BAB. VII. PEMBAHASAN UMUM. Konsentrasi Fe dalam Tanah dan Larutan Hara Keracunan Fe pada Padi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA

STUDI PENGENDALIAN KERACUNAN BESI PADA PADI DI LAHAN PASANG SURUT MELALUI KERAGAMAN GENOTIPE PADI DAN AMELIORASI LAHAN AIDI NOOR

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan pangan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

BAB. III. PENGARUH KONSENTRASI BESI DALAM LARUTAN HARA TERHADAP GEJALA KERACUNAN BESI DAN PERTUMBUHAN TANAMAN PADI

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih

PENGARUH DUA LEVEL CEKAMAN BESI DALAM LARUTAN HARA TERHADAP GEJALA KERACUNAN BESI DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. yang dikeringkan dengan membuat saluran-saluran drainase (Prasetyo dkk,

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan Kultur Hara Gejala Keracunan Besi

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

VII. KEHARAAN DAN PEMUPUKAN

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah

Pengaruh Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara terhadap Gejala Keracunan Besi dan Pertumbuhan Tanaman Padi

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil,

PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK UNTUK MENGURANGI PUPUK ANORGANIK DAN PENINGKATAN PODUKTIVITAS PADI DI LAHAN PASANG SURUT

BAB I PENDAHULUAN an. Namun seiring dengan semakin menurunnya produktivitas gula

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI LAHAN RAWA LEBAK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut. Disampaikan Pada Materi Kelas PAM

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesuburan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

Latar Belakang. Kalium merupakan salah satu hara makro setelah N dan P yang diserap

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berkualitas. Salah satu kendala peningkatan kualitas sumberdaya manusia adalah

I. PENDAHULUAN. terpenting setelah padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara di wilayah tropika basah yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eva Tresnawati, 2013

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007)

PENDAHULUAN. hingga mencapai luasan 110 ribu Ha. Pengurangan itu terlihat dari perbandingan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. kalium dari kerak bumi diperkirakan lebih dari 3,11% K 2 O, sedangkan air laut

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

III. BAHAN DAN METODE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Sifat Kimia dan Fisik Latosol sebelum Percobaan serta Komposisi Kimia Pupuk Organik

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian. I. Pengujian Toleransi Salinitas Padi pada Stadia Perkecambahan di Laboratorium

homozigot lebih banyak didapatkan pada tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 dan Batur x NIL-C443 dibandingkan dengan Situ Bagendit x

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan bagian komoditi ekspor yang strategis dan sangat

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

I. PENDAHULUAN. pupuk tersebut, maka pencarian pupuk alternatif lain seperti penggunaan pupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI-9. Unsur Hara Mikro: Kation & Anion

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Lahan Bercekaman Besi

BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN

KERACUNAN BESI PADA PADI: ASPEK EKOLOGI DAN FISIOLOGI-AGRONOMI

ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN SAWAH DI PROVINSI BENGKULU

Pengelolaan tanah dan air di lahan pasang surut

KAJIAN PERBAIKAN USAHA TANI LAHAN LEBAK DANGKAL DI SP1 DESA BUNTUT BALI KECAMATAN PULAU MALAN KABUPATEN KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

TINJAUAN PUSTAKA Pemupukan

PERANAN FITOREMEDIASI, AMELIORASI DAN PENGATURAN TINGGI MUKA AIR TERHADAP KELARUTAN BESI DAN ALUMINIUM DI LAHAN PASANG SURUT

PENDAHULUAN Latar Belakang

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

I. PENDAHULUAN. Mentimun merupakan suatu jenis sayuran dari keluarga labu-labuan

BAHAN DAN METODE. (Gambar 1. Wilayah Penelitian) penelitian dan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis di laboratorium.

PENGARUH DIMENSI DAN JARAK SALURAN DRAINASE TERHADAP DINAMIKA LENGAS TANAH ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA Keracunan Besi Pada Tanaman Padi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Produktivitas padi pada tahun 2015 hanya mencapai 5,28 t/ha (Badan Pusat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Metode Penelitian Pembuatan Pupuk Hayati

Transkripsi:

