KAJIAN BIO-TEKNIK PERIKANAN MUROAMI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU ANDIKA SEPTIAWAN

dokumen-dokumen yang mirip
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Ekor Kuning

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

3. METODE PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

BAB III METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Jenis dan Sumber Data

3 METODOLOGI PENELITIAN

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

PENGKAJIAN HASIL TANGKAPAN MUROAMI DI KEPULAUAN SERIBU RIBKA PUJI RASPATI SKRIPSI

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3.3 Pengumpulan Data Primer

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

3. METODE PENELITIAN

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

HASAN BASRI PROGRAM STUDI

MAKALAH ALAT TANGKAP DRIVE IN NETS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

3 METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

BAB III METODE PENELITIAN

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

3. METODE PENELITIAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN

FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

KAJIAN BIO-TEKNIK PERIKANAN MUROAMI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU ANDIKA SEPTIAWAN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Bio-Teknik Perikanan Muroami di Perairan Kepulauan Seribu adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Desember 2009 Andika Septiawan

ABSTRAK ANDIKA SEPTIAWAN. C44051021. Kajian Bio-teknik Perikanan Muroami di Perairan Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh DINIAH. Muroami merupakan salah satu alat penangkap ikan yang efektif dalam menangkap ikan karang. Di sisi lain ikan hasil tangkapan muroami di Perairan Kepulauan Seribu semakin mengecil ukurannya. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah habitat ikan karang yang telah mengalami kerusakan serius sehingga tidak mampu menunjang kebutuhan hidup ikan karang dengan baik. Pengoperasian muroami terindikasi berperan dalam kerusakan terumbu karang tersebut. Pengamatan terhadap desain, konstruksi dan metode pengoperasian muroami diharapkan dapat menemukan akar permasalahan sekaligus solusi terhadap permasalahan tersebut. Selain itu, pengamatan terhadap panjang dan bobot ikan ekor kuning (Caesio cuning) diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap seberapa jauh pengaruh kerusakan yang ditimbulkan muroami terhadap populasi ikan ekor kuning. Jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan muroami adalah ikan ekor kuning dengan persentase 46,97% dari total hasil tangkapan tahun 2008. Rata-rata produksi ikan ekor kuning oleh alat tangkap muroami adalah 14,65 ton per bulan dengan produktivitas 1,80 ton per unit. Dengan menggunakan pendekatan model Algoritma Fox, maka diperoleh nilai effort lestari (E MSY ) sebesar 70 trip per bulan dan nilai hasil tangkapan lestari (h MSY ) sebesar 21,49 ton per bulan. Dari 300 sampel ikan ekor kuning yang diamati, 44,33% merupakan ikan dengan ukuran belum layak tangkap. Dari segi konstruksi, ukuran mata jaring muroami rata-rata 1-3 inch menyebabkan ikan karang yang berukuran kecil pun dapat tertangkap oleh muroami, hal tersebut dapat mengancam keberlangsungan hidup populasi ikan karang karena ikan tersebut sudah tertangkap sebelum sempat bereproduksi. Dari segi metode pengoperasian, penggiringan ikan yang dilakukan nelayan muroami dengan menginjak-injak terumbu karang merupakan salah satu penyebab kerusakan terumbu karang yang terjadi di Perairan Kepulauan Seribu. Kata kunci: muroami, ikan ekor kuning, Perairan Kepulauan Seribu

KAJIAN BIO-TEKNIK PERIKANAN MUROAMI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU ANDIKA SEPTIAWAN Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Judul Skripsi Nama NIM : Kajian Bio-teknik Perikanan Muroami di Perairan Kepulauan Seribu : Andika Septiawan : C44051021 Menyetujui: Dosen Pembimbing, Ir. Diniah, M.Si. NIP: 19610924 198602 2 001 Mengetahui: Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: 19621223 198703 1 001 Tanggal lulus: 01 Desember 2009

KATA PENGANTAR Skripsi ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sejumlah pihak menyangkut ukuran ikan ekor kuning hasil tangkapan muroami yang semakin mengecil. Apakah hal ini disebabkan oleh faktor teknik dari unit penangkapan muroami, atau disebabkan oleh faktor lain. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ir. Diniah, M.Si. selaku pembimbing yang telah membantu penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, akan tetapi berkat bantuan dari semua pihak, kesulitan-kesulitan tersebut dapat diatasi. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca. Bogor, Desember 2009 Andika Septiawan

UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1) Kedua orangtua yang telah memberikan semangat dan dorongan selama masa studi di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan baik berupa moril dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 2) Ir. Diniah, M.Si., selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik; 3) Dr. Mohammad Imron, M.Si., selaku komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik; 4) Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS dan Ir. Ronny Irawan Wahyu, M.Phil., selaku penguji tamu yang telah memberikan masukan dan saran, sehingga isi skripsi ini menjadi lebih sempurna; 5) Kepala Seksi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Bapak Sugeng beserta staff, khususnya Om Nelson, Pak Sairan (Abah), Pak Apen, Pak Satibi, Pak Firdy, Pak Mukmin, Mas Guntur, dan Oman yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung; 6) Kepala Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Seribu, Dr.Ir. Liliek Litasari, MM beserta staff, khususnya Pak H. Sadeli, Pak Erwin dan Romlah yang telah banyak membantu penulis selama penelitian; 7) Teman-teman seperjuangan Nano, Desi, Astri, Olva, Herry, Avie, Ebith, Fajar, Wawan, Hasbi, Dayu dan Bagus yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung; 8) Bapak dan Ibu Abdullah beserta keluarga, Pak H. Sabilal beserta crew, Pak Entong beserta crew, Dio dan Kapten yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung; 9) Teman-teman PSP khususnya angkatan 42 yang saya sayangi, atas segala dukungan dan bantuan selama penyusunan skripsi ini berlangsung; 10) Pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 September 1987 dari Bapak Sidin dan Ibu Meti. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis lulus SMA Negeri 3 Bogor pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Depatemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor setelah lulus dari Tingkat Persiapan Bersama pada tahun 2006. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Alat Penangkapan Ikan pada tahun ajaran 2007/2008, 2008/2009 dan 2009/2010, mata kuliah Dasar-dasat Perikanan Tangkap pada tahun ajaran 2007/2008, 2008/2009 dan 2009/2010, serta mata kuliah Praktek Laut Penangkapan Ikan pada tahun ajaran 2009/2010. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian untuk menyusun skripsi dengan judul Kajian Bio-teknik Perikanan Muroami di Perairan Kepulauan Seribu. Penulis dinyatakan lulus dalam sidang Skripsi yang diselenggarakan oleh Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada tanggal 01 Desember 2009.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR.. v DAFTAR TABEL.. vi DAFTAR LAMPIRAN.. vii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 2 1.2 Tujuan Penelitian 2 1.3 Manfaat Penelitian.. 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Ekor Kuning... 4 2.2 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Muroami.... 5 2.2.1 Definisi dan klasifikasi.. 5 2.2.2 Alat tangkap.. 6 2.2.3 Kapal. 7 2.2.4 Nelayan.. 7 2.3 Metode Pengoperasian Muroami 8 2.4 Daerah Pengoperasian dan Ekosistem Terumbu Karang... 9 2.5 Hasil Tangkapan Muroami. 10 2.6 Sumberdaya Ikan Karang... 11 2.7 Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan... 12 2.8 Analisis Teknik.. 13 2.9 Analisis Biologi.. 14 2.10 Analisis Bio-teknik. 15 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian. 21 3.2 Peralatan.. 21 3.3 Metode Penelitian 21 3.4 Sumber Data.... 22 3.5 Metode Analisis Data.. 22 3.5.1 Analisis teknik 22 3.5.2 Analisis biologi.. 23 3.5.3 Analisis bio-teknik. 23 3.5.4 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan karang di Perairan Kepulauan Seribu... 25 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Kepulauan Seribu. 26 4.1.1 Letak geografis.. 26 4.1.2 Tofografi 26 4.1.3 Iklim.. 27 4.1.4 Hidro-oseanografi.. 28 4.1.5 Demografi.. 28

