PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING ANTARA GURU BERSERTIFIKASI DAN NON SERTIFIKASI

dokumen-dokumen yang mirip
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2005,

Subjective Well-Being Pada Guru Sekolah Menengah. Dinda Arum Natasya Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Subjective Well-being ditinjau dari faktor demografi pada petani sawit di Desa Rawa Bangun

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah combined

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA MASYARAKAT MISKIN DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO JEBRES SURAKARTA.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. penelitian antara dua kelompok penelitian.adapun yang dibandingkan adalah

Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU NEGERI DI SMAN I WONOSARI DENGAN GURU SWASTA DI SMA MUHAMMADIYAH I KLATEN. Skripsi

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan pada. bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini termasuk dalam penelitian komparatif. Menurut Sudjud

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. yakni angkanya dapat berbeda-beda dari satu objek ke objek yang lain.

BAB 3 METODE PENELITIAN. Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Psikologi Univesitas

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA GURU BANTU SD SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

RELATIONSHIP BETWEEN SPIRITUAL INTELLIGENCE AND SUBJECTIVE WELL-BEING IN CIVIL SERVANT GROUP II DIPONEGORO UNIVERSITY

PENGARUH SELF EFFICACY TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU SLB DI KOTA PADANG

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN

Abstrak. Kata-kata kunci: subjective well-being, kognitif, afektif, penghuni rumah susun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia seseorang dikatakan sejahtera apabila dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tersebutlah yang menjadi salah satu masalah bagi suatu kota besar.

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN SUBJECTIVE WELL- BEING PADA GURU SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

Pengaruh Pelatihan Syukur terhadap Subjective Well-Being pada Penduduk Miskin di Surakarta

BAB III METODE PENELITIAN

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental p-issn e-issn

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

ALTRUISME DENGAN KEBAHAGIAAN PADA PETUGAS PMI NASKAH PUBLIKASI. Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai. Derajat Gelar Sarjana (S-1) Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA DEWASA AWAL DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN DI KOTA BANDA ACEH

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. perilakuan religius terhadap kesejahteraan subjektif penderita gagal ginjal kronis

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. memiliki kesimpulan sebagai berikut : c) Ada hubungan antara kebahagiaan dengan kepuasan hidup.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. menekankan analisis pada data-data numerikal (angka) yang diolah

EFEKTIVITAS PELATIHAN RASA SYUKUR TERHADAP PENINGKATAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA ORANGTUA DENGAN ANAK TUNARUNGU ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas : Terapi Kebermaknaan Hidup

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PENARI STUDIO SENI AMERTA LAKSITA SEMARANG

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

LAPORAN PENELITIAN PERILAKU BERHUTANG DENGAN PERASAAN SENANG PADA MAHASISWA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method yang merupakan suatu

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN SUBJECTIVE WELL- BEING SISWA SMA NEGERI 1 BELITANG NASKAH PUBLIKASI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

BAB III METODE PENELITIAN

akan menjadi lebih bahagia. Faktor internal juga menjadi penentu penting yang individu miliki untuk menentukan kebahagiaan mereka khususnya saat

BAB III METODE PENELITIAN

PENGARUH OPTIMISME, DUKUNGAN SOSIAL, DAN FAKTOR DEMOGRAFIS TERHADAP KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PERAWAT

HUBUNGAN ANTARA PERFORMANCE GOAL ORIENTATION DENGAN SIKAP TERHADAP SERTIFIKASI GURU PADA MAHASISWA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS A

KONTRIBUSI RELIGIUSITAS TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan terdiri atas beberapa jenis, yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keras untuk meraih kebahagiaaan (Elfida, 2008).

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. yaitu dukungan sosial teman sebaya sebagai variabel bebas (X) dan kebahagiaan

DAFTAR ISI. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR ORISINALITAS... iii. LEMBAR PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... iv. KATA PENGANTAR... v. ABSTRAK...