BAB. VII. PEMBAHASAN UMUM Konsentrasi Fe dalam Tanah dan Larutan Hara Keracunan Fe pada Padi yang Menyebabkan Berdasarkan hasil-hasil penelitian penyebab keracunan besi beragam, bukan hanya disebabkan karena tingginya konsentrasi besi larut dalam tanah. Keracunan Fe selain disebabkan tingginya serapan Fe +2 dalam jaringan tanaman padi, juga berhubungan dengan berbagai faktor seperti ketidakseimbangan hara mineral (stres hara) (Dobermann dan Fairhurt 2000; Audebert 2006; Sahrawat 2004). Keracunan besi juga disebabkan kondisi lingkungan yang selalu tergenang (reduktif) dengan drainase jelek mengakibatkan semakin tingginya kadar Fe +2, dan keasaman (ph) tanah (Dobermann dan Fairhurt 2000; Sahrawat et al. 2004). Sahrawat dan Diatta (1996) mengemukakan konsentrasi Fe +2 dalam larutan di lahan sawah yang dapat mengakibatkan keracunan besi berkisar antara 10-2000 ppm. Batas kritis konsentrasi Fe dalam larutan tanah yang menyebabkan keracunan besi pada ph 3.7 adalah 100 ppm Fe dan pada ph 5.0 adalah 300 ppm atau lebih tinggi (Sahrawat et al. 1996). Pada tanah yang masam bentuk Fe yang tidak larut lebih mudah terlarut dalam bentuk Fe +2, sehingga pada tanah dengan ph sangat masam kadar Fe yang lebih rendah sudah dapat menyebabkan keracunan dibandingkan pada tanah dengan ph lebih tinggi. Menurut Sahrawat (2003), konsentrasi Fe +2 di dalam tanah meningkat cepat pada waktu penggenangan didorong oleh ph tanah awal yang rendah dan adanya Fe tanah yang mudah direduksi. Proses reduksi Fe(OH) 3 yang tidak larut menjadi Fe +2 di dalam tanah selain memerlukan elektron, juga memerlukan H + (Dent, (1986). Hasil penelitian Sulaiman et al. (1997) menunjukkan batas kritis konsentrasi Fe (ekstraksi 1N ammonium asetat ph 4.8) di dalam tanah yang dapat menyebabkan keracunan besi pada tanaman padi (IR 64) di lahan pasang surut adalah 260 ppm Fe. Hasil analisis tanah awal pada ke dua lokasi penelitian di lahan pasang surut mempunyai kadar Fe tanah 425 ppm Fe dengan ph 4.10 (Danda Jaya) dan 631 ppm Fe dengan ph 3.80 (KP. Belandean), kondisi tanah yang demikian mempunyai potensi menyebabkan keracunan besi pada tanaman yang peka seperti IR 64. Lokasi KP. Belandean dengan ph tanah yang lebih rendah

114 dan kadar Fe tanah yang lebih tinggi lebih berpotensi menyebabkan keracunan besi pada tanaman dibandingkan Danda Jaya. Seleksi genotipe toleran, atau untuk melihat perbedaan gejala keracunan besi antara genotipe toleran dan genotipe peka oleh beberapa peneliti sebelumnya dilakukan di rumah kaca pada larutan hara (hidroponik). Menurut (Ash et al. 2005) untuk menghindari adanya keragaman kondisi di lapang, seleksi genotipe toleran Fe dapat dilakukan pada kondisi yang terkontrol di rumah kaca menggunakan metode larutan hara. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya perbedaan dalam menggunakan metode seleksi padi dalam larutan hara di rumah kaca, terutama konsentrasi Fe dalam larutan hara, ph larutan, umur bibit dan lamanya dikenai stres Fe. Aung (2006) menggunakan konsentrasi Fe 1000 dan 1500 ppm Fe (FeSO 4 ), ph 5.0, umur bibit 4 minggu, dan lama stres Fe 3 hari. Dorlodot et al. (2005), menggunakan konsentrasi Fe 125-500 ppm Fe (FeSO 4 ), ph 4.5, umur bibit 4 minggu, lama stres Fe 4 minggu. Majerus et al. (2007), menggunakan konsentrasi Fe 250 dan 500 ppm Fe (FeSO 4 ), ph 4.5, umur bibit 24 hari, lama stres Fe sampai 10 hari. Mehraban et al. (2008), menggunakan konsentrasi Fe 10-500 ppm Fe (Fe-EDTA), ph 6.0, umur bibit 28 hari, lama stres Fe 17 hari. Kpongor (2003) menggunakan konsentrasi Fe 1000-3000 ppm Fe (FeSO4), ph = 5.0, umur bibit 28 hari, lama stres sampai 4 hari, media larutan hara+agar. Dorlodot et al. (2005) menyimpulkan dari hasil penelitiannya, konsentrasi 250 ppm Fe dalam larutan hara Yoshida atau lebih dapat digunakan untuk membedakan toleransi tanaman padi, karena terlihat jelas gejala keracunan Fe (bronzing), penurunan pertumbuhan dan ketahanan tanaman dalam waktu stres selama 4 minggu. Konsentrasi 250 ppm Fe dapat digunakan untuk membandingkan ketahanan varietas yang berbeda dalam kultur larutan. Kpongor (2003) dari hasil penelitiannya menyimpulkan konsentrasi 2000 ppm Fe dalam larutan hara Yoshida dengan waktu stres Fe 3 hari dapat digunakan untuk melihat perbedaan varietas toleran dan peka pada media agar+larutan hara. Hasil penelitian Bode (1995) lama stres Fe 8 hari menunjukkan gejala keracunan Fe yang jelas.

