BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap

BAB II LANDASAN TEORI

PEDOMAN WAWANCARA. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kepuasan Pernikahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN TEORI. 1952; klemer, 1970, (Ardhianita & Andayani, 2004) diperoleh dari suatu hubungan dengan tingkat perbandingan.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kepuasan Perkawinan. Menurut Aqmalia dan Fakhrurrozi (2009) menjelaskan bahwa per kawinan

BAB II LANDASAN TEORI. terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif komparatif, yakni jenis

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Membangun dan mempertahankan hubungan dengan pasangan merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN ISTRI PADA PASANGAN COMMUTER MARRIAGE. Liza Marini1 dan Julinda2 Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

BAB II LANDASAN TEORI. hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini termasuk penelitian korelasi yang melihat Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa,

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. dengan proses pacaran dan proses ta aruf. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN TEORI. dalam perkawinan. Bradbury, Fincham, dan Beach (2000) mengatakan. sehingga pernikahan dapat terus bertahan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penting yang akan dihadapi oleh manusia dalam perjalanan kehidupannya

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No.1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA PADA DEWASA MADYA DI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. serta tanggung jawab sosial untuk pasangan (Seccombe & Warner, 2004). Pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPUASAN PERKAWINAN. alasan ekonomi dan atau reproduksi (Gladding, 2012: 434).

memberi-menerima, mencintai-dicintai, menikmati suka-duka, merasakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkawinan oleh Fowers & Olson (1989) dan Subjective Well-being oleh. sesuai dengan fenomena penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu fase penting dalam. seseorang. Menurut Olson & DeFrain yang dikutip oleh Rini (2009) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Perkawinan. menyeluruh.sejalan dengan itu Gullota, Adams dan Alexander (dalam

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan

Bab 2 Tinjauan Pustaka

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Hubungan Religiusitas dengan Kepuasan Pernikahan pada Individu yang Menikah Melalui Ta aruf

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Komitmen Pada Perkawinan Ditinjau dari Kepuasan dalam Perkawinan

BAB II TINJAUAN TEORI. memiliki arti innermost, deepest yang artinya paling dalam. Intimacy

BAB 5 Simpulan, Diskusi, dan Saran

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PASANGAN YANG BELUM MEMILIKI ANAK

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepuasan Pernikahan Clayton (1975) dan Snyder (1979) menjelaskan bahwa kepuasan perkawinan merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan kondisi perkawinan. Teori yang serupa juga dikemukakan oleh Lewis & Spanier (dalam Noller & Fitzpatrick, 1993 ) yang menjelaskan kepuasan pernikahan merupakan evaluasi subjektif dari hubungan perkawinan yang merujuk pada keadaan baik, bahagia dan puas. Sedangkan Bird & Meville (1994) menyatakan bahwa kepuasan perkawinan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan perkawinan mereka, apakah baik, buruk atau memuaskan. Dan Lemme (1995) mengatakan kepuasan perkawinan merupakan evaluasi suami istri terhadap hubungan perkawinannya yang cenderung berubah sepanjang perjalanan perkawinan itu sendiri. Kepuasan perkawinan menurut Santrock (2006) memberikan pengaruh yang sangat baik bagi pasangan antara lain dapat mengurangi tingkat stress, baik secara psikologis maupun fisik. Definisi kepuasan perkawinan bagi pasangan suami istri akan bersifat subjektif. Setelah menikah, individu mengalami banyak perubahan dan harus melakukan banyak penyesuaian diri terhadap pasangan, keluarga pasangan dan penyesuaian-penyesuaian lainnya. Penyesuaian ini kiranya perlu dilakukan agar kedua pasangan dapat merasa bahagia dan puas terhadap hubungan perkawinannya. Menurut Hughes & Noppe (1985), kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan perkawinannya tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya. Hawkins (dalam Olson dan Hamilton, 1983) berpendapat bahwa kepuasan perkawinan merupakan perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu perkawinan, seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangannya yang bersifat individual. Kepuasan perkawinan merupakan sebentuk persepsi terhadap kehidupan perkawinan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam