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Marantha

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

Tyas Wulandari. Satuan Bhakti Pekerja Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia

HUBUNGAN ANTARA KEBERSYUKURAN DENGAN EFIKASI DIRI PADA GURU TIDAK TETAP DI SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

KESEJAHTERAAN SUBYEKTIF PADA ABDI DALEM KERATON KASUNANAN SURAKARTA

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN. A. Orientasi Kancah dan Persiapan Penelitian

PERBEDAAN KEBAHAGIAN PADA KELUARGA PRASEJAHTERA DAN SEJAHTERA DI DESA MOPUYA UTARA KECAMATAN DUMOGA UTARA KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Korban Pelecehan Seksual yang Berusia 8-12 Tahun di Sukabumi

PENDAHULUAN. usia pensiun 56 tahun pada PNS golongan III di kota Palangkaraya.

BAB I PENDAHULUAN. tahun sesudahnya menyebabkan timbulnya berbagai masalah. Banyak industri yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. berkaitan dengan variabel lain, berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2013)

SUBJECTIVE WELL-BEING (KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF) DAN KEPUASAN KERJA PADA STAF PENGAJAR (DOSEN) DI LINGKUNGAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden terdiri dari 101 orang yang terdiri dari 26 laki-laki (25,74 %), dan

DUKUNGAN SOSIAL DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA TENAGA KERJA WANITA PT. ARNI FAMILY UNGARAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

Hubungan antara Self-Efficacy dengan Subjective Well-Being pada Siswa SMA Negeri 1 Belitang

DESKRIPSI KONDISI KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU YANG BERSERTIFIKAT PENDIDIK

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan suatu kondisi apabila individu memiliki tekanan

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA MENANTU PEREMPUAN YANG TINGGAL DENGAN IBU MERTUA PUBLIKASI ILMIAH

yang lainnya, maupun interaksi dengan orang sekitar yang turut berperan di dalam aktivitas OMK itu sendiri,. Interaksi yang sifatnya saling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah

NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL ISTRI DENGAN KECEMASAN SUAMI MENJELANG MASA PENSIUN

Transkripsi:

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING ANTARA GURU BERSERTIFIKASI DAN NON SERTIFIKASI Fakhrunnisak, Hazhira Qudsyi Program Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Univesitas Islam Indonesia e-mail: fakhrunnisak18@gmail.com Abstract: The difference of subjective well being between certified teachers and noncertified teachers. This research attempt to find out the difference of subjective well being between certified teachers and non certified teachers. Data were collected from 58 certified teachers and 58 non certified teachers. Scale that used in this study is The Satisfaction with Life Scale by Diener, Emmons, Larsen and Griffin (1985) and Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) by Diener, Wirtz, Tov, Kim-Prieto, Choi, Oishi and Biswar-Diener (2009). The result of this study proved that there no differences of subjective well being between certified teachers and non certified teachers (p = 0.910; p > 0,05). So, the hypothetic on this research is decline. Keywords: Subjective well being, teacher, teaching certification. Abstrak: Perbedaan subjective well being antara guru bersertifikat dan guru nonsertifikasi. Upaya penelitian ini untuk mengetahui perbedaan subjective well being antara guru bersertifikat dan guru non bersertifikat. Data dikumpulkan dari 58 guru bersertifikat dan 58 guru non sertifikasi. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepuasan dengan skala Life oleh Diener, Emmons, Larsen dan Griffin (1985) dan skala positif dan negatif pengalaman (SPANE) oleh Diener, Wirtz, Tov, Kim-Prieto, Choi, Oishi dan Biswar-Diener (2009). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak ada perbedaan subjective well being antara guru bersertifikat dan guru non bersertifikat (p= 0,910 ; p > 0,05). Jadi, hipotetik pada penelitian ini adalah penurunan. Kata kunci: Subjective well being, guru, mengajar sertifikasi. PENDAHULUAN Guru merupakan komponen penting dalam proses pembelajaran bagi peserta didik karena guru sebagai pelaksana pendidikan merupakan ujung tombak tercapainya tujuan pendidikan. Guru yang berkualitas akan memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Menurut Suwardi (2014), guru yang 126