115 Untuk mengetahui ketepatan metode evaluasi toleransi tanaman padi terhadap Fe dalam media larutan hara perlu diverifikasi di lapang. Penampilan toleran atau peka di rumah kaca dalam media larutan apakah konsisten pada saat varietas tersebut ditanam di lapang ataukah menunjukkan gejala keracunan Fe yang lebih berat atau lebih ringan. Hasil penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui konsentrasi Fe dalam larutan yang dapat menyebabkan gejala keracunan Fe yang ringan-berat (percobaan 1) menggunakan varietas IR 64 telah diperoleh gejala keracunan Fe yang ringan (skor 3) adalah 52 ppm Fe, keracunan Fe sedang (skor = 5) = 143 ppm Fe, keracunan Fe agak berat (skor = 7) = 234 ppm Fe, dan gejala keracunan Fe yang berat (skor 9) adalah 325 ppm Fe. Seleksi genotipe berdasarkan konsentrasi 143 ppm Fe, dari 20 genotipe yang dievaluasi terdapat 11 genotipe dengan skor 3.0, sedangkan pada konsentrasi 325 ppm Fe hanya terdapat 5 genotipe dengan skor terendah (skor 5.0). Empat varietas TOX4136, Inpara-1, Inpara-2, dan Inpara-4 yang telah dipilih berdasarkan konsentrasi 325 ppm Fe selama 4 minggu dengan skor gejala keracunan Fe 5.0 (sedang) dan satu varietas peka IR 64 (skor Fe 7.7) ditanam di lapang pada dua lokasi lahan pasang surut. Hasil penelitian Gambar 7.1 menunjukkan semakin lama waktu stres semakin meningkat tingkat keracunan besi di rumah kaca maupun di lapang terutama pada lokasi KP. Belandean pada varietas yang peka atau agak toleran. Skor keracunan besi dari 5 genotipe di rumah kaca pada umur 4 minggu menunjukkan skor keracunan besi yang lebih tinggi dibandingkan skor keracunan besi di lapang di dua lokasi (percobaan 4) baik pada skor 4 minggu maupun 8 minggu setelah tanam. Inpara-1 dan Inpara-4 menunjukkan gejala keracunan lebih rendah di lapang di bandingkan genotipe lainnya. Sedangkan skor keracunan besi di rumah kaca pada umur 2 minggu menunjukkan gejala keracunan besi genotipe TOX4136 dan Inpara-2 lebih rendah dibandingkan di lapang, sedangkan genotipe Inpara-1 dan dan Inpara-4 gejala keracunan besi di rumah kaca lebih tinggi atau hampir sama dengan di lapang. Genotipe IR 64 menunjukkan gejala keracunan yang tidak jauh berbeda dirumah kaca dan di lapang baik pengamatan 4 minggu

116 maupun 8 minggu, dan konsisten selalu lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya (Gambar 7.1). Skoring keracunan Fe 9 8 7 6 5 4 3 2 1 TOX4136 Inpara-1 Inpara-2 Inpara-4 IR 64 325 ppm Fe 325 ppm Fe KP. Belandean Danda Jaya KP. Belandean Danda Jaya R. Kaca (2 minggu) R. Kaca (4 minggu) Lapangan (4 minggu) Lapangan (8 minggu) Lokasi dan waktu pengamatan Gambar 7.1. Gejala keracunan besi 5 genotipe padi di rumah kaca (konsentrasi 325 ppm Fe dalam larutan hara) dan di lahan pasang surut KP. Belandean dan Danda Jaya (perlakuan kontrol), MT. I. 2011 Skor gejala keracunan besi 4 genotipe yang terpilih dari percobaan rumah kaca (skor 5.0) menunjukkan gejala keracunan yang lebih rendah di lapang (2.0-4.3), terutama pada genotipe Inpara-1 dan Inpara-4. Hasil ini menunjukkan bahwa seleksi genotipe padi toleran pada konsentrasi Fe 325 ppm (larutan hara Yoshida) di rumah kaca selama 4 minggu bisa digunakan karena setelah diverikasi di lapang memberikan gejala keracunan Fe lebih rendah, sedangkan varietas peka (IR 64) tetap menunjukkan gejala keracunan Fe yang tidak jauh berbeda antara di rumah kaca (skor 7.7) dan di lapang (skor 7.0). Hal ini menunjukkan konsentrasi 325 ppm Fe pada ph 4.0 dalam larutan hara Yoshida di rumah kaca memberikan cekaman yang lebih berat dibandingkan lokasi penelitian di KP. Belandean (Fe tanah terekstrak ammonium asetat ph 4.8 = 631 ppm Fe) dan Danda Jaya (Fe tanah terekstrak ammonium asetat ph 4.8 = 425 ppm Fe). Adanya perubahan skor gejala keracunan yang lebih rendah pada genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 di lapang dibandingkan di rumah kaca, untuk evaluasi di rumah kaca sebaiknya dilakukan pada konsentrasi 325 ppm Fe.

