HIGIENE DAN SANITASI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN KURBAN DI WILAYAH DKI JAKARTA THERESIA AURENSIA AURORA

dokumen-dokumen yang mirip
KONDISI SANITASI PERALATAN DAN TEMPAT PEMOTONGAN SERTA TINGKAT KONTAMINASI MIKROB DALAM DAGING KURBAN DI DKI JAKARTA RIMADINAR AZWARINI

TINJAUAN PUSTAKA Kepentingan Higiene dan Sanitasi

I. PENDAHULUAN. diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa Mikroorganisme

ANALISIS DATA TENTANG ASPEK SANITASI PENYEMBELIHAN SAPI KURBAN DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2015

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Seleksi dan Penyembelihan Hewan Qurban yang Halal dan Baik. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI

EVALUASI PELAKSANAAN GOOD SLAUGHTERING PRACTICES DAN STANDARD SANITATION OPERATING PROCEDURE DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN KELAS C SKRIPSI DIANASTHA

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

Mutu karkas dan daging ayam

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan kepada manusia melalui makanan (Suardana dan Swacita, 2009).

TINJAUAN PUSTAKA. Pemerintah, 2004). Sumber pangan yang berasal dari sumber nabati ataupun

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL )

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kajian ilmiah terhadap kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang

ANALISIS COLIFORM PADA MINUMAN ES DAWET YANG DIJUAL DI MALIOBORO YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

BAB I PENDAHULUAN. dan/atau kegiatan wajib melakukan pengolahan limbah hasil usaha dan/atau

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Coliform adalah bakteri gram negatif berbentuk batang bersifat anaerob

PEMOTONGAN HEWAN HARI RAYA IDUL ADHA (QURBAN)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan keberhasilan program sanitasi makanan dan minuman

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

UJI MPN BAKTERI ESCHERICHIA COLI PADA AIR SUMUR BERDASARKAN PERBEDAAN KONSTRUKSI SUMUR DI WILAYAH NAGRAK KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

TINJAUAN PUSTAKA. melindungi kebersihan tangan. Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara

ABSTRAK KUALITAS DAN PROFIL MIKROBA DAGING SAPI LOKAL DAN IMPOR DI DILI-TIMOR LESTE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. Air dalam keadaan murni merupakan cairan yang tidak berwarna, tidak

DETEKSI BAKTERI GRAM NEGATIF (Salmonella sp., Escherichia coli, dan Koliform) PADA SUSU BUBUK SKIM IMPOR DINY MALTA WIDYASTIKA

UJI BAKTERIOLOGI AIR BAKU DAN AIR SIAP KONSUMSI DARI PDAM SURAKARTA DITINJAU DARI JUMLAH BAKTERI Coliform

MENERAPKAN HIGIENE SANITASI

Studi Sanitasi Dan Pemeriksaan Angka Kuman Pada Usapan Peralatan Makan Di Rumah Makan Kompleks Pasar Sentral Kota Gorontalo Tahun 2012

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kota Gorontalo merupakan salah satu wilayah yang ada di Provinsi Gorontalo,

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. bersih, cakupan pemenuhan air bersih bagi masyarakat baik di desa maupun

I. PENDAHULUAN. sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari

Keberadaan mikroorganisme patogen pada makanan umumnya tidak menyebabkan perubahan fisik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kota Gorontalo merupakan salah satu wilayah dari provinsi Gorontalo yang

TINJAUAN PUSTAKA. 18,20 Lemak (g) 25,00 Kalsium (mg) 14,00 Fosfor (mg) 200,00 Besi (mg) 1,50 Vitamin B1 (mg) 0,08 Air (g) 55,90 Kalori (kkal)

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

BAB I PENDAHULUAN. disebut molekul. Setiap tetes air yang terkandung di dalamnya bermilyar-milyar

KONDISI SUMUR GALI dan KANDUNGAN BAKTERI Escherichia coli PADA AIR SUMUR GALI DI DESA BOKONUSAN KECAMATAN SEMAU KABUPATEN KUPANG TAHUN 2017

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

BAB I PENDAHULUAN. atau hambatan, antara lain dalam bentuk pencemaran. Rumus kimia air

SIFAT KIMIA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA DAN SIFAT MIKROBIOLOGISNYA SELAMA PENYIMPANAN

HUBUNGAN HIGIENE SANITASI DENGAN KEBERADAAN BAKTERI Eschericia coli PADA JAJANAN ES KELAPA MUDA (SUATU PENELITIAN DI KOTA GORONTALO TAHUN 2013)

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi alternatif makanan dan minuman sehari-hari dan banyak dikonsumsi

sikap food Selain itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)**

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deteksi Salmonella sp pada Daging Sapi dan Ayam

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

EVALUASI JUMLAH BAKTERI KELOMPOK KOLIFORM PADA SUSU SAPI PERAH DI TPS CIMANGGUNG TANDANGSARI

TINJAUAN PUSTAKA. xvii

Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang)

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA

REGULASI PEMERINTAH TERHADAP RANTAI PASOK DAGING SAPI BEKU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

I. PENDAHULUAN. Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikarenakan agar mudah mengambil air untuk keperluan sehari-hari. Seiring

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. yang berada di Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo. Kelurahan ini memiliki luas

Ikan segar - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu enterohaemorrhagic

Transkripsi:

HIGIENE DAN SANITASI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN KURBAN DI WILAYAH DKI JAKARTA THERESIA AURENSIA AURORA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Higiene dan Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban di Wilayah DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Nopember 2014 Theresia Aurensia Aurora NIM B04090044

ABSTRAK THERESIA AURENSIA AURORA. Higiene dan Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban di Wilayah DKI Jakarta. Dibimbing oleh ABDUL ZAHID ILYAS. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran mengenai kondisi higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban, gambaran tingkat kontaminasi mikroba pada daging hewan kurban serta melihat hubungan antara praktik higiene dan sanitasi terhadap kontaminasi mikroba pada daging hewan kurban. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder hasil pemeriksaan kesehatan hewan dan daging hewan kurban yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) bekerjasama dengan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner DKI Jakarta (Lab. Kesmavet DKI Jakarta). Responden berasal dari 46 tempat pemotongan hewan kurban di seluruh DKI Jakarta. Uji khi-kuadrat digunakan untuk mengetahui hubungan antara praktik higiene dan sanitasi tempat pemotongan terhadap kontaminasi mikroba dalam daging kurban. Hasil penelitian menunjukkan seluruh variabel tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap jumlah total mikroorganisme dan keberadaan E. coli pada daging (P value > 0.05). Kata kunci: daging, Escherichia coli, higiene, jumlah total sanitasi, tempat pemotongan hewan kurban mikroorganisme, ABSTRACT THERESIA AURENSIA AURORA. Hygiene and Sanitation at Slaughter Location during Idul Adha Festival in DKI Jakarta. Supervised by ABDUL ZAHID ILYAS. The research was conducted to observe the hygiene and sanitation at slaughter location during Idul Adha festival in DKI Jakarta, microbial impurities rates in meat, and relation between hygiene and sanitation practices to microbial impurities rates in meat. The data that were used in this study was a secondary data from sacrifice animal health examination which have been done by Veterinary Medicine Faculty of Bogor Agriculture University in collaboration with Veterinary Public Health Laboratory in DKI Jakarta. Respondens were taken from 46 slaughtering locations in DKI Jakarta. Chi-square test was used to know the relation between hygiene and sanitation practices to microbial impurities rates in meat. The result showed that all variable was not given significant correlation against the total number of total microorganism and the presence of E. coli in meat (P value > 0.05). Keywords: Escherichia coli, hygiene-sanitation, slaughter location during Idul Adha festival, meat, number of total microorganism