4.2 Kondisi Umum Perikanan Tangkap di Kepulauan Seribu.. 30 4.2.1 Alat tangkap... 30 4.2.2 Kapal ikan.. 31 4.2.3 Nelayan.. 32 4.4.4 Daerah penangkapan ikan.. 33 4.3 Aktivitas Pengoperasian Muroami.. 35 4.3.1 Sejarah perkembangan muroami di Kepulauan Seribu.. 35 4.3.2 Deskripsi unit penangkapan muroami....... 36 4.3.3 Metode pengoperasian muroami.... 44 4.3.4 Daerah dan musim penangkapan... 47 4.3.5 Komposisi hasil tangkapan... 48 4.3.6 Analisis biologi ikan ekor kuning.. 48 4.3.7 Analisis bio-teknik ikan ekor kuning. 51 4.3.8 Evaluasi teknis kegiatan pengoperasian muroami..... 57 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan.. 62 5.2 Saran 63 DAFTAR PUSTAKA.. 64 LAMPIRAN. 67

DAFTAR TABEL Halaman 1 Formula perhitungan pengelolaan sumberdaya ikan pada kondisi optimal 25 2 Jumlah pulau dan luas wilayah di Kepulauan Seribu... 27 3 Kepadatan penduduk di wilayah Kepulauan Seribu... 30 4 Jumlah alat tangkap menurut jenis di Kepulauan Seribu... 31 5 Jumlah armada perikanan di Kepulauan Seribu..... 32 6 Jumlah nelayan menurut lama melaut di Kepulauan Seribu.. 33 7 Perbandingan antara muroami lama dengan muroami baru... 36 8 Spesifikasi kapal utama dan sampan muroami... 43 9 Pembagian tugas nelayan muroami.... 44 10 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu.. 56

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Ikan ekor kuning. 4 2 Muroami saat dioperasikan... 6 3 Kurva pertumbuhan logistik... 16 4 Pengaruh aktivitas penangkapan terhadap stok... 17 5 Kurva produksi lestari-upaya (Yield-effort curve). 18 6 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin 29 7 Peta zonasi wilayah dan daerah penangkapan ikan di Kepulauan Seribu. 34 8 Konstruksi jaring kantong muroami.. 37 9 Konstruksi jaring darat.. 38 10 Konstruksi jaring tengah 39 11 Alat bantu penangkapan (Kecrik).. 40 12 Kapal utama dan sampan muroami... 41 13 Konstruksi kapal utama dan sampan muroami tampak atas. 42 14 Ilustrasi jaring muroami saat pengoperasian 46 15 Komposisi hasil tangkapan muroami pada tahun 2008. 48 16 Sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning. 49 17 Panjang aktual ikan ekor kuning yang tertangkap dan panjang pertama kali matang gonad (Lm).... 49 18 Hubungan antara panjang dan bobot ikan ekor kuning. 50 19 Perkembangan produksi ikan ekor kuning di PPI Pulau Pramuka pada periode Mei 2007 - April 2009.. 51 20 Perkembangan upaya penangkapan ikan ekor kuning di PPI Pulau Pramuka pada periode Mei 2007 - April 2009.. 52 21 Perkembangan produktivitas muroami di PPI Pulau Pramuka pada periode Mei 2007 - April 2009.. 52 22 Nilai CPUE unit penangkapan muroami periode Mei 2007 April 2009.. 53 23 Hubungan CPUE dengan Effort unit penangkapan muroami... 54 24 Kurva produksi lestari... 55 25 Kurva produksi lestari dan produksi aktual... 55

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta lokasi penelitian dan daerah penangkapan ikan di perairan Kepulauan Seribu... 68 2 Jaring kantong muroami..... 69 3 Jaring sayap muroami.... 70 4 Alat bantu penangkapan 71 5 Perlengkapan penunjang dalam kegiatan penangkapan ikan 72 6 Alat bantu selam yang digunakan nelayan muroami di Kepulauan Seribu 73 7 Perlengkapan selam... 74 8 Pengoperasian muroami di Kepulauan Seribu.. 75 9 Ikan hasil tangkapan dominan muroami 77 10 Data panjang dan bobot ikan ekor kuning. 78 11 Perhitungan nilai CPUE.... 82 12 Hasil regresi dengan menggunakan model Schaefer..... 83 13 Perhitungan nilai K, q dan r menggunakan model Algoritma Fox 84 14 Perhitungan nilai h MSY, E MSY dan x MSY 87 15 Perkembangan volume produksi muroami menurut jenis ikan tahun 2008... 88

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan karang adalah salah satu kelompok ikan yang cukup sulit untuk di tangkap, terutama dalam jumlah yang besar. Hal tersebut dikarenakan sifat ikan karang yang suka bersembunyi pada celah-celah di terumbu karang yang merupakan habitatnya. Oleh karena itu, bermunculan metode penangkapan ikan karang yang dapat merusak lingkungan di sekitarnya, misalnya menangkap ikan menggunakan bom ikan dan potassium. Muroami adalah salah satu unit penangkapan ikan berbentuk kantong, terbuat dari jaring dan digunakan untuk menangkap ikan karang secara aman atau ramah lingkungan. Alat penangkap ikan yang ramah lingkungan lainnya adalah pancing dan bubu. Muroami pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh nelayan Jepang kira-kira pada tahun 1925, tetapi nelayan di Kepulauan Seribu baru ikut ambil bagian dalam perikanan muroami pada tahun 1933 (Subani dan Barus 1989). Pada kenyataannya ikan hasil tangkapan muroami di Perairan Kepulauan Seribu semakin mengecil ukurannya. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah faktor lingkungan, yaitu habitat ikan karang telah mengalami kerusakan serius, sehingga tidak mampu menunjang kebutuhan hidup ikan karang dengan baik. Pengoperasian muroami terindikasi berperan juga dalam kerusakan terumbu karang tersebut. Oleh karena itu pengkajian aspek bio-teknik unit penangkapan muroami ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Selanjutnya penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui desain, konstruksi, metode pengoperasian dan komposisi hasil tangkapan. Penulis juga mencoba membuat gambaran tentang pola pertumbuhan ikan ekor kuning, serta mengetahui nilai produksi lestari dan effort optimum dalam pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu. Hal ini dilakukan dalam kaitannya dengan pengaruh pengoperasian muroami terhadap lingkungan terumbu karang sebagai habitat ikan karang yang menjadi target tangkapan utama muroami.