117 Mungkin perlu dicoba untuk menguji genotipe toleran atau peka dalam larutan hara di rumah kaca antara cekaman agak berat-berat (234-325 ppm Fe). Penggunaan metode seleksi (penapisan) genotipe padi toleran di rumah kaca yang mempunyai korelasi yang tinggi dengan tingkat gejala keracunan besi dan produktivitas di lapang sangat diperlukan untuk mendapatkan genotipe padi toleran dalam waktu yang lebih cepat dan lebih murah serta lebih akurat dibandingkan seleksi langsung di lapangan. Konsentrasi Besi dalam Jaringan Tanaman yang Menyebabkan Keracunan Besi Kadar Fe dalam tanaman padi yang menyebabkan keracunan berbeda-beda tergantung perbedaan varietas dan umur tanaman pada waktu analisis jaringan tanaman. Menurut Yamauchi dan Peng (1995), keracunan besi terjadi karena penyerapan unsur Fe +2 yang melebihi 300 ppm. Sedangkan Fageria et al. (1981) melaporkan tingkat kadar Fe dalam tanaman yang menunjukkan gejala keracunan Fe berbeda-beda tergantung umur tanaman yaitu 680 ppm Fe pada umur tanaman 20 hari dan 850 ppm pada umur tanaman 40 hari. Menurut Yamauchi (1989) batas kritis keracunan Fe dalam jaringan untuk spesies padi Asia adalah 700 ppm Fe. Hasil analisis regresi hubungan antara kadar Fe tanaman dan tingkat keracunan besi dari data percobaan kombinasi genotipe padi dan ameliorasi lahan di lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya MT.I diperoleh persamaan regresi Y = 0.003X + 0.527 (Gambar 7.2) Skor keracunan Fe 8 7 6 5 4 3 2 1 0 y = 0.003x + 0.527 R² = 0.60*, n=50 0 500 1000 1500 2000 2500 Kadar Fe tanaman (ppm) Gambar 7.2. Hubungan kadar Fe tanaman dengan skor keracunan Fe berdasarkan data MT. I, KP. Belandean dan Danda Jaya

118 Berdasarkan persamaan regresi diperoleh pada tingkat keracunan besi dengan skor 2, 3, 5, 7, kadar Fe dalam tanaman berturut-turut adalah 491, 824, 1491, 2591 ppm Fe. Dari hasil ini diketahui keracunan besi pada tanaman padi dimulai pada konsentrasi Fe dalam tanaman 491 ppm (skor keracunan besi =2). Setiap peningkatan 333 ppm Fe dalam jaringan tanaman (tajuk) akan meningkatkan tingkat keracunan besi 1 poin. Sedangkan hasil penelitian Sulaiman et al. (1997) menunjukkan batas kritis keracunan Fe jaringan tanaman pada padi IR 64 di lahan pasang surut adalah lebih rendah yaitu sebesar 200 ppm Fe. Pertumbuhan Salvinia sp. pada Kondisi Cekaman Fe Waktu penggandaan Salvinia sp. (aksesi dari Sungai Kambat) di rumah kaca pada media larutan hara (Hoagland 1/5 konsentrasi) yang diberi cekaman 7 ppm Fe (ph 4.5) adalah 7.5 hari, sedangkan tanpa cekaman Fe waktu penggandaan Salvinia sp. lebih cepat (4.5 hari). Pada media tanah lahan pasang surut waktu penggandaan lebih lama lagi yaitu 7.9 hari. Pertumbuhan Salvinia sp. pada media tanah dari lahan pasang surut lebih terhambat dari media larutan hara 7 ppm Fe, hal ini disebabkan konsentrasi Fe pada air dipermukaan tanah yang lebih tinggi (7.9 ppm Fe) dan ph yang lebih rendah (3.86). Pertumbuhan Salvinia sp. (aksesi dari S. Kambat) di lapang lebih baik dibandingkan dengan percobaan di rumah kaca. Pertumbuhan Salvinia sp. yang lebih terhambat pada waktu pengujian di rumah kaca menunjukkan 7 ppm Fe dalam media larutan hara dan tanah dari lahan pasang surut (percobaan pot) memberikan cekaman yang lebih berat dibandingkan dengan pertumbuhan di lapang. Perbedaan pertumbuhan Salvinia sp. di pot pada media tanah dari lahan pasang surut di rumah kaca dengan di lapang karena adanya perbedaan karakteristik tanah yang digunakan di rumah kaca dengan di lapang. Tanah yang digunakan di rumah kaca mempunyai kadar Fe tersedia 1626 ppm Fe yang lebih tinggi dari kondisi di lapang 631 ppm Fe di KP. Belandean dan 425 ppm Fe di Danda Jaya. Hasil penelitian pada perlakuan Salvinia sp. yang ditumbuhkan di petakan sawah dengan dosis 100 g/m 2 basah (setara dengan 1 t/ha) setelah 1 bulan rata-