HIGIENE DAN SANITASI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN KURBAN DI WILAYAH DKI JAKARTA THERESIA AURENSIA AURORA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Judul Skripsi :Higiene dan Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban di Wilayah DKI Jakarta Nama : Theresia Aurensia Aurora NIM : B04090044 Disetujui oleh Drh Abdul Zahid Ilyas, MSi Pembimbing Diketahui oleh Drh Agus Setiyono, MS Ph.D APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala karunia- Nya sehingga sehingga skripsi dengan judul Higiene dan Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban di Wilayah DKI Jakarta dapat diselesaikan. Terimakasih Penulis sampaikan kepada bapak Drh Abdul Zahid Ilyas, MSi selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Tidak lupa juga Penulis menyampaikan terimakasih kepada bapak Prof Dr Drh Iman Supriatna, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada Penulis. Penulis juga berterima kasih kepada Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta yang telah membantu dalam penelitian ini. Terima kasih kepada papa, mama, kakak-kakak Vicky Dion Malfrico, Ronaldo Jesen, Liefka Marisca Marioline, keponakan tersayang Kirsten Bianca Livinlove serta keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih sayang yang telah diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih Penulis ucapkan kepada sahabatsahabat Qogals Family atas doa dan dukungannya serta Geochelone angkatan 46 atas kerjasama dan kebersamaannya selama menempuh pendidikan hingga selesainya skripsi ini. Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu Penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Nopember 2014 Theresia Aurensia Aurora

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Mikroba Pencemar Daging 2 Jumlah Total Mikroorganisme 3 Escherichia coli 3 Penerapan Praktik Higiene dan Sanitasi 4 METODE PENELITIAN 4 Sumber Data 4 Besaran dan Jenis Sampel 4 Variabel yang Diamati dan Pengodean 5 Analisis Data 8 HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Kondisi Higiene Tempat Pemotongan Hewan Kurban 8 Kondisi Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban 9 Jumlah Total Mikroorganisme dan Escherichia coli pada Daging Hewan Kurban Dibandingkan SNI 01-7388-2009 11 Hubungan antara Higiene Tempat Pemotongan Hewan Kurban terhadap Jumlah Total Mikroorganisme dan Escherichia coli pada Daging Kurban 12 Hubungan antara Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban terhadap Jumlah Total Mikroorganisme dan Escherichia coli pada Daging Kurban 14 SIMPULAN DAN SARAN 17 Simpulan 17 Saran 17 DAFTAR PUSTAKA 17 LAMPIRAN 20 RIWAYAT HIDUP 25 vi vi

DAFTAR TABEL 1 Besaran dan jenis sampel untuk setiap wilayah di DKI Jakarta pada tahun 2011 dan 2012 5 2 Definisi operasional 5 3 Kategori pengukuran higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban 8 4 Kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban 8 5 Kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban 10 6 Persentase jumlah total mikroorganisme dan E. coli dalam daging kurban dibandingkan SNI 01-7388-2009 12 7 Hubungan antara kondisi higiene dan keberadaan jumlah total mikroorganisme pada daging kurban 13 8 Hubungan antara kondisi higiene dan keberadaan E. coli pada daging kurban 14 9 Hubungan antara kondisi sanitasi terhadap keberadaan jumlah total mikroorganisme pada daging kurban 15 10 Hubungan antara kondisi sanitasi terhadap keberadaan E. coli dalam daging kurban 16 DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner Pemeriksaan Tata Laksana Pemotongan Hewan Kurban Idul Adha 1434 H/2013 M 20

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban merupakan hari suci keagamaan bagi umat Islam yang dirayakan setiap tahun. Salah satu kegiatan rutin yang dilakukan pada hari raya tersebut adalah pemotongan hewan kurban. Penerapan prinsip halalan-thoyyiban merupakan hal penting dalam pelaksanaan penanganan dan pemotongan hewan kurban. Prinsip thoyyiban dalam pemotongan hewan kurban adalah menangani hewan secara baik dan benar sebelum (antemortem) dan saat pemotongan dengan memperhatikan aspek kesejahteraan hewan (postmortem). Mengingat jumlah hewan yang dipotong sangat banyak dan dilakukan secara serempak, kegiatan ini seringkali terkendala oleh keterbatasan fasilitas dan sumber daya manusia yang terampil. Namun demikian, hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan prinsip halalan-thoyyiban dalam penanganan dan penyembelihan hewan kurban. Sebagian besar pelaksanaan kegiatan pemotongan hewan kurban hingga saat ini dilakukan oleh masyarakat di luar rumah potong hewan (RPH), seperti di halaman masjid, lapangan perkantoran swasta atau pemerintah dan umumnya berada ditengah pemukiman penduduk (Purwanti 2006). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berisikan semua hewan berkaki empat harus dipotong di RPH, kecuali untuk upacara adat, hari besar keagamaan dan pemotongan darurat dengan catatan masih di bawah pengawasan pemerintah daerah. Seluruh kegiatan tersebut seharusnya dibawah pengawasan dokter hewan atau petugas kesehatan yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang. Dalam pelaksanaan penyembelihan hewan kurban, petugas pengawas hanya bertanggungjawab dalam hal kesehatan hewan kurban sehingga diharapkan daging hewan kurban yang dihasilkan bebas dari penyakit hewan menular dan zoonosis. Panitia pemotongan hewan kurban kadang hanya memfokuskan pada tata cara penyembelihan halal saja untuk mendapatkan daging yang halal, sedangkan aspek higiene dan sanitasi cenderung terlupakan. Pada saat penanganan daging, peranan petugas kesehatan sangat kecil mengingat relatif banyak panitia yang terlibat dalam pemotongan dan penanganan daging tetapi harus selalu dilakukan untuk menghasilkan daging yang aman. Hal ini memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba pada daging hewan kurban melebihi Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7388-2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan (Badan Standardisasi Nasional 2009). Selain itu, terbatasnya sarana dan prasarana serta pengetahuan aspek higiene dan sanitasi panitia penyembelih hewan kurban juga dapat menjadi penyebabnya. Daging merupakan sumber nutrisi yang sangat berguna bagi manusia, tetapi berguna juga untuk kelangsungan hidup mikroba. Mikroba yang biasa disebut juga mikroorganisme terdapat dimana-mana di sekeliling kita, maka dengan dilakukannya penyembelihan hewan di luar RPH dengan sarana dan prasarana serta penanganan seadanya dapat menimbulkan kontaminasi mikroba yang tinggi pada daging yang dihasilkan.