2 1.2 Perumusan Masalah Dalam pengelolaan sumberdaya ikan terdapat permasalahan unum yang sering dihadapi, salah satunya adalah permasalahan biologi dan ekologi. Permasalahan biologi yang dimaksud adalah terancamnya kelestarian stok sumberdaya ikan akibat terjadinya overfishing dan rusaknya habitat ikan akibat pengoperasian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu cara yang dilakukan oleh para ahli perikanan dengan mengendalikan intensitas upaya penangkapan ikan dan melarang penggunaan alat penangkapan ikan yang bersifat tidak ramah lingkungan. Ikan ekor kuning (Caesio cuning) merupakan hasil tangkapan utama dari alat tangkap muroami di Perairan Kepulauan Seribu yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Semakin meningkatnya permintaan terhadap komoditas ini mengakibatkan semakin meningkat pula upaya penangkapan terhadap sumberdaya ikan karang ini. Dalam jangka panjang kondisi ini akan mengakibatkan penurunan stok sumberdaya ikan dan bahkan dapat punah apabila tidak dikelola dengan baik. Dilain pihak, pengoperasian muroami yang tergolong ramah lingkungan, dalam kenyataannya di lapangan, alat tangkap ini terindikasi berperan dalam kerusakan terumbu karang. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dipecahkan adalah 1) Apakah pada pengoperasianya muroami merusak terumbu karang yang merupakan habitat dari berbagai jenis ikan karang? 2) Apakah pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu telah optimal? 3) Bagaimana pengaruh pemanfaatan ikan ekor kuning terhadap kondisi biologis ikan tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1) Mendeskripsikan keragaan teknik unit penangkapan muroami, meliputi desain dan konstruksi, metode pengoperasian unit penangkapan muroami serta pengaruhnya terhadap habitat ikan karang di Perairan Kepulauan Seribu;

3 2) Menentukan komposisi hasil tangkapan unit penangkapan muroami, menghitung nilai produksi lestari dan effort optimum dalam pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu; 3) Menentukan pola pertumbuhan jenis hasil tangkapan unit penangkapan muroami yang dominan di Perairan Kepulauan Seribu; 1.4 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1) Bagi penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 2) Bagi nelayan setempat sebagai informasi tentang dampak pengoperasian unit penangkapan muroami terhadap habitat ikan karang dalam kaitannya dengan produktivitas unit penangkapan ikan. 3) Bagi pemerintah daerah maupun Dinas Perikanan dan Kelautan Kepulauan Seribu serta Taman Nasional Kepulauan Seribu sebagai informasi tentang dampak pengoperasian unit penangkapan muroami terhadap habitat ikan karang dalam kaitannya dengan kelestarian terumbu dan ikan karang, serta bahan pertimbangan dalam pengembangan unit penangkapan ikan muroami. 4) Bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan informasi tentang unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu.

4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Ekor Kuning Ikan ekor kuning (Caesio cuning) atau redbelly yellowtail fusilier biasanya hanya dapat ditemukan di perairan tropis (31 LU - 22 LS dan 76 BT - 172 BT), perairan dengan hamparan terumbu karang merupakan habitat dari ikan ini. Distribusi ikan ekor kuning tersebar di daerah Indo-Pasifik barat dari Sri Lanka hingga Vanuatu serta selatan Jepang hingga utara Australia (www.fishbase.com 2009). Gambar 1 Ikan ekor kuning. (www.fishbase.com 2009) Klasifikasi ikan ekor kuning menurut Bloch (1791) adalah sebagai berikut (www.zipcodezoo.com 2009): Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Infraphylum : Gnathostomata Superclass : Osteichthyes Class : Actinopterygii Subclass : Actinopterygii Infraclass : Actinopteri Cohort : Clupeocephala Superorder : Acanthopterygii Order : Perciformes Suborder : Percoidei Family : Caesionidae Genus : Caesio Species : Caesio cuning

5 Ikan ekor kuning memiliki bentuk badan memanjang, melebar dan gepeng. Dua gigi taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras 10 dan 15 jari-jari lemah pada sirip punggung. Tiga jari-jari keras dan 11 jari-jari lemah pada sirip dubur. Ikan ini memiliki sisik tipis dan terdapat 52-58 pada garis rusuknya. Sisik-sisik kasar di bagian atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala mulai dari mata. Menurut Allen et al. (2007), ikan ekor kuning dapat mencapai panjang hingga 50 cm. Ikan ekor kuning biasanya membentuk scooling yang besar dan dapat ditemui di kedalaman 1-60 meter. Makanan utama ikan ekor kuning merupakan zooplankton. Dari seluruh family caesionidae, spesies ini merupakan jenis yang paling toleran terhadap perairan yang keruh. 2.2 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Muroami 2.2.1 Definisi dan klasifikasi Menurut Subani dan Barus (1989), muroami berasal dari kata muro yang merupakan ikan jenis Carangidae dan ami yang berarti jaring. Muroami sendiri merupakan salah satu jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang. Jika dilihat dari metode pengoperasiannya, muroami dapat digolongkan ke dalam drive-in-net atau alat tangkap dengan penggiring. Menurut Subani dan Barus (1989), drive-in-net adalah suatu usaha penangkapan yang dalam pengoperasiannya dilakukan sedemikian rupa dengan menggiring ikan target penangkapan agar masuk ke dalam jaring yang telah dipasang sebelumnya, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2. Drive-in-net termasuk golongan alat penangkap ikan yang bersifat pasif. Arti pasif yang dimaksud bukanlah dikarenakan alat tangkap tersebut tidak bergerak atau statis, melainkan dilihat dari kerelaan ikan masuk ke dalam alat tangkap. Jika ikan secara sukarela masuk ke dalam alat tangkap, maka alat tangkap tersebut dikatakan bersifat pasif. Jika ikan tertangkap secara paksa atau ikan secara tidak sukarela masuk ke dalam alat tangkap, maka alat tangkap tersebut dapat dikatakan bersifat aktif (von Brandt 2005).