119 rata penutupan permukaan lahan di KP. Belandean 75 % dan Danda Jaya 70% (Gambar 7.3). Pada lokasi KP. Belandean menghasilkan rata-rata bobot basah Salvinia sp. 225 kg/petak 100 m 2 atau setara dengan 22.5 t/ha dengan kadar air ±90% (setara dengan 3.5 t/ha pada kadar air 35%), sedangkan pada lokasi Danda Jaya menghasilkan bobot basah Salvinia sp. 186 kg/petak atau setara dengan 18.6 t/ha dengan kadar air ±90% (setara dengan 2.9 t/ha dengan kadar air 35%). Waktu penggandaan Salvinia sp. di KP. Belandean adalah 5.1 hari dan di Danda Jaya 5.9 hari lebih cepat dibandingkan di rumah kaca. Gambar 7.3. Pertumbuhan Salvinia sp. di lapang di KP. Belandean dan Danda Jaya setelah ditumbuhkan selama 4 minggu. Pengamatan secara visual di rumah kaca juga menunjukkan Salvinia sp. yang ditumbuhkan di rumah kaca walaupun cukup cepat memperbanyak diri tetapi Salvinia sp. lebih kecil dibandingkan Salvinia sp. yang ditumbuhkan di lapang. Satu individu Salvinia sp. di rumah kaca diameter daunnya hanya sekitar 0.5-1 cm, sedangkan di lapang sekitar 1.5-3 cm. Pertumbuhan Salvinia sp. di KP. Belandean lebih baik dibandingkan di Danda Jaya dengan bobot biomas lebih tinggi dan waktu penggandaan lebih cepat. Perbedaan pertumbuhan Salvinia sp. pada dua lokasi ini diperkirakan karena adanya perbedaan kualitas air. Hasil analisis kualitas air di ke dua lokasi penelitian menunjukkan konsentrasi Fe di KP. Belandean (7.5 ppm Fe) lebih tinggi dari Danda Jaya (4.8 ppm Fe), tetapi konsentrasi N dan P di KP. Belandean (0.45 ppm NH 4 dan 1.75 ppm PO 4 lebih tinggi dari Danda Jaya (0.15 ppm NH 4 dan 0.22 ppm PO 4 ) (Tabel 7.1).

120 Tabel 7.1. Kualitas air permukaan pada saat Salvinia sp. ditumbuhkan (disebar) di lokasi penelitian KP. Belandean dan Danda Jaya Lokasi ph Fe (ppm) NH 4 (ppm) PO 4 (ppm) KP. Belandean 4.40 7.5 0.45 1.75 Danda Jaya 4.50 4.8 0.15 0.22 Selain tingginya konsentrasi Fe, menurut Cary dan Weerts (1984) konsentrasi unsur hara N dan P yang terlarut sangat mempengaruhi pertumbuhan Salvinia sp. Pada konsentrasi 2-20 ppm NH 4 dan 2-10 ppm PO 4, Salvinia sp. mempunyai biomas yang tinggi dengan waktu penggandaan yang cepat (< 4 hari), walaupun pada konsentrasi N dan P yang rendah (0.03 ppm NH 4 dan 0.02 ppm PO 4 ) Salvinia sp. masih dapat tumbuh (Cary dan Weerts 1983). Kemasaman (ph) air juga dapat mempengaruhi pertumbuhan Salvinia sp., umumnya Salvinia sp. dapat tumbuh baik pada kisaran ph 5.0-8.0. Pada ph 6.0 bobot biomas Salvinia sp. lebih tinggi 11% dari ph 5.0, 54 % dan 59% lebih tinggi dari ph 7.0 dan 8.0 (Cary dan Weerts 1984). Hasil penelitian yang telah dilakukan di rumah kaca pada larutan hara (Hoagland) menunjukkan peningkatan konsentrasi Fe 7 dan 14 ppm pada ph 4.5 menghambat pertumbuhan Salvinia sp. (Tabel 5.2). Konsentrasi 7 ppm Fe dan 14 ppm Fe menurunkan bobot biomas Salvinia sp. (aksesi dari S. Kambat) 50.3% dan 87.5% dari kontrol (0.5 ppm Fe). Hasil penelitian Begum dan HariHariKrisna (2010) menunjukkan pada konsentrasi 5 ppm Fe dalam media larutan hara, Salvinia sp. masih tumbuh secara normal dan efisien dalam (menyerap) Fe dari larutan. memindahkan Selain perbedaan kualitas air, lebih baiknya pertumbuhan Salvinia sp. di KP. Belandean diperkirakan karena lahan pada lokasi KP. Belandean yang selalu tergenang di bandingkan Danda Jaya yang kadang-kadang kering (macak-macak) selama pertumbuhan Salvinia sp. Gejala Keracunan Besi Tanaman Padi pada Dua Musim Tanam Gejala keracunan besi pada musim tanam pertama lebih berat dibandingkan musim tanam kedua baik di lokasi KP. Belandean maupun di Danda Jaya. Perbedaan gejala keracunan besi pada dua musim tanam terutama terlihat pada

