masyarakat sekitar tempat pengambilan tikus pohon uji, tikus pohon tersebut mengonsumsi ubi jalar, kacang tanah, dan ubi kayu. Beras dan gabah jarang ditemui oleh tikus pohon tersebut, yang menyebabkan tikus pohon tersebut jera dan curiga terhadap beras dan gabah. Umpan beras juga ada yang dibuat berbentuk blok sebagai kontrol dalam pengujian rodentisida nabati dengan gadung yang diujikan kepada tikus sawah Pati dan tikus rumah Bogor. Tingkat kejeraan tikus sawah Pati sebesar 20%, tingginya nilai kejeraan tersebut dikarenakan pada saat pembuatan blok kontrol kadar karamel

41 hanya sedikit sehingga tikus sawah kurang tertarik untuk memakannya. Pada pengujian terhadap tikus rumah Bogor tingkat kejeraannya sebesar 2% karena pada pengujian kadar karamel sudah ditambah sehingga tikus rumah lebih tertarik untuk mengonsumsinya. Dilakukan pengujian dengan menggunakan ANOVA terhadap umpan dasar beras karena ketersediaan ulangan yang memungkinkan. Perakuan yang digunakan untuk membandingkan adalah tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor. Untuk ulangan yang digunakan adalah dari setiap pengujian terhadap beras yang diujikan. Didapatkan hasil yang tertera pada Tabel 10. Tabel 10 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap beras Perlakuan Tingkat Kejeraan tikus sawah Subang 7.15 aa tikus sawah Pati 3.55 aba tikus pohon Bogor 0.86 ba tikus rumah Bogor 0.80 ba Pr > F 0.0326 Ket. Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α = 5% (huruf kecil) dan taraf α = 1% (huruf besar) Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa menurut uji Duncan α = 5% menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara tikus sawah Subang dengan tikus sawah Pati dan juga berbeda nyata dengan tikus rumah Bogor dan tikus pohon Bogor. Untuk uji Duncan α = 1% antara tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor dan tikus pohon Bogor menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. PERBANDINGAN TINGKAT KEJERAAN TIKUS ANTARA RODENTISIDA DAN UMPAN Setelah dilakukan perhitungan tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon dari setiap bahan aktif dan umpan dasar maka dilakukan perbandingan pada setiap bahan aktif dan umpan dasar tersebut. Hasil dari perbandingan tingkat kejeraan tikus antar rodentisida dan umpan terdapat pada Tabel 11.

42 Tikus sawah Subang menunjukkan tingkat kejeraan terhadap rodentisida yang tertinggi pada kumatetralil (26.39%) dan terendah pada bromadiolon (13.11%). Hal tersebut dikarenakan bromadiolon sudah lebih banyak diaplikasikan di lapang dari pada kumatetralil, sehingga tikus sawah tersebut lebih mengenali bromadiolon, maka tingkat kejeraannya lebih rendah. Untuk kontrol, kejeraan terendah pada gabah sebesar 0% karena tikus sawah paling menyukai gabah. Tabel 11` Rata-rata persentase kejeraan tikus terhadap rodentisida dan umpan Perlakuan Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Subang Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor Tikus pohon Bogor Seng fosfida 13.22 7.03 10.00 NT Kumatetralil 26.39 9.33 NT 3.80 Bromadiolon 13.11 NT 3.31 11.67 Brodifakum 22.62 5.33 4.93 3.78 Flokumafen NT 7.27 NT 2.79 Mahoni NT 20.09 NT NT Jarak NT 24.25 9.34 NT Bintaro NT 0.00 NT NT Gadung NT 10.80 9.04 NT Beras 7.15 3.55 0.80 0.86 Gabah 0.00 0.00 0.00 1.00 Blok NT 20.00 2.00 NT Ket. NT tidak dilakukan pengujian Persentase kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida terbesar pada bahan aktif jarak (24.25%) dan terendah pada bahan aktif bintaro (0%). Hal tersebut dikarenakan bau yang ditimbulkan oleh jarak merah lebih menyengat dari pada bau yang ditimbulkan oleh bintaro dan racun yang lain, sehingga tikus tidak tertarik pada jarak merah dan lebih tertarik pada bintaro, maka tikus tersebut mengalami penundaan konsumsi yang menyebabkan tingkat kejeraannya menjadi tinggi. Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap rodentisida menunjukkan bahwa seng fosfida (10%) memiliki tingkat kejeraan tertinggi dan bromadiolon (3.31%) memiliki tingkat kejeraan terendah. Hal ini disebabkan oleh seng fosfida merupakan rodentisida akut sehingga jika diaplikasikan di lapang dapat menyebabkan tingkat kejeraan tikus yang lebih tinggi. Selain itu seng fosfida menimbulkan bau yang