127 Jurnal RAP UNP, Vol. 6, No. 2, November 2015, hlm. 126-135 berkualitas adalah guru yang memiliki sejumlah persyaratan profesional. Dalam diri guru profesional terdapat sejumlah kemampuan, pengetahuan, dan komitmen yang dibutuhkan oleh sistem pembelajaran. Dengan guru profesional akan memungkinkan terjadinya perbaikan pelaksanaan pembelajaran, baik dalam proses pembelajaran maupun sistem evaluasinya. Hal ini menunjukkan bahwa guru profesional memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pembelajaran yang pada akhirnya akan mendukung pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan efisien (Suwardi, 2014). Namun masih ada masalah yang timbul, seperti kesejahteraan (Krisnayani, Maygayanti, Santi, & Dianti, 2014) yang akan menghambat terciptanya keprofesionalan seorang guru. Setiap individu memiliki persepsi, makna, dan penghayatan yang berbeda-beda atas kesejahteraan tersebut. Menurut Biswar dkk (Utami, 2012), subjective well being atau kesejahteraan subjektif didefinisikan sebagai evaluasi individu terhadap kehidupannya yang berkaitan dengan komponen kognitif dan emosional yang mencakup tiga komponen utama. Ketiga komponen utama subjective well being menurut Biswar dkk (Utami, 2012), yaitu banyaknya mengalami afek positif atau afek yang menyenangkan seperti kegembiraan, kelegaan hati, kasih sayang, sedikitnya mengalami afek negatif atau afek yang tidak menyenangkan seperti ketakutan, kemarahan, dan kesedihan, serta pendapat pribadi mengenai kepuasan hidup. Diener, Lucas dan Oishi (2002) menyimpulkan bahwa subjective well being adalah konsep umum yang mencakup emosi yang menyenangkan, tingkatan rendah dari perasaan negatif dan kepuasan hidup yang tinggi. Namun pada kenyataannya, subjective well being ini tidak didapatkan oleh banyak guru yang telah mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan selama bertahun-tahun (Krisnayani dkk, 2014). Sebagaimana yang dilansir dalam beritasatu.com (5/12/2014), Masalah kesejahteraan guru menjadi salah satu aspirasi yang mendominasi hasil Kunjungan Kerja Komisi IV DPRD Kalimantan Timur ke daerah selatan meliputi Kota Balikpapan dan Penajam Paser Utara (PPU), beliau berharap agar pemerintah provinsi lebih banyak memberikan perhatian terhadap kesejahteraan guru. Sebab mereka merupakan ujung tombak berlangsungnya roda pembelajaran. Jika kesejahteraan guru rendah tentu akan mempengaruhi kualitas pendidikan. Kesejahteraan yang dimaksud, terkait dengan penghasilan. Beliau mengatakan guru-guru di Kaltim harus mendapatkan penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliput gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan

Fakhrunnisak, Perbedaan Subjective Well Being 128 profesi, tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Kurangnya anggaran dana yang dialokasikan untuk dunia pendidikan, menyebabkan kesejahteraan seorang guru kurang terjamin. Guru-guru pada umumnya tidak begitu melibatkan diri dalam usaha mencari uang, namun menginginkan adanya jaminan ekonomi, agar dapat menutupi biaya kehidupan sehari-hari sesuai keperluannya. Untuk mencari jaminan ini guru atau anggota keluarganya sering terpaksa mencari sumber-sumber finansial lain (Krisnayani dkk, 2014). Jadi, dapat disimpulkan bahwa aspek finansial dapat menimbulkan ketegangan di kalangan guru. Sehingga mengakibatkan kurangnya keprofesionalan seorang guru, dan hasil belajar mengajar tidak dapat optimal (Krisnayani dkk, 2014). Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Berdasarkan UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005, guru-guru di Indonesia harus melewati sertifikasi guru. Hal ini dilakukan sebagai upaya dari pemerintah untuk meningkatkan mutu guru yang dibarengi dengan meningkatnya kesejahteraan guru, sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan (Purwandari, 2009). Menurut Indryawati (2010), sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar professional guru. Guru professional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Dengan kata lain, kegiatan sertifikasi guru ditujukan untuk meningkatkan kinerja profesionalitas guru. Guru diharapkan menjadi lebih berkualitas dan professional dalam menjalankan tugasnya. Hal ini menjadi tantangan bagi guru untuk selalu meningkatkan kualifikasinya, sehingga benar-benar menjadi guru yang professional (Purwandari, 2009). Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan pada guru yang bersertifikasi mengajar dan guru yang tidak bersertifikasi mengajar di sebuah sekolah yang ada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta terdapat perbedaan pendapat mengenai kesejahteraan setelah para guru tersebut mendapatkan sertifikasi. Hasil wawancara terhadap guru yang bersertifikasi mengajar yaitu beliau mengatakan bahwa dengan adanya sertifikasi ini memberikan dampak positif bagi guru dan sangat membantu sekali dalam pemenuhan kebutuhan. Berbeda halnya dengan guru yang tidak bersertifikasi mengajar, beliau mengatakan bahwa beliau belum merasakan