2 Kontaminasi mikroba pada daging dapat menyebabkan kerusakan pada daging berupa perubahan fisik maupun kimiawi, sehingga daging tersebut dianggap tidak layak dikonsumsi. Selain kerusakan pada daging, kontaminasi mikroba juga berpotensi dapat menimbulkan penyakit bagi manusia yang mengkonsumsinya. Dalam rangka penyediaan daging hewan kurban yang memenuhi persyaratan halalan-thoyyiban, maka perlu penerapan konsep halal serta praktik higiene dan sanitasi dalam penyediaan daging kurban tersebut. Hal ini perlu agar daging yang dikonsumsi tetap terjamin kehalalan, keamanan dan kesehatannya (DKMV 2005). Kebijakan teknis mengenai higiene dan sanitasi di Indonesia untuk daging kurban harus memenuhi ketentuan aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Daging yang aman berarti tidak mengandung bahan berbahaya (biologis, kimia dan fisik) yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Daging kurban harus berasal dari hewan yang sehat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Daging yang utuh dan halal berarti terjaga kemurniannya dan diproduksi dengan syariat agama Islam. Produk pangan asal hewan yang sehat berasal dari hewan yang sehat dan sejahtera (kesejahteraan hewan). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran mengenai kondisi higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban, gambaran tingkat kontaminasi mikroba dalam daging hewan kurban serta melihat hubungan antara higiene dan sanitasi terhadap kontaminasi mikroba. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah mampu memberikan informasi mengenai kondisi higiene dan sanitasi dalam proses pemotongan hewan dan penanganan daging di tempat pemotongan hewan kurban pada saat hari raya kurban. TINJAUAN PUSTAKA Mikroba Pencemar Daging Mikroba yang merusak daging dapat berasal dari hewan yang terinfeksi pada saat masih hidup serta kontaminasi daging setelah penyembelihan. Kontaminasi permukaan daging dapat terjadi sejak saat penyembelihan hewan hingga daging dikonsumsi (Soeparno 1998). Sumber kontaminasi di RPH dapat berasal dari tanah setempat, kulit, isi saluran pencernaan, air, alat-alat yang digunakan selama proses mempersiapkan daging (misalnya pisau, gergaji, katrol dan pengait, serta alat-alat tempat jeroan), kotoran, udara dan pekerja (Hansson 2001). Mikroba yang berasal dari saluran

pencernaan dapat mencapai 1 10 3 cfu/g sampai 1 10 11 cfu/g isi intestinal (Lukman 2001). Kontaminasi feses terhadap karkas dapat menyebabkan kontaminasi bakteri patogen seperti Salmonella, Campylobacter, Yersinia dan E. coli (Hannson 2001). Bakteri patogen juga dapat mencemari daging yang berasal dari hewan yang pada saat disembelih dalam kondisi stress. Daging dapat terkontaminasi bakteri patogen pada saat pencucian dan apabila berkembang sejalan dengan pertumbuhannya dapat menjadikan daging tersebut sebagai makanan yang beresiko (Samelis et al. 2001). 3 Jumlah Total Mikroorganisme Pengujian jumlah total mikroorganisme atau Total Plate Count (TPC) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah total mikroba dalam daging. Metode TPC merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam analisa karena koloni dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Menurut BSN (2009), prinsip pengujian TPC adalah menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk dengan cara menghitung koloni bakteri yang biasanya ditumbuhkan pada plate count agar (PCA). Tidak semua mikroorganisme dapat tumbuh pada media agar dan kondisi inkubasi yang diterapkan. Jumlah mikroorganisme yang tumbuh membentuk koloni hanya berasal dari mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi yang ditetapkan (misalnya jenis media, ketersediaan oksigen, suhu, dan lama inkubasi). Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit (cfu) per gram atau per ml atau luasan tertentu dari contoh (cm²) (Lukman 2009). Dalam SNI 01-7388-2009 telah ditetapkan maksimum jumlah TPC dalam daging adalah 1 10 6 cfu/g (BSN 2009). Escherichia coli Escherichia coli diklasifikasikan ke dalam famili Enterobacteriaceae (Jay 1997). E. coli adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang, dalam jumlah banyak menempati usus besar hewan dan merupakan bakteri komensal dalam saluran pencernaan. Dalam SNI 01-7388-2009 telah ditetapkan maksimum jumlah E.coli dalam daging adalah 1 10 1 cfu/g (BSN 2009). Menurut Manning (2010) galur E. coli yang termasuk golongan patogen dan berdasarkan sifat virulensi dan mekanisme kerjanya yaitu Enteropathogenic E. coli (EPEC), Enterotoxigenic E. Coli (ETEC), Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC), Enteroinvasive E. coli (EIEC), dan Enteroadherent E. Coli (EAEC). Sumber utama infeksi yang terjadi pada manusia adalah makanan, seperti daging giling, susu yang tidak dipasteurisasi, dan bahan lainnya yang telah mengalami kontaminasi silang oleh Shiga Toxin E. coli (STEC) (Karmali 2003). Adapun cara pencemarannya adalah melalui tangan, proses eviserasi, pencemaran tidak langsung melalui polusi air, dan pengemasan produk (Forsythe 2000). Penyakit yang disebabkan E. coli antara lain infeksi saluran kemih, diare, sepsis, dan meningitis.

4 Penerapan Praktik Higiene dan Sanitasi Higiene adalah seluruh kondisi atau tindakan untuk meningkatkan kesehatan (Deptan 2012). Higiene dapat didefinisikan sebagai semua kondisi dan tindakan utuk menjamin keamanan dan kelayakan daging pada semua tahap dalam rantai makanan. Kepentingan penerapan higiene dalam rantai makanan adalah (a) melindungi dan menjaga kesehatan manusia, (b) melindungi dan menjaga kesehatan hewan dan lingkungan, (c) menjamin kebersihan, (d) menghindari kerugian ekonomis, (e) menjaga kesegaran dan keutuhan makanan, serta (f) menghindari ketidakpuasan konsumen. Sanitasi adalah usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan, yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit tersebut (Deptan 2012). Tujuan sanitasi di tempat pemotongan hewan kurban adalah mencegah pencemaran lingkungan disekitar tempat penyembelihan hewan agar diperoleh daging higienis dan sehat (Sudarwanto 2004). Menurut Dewanti (2003) bakteri indikator sanitasi adalah bakteri yang keberadaannya dalam pangan menunjukkan bahwa air atau makanan tersebut terkontaminasi oleh kotoran hewan atau manusia. Bakteri indikator sanitasi pada umumnya adalah bakteri yang lazim terdapat dan hidup pada usus manusia. Jadi adanya bakteri tersebut pada air atau makanan menunjukkan bahwa dalam satu atau lebih tahap pengolahan air atau makanan pernah dicemari dengan kotoran yang berasal dari usus manusia dan hewan. Saat ini ada tiga jenis bakteri yang digunakan untuk menunjukkan adanya masalah sanitasi, yaitu Escherichia coli, kelompok Streptococcus (Enterococcus) fecal dan Clostridium perfringens. METODE PENELITIAN Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder hasil pemeriksaan kesehatan hewan dan daging hewan kurban yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Data terdiri atas data higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban dan data kualitas mikrobiologik. Data higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioneryang dirancang oleh FKH- IPB, adapun data kualitas mikrobiologik daging hewan kurban diperoleh dari hasil uji Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner DKI Jakarta (Lab. Kesmavet DKI Jakarta). Besaran dan Jenis Sampel Besaran dan jenis sampel untuk setiap wilayah di DKI Jakarta pada tahun 2011 dan 2012 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Besaran dan jenis sampel untuk setiap wilayah di DKI Jakarta pada tahun 2011 dan 2012 Tahun Wilayah Jumlah responden Jumlah sampel Jumlah sampel daging sapi daging kambing 2011 Jakarta Utara 2 12 3 Jakarta Selatan 2 14 16 Jakarta Pusat 6 13 13 Jakarta Timur 9 43 37 Jakarta Barat 5 30 36 Subtotal 24 112 105 2012 Jakarta Utara 4 30 20 Jakarta Selatan 6 43 36 Jakarta Pusat 2 10 8 Jakarta Timur 3 14 16 Jakarta Barat 7 36 27 Subtotal 22 133 107 Total 46 245 212 Pemeriksaan kesehatan hewan dan daging kurban dilaksanakan didki Jakarta meliputi wilayah Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat. Sampel daging yang digunakan merupakan daging sapi dan kambing. 5 Variabel yang Diamati dan Pengodean Variabel yang diamati meliputi higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban serta kualitas mikrobiologik pada daging hewan kurban. Variabel yang termasuk higiene tempat pemotongan hewan kurban meliputi penanganan karkas, pelaksanaan pemotongan, penanganan jeroan, serta pengemasan daging dan jeroan. Variabel yang termasuk sanitasi tempat pemotongan hewan kurban meliputi lantai atau alas, sumber air, ketersediaan air, pembuangan darah serta pembuangan isi perut dan usus. Variabel yang termasuk dalam kualitas mikrobiologik meliputi jumlah total mikroorganisme dan E. coli. Definisi operasional setiap variabel disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Definisi operasional No Peubah Definisi operasional Alat ukur Cara mengukur Skala ukur A. Higiene Tempat Pemotongan Hewan Kurban 1 Penanganan karkas Kuesioner Pengerjaan karkas setelah dipotong (1= buruk, 2= sedang, 3= baik) Dengan melakukan observasi di tempat pemotongan hewan Ordinal 1=Langsung di atas tanah tanpa alas 2=Di atas alas 3=Digantung