43 menyengat. Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor bahwa dari 16 responden ada 7 orang yang pengendaliannya menggunakan rodentisida dan 2 diantaranya menggunakan bromadiolon dan 1 menggunakan seng fosfida, sehingga tikus lebih banyak menemui bromadiolon dibandingkan seng fosfida yang menyebabkan tikus lebih mengenali bromadiolon sehingga lebih tidak jera. Untuk tingkat kejeraan umpan terendah pada gabah sebesar 0%. Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida bromadiolon (11.67%) menunjukkan persentase kejeraan tertinggi dan flokumafen (2.79%) mrnunjukkan persentase kejeraan terendah. Hal tersebut disebabkan oleh habitat asli tikus pohon yang berada di semak belukar, selain itu flokumafen mempunyai aroma khas yang bisa menarik tikus pohon tersebut untuk mengonsumsinya sehingga tingkat kejeraan tikus pohon lebih rendah terhadap flokumafen dibandingkan bromadiolon. Untuk tingkat kejeraan tikus pohon terhadap umpan terendah pada beras (0.86%) karena tikus pohon tersebut mengalami penundaan konsumsi. PEMBAHASAN UMUM Setelah dilihat secara keseluruhan maka tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida mulai dari yang tertinggi hingga terendah adalah tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, tikus pohon Bogor. Hal tersebut dikarenakan tikus sawah mempunyai tingkat kepekaan dan kejeraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua jenis tikus yang diujikan yaitu tikus rumah dan tikus pohon. Tikus sawah Subang memiliki tingkat kejeraan lebih tinggi dari pada tikus sawah Pati karena berdasarkan hasil wawancara terhadap petani melalui kuesioner didapatkan hasil bahwa petani di Kabupaten Subang melakukan pengendalian yang sangat intensif terhadap tikus sawah yaitu mengadakan gropyokan dan pengemposan setiap minggu sehingga tikus sawah tersebut mengalami tekanan oleh manusia yang menyebabkan perilaku tikus mudah curiga, sehingga tingkat kejeraan tikus tersebut terus meningkat. Setelah penggunaan TBS (Trap Barrier System) berjalan dengan

44 baik maka tingkat kejeraan tikus sawah Subang sedikit demi sedikit berkurang, karena sistem tersebut adalah gabungan pengendalian secara kultur teknis dan mekanis. TBS atau sistem barier plastik dan bubu perangkap merupakan salah satu teknik pengendalian tikus sawah yang telah terbukti efektif menangkap tikus dalam jumlah banyak dan terus menerus dari awal tanam sampai panen. Pola pertanaman yang digunakan di Subang adalah padi-padi-bera yang disebabkan lingkungan yang tidak mendukung. Kebutuhan air akan kurang jika ditanam komoditas lain atau dilakukan rotasi tanaman. Kelebihannya adalah dapat memutus siklus hidup tikus sawah karena pada saat bera tidak tersedia makanan untuk tikus sawah yang menyebabkan populasi menjadi turun. Tikus sawah yang berasal dari Kabupaten Pati tidak memiliki tingkat kejeraan setinggi tikus sawah dari Kabupaten Subang, karena tikus sawah Pati belum banyak dilakukan pengendalian. Dengan demikian tikus tersebut belum banyak mengalami tekanan oleh manusia yang menyebabkan kejeraan, demikian juga dengan kecurigaan tikus yang tidak terlalu besar. Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Pati pengendalian yang paling efektif untuk dilakukan adalah dengan setrum yaitu mengelilingi sawah tersebut dengan kabel yang diberi aliran listrik. Hal ini dilakukan setiap malam, sehingga jika tikus keluar dari lubang, maka akan langsung mati karena terkena aliran listrik tersebut. Petani di Kabupaten Pati menggunakan pola tanam dengan rotasi tanaman, yaitu padi-padi-palawija. Palawija yang biasa digunakan adalah kacang hijau. Dengan adanya rotasi tanaman maka akan membuat populasi tikus tersebut selalu ada, karena dalam setahun selalu tersedia makanan, walaupun itu palawija. Jika tidak ada makanan utama, tikus akan menyesuaikan diri untuk mengonsumsi pakan yang tersedia di lapang. Tikus rumah merupakan hama pengganggu di permukiman. Tikus rumah yang digunakan dalam pengujian ini diambil dari daerah masyarakat pedesaan, dimana pengendalian tidak banyak dilakukan. Dari 16 responden yang ada, pengendalian yang mereka lakukan adalah dengan lem tikus (3 orang), rodentisida (7 orang), perangkap hidup (16 orang), proofing (1 orang), dan pukul langsung (5 orang). Menurut mereka, kehadiran tikus rumah hanya sedikit mengganggu dan kerugian

45 yang ditimbulkan tidak besar, sehingga pengendalian yang dilakukan tidak terlalu intensif. Dengan demikian mengakibatkan tingkat kejeraan serta kecurigaan tikus rumah yang tidak terlalu besar. Hasil tersebut akan berbeda jika tikus rumah uji tersebut diambil dari hotel, perkantoran, dan perumahan di perkotaan. Di tempat tempat tersebut pengendalian yang dilakukan sangat intensif dengan menggunakan jasa pest control yang dapat meningkatkan kecurigaan dan kejeraan tikus. Menurut masyarakat perkotaan kehadiran tikus rumah yang berada di tempat tersebut sangat mengganggu dan menimbulkan kerugian yang besar. Tikus pohon adalah tikus yang hidup pada habitat semak belukar diantara pohon pohon yang berada di perkebunan. Tikus pohon uji yang diambil dari Bogor pada umumnya berada di habitat pohon bambu. Menurut masyarakat yang mempunyai perkebunan di sekitar habitat tersebut, tikus pohon sama sekali tidak merugikan karena tidak merusak dan tidak menganggu, sehingga keberadaan tikus tersebut tidak menjadi perhatian khusus bagi masyarakat sekitar. Pengendalian terhadap tikus pohon tidak pernah dilakukan. Mereka mengetahui bahwa tikus tersebut ada di rumpun bambu, jika lubang tikus tersebut ada bekas jejak kaki tikus dan lubang tersebut tidak ada sarang laba-labanya, tetapi hanya dibiarkan saja. Semua itu membuat tikus pohon hampir tidak memiliki kecurigaan dan kejeraan. Sama seperti tikus rumah, hasil ini juga akan berbeda jika tikus pohon uji tersebut diambil dari habitat kelapa sawit. Pada habitat kelapa sawit, tikus pohon merupakan hama yang sangat penting, karena mengerat tajuk dan buah dari kelapa sawit. Dengan demikian pengendalian yang dilakukan menjadi sangat intensif, yang dapat menimbulkan tingkat kejeraan dan kecurigaan tikus tersebut menjadi tinggi.