129 Jurnal RAP UNP, Vol. 6, No. 2, November 2015, hlm. 126-135 kesejahteraan dan dengan gaji yang didapat sekarang membuat beliau memiliki pekerjaan sampingan untuk dapat memenuhi kebutuhan. Hal tersebut akan mempengaruhi kinerja dan menurunkan motivasi serta konsentrasi dalam proses pembelajaran sehingga memunculkan afek negatif seperti emosi, pikiran dan perilaku negatif yang akan mengganggu proses pembelajaran di dalam kelas. Adanya perbedaan hasil wawancara yang telah dilakukan, maka terdapat tujuan dan maanfaat dari sertikasi guru. Menurut Wibowo (Suwardi, 2014), sertifikasi bertujuan untuk memberi perlindungan kepada profesi pendidik dan tenaga kependidikan, untuk melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten sehingga merusak citra pendidik dan tenaga kependidikan, untuk membantu dan melindungi lembaga penyelenggara pendidikan dalam mengembangkan ramburambu dan instrumen untuk melakukan seleksi calon pendidik dan tenaga kependidikan, untuk membangun citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan serta untuk memberikan solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan. Hal ini akan berdampak pada peningkatan kepuasan hidup dan afek positif seperti emosi, pikiran dan perilaku positif, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan subjektif guru. Berbeda halnya dengan pendapatan yang akan didapatkan oleh guru yang tidak bersertifikasi mengajar, sehingga akan berdampak pada menurunnya kepuasan hidup dan meningkatnya afek negatif yang akan mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada guru yang tidak bersertifikasi mengajar. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dijelaskan rumusan masalah yang akan diteliti yaitu, apakah terdapat perbedaan subjective well being pada guru tidak bersertifikasi mengajar?. METODE Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah subjective well being, dan variabel bebasnya adalah sertifikasi mengajar guru. Subjek dalam penelitian ini adalah guru tidak bersertifikasi mengajar di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pengolahan data yang dilakukan untuk menguji perbedaan variabel menggunakan software SPSS. Skala yang digunakan untuk mengungkap variabel subjective well being dalam penelitian ini merupakan hasil adaptasi dari Diener, Emmons, Larsen dan Griffin (1985) yaitu The Satisfaction with Life Scale & alat ukur yang digunakan oleh Diener, Wirtz, Tov, Kim-Prieto, Choi, Oishi, dan Biswas-Diener (2009) yaitu Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) dengan mengacu pada

Fakhrunnisak, Perbedaan Subjective Well Being 130 aspek-aspek subjective well being dari Diener dkk (2002) diantaranya adalah komponen kognitif (misal, kepuasan hidup) dan komponen afektif (misal: afek positif dan afek negatif). Skala subjective well being yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 15 aitem yang terdiri dari favorable (aitem yang mendukung variabel). Sedangkan pengelompokkan sertifikasi mengajar guru disusun berdasarkan informasi yang diperoleh dari identitas subjek yang diisikan dalam skala subjective well being. Skala subjective well being ini memuat lima pilihan jawaban yang menunjukkan frekuensi dari jawaban yang diberikan kepada subjek. Penilaian dilakukan berdasarkan metode skala modifikasi Likert, yang terdiri dari lima jenjang penilaian dengan besar nilai 1 sampai dengan 5. Lima pilihan jawaban tersebut adalah selalu (5), sering (4), kadang-kadang (3), jarang (2), dan tidak pernah (1). Skor total diperoleh dari jumlah keseluruhan skor aitem pada skala ini. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek pada butir aitem favorable, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektifnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian yang melibatkan 116 subjek ini menunjukkan adanya deskripsi psikologis subjek yang bersertifikasi mengajar, dimana terdapat 11 orang yang memiliki subjective well being yang sangat rendah, terdapat 12 orang yang memiliki subjective well being termasuk kategori rendah, terdapat 12 orang yang memiliki subjective well being yang sedang, terdapat 12 orang yang memiliki subjective well being termasuk kategori tinggi, dan 11 orang yang memiliki subjective well being termasuk kategori sangat tinggi. Sedangkan pada subjek yang tidak bersertifikasi mengajar terdapat 11 orang yang memiliki subjective well being yang sangat rendah, terdapat 12 orang yang memiliki subjective well being termasuk kategori rendah, terdapat 10 orang yang memiliki subjective well being yang sedang, terdapat 14 orang yang memiliki subjective well being termasuk kategori tinggi, dan 11 orang yang memiliki subjective well being termasuk kategori sangat tinggi. Selain dari itu, terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi subjective well being pada guru yang bersertifikasi mengajar dan guru yang tidak bersertifikasi mengajar, yakni berdasarkan jenis kelamin pada laki-laki (p = 0.735) dan perempuan (p = 0.316) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan. Begitu pula perbedaan pada guru tidak bersertifikasi mengajar ditinjau dari status pernikahan bahwa tidak ada perbedaan antara guru yang telah menikah (p = 0.915) maupun guru lajang (p = 0.682).