6 No Peubah Definisi operasional Alat ukur Cara mengukur Skala ukur 2 Pelaksanaan Kuesioner pemotongan Tempat untuk melaksanakan pemotongan daging/karkas (1= buruk, 3= baik) Dengan melakukan observasi di tempat pemotongan daging/karkas Ordinal 1=Di atas tanah beralas plastik/ daun 3=Dilakukan di meja khusus 3 Penanganan jeroan 4 Pengemasan 5 Kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban Jeroan yang telah dibersihkan ditangani ditempat yang sama dengan pemotongan daging (dicampur). (1= buruk, 3= baik) Cara pengemasan daging dan jeroan yang siap dibagikan (1= buruk, 3= baik) Gambaran keseluruhan mengenai kondisi higiene tempat Kuesioner Kuesioner Kuesioner Dengan melakukan observasi di tempat pemotongan daging/karkas Dengan melakukan observasi di tempat pemotongan daging/karkas Melakukan penjumlahan semua skor jawaban pada setiap pertanyaan B. Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban 1 Lantai/alas Lantai/alas tempat penyembelihan (1= buruk, 2= sedang, 3= baik) Kuesioner Dengan melakukan observasi di tempat pemotongan hewan kurban 2 Sumber air Sumber air di tempat penampungan (1= buruk, 3 Ketersediaan air 2= sedang, 3= baik) Ketersediaan air selama penampungan dan proses penyembelihan (1= buruk, 3= baik) Kuesioner Kuesioner Dengan melakukan observasi di tempat penampungan Dengan melakukan observasi di tempat penampungan Ordinal 1= Ya 3= Tidak Ordinal 1=Dilakukan dalam satu kemasan 3=Dilakukan dalam kemasan terpisah Total skor 4= Buruk Total skor 5 x 8= Sedang Total skor 9= Baik Ordinal 1=Rumput, tanah 2= Semen 3=Ubin/ keramik Ordinal 1= Sungai 2= Sumur 3= PAM Ordinal 1=Tidak cukup 3= Cukup

7 No Peubah Definisi operasional Alat ukur Cara mengukur Skala ukur 4 Pembuangan Kuesioner darah 5 Pembuangan isi perut dan usus Tempat pembuangan darah (1= buruk, 2= sedang, 3= baik) Tempat pembuanganisi perut dan usus (1= buruk, 2= sedang, 3= baik) Kuesioner Dengan melakukan observasi di tempat pemotongan hewan kurban Dengan melakukan observasi di tempat pemotongan hewan kurban Ordinal 1=Langsung di atas tanah 2=Selokan, parit/sungai 3=Lubang khusus yang digali kemudian ditutup kembali Ordinal 1=Selokan, parit/ sungai 2=Tempat pembuangan sampah 3=Lubang khusus yang digali kemudian ditutup kembali 6 Kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban Gambaran keseluruhan mengenai kondisi sanitasi tempat Kuesioner Melakukan penjumlahan semua skor jawaban pada setiap pertanyaan Total skor 5= Buruk Total skor 6 x 10= Sedang Total skor 11= Baik C. Kualitas Mikrobiologik 1 Jumlah total mikroorganisme Pengujian untuk menunjukkan jumlah mikrob yang terdapat dalam suatu produk dengan menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar 2 Escherichia coli Pengujian untuk memperkirakan jumlah sel mikroorganisme dalam suatu pangan Uji Lab. Uji Lab. Pengujian dengan menggunakan metode hitungan cawan dengan media Plate Count Agar (PCA). Pengujian dengan menggunakan metode hitungan cawan dengan media Violet Red Bile (VRB). Ordinal 1=Dibawah ambang batas SNI 2=Diatas ambang batas SNI Ordinal 1=Di bawah ambang batas SNI 2=Di atas ambang batas SNI Pengukuran higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban dibagi dalam tiga kategori yaitu baik, sedang, dan buruk. Adapun untuk mengetahui kriteria baik, sedang, dan buruk diperoleh melalui penjumlahan semua skor jawaban pada setiap pertanyaan. Skor jawaban minimum pada higiene tempat pemotongan hewan kurban bernilai 4 dan maksimum bernilai 12, sedangkan pada sanitasi tempat pemotongan hewan kurban minimum bernilai 5 dan maksimum bernilai 15. Kriteria pengukuran higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban disajikan dalam Tabel 3.

8 Tabel 3 Kategori pengukuran higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban Kategori Higiene tempat pemotongan hewan kurban Sanitasi tempat pemotongan hewan kurban Baik Total skor: 9 Total skor: 11 Sedang Total skor: 5 x 8 Total skor: 6 x 10 Buruk Total skor: 4 Total skor: 5 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui kondisi higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban serta untuk mengetahui jumlah kontaminasi mikroba dalam daging hewan kurban. Uji khi-kuadrat digunakan untuk mengetahui hubungan antara praktik higiene dan sanitasi tempat pemotongan terhadap jumlah kontaminasi mikroba pada daging hewan kurban di tempat pemotongan hewan kurban. Data dianalisis dengan menggunakan piranti lunak dengan program SPSS 16 dan Microsoft Excel 2007. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Higiene Tempat Pemotongan Hewan Kurban Kepentingan penerapan higiene dalam proses pemotongan hewan kurban adalah melindungi dan menjaga kesehatan manusia, melindungi dan menjaga kesehatan hewan dan lingkungan, menjamin kebersihan, menghindari kerugian ekonomis, menjaga kesegaran dan keutuhan daging serta menghindari ketidakpuasan konsumen. Secara umum higiene perlu juga diterapkan pada tempat, proses dan petugas pemotongan hewan kurban (Lukman 2004). Berikut tersaji pada Tabel 4 data kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban. Tabel 4 Kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban No Peubah Kategori N % 1 Pengerjaan karkas setelah dipotong Digantung 34 73.90 Tidak digantung, diatas alas 11 23.92 Tidak digantung 1 2.18 2 Pelaksanaan pemotongan Meja khusus 12 26.08 Alas plastik/ daun 34 73.92 3 Penanganan jeroan Pisah 34 73.92 Campur 12 26.08 4 Pengemasan Kemasan terpisah 35 76.08 Satu kemasan 11 23.92 5 Higiene Baik 30 65.22 Sedang 15 32.61 Buruk 1 2.17