jangka waktu tertentu (Roach dkk, 1981). Kepuasan pernikahan adalah tingkat kesenangan yang dapat dicapai oleh pasangan suami istri dan mendapat pengaruh dari berbagai macam aspek di dalam nya. Jadi dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah evaluasi mengenai kehidupan pernikahan yang diukur dengan melihat area-area dalam pernikahan meliputi komunikasi kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran 2.1.1 Faktor-Faktor Kepuasan Pernikahan Duvall & Miller (1985) menyebutkan bahwa kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu latar belakang (background characteristics) dan keadaan sekarang (current characteristic). Faktor latar belakang meliputi perkawinan orangtua, masa kecil, disiplin, pendidikan seks, pendidikan, dan kedekatan. Sementara faktor keadaan sekarang meliputi ekspresi kasih sayang/afeksi, tingkat kepercayaan, tingkat kesetaran, komunikasi, kehidupan seksual, kehidupan sosial, tempat tinggal, dan pendapatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor masa lalu (background characteristics) juga menjadi faktor pendukung tercapainya kepuasan dalam perkawinan, namun tidak ada yang bisa dilakukan dengan apa yang telah terjadi selain menerima dan mencoba untuk memahami hal tersebut. Secara umum, kepuasan perkawinan ini dipengaruhi oleh dua hal, faktor interpersonal dan faktor intrapersonal. Faktor interpersonal adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan interaksi perkawinan, sedangkan faktor intrapersonal menunjuk pada karakteristik yang cenderung menetap pada individu seperti kepribadian (Karney & Brabbury, dalam Bird & Meville, 1994). Hal yang senada juga diungkapkan oleh Hendrick & Hendrick (1992) yang menyatakan ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu: 1. Premarital factors : Latar belakang ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai harapan dapat menimbulkan bahaya dalam perkawinan.

Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stresor seperti penghasilan atau tingkat penghasilan yang rendah. Hubungan dengan orangtua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap romantisme, perkawinan dan perceraian. 2. Postmarital factors : Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan perkawinan, terutama pada wanita. Lama perkawinan, dimana dikemukakan oleh Duvall & Miller bahwa tingkat kepuasan perkawinan tinggi di awal perkawinan, kemudian menurun setelah kelahiran anak pertama, dan kemudian meningkat kembali setelah anak mandiri. 2.1.2 Aspek Kepuasan Pernikahan Banyak aspek-aspek kepuasan perkawinan. Salah satunya adalah menurut Olson & Fowers (1993), ada beberapa area-area dalam perkawinan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan perkawinan. Area-area tersebut antara lain: Communication Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya. Laswell (1991) membagi komunikasi perkawinan menjadi lima elemen dasar, yaitu: keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill). Leisure Activity Area ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan individu atau pilihan bersama serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan.

Religious Orientation Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli teradap hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orangtua akan mengajarkan dasar-dasar dan nilai-nilai agama yang dianut kepada anaknya. Mereka juga akan menjadi teladan yang baik dengan membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran agama yang mereka anut. Conflict Resolution Area ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri teradap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Area ini juga menilai bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain. Financial Management Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam perkawinan (Hurlock, 2002) Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan. Sexual Orientation Area ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri.