131 Jurnal RAP UNP, Vol. 6, No. 2, November 2015, hlm. 126-135 Berdasarkan hasil analisis, ditinjau dari aspek subjective well being, maka terdapat komponen afektif (afek positif dengan p = 0.708 dan afek negatif dengan p = 0.754 serta affect balance dengan p = 0.959, sehingga hasil analisis berdasarkan komponen afektif tidak memiliki perbedaan. Sedangkan dalam komponen kognitif (kepuasan hidup) memiliki nilai p = 0.860 (p > 0,05), sehingga hasil analisis berdasarkan kepuasan hidup (life satisfaction) juga tidak memiliki perbedaan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan guru yang bersertifikasi mengajar maupun guru yang tidak bersertifikasi mengajar ditinjau dari aspek subjective well being. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat aspek yang mendekati adanya pengaruh subjective well being pada guru tidak bersertifikasi mengajar yaitu pada aspek komponen afektif yaitu afek positif dengan nilai p = 0.708. Afek positif merupakan suatu kondisi yang sering memunculkan banyak perasaan yang menyenangkan, seperti sukacita, kegembiraan, kepuasan, kebanggaan, kasih sayang, dan kebahagiaan (Eddington & Shuman, 2008). Dari hasil penelitian terdapat afek positif yang tinggi pada guru yang bersertifikasi mengajar dan guru yang tidak bersertifikasi mengajar, guru merasakan perasaan yang menyenangkan dan menikmati pekerjaan mereka sebagai seorang guru. Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogen, data yang diperoleh dari subjek penelitian adalah data berdistribusi normal (p = 0,200) dan homogen (p = 0.271). Berdasarkan hasil analisis uji-t (independent sample t-test) rata-rata skor subjective well being pada guru yang bersertifikasi mengajar sebesar 2.6875 dan rata-rata skor subjective well being pada guru yang tidak bersertifikasi mengajar sebesar 2.6691. Hasil uji-t menunjukkan t sebesar 0.113 dengan p sebesar 0.910 dan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara subjective well being pada guru yang bersertifikasi mengajar dan guru yang tidak bersertifikasi mengajar, sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ditolak. Pembahasan Berdasarkan beberapa analisis di atas, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan subjective well being antara guru tidak bersertifikasi mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa subjective well being pada guru yang bersertifikasi mengajar dan guru yang tidak bersertifikasi mengajar dapat dikatakan sama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2013) juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan subjective well being apabila ditinjau dari