121 genotipe padi yang peka seperti IR 64. Pada musim tanam I rata-rata skor keracunan besi IR.64 5.53 dan pada musim tanam II 3.47 pada loksi KP. Belandean, sedangkan pada lokasi Danda Jaya musim tanam I rata-rata 4.60 dan pada musim tanam II 2.27 (Gambar 7.4). Perbedaan skor keracunan besi pada dua musim tanam juga terlihat baik pada perlakuan ameliorasi lahan maupun genotipe padi. Pada lokasi KP. Belandean rata-rata gejala keracunan besi perlakuan ameliorasi lahan pada MT. I 3.07-4.32, pada MT. II 2.40-3.00, rata-rata perlakuan genotipe pada MT. I 2.27-5.53, pada MT. II 1.87-3.47. Pada lokasi Danda Jaya rata-rata gejala keracunan besi perlakuan ameliorasi lahan pada MT. I 2,58-3.34, pada MT. II 1.87-2.20, ratarata perlakuan genotipe pada MT. I 1.60-4.60, pada MT. II 1.33-2.27 (Gambar 7.4). Skoring keracunan Fe 6 5 4 3 2 1 KP. Belandean MT. I MT.II Danda Jaya Perlakuan genotipe dan amelioran Gambar 7.4. Rata-rata skor keracunan Fe padi umur 8 minggu pada perlakuan ameliorasi lahan dan genotipe padi selama dua musim tanam di dua lokasi penelitian Lebih rendahnya keracunan besi pada musim tanam kedua ini diperkirakan karena lahan pertanaman padi tidak selalu dalam keadaan tergenang (reduktif) dan bahkan sempat kekeringan dalam beberapa minggu. Kondisi lahan yang lebih sering dalam keadaan kering (oksidatif) menyebabkan adanya perubahan besi Fe +2 yang larut menjadi bentuk Fe +3 yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Tanah dalam keadaan selalu tergenang (reduktif) Fe +2 meningkat, sedangkan dalam keadaan kering (oksidatif) Fe +3 meningkat karena adanya perubahan besi ferro

122 menjadi besi ferri. Reaksi oksidasi-reduksi dalam tanah digambarkan oleh Dent (1986) sebagai berikut : Fe(OH) 3 + 3H + + e Fe 2+ + 3H 2 O Lebih rendahnya keracunan besi pada musim tanam II (musim kemarau) diperkirakan juga karena adanya proses pengeringan lahan yang menyebabkan sebagian Fe larut turun ke lapisan tanah lebih bawah atau tercuci ke saluran mengikuti gerakan turunnya air. Hasil analisis Fe tanah setelah panen MT.I. atau sebelum tanam pada MT.II menunjukkan kadar Fe di lokasi KP. Belandean berkisar antara 352-405 ppm Fe, sedangkan pada lokasi Danda Jaya lebih rendah lagi yaitu berkisar antara 133-184 ppm Fe. Kadar Fe tanah sebelum tanam pada MT.I. jauh lebih tinggi yaitu berkisar antara 525-761 ppm Fe pada lokasi KP. Belandean dan 428-528 ppm Fe pada lokasi Danda Jaya (Gambar 6.1). Pada musim tanam pertama perbedaan gejala keracunan besi tanaman padi antara perlakuan kontrol dengan perlakuan ameliorasi lahan terlihat cukup jelas, tetapi pada musim tanam ke dua perbedaannya hanya sedikit pada lokasi KP. Belandean dan bahkan tidak ada perbedaan pada lokasi Danda Jaya. Ameliorasi lahan pada KP. Belandean masih berpengaruh terhadap gejala keracunan besi pada MT. II, hal ini karena kadar Fe tanah sebelum tanam pada perlakuan kontrol yang lebih tinggi pada KP. Belandean (405 ppm Fe), sedangkan di Danda Jaya Kadar Fe tanah perlakuan kontrol lebih rendah (184 ppm Fe) (Gambar 6.1). Ameliorasi lahan menggunakan limbah panen, pupuk kandang dan Salvinia sp. dalam mengendalikan keracunan besi lebih berperan pada cekaman lingkungan yang lebih berat yaitu pada musim tanam pertama (musim hujan) dan tidak terlalu berperan pada musim tanam ke dua (musim kemarau). Hasil penelitian menunjukkan penggunaan bahan amelioran berupa bahan organik dalam ameliorasi lahan pasang surut dapat menurunkan gejala keracunan besi pada tanaman. Hal ini disebabkan kemampuan bahan organik dalam mengikat logam Fe dalam bentuk yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Menurut Jumberi dan Alihamsyah (2004) pemberian kompos jerami dapat mengurangi kadar besi dan sulfat serta meningkatkan hasil padi di lahan pasang surut. Bahan organik selain sebagai sumber hara juga meningkatkan daya pegang tanah terhadap pupuk yang diberikan, sehingga meningkatkan efisiensi pemupukan (Karama 1990).