Family and Friends Area ini dapat melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan teman- teman. Perkawinan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu lama (Hurlock, 2002). Children and Parenting Area ini menilai sikap dan perasaan tentang memiliki dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam perkawinan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud. Personality Issue Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul. Setelah menikah perbedaan ini dapat memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia. Egalitarian Role Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan perkawinan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

Sedangkan menurut Rumondor, Paramita, Geni, dan Francis (2012) dalam membangun Alat Ukur Kepuasan Pernikahan Masyarakat Urban menjelaskan ada sembilan aspek kepuasan pernikahan: 1. Komunikasi Komunikasi yang khas dan memuaskan karena, satu dengan yang lain saling memahami maksud masing-masing pasangannya. Baik dalam hal pekerjaan atau pendidikan yang dijalani oleh pasangannya. 2. Keseimbangan pembagian peran Peranan yang seimbang diantara pasangan. 3. Kesepakatan Diskusi yang setara diantara pasangan dan diantarannya yang lebih mamahami situasi dapat mengambil keputusan sehingga mencapai kesepakatan bersama. 4. Keterbukaan Bersedia mengungkapkan informasi tentang diri, pikiran, dan perasaan secara terbuka terhadap pasangan, termasuk didalamnya perencanaan keuangan dan gaji. 5. Keintiman Waktu dihabiskan dengan pasangan untuk melakukan aktifitas bersama-sama, tanpa ada kehadiaran dari pihak yang lain. 6. Keintiman sosial dalam relasi Perasaan nyaman sebagai pasangan untuk secara bersama-sama melakukan kegiatan yang terkait dengan lingkup sosial, seperti: menghadiri acara keluarga atau membantu kerabat/teman yang perlu bantuan. 7. Seksualitas Secara bebas pasangan menentukan aktifitas seksualnya, baik dari tempat dan waktu, untuk memenuhi kebutuhan seksual dan timbul juga kesetiaan dalam berhubungan seksual dengan pasangan. 8. Finansial Pemenuhan kebutuhan finansial keluarga baik dari jumlah dan pembagian akan tanggung jawab finansial dengan pasangan.

9. Spiritualitas Pemenuhan kebutuhan spiritualitas tercukupi selama ada dalam ikatan pernikahan dengan pasangan. 2.1.3 Tingkat Kepuasan Pernikahan Tingkat kepuasan perkawinan berubah seiring berjalannya waktu. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Rollins & Cannon, 1974; Rollins & Feldman, 1970; Spanier, Lewis, & Cole, 1975 dalam Vembry (2010) menyimpulkan suatu indikasi kepuasan pernikahan dalam kehidupan pernikahan mengikuti kurva U. Tingkat kepuasan tertinggi dirasakan pada periode sebelum memiliki anak, tingkat kepuasan terendah dirasakan pada saat anak-anak berada pada usia sekolah dan remaja, lalu tingkat kepuasan tertinggi sekali lagi dirasakan pada saat anak-anak telah tumbuh dewasa dan telah meninggalkan rumah (Bradburry & Fincham dan Gottman dalam Fuller & Fincham dalam Abate, 1994). Duvall & Miller (1985) menyebutkan bahwa masa-masa awal dari perkawinan adalah puncak dari kepuasan perkawinan. Beragamnya pendapat yang dikemukakan oleh masing-masing ahli memberikan suatu gambaran tidak adanya tingkat kepuasan perkawinan absolut yang mengesankan pada beragam periode perkawinan (Fuller & Fincham dalam Abate, 1994). Menurut Papalia, Sterns, Feldman dan Camp (2007) tanggung jawab sebagai orangtua mempengaruhi hubungan suami-istri. Saat ini, dengan meningkatnya harapan hidup dan perceraian, sekitar 1 dari 5 pernikahan bertahan hingga 50 tahun. Secara umum, kepuasan pernikahan mengikuti kurva bentuk U. Dari point yang tinggi di awal, menurun hingga usia tengah baya dan kemudian meningkat lagi pada tahap pertama dewasa akhir. Masa yang paling tidak membahagiakan adalah periode dimana sebagian besar orangtua dilibatkan secara menyeluruh dalam membesarkan anak dan karir. Aspek positif dari pernikahan (seperti kerjasama, diskusi, dan berbagi tawa) mengikuti pola kurva U. Aspek negatif (seperti sarkasme, kemarahan, dan ketidaksetujuan terhadap masalah-masalah penting) berkurang dari dewasa muda hingga usia 69 tahunan dan mungkin karena banyak konflik pernikahan berakhir begitu saja (Papalia, Sterns, Feldman dan Camp, 2007).