9 Pada peubah pengerjaan karkas setelah dipotong, mayoritas responden (73.9 %) menerapkan metode karkas digantung setelah dipotong. Menurut Attahmid 2009, penggantungan dilakukan dengan tujuan mempermudah proses pengeluaran darah agar dapat keluar dengan cepat dan sebanyak mungkin. Darah dalam proses penyembelihan harus semaksimal mungkin dikeluarkan dari hewan karena darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Darah yang tersisa dapat menyebabkan penurunan mutu daging serta meningkatkan kemungkinan terjadi kontaminasi mikroba. Selain itu, proses penuntasan pengeluaran darah dengan cara penggantungan karkas dapat meningkatkan masa simpan daging. Pelaksanaan pemotongan daging sebaiknya dilakukan di meja khusus. Penanganan jeroan dilakukan di tempat yang terpisah dengan tempat pemotongan daging, hal serupa dilakukan juga pada proses pengemasan daging serta jeroan. Menurut Harsojo dan Irawati (2011), jeroan merupakan sasaran kontaminasi oleh beberapa mikroba yang mempercepat kerusakan jeroan sehingga tidak layak dikonsumsi. Kondisi jeroan yang lebih banyak mengandung mikroba dibandingkan dengan daging menjadi alasan pemisahan ini harus dilakukan. Plastik/bahan pembungkus untuk mengemas daging sebaiknya berbeda warna dengan plastik yang digunakan untuk mengemas jeroan. Meja khusus untuk pemotongan dan kemasan daging serta jeroan harus bersih dan senantiasa dijaga kebersihannya. Pada Tabel 4, diperoleh hasil bahwa pelaksanaan pemotongan daging yang dilakukan di meja khusus menunjukkan persentase yang rendah yaitu 26.08%. Hasil seperti ini pun terlihat pada kegiatan pemotongan hewan kurban di DKI Jakarta yang dilaporkan FKH IPB pada tahun 2004, pemotongan daging pada umumnya dilaksanakan di atas alas plastik (50.9%), di atas lantai beralaskan plastik (26.9%), di atas papan atau kayu (13.7%), dan di atas meja (8.5%) (Purwanti 2006). Hal ini menunjukkan masih minimnya tempat pemotongan hewan kurban yang melaksanakan pemotongan daging di meja khusus. Namun, untuk proses penanganan jeroan (73.92%) dan pengemasan (76.08%) telah dilakukan terpisah sesuai dengan ketentuan. Proses penanganan dan pengemasan daging yang terpisah dari jeroan dapat mencegah dan memperlambat terjadinya pembusukan pada bahan makanan akibat kontaminasi silang (Asih 2011). Berdasarkan keseluruhan peubah yang diamati pada kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban di DKI Jakarta dapat disimpulkan bahwa sebesar 65.22% memiliki kondisi higiene yang baik. Kondisi Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban Kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban dapat dinilai berdasarkan lantai tempat penyembelihan, sumber air yang digunakan, ketersediaan air, tempat pembuangan darah serta tempat pembuangan isi perut dan usus. Berikut hasil kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban tersaji pada Tabel 5. Salah satu persyaratan sanitasi yang baik adalah lantai terbuat dari bahan kedap air atau beralaskan keramik dengan tujuan agar mudah dibersihkan dan

10 didesinfeksi. Menurut Kusumawati (2005), sebaiknya konstruksi lantai landai ke arah saluran pembuangan, permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, terbuat dari keramik dan jarak antar keramik diatur sedekat mungkin serta celah antar keramik harus ditutup dengan bahan kedap air. Keramik yang digunakan sebaiknya tahan terhadap air, garam, asam, basa dan berwarna putih agar kotoran yang menempel mudah terlihat sehingga mudah. Namun, pada aplikasinya di lapangan hanya sebesar 6.52% tempat pemotongan hewan kurban yang menggunakan lantai terbuat dari keramik. Tabel 5 Kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban No Peubah Kategori N % 1 Lantai Keramik 3 6.52 Semen 23 50.00 Rumput/ tanah 20 43.48 2 Sumber air PAM 19 41.30 Sumur 12 26.10 Sungai 15 32.60 3 Ketersediaan air Cukup 24 52.17 Tidak cukup 22 47.83 4 Tempat pembuangan darah Lubang khusus 28 60.86 Selokan 12 26.10 Tanah 6 13.04 5 Tempat pembuangan isi perut dan usus Lubang khusus 11 23.92 Tempat sampah 12 26.08 Selokan 23 50.00 6 Sanitasi Baik 13 28.26 Sedang 26 56.52 Buruk 7 15.22 Sumber air di tempat pemotongan hewan kurban wilayah DKI Jakarta mayoritas menggunakan sumber air PAM (41.3%). Sumber air merupakan fasilitas utama di tempat pemotongan hewan kurban. Air berperan penting dalam proses pemotongan hewan kurban, terutama dalam proses pencucian peralatan. Sumber air harus memenuhi persyaratan mutu air yang digunakan untuk air minum. Menurut Susiwi 2009, salah satu sumber air yang memenuhi persyaratan mutu air minum adalah air PAM. Apabila menggunakan sumber air selain dari PAM, misalnya dari sumur atau sungai dikhawatirkan dapat memiliki peluang kontaminasi yang lebih besar karena air tersebut tercemar. Pencemaran air yang terjadi menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Selain sumber air yang harus memenuhi persyaratan mutu air, ketersediaan air yang cukup juga turut menunjang sanitasi yang baik di tempat pemotongan hewan kurban. Pada Tabel 5 dapat dilihat ketersediaan air di tempat pemotongan hewan kurban sudah cukup tersedia dengan persentase sebesar 52.17%. Darah, isi perut dan usus, merupakan limbah utama dari pemotongan hewan kurban. Menurut Roihatin dan Rizqi (2007), limbah yang berupa feces,