123 Bahan organik seperti biomas Salvinia sp. yang telah mati menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mengikat logam-logam berat. Adanya konsentrasi yang tinggi dari lipid dan karbohidrat pada permukaan tanaman bertindak sebagai kelompok penukar kation yang berkonstribusi untuk penyerapan logam dengan reaksi pertukaran ion (Schneider dan Rubio 1999). Kemampuan biomas Salvinia sp. yang tinggi dalam mengikat logam ditunjukkan oleh besarnya permukaan spesifik (264 m 2 g -1 ) yang kaya dengan karbohidrat (48.50%) dan kelompok karboksil (0.95 mmol g -1 ) (Sanchez-Galvan et al. 2008). Adanya kelompok karboksilat pada permukaan sel menyediakan tempat untuk mengikat logam (Olguin et al. 2005). Hasil penelitian juga menununjukkan bahwa selain kadar Fe yang sudah ada di dalam tanah, air sangat berperan dalam memicu terjadinya keracunan besi pada tanaman. Genangan air yang lama di pertanaman padi terutama pada musim hujan menyebabkan tingginya kelarutan Fe +2 yang dapat diserap dan meracun pada tanaman, sedangkan tingkat keracunan besi pada musim tanam kedua (musim kemarau) jauh lebih rendah karena lahan pertanaman yang jarang dalam keadaan tergenang. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian keracunan besi selain ameliorasi lahan, diperlukan juga pengelolaan air (tata air). Pembuatan saluran drainase di lahan pertanaman diperlukan untuk membuang kelebihan air, sehinggga tanah dalam keadaan macak-macak atau jenuh air. Drainase lahan membuat kondisi lahan dalam kondisi oksidatif sehingga mengurangi kadar Fe +2 dalam larutan tanah. Pembuangan air yang tergenang di lahan juga akan mengeluarkan Fe larut dari lahan pertanaman padi sehingga mengurangi jumlah Fe yang ada dalam tanah. Pengeluaran air dari lahan pertanaman hanya bisa dilakukan bila sistem tata air berupa saluran tata air mikro, saluran kwartier, tersier dan pintu-pintu air dalam kondisi baik dan berfungsi. Pembuatan saluran drainase dangkal di lahan pertanaman dan pemeliharaan saluran tata air mikro, saluran kwartier, dan saluran tersier sangat diperlukan di lahan pasang surut dalam mengendalikan keracunan besi terutama pada musim hujan.

124 Hubungan antara Keracunan Besi dengan Hasil Gabah Hubungan antara keracunan besi dan hasil padi dari data hasil penelitian di lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya MT.I yang ditunjukkan dengan persamaan regresi eksponensial Y = 6.71e -0.17X (Gambar 7.5), memperlihatkan bahwa peningkatan skor gejala keracunan besi menyebabkan menurunnya hasil gabah. 7.0 Hasil gabah (t/ha) 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 y = 6.799e 0.17x R 2 = 0.70**, n=50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Skor keracunan Fe TOX4136 Inpara-1 Inpara-2 Inpara-4 IR. 64 Gambar 7.5. Hubungan antara skor gejala keracunan besi dengan hasil padi di lahan pasang surut pada MT.I. Gejala keracunan besi pada tanaman ditunjukkan dengan berkurangnya tinggi, jumlah anakan dan klorofil tanaman (Fageria et al. 2008). Menurut Audebert (2006), besi ferro yang diserap tanaman dan terkonsentrasi pada daun mengakibatkan gejala keracunan pada daun secara nyata mengurangi hasil. Peningkatan gejela keracunan besi 1 poin menurunkan hasil padi 0.43 t/ha. Pada kondisi tanpa keracunan besi (skor = 1) hasil padi 4.14 t/ha, peningkatan skor keracunan besi menjadi 7 menurunkan hasil padi menjadi 1.16 t/ha. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan keracunan besi menyebabkan berkurangnya hasil padi di lahan pasang surut. Berdasarkan persamaan regresi, hasil padi semakin menurun dengan meningkatnya gejala keracunan besi. Hubungan antara keracunan besi dan hasil padi yang ditunjukkan dengan persamaan regresi Y = 6.799e 0.17X (Gambar 7.5), hasil padi semakin menurun dengan meningkatnya gejala keracunan besi.