6 2.2.2 Alat tangkap Gambar 2 Muroami saat dioperasikan. (www.wcsmarine-indonesia.org 2003) Menurut Subani dan Barus (1989), satu unit alat tangkap muroami terdiri atas beberapa bagian, yaitu: 1) Bagian jaring, yang terdiri atas kaki panjang, kaki pendek dan kantong; 2) Pelampung, terdiri atas pelampung yang terdapat pada tali ris atas dan tali ris bawah. Di bagian tertentu pada tali ris atas, diikatkan pelampung-pelampung kecil yang merupakan pelampung tetap. Pelampung tetap juga dipasang pada bagian atas mulut kantong. Selain itu, di atas mulut kantong dipasang pelampung dari bola gelas dan bambu. Kedua pelampung ini hanya dipasang pada waktu operasi penangkapan berlangsung; 3) Pemberat, terbuat dari batu diletakkan pada bagian ris bawah dan pada bagian bawah mulut kantong. Selain itu, pada saat operasional alat di bagian depan kaki panjang dan kaki pendek dilengkapi dengan jangkar; 4) Penggiring atau scare line terbuat dari tali sepanjang ± 25 meter. Pada salah satu ujungnya diikatkan pelampung bambu, sedangkan pada ujung yang lainnya diikatkan alat yang menghasilkan bunyi-bunyian dari gelang-gelang besi. Pada sepanjang tali penggiring dilengkapi dengan daun-daun nyiur atau terkadang kain putih. Jumlah alat pengusir disesuaikan dengan jumlah orang yang bertugas sebagai penggiring.

7 2.2.3 Kapal Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang di maksud dengan kapal perikanan adalah adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian (eksplorasi) perikanan. Perahu atau kapal penangkapan ikan di laut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori sebagai berikut (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2002 diacu dalam Isnaini 2008): 1) Perahu tanpa motor, yaitu perahu yang tidak menggunakan tenaga mesin sebagai tenaga penggerak, tetapi menggunakan layar atau dayung untuk menggerakkan kapal. 2) Perahu motor tempel adalah perahu yang menggunakan mesin atau motor tempel sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di bagian luar perahu, baik diletakkan di buritan maupun di sisi perahu. 3) Kapal motor, yaitu kapal yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di dalam kapal. Operasi penangkapan ikan menggunakan muroami memerlukan 3-5 buah perahu. Sebuah perahu diantaranya diperuntukkan membawa kantong, dua perahu lainnya masing-masing untuk memuat sebuah sayap atau kaki jaring. Dua perahu sisanya digunakan untuk membawa atau mengantar tenaga-tenaga penggiring atau penghalau ikan (Subani dan Barus 1989). 2.2.4 Nelayan Menurut Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan, yang di maksud dengan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan menjadi (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2002 diacu dalam Isnaini 2008): 1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. 2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain

8 nelayan sebagai pekerjaan utama, pada kategori ini nelayan tersebut juga mempuyai pekerjaan lain. 3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, sedangkan sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan lain. Biasanya jumlah nelayan yang diperlukan dalam pengoperasian alat tangkap muroami bergantung pada ukuran alat tangkap tersebut. Pada umumnya berjumlah antara 20-40 orang (Subani dan Barus 1989). 2.3 Metode Pengoperasian Muroami Menurut Subani dan Barus (1989), untuk pengoperasian muroami diperlukan sekitar 3-5 buah berahu, yaitu satu perahu bertugas membawa kantong, dua perahu untuk memuat masing-masing sayap atau kaki jaring dan perahu lainnya digunakan untuk membawa tenaga penggiring ikan ke tempat ikan berada. Tempat pengoperasian alat dilakukan diperairan karang dengan kedalaman 10-25 meter dengan dasar yang tidak terlalu miring. Secara sederhana proses pengoperasian muroami memiliki tahap-tahap sebagai berikut (Subani dan Barus 1989): 1) Memperkirakan densitas kawanan ikan terlebih dahulu sebelum setting alat tangkap, dengan cara pengamatan langsung atau menyelam; 2) Mengetahui kecepatan dan arah arus untuk kelancaran operasional alat tangkap. Arus yang tidak terlalu kencang paling baik untuk pelaksanaan setting jaring; 3) Pemasangan jaring dilakukan sedemikian rupa, sehingga membentuk huruf V dan harus memperhatikan letak ujung depan kaki yang pendek berada di perairan yang lebih dangkal dimana karang berada, sedangkan ujung kaki yang panjang diletakkan di perairan yang lebih dalam; 4) Penggiringan ikan segera dilakukan setelah pemasangan kantong, yaitu dengan mengambil tempat antara ¼-⅓ dari bagian ujung kaki yang belakang.

9 2.4 Daerah Pengoperasian dan Ekosistem Terumbu Karang Muroami adalah alat tangkap yang di desain khusus untuk dapat beroperasi di perairan karang yang dasarnya tidak rata. Biasanya pengoperasian muroami dilakukan di perairan karang dengan kedalaman 10-25 meter dan dasar perairan tidak terlalu miring (Subani dan Barus 1989). Terumbu karang diperkirakan meliputi minimal 600.000 km 2 wilayah bumi kita. Di Indonesia, lebih dari 95% atau sekitar 85.707 km 2 wilayah Indonesia dikelilingi oleh terumbu karang. Luas tersebut mewakili 18% dari total luas terumbu karang yang ada di dunia (Dahuri 2003). Menurut Moll dan Suharsono (1986) diacu dalam Dahuri (2003), di Kepulauan Seribu terdapat 193 jenis koral dari 56 genera yang telah teridentifikasi sampai tahun 1986. Menurut Dawes (1981) diacu dalam Supriharyono (2007), terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan masyarakat (binatang) karang, yang hidup di dasar perairan dangkal berupa batuan kapur (CaCO 3 ) dan mempunyai kemampuan yang cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut. Binatang-binatang karang tersebut umumnya mempunyai kerangka kapur, demikian pula algae yang berasosiasi di ekosistem ini banyak diantaranya juga mengandung kapur. Ada dua tipe kelompok karang, yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Perbedaan kedua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang hermatifik dalam menghasilkan terumbu (reef) dan karang ahermatifik yang tidak dapat menghasilkan terumbu. Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik, sel-sel tumbuhan ini dinamakan Zooxanthellae. Karang hermatifik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatifik tersebar di seluruh dunia. Itulah yang menyebabkan terumbu karang hanya ditemukan di perairan tropis (Dahuri 2003). Berdasarkan hubungannya dengan daratan, terumbu karang di Indonesia diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar (Dahuri 2003), yaitu: 1) Terumbu tepi (fringing reef) adalah terumbu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai. Di Indonesia luas terumbu tepi diperkirakan mencapai 14.542 km 2.