urine, isi perut, darah afkiran daging atau lemak, dan air cuciannya, dapat bertindak sebagai media pertumbuhan dan perkembangan mikroba sehingga limbah tersebut mudah mengalami pembusukan. Simamora (2004) menyatakan bahwa limbah hasil hewan ternak dapat menimbulkan permasalahan, antara lain, seperti polusi tanah, air, dan udara. Hal ini terjadi terutama jika limbah tidak ditangani dengan baik, atau jika limbah langsung dialirkan begitu saja ke selokan dan sungai atau ditimbun ditempat terbuka. Jika limbah ini tidak ditangani akan menimbulkan masalah pada lingkungan, seperti berkurangnya oksigen di dalam air, munculnya gas berbau tidak sedap serta dapat menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan yang disertai dengan reaksi fisiologik tubuh berupa rasa mual dan kehilangan selera makan (Laksmi 1993). Oleh karena itu, tempat pemotongan hewan kurban harus memiliki sistem pembuangan limbah yang baik. Limbah hasil pemotongan hewan kurban seharusnya dibuang pada lubang khusus yang digali kemudian ditutup kembali. Tempat pemotongan hewan kurban di wilayah DKI Jakarta, sebesar 60.86% menggunakan lubang khusus sebagai tempat pembuangan darah. Namun, hanya sebesar 23.92% yang menggunakan lubang khusus yang menggunakan lubang khusus sebagai tempat pembuangan isi perut dan usus. Sebesar 50% responden tempat pemotongan hewan kurban memilih selokan sebagai tempat pembuangan isi perut dan usus. Pembuangan limbah ke selokan atau saluran air dapat menyebabkan pencemaran lingkungan serta sumber penyakit bagi masyarakat. Berdasarkan keseluruhan peubah yang diamati pada kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban di DKI Jakarta dapat disimpulkan bahwa mayoritas berkategori sedang (56.52%). 11 Jumlah Total Mikroorganisme dan Escherichia coli pada Daging Hewan Kurban Dibandingkan SNI 01-7388-2009 Indikator kontaminasi awal pada daging sapi segar salah satunya dapat dilihat dari jumlah total mikroorganisme dan E. coli, karena bakteri tersebut terdapat secara alami pada daging segar dan dapat menimbulkan penyakit apabila keberadaannya berada diatas ambang batas yang diperbolehkan. Lukman (2005) menyatakan bahwa pengujian laboratorium perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah kontaminasi mikroorganisme pada bahan makanan, baik jumlah mikroorganisme pencemar secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini diperlukan untuk melihat keberadaan mikroorganisme dalam bahan pangan terutama pangan asal hewan karena pangan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen atau penghasil toksin dapat menjadi wahana transmisi penyakit kepada manusia atau hewan lain. Selain itu, pengujian mikrobiologik juga dapat diterapkan untuk mengetahui keadaan lingkungan tempat pemotongan hewan. Kontaminasi mikroba pada sampel daging yang dipotong di tempat pemotongan hewan kurban wilayah DKI Jakarta meliputi analisis jumlah total mikroorganisme dan E. coli. Dalam SNI 01-7388-2009 telah ditetapkan maksimum jumlah total mikroorganisme dalam daging adalah 1 10 6 cfu/g dan maksimum jumlah E. coli adalah 1 10 1 cfu/g (BSN 2009).

12 E. coli termasuk bakteri gram negatif yang hidup di dalam usus besar manusia, sehingga bakteri ini disebut sebagai flora normal. Apabila bakteri ini memasuki saluran pencernaan misalnya dari pangan asal hewan dan produk olahannya dapat menyebabkan diare akut atau gastroenteritis. Namun dengan proses pemasakan yang sempurna, E. coli dapat musnah karena mikroba ini bersifat sensitif terhadap panas pada suhu 60 C selama 30 menit (Setiowati dan Mardiastuty 2009). Persentase jumlah total mikroorganisme dan E. Coli pada daging kurban dibandingkan SNI 01-7388-2009 disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Persentase jumlah total mikroorganisme dan E. coli dalam daging kurban dibandingkan SNI 01-7388-2009 Tahun Jumlah total mikroorganisme Di bawah Di atas ambang batas ambang batas SNI SNI (%) (%) Di bawah ambang batas SNI (%) E. coli Di atas ambang batas SNI (%) 2011 94 (204/217) 6 (13/217) 95.4 (207/217) 4.6 (10/217) 2012 96.25(231/240) 3.75 (9/240) 97.92 (235/240) 2.08 (5/240) Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa sampel daging yang diperiksa pada tahun 2011 dan 2012 hampir seluruhnya berada dibawah ambang batas SNI. Pada tahun 2011 sampel daging yang memiliki jumlah total mikroorganisme dibawah ambang batas SNI sebesar 94% (204/217) dan tahun 2012 sebesar 96.25% (231/240). Sampel daging yang memiliki jumlah E. coli berada dibawah ambang batas SNI pada tahun 2011 sebesar 95.4% (207/217) dan tahun 2012 sebesar 97.92% (235/240). Hasil penelitian menunjukkan kontaminasi mikroba pada sampel daging di tempat pemotongan hewan kurban wilayah DKI Jakarta pada tahun 2011 dan 2012 mayoritas berada dibawah ambang batas SNI, artinya daging tersebut aman untuk dikonsumsi. Hubungan antara HigieneTempat Pemotongan Hewan Kurban terhadap Jumlah Total Mikroorganismedan Escherichia coli pada Daging Kurban Kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban dapat menunjukkan kualitas mikrobiologik daging, dinilai berdasarkan kontaminasi mikroba yang terdapat pada daging hewan kurban, seperti jumlah total mikroorganisme dan E. coli. Higiene merupakan tahapan yang harus dilaksanakan untuk menjamin produksi pangan yang aman (Lukman 2009). Pelaksanaan pemotongan hewan kurban di tempat pemotongan hewan kurban merupakan tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging. Hal ini disebabkan kandungan mikroba pada daging dapat berasal dari penanganan daging dan jeroan yang tidak higienis (Mukartini et al. 1995). Pentingnya pemantauan dan pengendalian prosedur penyembelihan dilakukan untuk menekan tingkat kontaminasi mikroba pada daging. Hubungan antara kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban dan jumlah total mikroorganisme pada daging kurban tersedia di Tabel 7.

Hasil penelitian menunjukkan seluruh peubah higiene yang diamati tidak memberikan hasil yang signifikan (P value > 0.05) terhadap jumlah total mikroorganisme (Tabel 7). Hal ini kemungkinan karena mayoritas responden pada semua kategori kondisi higiene 93.50% (43/46) memiliki jumlah total mikroorganisme di bawah ambang batas SNI, sehingga tidak diperoleh data yang cukup untuk membuktikan adanya hubungan antara peubah yang diteliti dengan keberadaan jumlah total mikroorganisme. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh teknis pengambilan sampel yang dilakukan tidak memberikan waktu yang cukup untuk terjadinya perbedaan hasil antar perlakuan. Tabel 7 Hubungan antara kondisi higiene dan keberadaan jumlah total mikroorganisme pada daging kurban No Peubah 1 Penanganan karkas setelah dipotong 2 Pelaksanaan pemotongan 3 Penanganan jeroan Kategori Jumlah total mikroorganisme Di bawah Di atas ambang batas ambang SNI batas SNI N % N % n % χ² P value Digantung 34 73.9 31 91.2 3 8.8 1.133 0.593 Diatas alas 11 23.92 11 100 0 0 Tidak digantung 1 2.18 1 100 0 0 Meja 12 26.08 11 91.7 1 8.3 0.087 1.000 khusus Alas plastik/ daun 34 73.92 32 94.1 2 5.9 Pisah 34 73.92 31 91.2 3 8.8 1.133 0.557 Campur 12 26.08 12 100 0 0 4 Pengemasan Kemasan 35 76.08 33 94.3 2 5.7 0.157 1.000 terpisah Satu 11 23.92 10 90.9 1 9.1 kemasan 5 Higiene Baik 30 65.22 28 93.3 2 6.7 0.071 1.000 Sedang 15 32.61 14 93.3 1 6.7 Buruk 1 2.17 1 100 0 0 Daging biasanya didefinisikan sebagai bagian dari hewan yang telah disembelih yang layak dan aman dikonsumsi oleh manusia. Di negara-negara maju pengertian ini lebih terfokus pada karkas hewan yang telah diambil tulangnya atau bagian otot dari badan hewan. Namun, di Indonesia cakupan pengertian tersebut juga meliputi jeroan, seperti usus, babat, hati, jantung, paru, dan ginjal yang biasa dikonsumsi masyarakat selain daging daging pada karkas. Konsekuensi dari hal ini adalah penanganan selama proses penyediaan daging harus benar-benar memperhatikan higiene dan sanitasi, mengingat jeroan 13