Fakhrunnisak, Perbedaan Subjective Well Being 132 faktor demografi (status pernikahan, jenis kelamin pada laki-laki dan perempuan, dan tingkat pendapatan yang berpenghasilan rendah, menegah terendah, menengah rendah, menengah menengah, menengah atas dan tinngi). Diener dkk (2002), mengatakan bahwa efek faktor demografis (pendapatan, jenis kelamin, usia, pendidikan, status pernikahan dan agama) terhadap subjective well being biasanya kecil. Sejauh mana faktor demografis dapat meningkatkan subjective well being tergantung dari nilai dan tujuan yang dimiliki seseorang, kepribadian dan kultur (Diener dkk, 2002). Penjelasan lain mengenai hubungan antara faktor demografis dan subjective well being adalah dengan menggunakan teori perbandingan sosial, dimana teori tersebut menjelaskan bahwa kepuasan seseorang tergantung pada apakah dia membandingkan dirinya dengan seseorang yang statusnya ada di atasnya atau di bawahnya (Gatari dalam Ningsih, 2013). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka persoalan subjective well being ini tergantung pada masingmasing guru. Ada beberapa guru yang tidak bersertifikasi mengajar mengungkapkan bahwa merasa sejahtera walapun belum mendapatkan sertifikasi, selalu mensyukuri apa yang telah didapatkannya. Ada pula guru yang telah bersertifikasi mengajar mengungkapkan bahwa merasakan sejahtera tetapi merasa keberatan apabila tuntutan yang diberikan oleh pemerintah banyak, kesannya seperti memberi kesejahteraan guru dengan sertifikasi tapi tuntutannya banyak sama saja bohong. Guru tersebut mengatakan bahwa solusi untuk pemerintah yaitu tuntutannya dikurangi, tidak perlu satu gaji, separuh gaji tidak masalah tetapi mengurangi tuntutan yang diberikan agar bisa menikmati kesejahteraan. Manfaat yang subjek dapatkan dari program sertifikasi adalah meningkatkan kesejahteraan dan subjek merasa lebih dihargai sehingga memotivasi subjek untuk melakukan peningkatan mutu dan pada saat subjek kesulitan ekonomi ada jalan yang memudahkan dengan datangnya sertifikasi tersebut. Subjek merasa puas dengan sertifikasi yang didapatkan, sertifikasi menurut subjek melihat sisi finansial dan disatu sisi adalah program pemerintah. Dengan makin tinggi perubahan makin tinggi kebutuhan. Penghasilan subjek berbeda dengan sebelum disertifikasi karena kebutuhan meningkat pemasukan juga meningkat. Beberapa pendukung pandangan ini menjelaskan bahwa pendapatan meningkatkan kebahagiaan hanya ketika kebutuhan dasar terpenuhi, hal tersebut dikarenakan mampu memiliki barangbarang material (Diener dkk, 2002). Faktor gaya hidup juga dapat mempengaruhi keterkaitan subjective well being dengan pendapatan. Arus budaya

133 Jurnal RAP UNP, Vol. 6, No. 2, November 2015, hlm. 126-135 konsumtif yang tengah marak pada kalangan kelas menengah dan kelas atas membawa individu memiliki kebutuhan yang semakin banyak diluar dari kebutuhan dasarnya. Sehingga besarnya pendapatan menjadi kurang berpengaruh dengan tingkatan subjective well being seseorang, maka tidak mengherankan ketika individu dengan pendapatan kelas menengah-menengah memiliki subjective well being yang lebih kecil dibanding individu dengan tingkat pendapatan kelas menengah rendah atau bahkan dengan yang berpendapatan rendah sekalipun (Ningsih, 2013). Alasan pendapatan tidak terlalu kuat pengaruhnya terhadap subjective well being karena kebanyakan orang yang memiliki pendapatan lebih tinggi harus menghabiskan waktu lebih banyak untuk bekerja dan memiliki sedikit waktu untuk bersenangsenang dan berhubungan sosial (Diener & Diener, 2009). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan subjective well being antara guru yang bersertifikasi mengajar dan guru yang tidak bersertifikasi mengajar. Begitu pula, tidak ada perbedaan subjective well being jika ditinjau dari aspek, yaitu komponen afektif (afek positif dan afek negatif) dan komponen kognitif (kepuasan hidup) serta ditinjau dari faktor demografis subjek, seperti jenis kelamin, pendapatan, dan status pernikahan khususnya pada guru-guru yang ada di lima sekolah yang menjadi subjek penelitian di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Tidak ada perbedaan subjective well being antara guru yang bersertifikasi mengajar dan yang tidak bersertifikasi mengajar yang menikah dan tidak menikah, perempuan dan laki-laki, yang memiliki tingkat pendapatan rendah maupun tinggi. Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti mengajukan beberapa saran, antara lain: 1. Bagi Subjek Penelitian Peneliti mengharapkan agar para guru yang telah bersertifikasi mengajar terus mengembangkan diri dengan kemampuan dan dapat meningkatkan kualitas sebagai tenaga pengajar dan pendidik sehingga dapat membawa perbaikan mutu pendidikan Selain itu, peneliti mengharapkan akan lebih baik apabila subjek penelitian memiliki afek positif yang tinggi, dimana sering memunculkan banyak perasaan yang menyenangkan seperti sukacita, bersyukur, bahagia dan puas sehingga subjek penelitian lebih bisa menikmati pekerjaannya sebagai seorang guru tanpa mempertimbangkan imbalan yang diperoleh. Peneliti mengharapkan agar para guru yang tidak bersertifikasi mengajar lebih