Dari sebuah penelitian 175 orang, yang mengkonfirmasi kurva bentuk U, peneliti mengikuti 22 pasangan selama 30 tahun dan yang lainnya dalam jangka waktu yang lebih pendek. Penemuan yang menarik adalah, semakin lama pasangan menikah, semakin mirip mereka satu sama lain, dalam pandangan mereka terhadap kehidupan, dan cara berpikir, bahkan kemampuan matematika. Kecendrungan terhadap kemiripan ini terhenti sementara dengan menurunnya kepuasan pernikahan di masa membesarkan anak. Dalam penelitian lain terhadap 17 pernikahan yang bertahan selama 50 hingga 69 tahun, hamper 75% yang digambarkan, berdasarkan observasi dan wawancara selama 50 tahun, mengikuti salah satu dari 2 pola ini : mengikuti kurva U atau tingkat kebahagiaan yang hampir konsisten. Tidak ada dari pernikahan yang diteliti menunjukkan kenaikan atau penurunan yang berkelanjutan dalam kepuasan (Papalia, Sterns, Feldman dan Camp 2007). 2.2 Pernikahan Perkawinan memiliki tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa seperti yang dinyatakan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan begitu pernikahan bertujuan untuk menyatukan dua individu yang berbeda agar dapat mencapai satu tujuan yang akan diusahakan agar dapat dicapai secara bersama-sama. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) tidak memuat suatu ketentuan arti atau definisi tentang perkawinan, namun pemahaman perkawinan dapat dilihat dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam pasal tersebut dikatakan bahwa undang-undang memandang perkawinan hanya dari sudut perhubungannya dengan hukum perdata saja, lain dari itu adalah tidak. Dengan kata lain, bahwa Kitab Undangundang Hukum Perdata masih menjunjung tinggi nilai-nilai perkawinan yang tata cara dan pelaksanaannya diserahkan kepada adat masyarakat atau agama dan kepercayaan dari orang-orang yang bersangkutan. Dari Pasal 1 Undang-undang Perkawinan yang menyebutkan pengertian perkawinan dapat dirumuskan unsur-unsur dari perkawinan sebagai berikut : Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita.

Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia. Perkawinan dilaksanakan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan memberikan kesempatan bagi individu untuk dapat memnuhi berbagai kebutuhan esensial seperti keintiman, persahabatan, perhatian atau kasih saying, kebutuhan seksual serta kebersamaan. (Papalia, Sterns, Feldman & Camp, 2007). Selain itu, perkawinan juga merupakan jalan terbaik untuk melegitimasi pengasuhan anak (Duvall&Miller, 1985). Menurut Landis & Landis (1963) pernikahan merupakan suatu komitmen antara sepasang manusia untuk hidup bersama. Mereka akan menghabiskan sebagian besar dari waktu mereka untuk melakukan aktivitas secara bersama-sama. Dengan kebersamaan itu diharapkan masing-masing individu bisa saling membantu dan mengisi sehingga kedua nya bisa memperoleh pemenuhan bersama. 2.2.1 Pernikahan Beda Agama Pasangan beda agama didefiniskan sebagai dua orang heteroseksual dewasa sebagai pasangan yang menikah dan menggambarkan diri mereka berada di dalam hubungan yang signifikan. Menurut Brian, Stacey & Carl (2006) pernikahan beda agama adalah mereka yang berpasangan namun memiliki pendidikan, etnis, ras, agama dan kelas social yang berbeda. Menurut Mandra & Artadi (dalam Eoh, 1996), pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. 2.3 Dewasa Madya Dengan tidak bermaksud membatasi rentang usia secara kaku, dapat dikatakan bahwa secara teoritis-psikologis dan fisiologis rentang usia antara 40-60 tahun merupakan masa tengah baya bagi banyak orang menurut Mappiare (1983 : 173). Hurlock (1980:320) juga memiliki anggapan yang sama tentang pengertian masa dewasa pertengahan (madya) yang disebut juga dengan usia setengah baya dalam terminology kronologis yaitu pada umum nya berkisar antara usia 40 60 tahun, dimana pada usia ini