14 merupakan organ dengan tingkat kontaminasi mikroba yang tinggi. Adapun hubungan antara kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban dan keberadaan E. coli pada daging kurban tersedia pada Tabel 8. Tabel 8 Hubungan antara kondisi higiene dan keberadaan E. coli pada daging kurban No Peubah 1 Pengerjaan karkas setelah dipotong 2 Pelaksanaan pemotongan 3 Penanganan jeroan Kategori E.coli Di bawah ambang batas SNI Di atas ambang batas SNI N % N % n % χ² P value Digantung 34 73.9 30 88.2 4 11.8 0.455 0.673 Tidak 11 23.92 9 81.8 2 18.2 digantung, diatas alas Tidak digantung 1 2.18 1 100 0 0 Meja 12 26.08 12 100 0 0 2.435 0.176 khusus Alas 34 73.92 28 82.4 6 17.6 plastic Pisah 34 73.92 28 82.4 6 17.6 2.435 0.176 Campur 12 26.08 12 100 0 0 4 Pengemasan Kemasan 35 76.08 30 85.7 5 14.3 0.199 1.000 terpisah Satu 11 23.92 10 90.9 1 9.1 kemasan 5 Higiene Baik 30 65.22 25 83.3 5 16.7 1.035 0.693 Sedang 15 32.61 14 93.3 1 6.7 Buruk 1 2.1 1 100 0 0 Hasil penelitian menunjukkan seluruh peubahhigiene yang diamati tidak memberikan hasil yang signifikan (P value > 0.05) terhadap keberadaan E. coli (Tabel 8). Hal ini kemungkinan karena mayoritas responden pada semua kategori kondisi higiene 86.96% (40/46) memiliki jumlah E. coli di bawah ambang batas SNI, sehingga tidak diperoleh data yang cukup untuk membuktikan adanya hubungan antara peubah yang diteliti dengan keberadaan jumlah E. coli. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh teknis pengambilan sampel yang dilakukan tidak memberikan waktu yang cukup untuk terjadinya perbedaan hasil antar perlakuan. Hubungan antara Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban terhadap Jumlah Total Mikroorganisme dan Escherichia coli pada Daging Kurban Kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban dapat dinilai berdasarkan lantai tempat penyembelihan, sumber air yang digunakan, ketersediaan air, tempat pembuangan darah serta tempat pembuangan isi perut dan

usus. Sanitasi tempat pemotongan hewan kurban harus diperhatikan untuk memaksimalkan peran tempat pemotongan hewan kurban dalam menyediakan daging kurban yang aman dikonsumsi. Hubungan antara kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban dan jumlah total mikroorganisme pada daging tersedia pada Tabel 9. Tabel 9 Hubungan antara kondisi sanitasi terhadap keberadaan jumlah total mikroorganisme pada daging kurban No Peubah Kategori Jumlah total mikroorganisme Di bawah Di atas ambang batas ambang SNI batas SNI N % n % n % χ² P value 1 Lantai Keramik 3 6.52 3 100 0 0 0.784 0.667 Semen 23 50 22 95.7 1 4.3 Rumput/ tanah 20 43.48 18 90 2 10 2 Sumber air PAM 19 41.3 18 94.7 1 5.3 2.028 0.471 Sumur 12 26.1 12 100 0 0 Sungai 15 32.6 13 86.7 2 13.3 15 3 Ketersediaan air Cukup 24 52.17 23 95.8 1 4.2 0.457 0.600 Tidak cukup 22 47.83 20 90.9 2 9.1 4 Tempat pembuangan darah Lubang khusus Selokan Tanah 28 60.86 27 96.4 1 3.6 2.884 0.203 12 6 26.1 13.04 10 6 83.3 100 2 0 16.7 0 5 Tempat pembuangan isi perut dan usus Lubang khusus Tempat sampah Selokan 6 Sanitasi Baik Sedang Buruk 11 23.92 10 90.9 1 9.1 1.135 0.600 12 23 13 26 7 26.08 50 28.26 56.52 15.22 12 21 13 24 6 100 91.3 100 92.3 84.6 0 2 0 2 1 0 8.7 0 7.7 14.3 1.658 0.566 Hasil penelitian menunjukkan seluruh peubah sanitasi yang diamati tidak memberikan hasil yang berbeda nyata (P value > 0.05) terhadap jumlah total mikroorganisme (Tabel 5). Hal ini kemungkinan karena sebagian besar responden 93.50% (43/46) yang diteliti memiliki nilai negatif (di bawah ambang batas SNI) untuk keberadaan jumlah total mikroorganisme. Keadaan tersebut menunjukkan tidak cukupnya data untuk membuktikan adanya hubungan antara peubah yang

16 diteliti dengan keberadaan jumlah total mikroorganisme. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh teknis pengambilan sampel yang dilakukan tidak memberikan waktu yang cukup untuk terjadinya perbedaan hasil antar perlakuan. Adapun gambaran mengenai hubungan antara kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban terhadap keberadaan E.coli pada daging tersedia di Tabel 10. Tabel 10 Hubungan antara kondisi sanitasi terhadap keberadaan E. coli pada daging kurban No Peubah Kategori E. coli Di bawah Di atas ambang batas ambang SNI batas SNI N % n % n % χ² P value 1 Lantai Keramik 3 6.52 2 66.7 1 33.3 1.540 0.497 Semen 23 50 21 91.3 2 8.7 Rumput/ 20 43.48 17 85 3 15 tanah 2 Sumber air PAM 19 41.3 16 84.2 3 15.8 0.362 0.873 Sumur 12 26.1 11 91.7 1 8.3 Sungai 15 32.6 13 86.7 2 13.3 3 Ketersediaan air Cukup 24 52.17 20 83.3 4 16.7 0.581 0.667 Tidak cukup 22 47.83 20 90.9 2 9.1 4 Tempat pembuang an darah 5 Tempat pembuang an isi perut dan usus Lubang khusus Selokan Tanah Lubang khusus Tempat sampah Selokan 6 Sanitasi Baik Sedang Buruk 28 60.86 25 89.3 3 10.7 2.546 0.318 12 26.10 9 75 3 25 6 13.04 6 100 0 0 11 23.92 9 81.8 2 18.2 2.439 0.387 12 23 13 26 7 26.08 50 28.26 56.52 15.22 12 19 12 22 6 100 82.6 92.3 84.6 85.7 0 4 1 4 1 0 17.4 7.7 15.4 14.3 0.463 0.848 Hasil penelitian menunjukkan seluruh peubah sanitasi yang diamati tidak memberikan hasil yang berbeda nyata (P value > 0.05) terhadap keberadaan E. coli (Tabel 6). Hal ini kemungkinan karena sebagian besar responden 86.96% (40/46) yang diteliti memiliki nilai negatif (di bawah ambang batas SNI) untuk keberadaan jumlah E. coli. Keadaan tersebut menunjukkan tidak cukupnya data untuk membuktikan adanya hubungan antara peubah yang diteliti dengan keberadaan jumlah E. coli. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh teknis pengambilan sampel yang dilakukan tidak memberikan waktu yang cukup untuk terjadinya perbedaan hasil antar perlakuan.