Fakhrunnisak, Perbedaan Subjective Well Being 134 termotivasi lagi untuk dapat mengembangkan diri dengan kemampuan dan dapat meningkatkan kualitas sebagai tenaga pengajar dan pendidik dengan lebih sering mengikuti seminar-seminar atau acara-acara yang bertemakan pendidikan agar lebih menambah pengalaman para guru dalam proses belajar mengajar agar bisa mendapatkan sertifikasi mengajar guru. 2. Bagi peneliti selanjutnya Peneliti mengharapkan agar peneliti selanjutnya lebih mendalam membahas mengenai subjective well being antara guru tidak bersertifikasi mengajar menggunakan variabel atau dengan aspek-aspek psikologis lainnya, misalnya ditinjau dari kepribadian dan dukungan sosial dengan metode yang sama atau berbeda. Diharapkan penelitian selanjutnya dalam pengambilan data dilakukan dengan cara menemui satu persatu subjek penelitian dan ditunggui atau dibantu dalam pengisian angket sehingga terjamin angket diisi tidak pada orang yang berbeda dan tidak ada kesengajaan kerjasama dalam pengisian angket. DAFTAR RUJUKAN Diener, E.D., Emmons, R.A., Larsen, R.J., & Griffin, S. (1985). The Satisfaction With Life Scale. Journal of Personality Assessment, 49:1. Diener, E. (2000). Subjective well-being - The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist, 55(1), 34-43. Diener, E., Lucas, R. E., & Oishi, S. (2002). Subjective well-being: The Science of Happiness and Life Satisfaction. In Snyder, C.A & Lopez, S,J (Edited). Handbook of Positive Psychology (63-73). New York: Oxford University Press. Diener, E.D., Wirtz, R., Biswas-Diener, R., Tov, W., Kim-Pierto. C., Choi, D., & Oshi, S. (2009). New Measures of Well-Being. Social Research Indicators Research Series 39, DOI 10.1007/978-90-4821-2354-4_12. Diener. E., & Diener. (2009). Will money increase subjective well being? : A literature review and guide to needed research. In In E. Diener (Ed), The science of well being. New York: Springer Science Business Media. Eddington, N., & Shuman, R. (2008). Subjective well being (happiness). California: Continuing Psychology Education Inc. Indryawati, R. (2010). Kesejahteraan Psikologis Guru yang Mendapatkan Sertifikasi. Naskah Publikasi. Bekasi. Krisnayani, P., Maygayanti, N.M.E., Santi, N.P.Y.P., & Dianti, N.P.S. (2014). Perbandingan Kesejahteraan Guru di Indonesia. Naskah Publikasi. Universitas Pendidikan Ganesha. Ningsih, D. A. (2013). Subjective well being ditinjau dari faktor demografi (status pernikahan, jenis kelamin,

135 Jurnal RAP UNP, Vol. 6, No. 2, November 2015, hlm. 126-135 pendapatan). Jurnal Online Psikologi, vol. 01, no. 02, 581-603. Purwandari. (2009). Sertifikasi Guru: Sebagai Upaya Pengukuhan Guru yang Professional. Seminar Nasional. Universitas Negeri Yogyakarta. Soal Kesejahteraan Guru, Dominasi Masalah Tenaga Pendidik di Kaltim. 2014. Diakses pada tanggal 22 Juni 2015 dari http://www.beritasatu.com/kesra/2306 84-soal-kesejahteraan-guru-dominasimasalah-tenaga-pendidik-dikaltim.html Suwardi. (2014). Dampak Sertifikasi terhadap Peningkatan Kualitas Guru. Naskah Publikasi. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003. Diunduh dari http://kemenag.go.id/file/dokumen/uu 2003.pdf Utami, M. S. (2012). Religiusitas, Koping Religius, dan Kesejahteraan Subjektif. Jurnal Psikologi, 39(1), 46-66.