125 Pada kondisi tanaman tidak ada gejala keracunan besi (skor = 1) hasil padi = 5.74 t/ha, peningkatan skor keracunan besi menjadi 2, 3, 5, 7, dan 9 mengurangi hasil padi berturu-turut menjadi 4.84, 4.08, 2.91, 2.07, dan 1.47 t/ha atau menurunkan hasil padi 15.6, 28.8, 49.3, 63.9 dan 74.3% dari tanaman tanpa keracunan besi (skor 1). Hasil penelitian menunjukkan keracunan besi pada tanaman sangat nyata menurunkan hasil padi, pada tingkat keracunan yag berat skor keracunan 7-9 dapat menurunkan hasil 63.9-74.3% (Tabel 7.2). Tabel 7.2. Skor gejala keracunan besi dan hasil padi berdasarkan persamaan regresi Y = 6.71e -0.17X Skor keracunan besi Hasil padi (t/ha Penurunan hasil padi (%) 1 5.74-2 4.84 15.6 3 4.08 28.8 5 2.91 49.3 7 2.07 63.9 9 1.47 74.3 Hasil penelitian Audebert (2006), juga menunjukkan skor gejala keracunan besi sangat berkorelasi dengan hasil padi, peningkatan gejala keracunan besi 1 poin menurunkan hasil padi 0.426 t/ha. Pada kondisi tanpa keracunan besi (skor = 1) hasil padi 4.14 t/ha, peningkatan skor keracunan besi menjadi 3, 5 dan 7 menurunkan hasil padi menjadi 2.86 t/ha, 2.01 t/ha, dan 1.16 t/ha. Hasil penelitian Suhartini dan Makarim (2009) menunjukkan skor gejala keracunan besi sangat berpengaruh terhadap hasil gabah. Pada skor keracunan besi < 3.5 tanaman padi memberikan hasil gabah secara normal (> 4.3 t/ha) atau hanya terpengaruh sedikit oleh keracunan besi, sebaliknya peningkatan skor keracunan Fe > 4.5 hasil gabah yang diperoleh 2.01 t/ha Penggunaan bahan organik sebagai bahan untuk ameliorasi lahan di lahan pasang surut dapat mengurangi gejala keracunan besi dan meningkatkan hasil padi dibandingkan tanpa ameliorasi. Hasil padi pada lahan yang diberi perlakuan Salvinia sp. rata-rata 3.54-4.74 t/ha tidak berbeda nyata dengan pemberian jerami padi dan pupuk kandang (3.60-4.63 t/ha). Hal ini menunjukkan Salvinia sp. dapat digunakan sebagai bahan amelioran dan alternatif sumber bahan organik selain

126 pupuk kandang dan jerami padi di lahan pasang surut. Salvinia sp. yang ditumbuhkan di lahan (in-situ) kemudian dibenamkan lebih praktis dan murah dibandingkan menggunakan kompos pupuk kandang dan jerami padi yang dikomposkan di luar lahan (ex-situ) terutama dari segi tenaga kerja dalam pembuatan kompos dan pengangkutan bahan organik tersebut ke lahan. Salvinia sp. potensial digunakan sebagai bahan ameliorasi lahan karena banyak ditemukan di lahan rawa pasang surut dan mempunyai adaptasi yang tinggi untuk tumbuh pada lingkungan yang kurang menguntungkan. Selain itu menurut Arthur et al. (2007), Salvinia sp. potensial digunakan sebagai pupuk organik, karena selain pertumbuhannya yang cepat dengan jumlah biomas yang besar juga mengandung hara mineral (N, P, K, Ca, Mg) dan hormon pertumbuhan seperti sitokinin dan auxin. Salvinia sp. potensial dalam mendorong penggunaan input yang ramah lingkungan dalam pertanian berkelanjutan, mengurangi biaya dan penggunaan pupuk kimia. Hasil analisis kandungan hara Salvinia sp., jerami padi dan pupuk kandang yang digunakan dalam penelitian (Tabel 6.3) menunjukkan ketiga bahan organik mengandung hara N, P, K, Ca, Mg yang cukup tinggi sebagai pupuk organik. Pengendalian keracunan besi dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu melalui penggunaan genotipe toleran dan atau perbaikan lingkungan tumbuh seperti ameliorasi lahan. Penggunaan genotipe toleran yang mempunyai potensi hasil tinggi mempunyai beberapa keuntungan, yaitu mudah diadopsi oleh petani, lebih murah dan ramah lingkungan karena input yang diberikan lebih sedikit. Walaupun demikian, perakitan varietas toleran dengan hasil tinggi memerlukan waktu yang lama, biaya yang cukup banyak dan bersifat spesifik lokasi. Menurut Sahrawat (2003), pendekatan yang terintegrasi antara penggunaan genotipe toleran atau agak toleran dan pengelolaan tanah dan air secara ekonomis dan praktek lebih memungkinkan dibandingkan secara sendiri-sendiri dalam upaya meningkatkan produktivitas yang berkelanjutan pada lahan bermasalah keracunan besi.