17 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban di wilayah DKI Jakarta memiliki kategori baik sebesar 65.22%, tetapi hanya sebesar 28.26% memiliki sanitasi tempat pemotongan yang baik. Jumlah sampel daging yang memiliki jumlah total mikroorganisme berada di bawah ambang batas SNI pada tahun 2011 sebanyak 94% dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 96.25%. Sedangkan jumlah sampel daging yang terkontaminasi E.coli yang berada di bawah ambang batas SNI pada tahun 2011 sebanyak 95.4% dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 97.92%. Namun demikian, kondisi kualitas mikrobiologik sampel daging tersebut belum tentu merepresentasikan kualitas daging kurban yang sesungguhnya, mengingat tidak diperoleh informasi kapan waktu pengambilan sampel dilakukan sejak saat pemotongan. Diduga, waktu pengambilan sampel daging dilakukan tidak berapa lama setelah pemotongan, sehingga sampel daging tersebut memang belum banyak mengalami kontaminasi. Dugaan ini juga diperkuat dengan hubungan yang tidak berbeda nyata antara kondisi higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban terhadap kontaminasi mikroba dalam daging. Saran Penyuluhan untuk personal yang menangani daging hewan kurban sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan higiene dan sanitasi dalam menangani hewan kurban. Selain itu, pengawasan terhadap kualitas daging hewan kurban juga perlu ditingkatkan agar kualitas daging yang dihasilkan aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Untuk kegiatan penelitian serupa ke depan, maka waktu pengambilan sampel setelah pemotongan harus diperhitungkan dengan cermat agar dampak perbedaan antar perlakuan yang diteliti dapat terlihat. DAFTAR PUSTAKA Asih Y. 2011. Pengaruh jenis kemasan dan lama penyimpanan rendang tumbuak ayam afkir terhadap kadar protein, kadar lemak dan nilai organoleptik [skripsi].padang (ID): Universitas Andalas. Attahmid NFU. 2009. Strategi manajemen mutu proses produksi karkas ayam pedaging di Rumah Potong Ayam (RPA) PT. Sierad Produce, Tbk. Parung, Bogor [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 01-7388-2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

18 [Deptan] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Deptan RI. [Deptan] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Jakarta (ID): Deptan RI. Dewanti. 2003. Bakteri indikator keamanan air minum [Internet]. [diunduh 2013 Juni 27]. Tersedia pada: http://www.kompas.com/kompascetak/0306/29/ iptek/395680.htm. [DKMV] Direktorat Kesahatan Masyarakat Veteriner. 2005. Pedoman Penyembelihan Hewan Qurban yang Halal dan Higienis. Jakarta (ID): Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Forsythe SJ. 2000. The Microbiology of Science Food. London (UK): Blackwell Science. Hansson IB. 2001. Microbiological meat quality in high and low capacity slaughterhouse in Sweden. J. Food Protect. 64:820 825. Harsojo, Irawati Z. 2011. Kontaminasi awal dan dekontaminasi bakteri patogen pada jeroan sapi dengan iradiasi gamma. J Iptek Nuklir Ganendra. 14(2): 95 101. Jay JM. 1997. Modern Food Microbiology. Ed ke-2. New York (US): Chapman and Hall. Karmali MA. 2003. The medical significance of shiga toxin-producing Escherichia coli infections. Di dalam: Dana P, Frank E, editor. E. coli Shiga Toxin Methods and Protocols. New Jersey (US): Humana Press. Kusumawati EL. 2005. Mempelajari Aspek Sanitasi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. LaksmiBS. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Jakarta (ID): Kanisius. Lukman DW. 2001. Mikrobiologi Pangan Asal Hewan.Bahan Kuliah dan Praktikum. Bogor (ID): Kesmavet FKH IPB. Lukman DW. 2004. Product safety di RPH. fgw Food Conference; 2004 Oktober 6-7; Jakarta(ID): Institut Pertanian Bogor. Lukman DW. 2009. Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan hitungan cawan. Di dalam: Lukman DW, Purnawarman T, editor. Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal Hewan. Bogor (ID): Kesmavet FKH IPB. Manning SD. 2010.Escherichia Coli Infections. Philadelphia (US): Chelsea House Pub. Mukartini, Jehne SC, Shay B, Harfer CML. 1995.Microbiological Status of Beefcarcass Meat in Indonesia. J Food Safety. 15: 291 303. Purwanti U. 2006. Hubungan antara sanitasi tempat pemotongan hewan qurban dengan cemaran mikroba pada daging kambing di Kotamadya Jakarta Timur [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Roihatin A, Rizqi AK. 2007. Pengolahan Air Limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan Cara Elektrokoagulasi Aliran Kontinyu.Semarang (ID): Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Samelis J, Sofos JN, Kendall PA, Smith GC. 2002. Effect of acid adaption on survival of Escherichia coli O157:H7 in meat decontamination washing fluids and potential effects of organic acid interventions on the microbial ecology of the meat plant environment. J. Food Protect. 65: 33 40.

Simamora H. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta (ID): STIE YKPN. Setiowati WE, Mardiastuty E. 2009. Tinjauan bahan pangan asal hewan yang ASUH berdasarkan aspek mikrobiologi di DKI Jakarta. Dalam: Prosiding PPI Standarisasi 2009, Jakarta, 19 November 2009. Jakarta (ID): Laboratorium Kesmavet DKI Jakarta. Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Ed ke-3. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Sudarwanto M. 2004. Kesehatan Lingkungan. Bahan kuliah [tidak dipublikasi]. Bogor (ID): Bagian Kesmavet FKH IPB. Susiwi S. 2009. Regulasi Pangan. Di dalam: Susiwi S, editor. Dokumentasi SSOP. Bandung (ID): Universitas Pendidikan Indonesia. 19

20 LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner Pemeriksaan Tata Laksana Pemotongan Hewan Kurban Idul Adha 1434 H/2013 M KUESIONER PEMERIKSAAN TATA LAKSANA PEMOTONGAN HEWAN KURBAN IDUL ADHA 1434 H/2013 M Lokasi Alamat Kelurahan Kecamatan Wilayah 1. Jakarta Pusat 5. Jakarta Selatan 9. Kota Depok 2. Jakarta Utara 6. Jakarta Barat 3. Kabupaten Kepulauan Seribu 7. Kota Bogor Nama pemeriksa 4. Jakarta Timur 8. Kabupaten Bogor 1. No HP : 2. No HP : 1. Tempat pemotongan hewan kurban : a. halaman masjid b. halaman kantor c. halaman sekolah, madrasah/pesantren d. halaman rumah e. lapangan umum f. lain-lain, sebutkan :.. 2. Lantai/alas tempat penyembelihan : a. semen b. rumput c. tanah d. ubin/keramik e. lain-lain, sebutkan :.. 3. Apakah lokasi penyembelihan diberi pembatas dan tertutup bagi yang tidak berkepentingan? a. ya b. Tidak 4. Apakah tersedia tempat penampungan khusus untuk hewan kurban? (apabila jawaban tidak, langsung ke no 10) a. ya b. Tidak 5. Bila tersedia, apakah tempat penampungan terpisah cukup jauh dan tidak terlihat dari tempat penyembelihan? a. ya b. Tidak