10 2) Atol (atoll) adalah terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan di tengahnya terdapat goba (danau) dengan kedalaman mencapai 45 meter. Perairan Indonesia memiliki luas atol diperkirakan mencapai 19.540 km 2. 3) Terumbu penghalang (barrier reef), serupa dengan karang tepi, perbedaanya adalah pada terumbu karang penghalang jarak antara terumbu karang dengan garis pantai cukup jauh, dan umumnya dipisahkan oleh perairan yang dalam. Di Indonesia terumbu penghalang diperkirakan seluas 50.223 km 2. Pertumbuhan dan distribusi suatu ekosistem terumbu karang bergantung pada beberapa parameter fisika, diantaranya kecerahan. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dangan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang, di lokasi yang intensitas cahaya mataharinya menembus perairan masih cukup untuk proses fotosintesis. Selain kecerahan, parameter lainnya yang menyokong pertumbuhan terumbu karang adalah temperatur dan salinitas, terumbu karang dapat tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan rata-rata tahunan antara 25 dan 29 0 C dengan salinitas antara 30 sampai 35 ppt (Dahuri 2003). Hasil pengamatan para ahli menyebutkan bahwa kecepatan tumbuh terumbu karang berkisar antara 2 cm per tahun untuk brain corals yang massive dan sekitar 20 cm per tahun untuk karang ranting. Pada kondisi terganggunya lingkungan bisa menyebabkan kecepatan tumbuh karang menurun dan kegagalan mekanisme reproduksi, yang pada kondisi ekstrem dapat menyebabkan kematian seluruh koloni karang (Wibisono 2005). Laporan dari BPPT menyebutkan bahwa ± 61% dari luas areal terumbu karang di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak, 15% di antaranya dalam kondisi sangat kritis. Berarti hanya sekitar 39% saja terumbu karang yang masih dalam keadaan baik (Wibisono 2005). Hal tersebut diperparah dengan tindakan nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan maupun potassium. 2.5 Hasil Tangkapan Muroami Menurut Subani dan Barus (1989), hasil tangkapan utama muroami adalah berbagai jenis ikan karang, diantaranya adalah ekor kuning (Caesio cuning), pisang-pisang biru (Caesio caerulaurea), triger motor (Pterocaesio lativittata), Kakak tua nonong (Chlorurus microrhinus), samba biru (Caranx lugubris), kuwe

11 lilin (Carangoides gymnostethus), penjalu (Caesio coerulaureus), Pisang-pisang (Caesio chrysonortus), Sunglir (Elagatis bipinnulatus), Selar kuning (Caranx leptolepis), kuwe macan (Caranx spp). 2.6 Sumberdaya Ikan Karang Ikan karang merupakan ikan yang hidup di daerah terumbu karang sejak masa juvenil sampai dewasa (Sale 1991 diacu dalam Arami 2006). Perairan tropis dihuni oleh lebih banyak jenis ikan jika dibandingkan dengan daerah beriklim sedang, tetapi pada umumnya setiap jenis ikan jumlahnya sedikit (Romimohtarto dan Juwana 2005). Diperkirakan dari 12.000 jenis ikan laut, 7.000 jenis diantaranya hidup di perairan karang. Angka tersebut dapat mencerminkan secara langsung jumlah yang sangat besar dari habitat spesies yang dapat didukung oleh lingkungan terumbu karang (Suharti 2006). Menurut struktur trofik, ikan karang dapat dibedakan menjadi enam grup trofik, yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacea dan ikan, piscivora dan pemakan lain-lain (Gladfelter and Gladfelter 1978 diacu dalam Lowe RH and McConnel 1987). Berdasarkan waktu aktivitasnya, ikan karang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar (Suharti 2006), yaitu: 1) Diurnal, yaitu kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada siang hari. Kurang lebih 75% dari ikan yang hidup di perairan karang termasuk ikan yang bersifat diurnal. Sebagian dari ikan ini berwarna sangat menarik, contohnya adalah ikan cina-cina (Labridae), ikan betok (Pomacentridae), ikan nona manis (Serranidae), ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), ikan enjil (Pomacanthidae), dan lain-lain. 2) Nocturnal, yaitu kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada malam hari. Sekitar 10% dari ikan karang bersifat nocturnal. Ikan yang bersifat nocturnal biasanya bersembunyi di celah-celah karang atau gua karang sepanjang siang hari dan akan muncul ke permukaan air untuk mencari makan pada malam hari. Contoh dari jenis ikan nocturnal adalah ikan beseng (Apogonidae), ikan swanggi (Holocentridae) dan lain-lain.

12 Berkaitan dengan migrasi atau perpindahan ikan karang, Mawardi (1998) mengelompokkan pergerakan ikan karang menjadi tiga macam, yaitu: 1) Pergerakan vertikal pada kolom air, merupakan tipikal ikan pemakan plankton (planktivorus fishes). Pergerakannya bertujuan mencari makan di kolom air dan istirahat pada terumbu karang. 2) Pergerakan antara struktur karang, biasanya ikan bergerak dari tempat istirahat ke tempat mencari makan pada bagian terumbu karang. Pada ikan tertentu waktu dan rute pergerakan ini dapat diperkirakan. 3) Pergerakan meninggalkan terumbu karang, biasanya adalah ikan yang tampak pada terumbu karang saat tidak aktif mencari makan dan pergi menjauh saat aktif mencari makan. Semua ikan dalam kelompok ini termasuk ikan yang bersifat nocturnal dan predator. Ikan karang pada umumnya hidup menetap atau relatif tidak berpindah dari habitat asalnya dan jarang berkeliaran jauh dari sumber makanan dan tempat berlindungnya. Hal tersebut dapat dikarenakan banyak ikan karang yang bersifat teritorial. Batas teritorialnya dapat didasarkan atas persediaan makanan, pola berkembang biak, banyaknya pemangsa, kebutuhan ruang atau lain sebagainya (Romimohtarto dan Juwana 2005). 2.7 Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan Teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah suatu upaya terencana dalam menggunakan alat tangkap yang bertujuan untuk mengelola sumberdaya ikan secara berkesinambungan dalam meningkatkan kualitas hasil tangkapan tanpa mengganggu atau merusak kondisi habitat sumberdaya sekitar. Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan perlu diarahkan agar dapat menunjang pembangunan perikanan. Oleh karena itu, diperlukan adanya kriteria-kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, serta pengawasan atas penerapan kriteria-kriteria tersebut di lapangan (Martasuganda 2002). Hal-hal penting yang harus diperhatikan agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan (Martasuganda 2002) antara lain adalah:

13 1) mengutamakan keselamatan awak kapal di atas segala-galanya, baik pada waktu operasi penangkapan ikan maupun dalam menangani hasil tangkapan; 2) melepaskan kembali hasil tangkapan yang belum layak tangkap pada habitat perairan yang dilindungi; 3) menjaga lingkungan sekitar di mana kita berada. Dalam mendukung teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan, diperlukan juga alat penangkap ikan yang ramah lingkungan. Alat tangkap ramah lingkungan merupakan jenis teknologi penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan layak untuk dikembangkan. Suatu alat tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan apabila memenuhi sembilan kriteria, antara lain (Baskoro 2006): 1) Memiliki selektivitas yang tinggi; 2) Tidak merusak habitat ikan target penangkapan; 3) Menghasilkan ikan berkualitas tinggi; 4) Tidak membahayakan nelayan saat pengoperasian alat; 5) Hasil tangkapan aman dikonsumsi; 6) By-catch rendah; 7) Dampak ke biodiversity rendah; 8) Tidak membahayakan ikan yang dilindungi; 9) Diterima secara sosial. 2.8 Analisis Teknik Analisis teknik terhadap unit penangkapan muroami dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor teknik yang mempengaruhi kelestarian alam, terutama terumbu karang dan sumber daya ikan karang, yaitu desain, konstruksi, metode penangkapan dan hasil tangkapan per upaya penangkapan (catch per unit effort) atau CPUE alat tangkap muroami. Penilaian aspek teknik dilakukan terhadap (Sparre and Venema 1999): 1) Komposisi hasil tangkapan per tahun; 2) Upaya penangkapan (effort); 3) Catch per unit effort (CPUE).

14 2.9 Analisis Biologi 1) Hubungan panjang-bobot Analisis hubungan panjang-bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan bobot. Effendie (1997) menyatakan bahwa jika panjang dan bobot diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = al b (W = bobot, L = panjang, a dan b adalah suatu konstanta). Nilai b berfluktuasi antara 2,5 dan 4,0 tetapi kebanyakan mendekati 3,0 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang merupakan konstanta adalah harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b = 3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya (Ricker 1975). Nilai b 3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Jika b < 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobotnya. Jika b > 3 menunjukkan pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya (Effendie 1997). Hubungan panjang-bobot digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik dan alometrik (Effendie 1997). Untuk kedua pola ini berlaku persamaan: Jika dilinearkan melalui transformasi logaritma, maka diperoleh persamaan: Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi linier sederhana dengan Log W sebagai y dan Log L sebagai x. Untuk menguji nilai b = 3 atau b 3 dilakukan uji-t, dengan hipotesis : H 0 : b = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik H 1 : b 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik

15 2.10 Analisis Bio-teknik Analisis bio-teknik digunakan untuk menduga stok atau potensi sumberdaya ikan, serta untuk mengetahui kondisi optimum dari tingkat upaya penangkapan. Metode yang digunakan adalah metode surplus produksi. Metode ini bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan tangkapan maksimum yang lestari (maksimum suistainale yield) tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang. Hasil tangkapan maksimum lestari dilakukan dengan cara menganalisis hubungan antara upaya penangkapan (effort) dengan hasil tangkapan per upaya penangkapan (catch per unit effort) (Fauzi 2006). Perubahan stok ikan pada periode tertentu ditentukan oleh populasi pada awal periode. Jika pertumbuhan populasi ikan (x) pada periode t pada suatu daerah terbatas adalah fungsi dari jumlah awal populasi tersebut. Maka secara matematik, hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Fauzi 2006): atau dalam bentuk fungsi yang kontinyu ditulis sebagai: Fungsi pertumbuhan pada persamaan diatas disebut sebagai density dependent growth. Salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model). Fungsi logistik tersebut secara matematis ditulis sebagai berikut (Fauzi 2006): Keterangan: = laju pertumbuhan r = laju pertumbuhan intrinsik (intrinsic growth rate) x = stok ikan K = daya dukung lingkungan (carrying capacity) Gambar 3 memperlihatkan fungsi pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu beserta perilaku pencapaian ke arah daya dukung maksimum lingkungan. Pada kondisi keseimbangan (laju pertumbuhan sama dengan nol), tingkat populasi akan sama dengan daya dukung lingkungan. Sedangkan

16 pertumbuhan maksimum akan terjadi pada kondisi setengah dari daya dukung lingkungan tersebut (½ K). Tingkat ini disebut juga sebagai maximum sustainable yield (MSY). F(x) 0 ½ K K x Gambar 3 Kurva pertumbuhan logistik (Fauzi 2006) Kurva pertumbuhan ikan tersebut dibangun dengan asumsi perikanan tidak mengalami eksploitasi. Untuk mengeksploitasi ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana yang merupakan faktor masukan. Faktor tersebut biasa disebut sebagai upaya atau effort dalam litelatur perikanan. Upaya (effort) adalah indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, alat tangkap dan lain sebagainya, yang diperlukan untuk suatu aktivitas penangkapan ikan. Sedangkan produksi (h) yang merupakan output dari upaya, dapat diasumsikan sebagai fungsi dari upaya (E) dan stok ikan (x). Secara matematis, hubungan fungsional tersebut ditulis sebagai berikut (Fauzi 2006): Keterangan: h = produksi q = koefisien kemampuan tangkap (catchability coefficient) x = stok ikan E = Upaya penangkapan (effort) Kegiatan penangkapan menyebabkan terjadinya pengurangan stok populasi ikan yang pada akhirnya merangsang populasi ikan untuk meningkatkan pertumbuhan, survival dan rekruitment. Pertumbuhan populasi tersebut merupakan selisih antara laju pertumbuhan biomassa dengan perolehan hasil

17 tangkapan. Dengan adanya aktivitas penangkapan atau produksi, persamaan (3) akan menjadi (Fauzi 2006): Pengaruh introduksi penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan dapat dilihat pada Gambar 4. Dari gambar tersebut terlihat beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas penangkapan terhadap stok. Pertama, saat tingkat upaya sebesar E 1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h 1. Kemudian jika upaya dinaikkan sebesar E 2 (E 2 > E 1 ), hasil tangkapan akan meningkat sebesar h 2 (h 2 > h 1 ). Tetapi jika upaya terus dinaikkan, misalnya sebesar E 3 (E 3 > E 2 > E 1 ), akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya di mana E 3 > E 2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar (h 3 < h 2 ). Dari Gambar 4 dapat disimpulkan bahwa eksploitasi tersebut tidak efisien secara ekonomi, karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar. F(x) h = qxe 3 h = qxe 2 h 2 h = qxe 1 h 1 h 3 Gambar 4 Pengaruh aktivitas penangkapan terhadap stok (Fauzi 2006) x Menurut Fauzi (2006), Model Gordon-Schaefer dikembangkan berdasarkan produksi lestari di mana kurva pertumbuhan dalam kondisi keseimbangan jangka