ditandai dengan berbagai perubahan fisik maupun mental. Usia dewasa madya dipilih karena menurut penelitian nasional menunjukan bahwa tingkat perceraian menurun tajam seiring dengan meningkatnya usia pasangan dan lama pernikahan. Teori ini didukung pula oleh Greestein (1996) di dalam penelitiannya bahwa pernikahan semakin lama justru menjadi semakin stabil. 2.4 Kerangka Berpikir Kepuasan pernikahan adalah evaluasi mengenai kehidupan pernikahan yang diukur dengan melihat area-area dalam pernikahan meliputi komunikasi kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran. Aspek-aspek kepuasan perkawinan. Seperti yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (1993), terdiri dari komunikasi, aktivitas waktu luang dengan pasangan, agama, resolusi konflik, manajemen keuangan, hubungan seksual, hubungan dengan teman & pasangan, anak & pola asuh, isu kepribadian dan yang terakhir kesetaraan peran. Chinitz dan Brown (dalam Boyle, 2002) menyebutkan bahwa penyebab permasalahan pernikahan beda agama bukanlah perbedaan agama, akan tetapi konflik tak terselesaikan dalam

permasalahan keagamaan. Dalam suatu pernikahan aspek kepuasan pernikahan adalah aspek yang memiliki peranan penting agar tercapainya keluarga yang bahagia. Petersen (1986) menyatakan bahwa penikahan beda agama menghasilkan komitmen yang lebih kuat dibandingkan dengan pernikahan seagama. Didukung pula dengan teori dari Eaton (1994) yang mengatakan apabila pasangan yang menikah beda agama mampu mendiskusikan mengenani perbedaan agama dan menghormati sudut pandang serta tradisi dari pasangannya, mereka bisa membuat kegunaan konstruktif dari perbedaan mereka dan memberikan dukungan pada perkembangan pasangan dalam pelatihan dan identitas keagamaan secara individual, sementara mereka menciptakan perpaduan kultur yang baru yang menyatakan tujuan dan nilai mereka. Pasangan yang menikah beda agama dapat berfungsi dengan baik ketika mereka meminimalkan perbedaan agama dan fokus kepada kesamaan perilaku yang mereka miliki seperti yang dikatakan oleh Joanides, Mayhew dan Mamalakis (2002). Laserwitz menyatakan bahwa pernikahan beda agama menghasilkan peningkatan dalam kebahagian dalam pernikahan dan mengurangi tingkat perceraian seperti yang dikutip oleh dalam Chinitz & Brown (2001) Seperti yang dikemukakan oleh Mandra & Artadi (dalam Eoh, 1996), pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Usia dewasa madya dipilih karena menurut penelitian nasional menunjukan bahwa tingkat perceraian menurun tajam seiring dengan meningkatnya usia pasangan dan lama pernikahan. Teori ini didukung pula oleh Greestein (1996) di dalam penelitiannya bahwa pernikahan semakin lama justru menjadi semakin stabil. Dengan adanya uraian diatas, peneliti ingin mengetahui gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan beda agama pada dewasa madya di Jakarta. 2.5 Hipotesis Hipotesis merupakan kesimpulan sementara yang masih harus diuji kebenarannya melalui analisis terhadap bukti-bukti empiris. Hipotesis dalam penelitian ini adalah

gambaran mengenai kepuasan pernikahan pada pasangan yang menikah beda agama dengan usia pernikahan pada dewasa madya di Jakarta.