18 panjang (long run equilibrium) atau. Dengan demikian, dalam kondisi keseimbangan, persamaan (5) berubah menjadi: Kemudian dengan mensubstitusikan persamaan (6) ke dalam persamaan (4) maka akan diperoleh fungsi tangkapan atau produksi lestari yang ditulis dalam bentuk persamaan: Dari Gambar 5 terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (effort = 0), maka produksi juga akan bernilai nol. Ketika upaya terus dinaikkan, pada titik E MSY akan diperoleh produksi yang maksimum. Produksi pada titik ini disebut sebagai titik maximum sustainable yield (MSY). Karena sifat dari kurva yieldeffort yang berbentuk kuadratik, peningkatan upaya yang terus-menerus setelah melewati titik E MSY tidak akan diiringi dengan peningkatan produksi. Produksi akan turun kembali, bahkan mencapai nol pada titik upaya maksimum (E max ). h(e) h MSY E MSY E max Gambar 5 Kurva produksi lestari-upaya (Yield-effort curve) (Fauzi 2006) Effort

19 Dengan membagi kedua sisi dari fungsi produksi lestari (persamaan 7) dengan effort (E), maka akan diperoleh persamaan berikut: jika nilai maka: Keterangan: U = catch per unit effort (CPUE) α = nilai intersep β = koefisien regresi E = upaya penangkapan (effort) nilai MSY diperoleh dengan menurunkan kurva yield-effort terhadap effort (E) atau : dengan mensubstitusikan persamaan (10) ke dalam persamaan (9), maka diperoleh: Stok ikan dalam keadaan keseimbangan (x MSY ) dapat dihitung dengan mensubstitusikan persamaan (10) ke dalam persamaan (6):

20 Menurut Fauzi (2006), model fungsi produksi lestari dari Schaefer memiliki kelemahan secara metodologi dan analisis, karena parameter r, q dan K tersembunyi dalam nilai α dan β. Oleh karena itu model Gordon-Schaefer perlu dimodifikasi dengan menggunakan teknik estimasi parameter biologi (r, q dan K) dengan menggunakan pendekatan model Algoritma Fox. Para meter biologi (r, q dan K) tersebut diperoleh dengan meregresikan persamaan berikut: dengan nilai x, y dan z dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. 3.2 Peralatan Peralatan yang digunakan saat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berukut: 1) Alat pengukur panjang untuk mengukur dimensi utama jaring muroami dan kapal muroami, yaitu berupa roll meter dengan ketelitian 1 cm. Panjang ikan hasil tangkapan di ukur menggunakan mistar dengan ketelitian 1 mm; 2) Alat pengukur bobot untuk mengukur bobot hasil tangkapan, yaitu berupa timbangan biasa dengan ketelitian 1 gram; 3) Peralatan selam (wet suit, masker, fin, Buoyancy Compensator Device, regulator, tabung oksigen, dan weight belt) untuk pengamatan metode penangkapan muroami di dalam perairan; 4) Alat dokumentasi berupa kamera digital, underwater camera dan underwater handycam; 5) Data sheet, untuk pencatatan data hasil penelitian; 6) Kuesioner. 3.3 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan jenis penelitian studi kasus. Sebagai satuan kasusnya adalah aktivitas penangkapan ikan menggunakan unit penangkapan muroami di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Studi kasus adalah penelitian tentang status objek penelitian yang berkenaan dengan sesuatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Studi kasus memiliki tujuan untuk memberikan gambaran tentang latar belakang, sifat-sifat

22 serta karakter-karakter dari suatu kejadian yang ada pada waktu penelitian dilakukan (Nazir 1988). 3.4 Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapang mengenai seluruh kegiatan unit penangkapan muroami. Peneliti mengikuti kegiatan pengoperasian unit penangkapan muroami secara langsung untuk mendapatkan data mengenai rancang bangun, metode pengoperasian, hasil tangkapan, serta lokasi pengoperasian alat tangkap muroami. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain: 1) Unit penangkapan muroami, meliputi data: a. Desain, konstruksi dan alat bantu pengoperasiannya; b. Jumlah dan pembagian tugas nelayan dalam satu unit alat tangkap; c. Ukuran kapal dan penataan ruang. 2) Komposisi hasil tangkapan berdasarkan jenis dan jumlah. 3) Karakteristik lokasi pengoperasian unit penangkapan muroami. Data sekunder dikumpulkan dari Dinas Perikanan dan Kelautan setempat. Data sekunder yang dikumpulkan yaitu: 1) Jumlah unit penangkapan muroami untuk 2 tahun terakhir; 2) Produksi unit penangkapan muroami untuk 2 tahun terakhir; 3) Jumlah effort (trip) muroami untuk 2 tahun terakhir; 4) Daerah pengoperasian unit penangkapan muroami. 3.5 Metode Analisis Data Analisis data yang dilakukan secara garis besar terbagi atas tiga jenis, yaitu analisis teknik, analisis biologi serta analisis bio-teknik ikan ekor kuning. 3.5.1 Analisis teknik Analisis teknik dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor teknik yang mempengaruhi produksi unit penangkapan muroami. Penilaian terhadap aspek teknik yang dilakukan antara lain:

23 1) Kecenderungan perkembangan produksi unit penangkapan muroami selama 2 tahun terakhir (periode 2007-2009); 2) Kecenderungan perkembangan effort (trip) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan karang menggunakan muroami selama 2 tahun terakhir (periode 2007-2009); 3) Produktivitas unit penangkapan muroami per tahun, dihitung menggunakan rumus: 3.5.2 Analisis biologi 1) Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning yang tertangkap dicari menggunakan persamaan (Effendie 1997): dimana: W = bobot ikan L = panjang ikan b = koefisien regresi dari dari L a = suatu konstanta Apabila nilai koefisien b sama dengan 3 (b = 3), maka pola pertumbuhan isometrik. Nilai koefisien b tidak sama dengan 3 (b 3), maka pola pertumbuhan alometrik, jika b < 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobotnya. pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya. Jika b > 3 menunjukkan 3.5.3 Analisis bio-teknik Analisis bio-teknik dimaksudkan untuk mencari nilai effort maksimum dan angka hasil tangkapan maksimum lestari. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan di daerah penelitian. Dari hasil yang diperoleh diharapkan pihak yang terkait dapat menindaklanjuti kondisi tersebut

24 agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara maksimal tanpa mengesampingkan kelestariannya. Metode yang digunakan adalah metode surplus produksi. Metode ini bertujuan untuk menentukan tingkat upaya (effort) optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang. Model produksi Schaefer yang menghubungkan antara upaya penangkapan (E) dengan hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE), diperoleh dari hubungan antara upaya penangkapan dengan hasil tangkapan (h) yang kedua sisinya dibagi dengan upaya penangkapan. Secara matematik dapat dituliskan menjadi: atau Keterangan: U = catch per unit effort (CPUE) h = hasil tangkapan (yield) E = upaya penangkapan (effort) a = nilai intersep b = kemiringan garis regresi (slope) Menurut Fauzi (2006), model fungsi produksi lestari dari Schaefer memiliki kelemahan secara metodologi dan analisis, karena parameter r, q dan K tersembunyi dalam nilai α dan β. Oleh karena itu model Gordon-Schaefer perlu dimodifikasi dengan menggunakan teknik estimasi parameter biologi (r, q dan K) dengan menggunakan pendekatan model Algoritma Fox. Para meter biologi (r, q dan K) tersebut diperoleh dengan meregresikan persamaan berikut:

25 dengan nilai x, y dan z dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: Dengan diperolehnya nilai parameter biologi dan teknik, yaitu r, q dan K, maka solusi pengelolaan sumberdaya ikan pada kondisi optimal melalui pendekatan bio-teknik dapat dihitung menggunakan rumus pada Tabel 1. Tabel 1 Formula perhitungan pengelolaan sumberdaya ikan pada kondisi optimal. Variabel Kondisi optimal Effort (E) Catch (h) Biomassa (x) 3.5.4 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan karang di Perairan Kepulauan Seribu Pendugaan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dapat diketahui dengan cara mempresentasekan jumlah hasil tangkapan pada tahun tertentu terhadap nilai Maximum Sustainable Yield (MSY). Rumus yang digunakan adalah: Keterangan: TP = Tingkat pemanfaatan (%) C = Hasil tangkapan (ton) MSY = Maximum Sustainable Yield (ton)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Kepulauan Seribu 4.1.1 Letak geografis Secara geografis wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak pada 106 19 30-106 44 50 Bujur Timur dan 05 10 00-05 57 00 Lintang Selatan. Secara fisik wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dibatasi oleh: - Sebelah Utara : Laut Jawa dan Selat Sunda - Sebelah Timur : Laut Jawa - Sebelah Selatan : Kecamatan Cengkareng, Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing dan Tanggerang (Banten) - Sebelah Barat : Laut Jawa dan Selat Sunda Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki luas wilayah 8,70 km² terdiri atas 110 pulau, 92 gosong pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 4,376 hektar. Secara administrasi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terbagi menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki 79 pulau dan terbagi menjadi Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Panggang. Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan memiliki 31 pulau dan terbagi menjadi Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari dan Kelurahan Pulau Untung Jawa. Pada Tabel 2 disajikan jumlah pulau dan luas wilayah di Kepulauan Seribu. 4.1.2 Topografi Ditinjau dari segi topografi, sebagian besar daerah Kepulauan Seribu merupakan dataran rendah yang landai dengan kemiringan 0-5% serta ketinggian 0-2 meter di atas permukaan laut. Jenis tanah di daratan Kepulauan Seribu berupa pasir koral yang merupakan hasil pelapukan dari batu gamping terumbu koral dengan ketebalan kurang dari 1 meter pada umumnya dan dapat mencapai ketebalan 5 meter di beberapa tempat.

27 Secara umum kedalaman laut di wilayah Kepulauan Seribu berbeda-beda, yaitu berkisar antara 0-40 meter. Hanya ada dua tempat yamg memiliki kedalaman lebih dari 40 meter, yaitu perairan di sekitar Pulau Payung dan Pulau Pari. Tabel 2 Jumlah pulau dan luas wilayah di Kepulauan Seribu Wilayah / Daerah Jumlah Pulau Luas Wilayah (Km²) Kelurahan Pulau Kelapa 36 2,58 Kelurahan Pulau Harapan 30 2,45 Kelurahan Pulau Panggang 13 0,62 Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 79 5,65 Kelurahan Pulau Tidung 6 1,07 Kelurahan Pulau Pari 10 0,95 Kelurahan Pulau Untung Jawa 15 1,03 Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 31 3,05 Kepulauan Seribu 110 8,7 Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008 4.1.3 Iklim Kepulauan Seribu memiliki suhu rata-rata 28,3 C dengan kelembaban udara antara 48-91%. Musim hujan di Kepulaun Seribu biasanya terjadi antara Bulan November sampai dengan Bulan April, dengan curah hujan tahunan rata-rata sebesar 169,4 mm. Curah hujan terbesar terjadi pada Bulan Januari dan terkecil terjadi pada Bulan Agustus. Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin moonson, angin musim barat terjadi antara Bulan Desember hingga Bulan Maret dan angin musim timur terjadi antara Bulan Juni hingga Bulan September. Musim peralihan terjadi antara Bulan April-Mei dan Oktober-November yang lebih dikenal dengan musim pancaroba. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot, sedangkan pada musim timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot yang bertiup dari arah Timur Laut sampai ke arah Tenggara.

28 Keberadaan musim barat dan musim timur sangat mempengaruhi kehidupan penduduk sekitar, terutama kegiatan penangkapan ikan. Pada musim barat intensitas curah hujan tinggi disertai angin yang sangat kencang sehingga menyebabkan ombak yang besar. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tidak melaut untuk menangkap ikan terkait faktor keamanan di laut. Oleh karena itu pada musim barat hasil tangkapan nelayan sangat sedikti, musim barat sering pula disebut musim paceklik. Pada musim timur keadaan perairan biasanya tenang karena curah hujan yang rendah dan angin yang tidak kencang, sehingga kegiatan penangkapan ikan dapat berjalan dengan lancar. Musim timur merupakan musim puncak produksi ikan. 4.1.4 Hidro-oseanografi Perairan Kepulauan Seribu memiliki kisaran pasang-surut sampai 80 cm dengan jenis pasang-surut tipe campuran cenderung diurnal. Gelombang di perairan Kepulauan Seribu memiliki arah penjalaran yang spesifik bergantung pada kondisi angin, sedangkam tinggi geombang sangat bervariasi antara 0,5-1,5 meter. Kecepatan arus permukaan di Kepulauan Seribu tergolong lemah, kecuali di daerah antar pulau, akibat massa air melewati bagian yang relatif lebih sempit. Arah arus di Kepulauan Seribu secara umum dominan dari Timur Laut sampai Tenggara, hal tersebut diakibatkan oleh pola angin yang terjadi. Salinitas di Perairan Kepulauan Seribu, baik secara horizontal maupun vertikal, relatif kecil variasinya. Salinitas rata-rata di perairan Kepulauan Seribu berkisar antara 32 33. Kedalaman yang bervariasi pada gugusan pulau di Kepulauan Seribu menyebabkan adanya vasiasi temperatur perairan, rata-rata temperatur perairan di Kepulauan Seribu berkisar antara 28 30 C. 4.1.5 Demografi Berdasarkan hasil estimasi Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007, jumlah penduduk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah 20.026 jiwa dengan sex ratio sebesar 101,02. Terdiri atas 9.962 jiwa perempuan dan 10.064 jiwa laki-

29 laki. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kelurahan Pulau Kelapa dengan jumlah 5.337 jiwa, sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kelurahan Pulau Untung Jawa sebanyak 1.899 jiwa. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di wilayah Kepulauan Seribu tersaji pada Gambar 6. 3000 2500 2000 Jiwa 1500 1000 500 0 Kel. P. Kelapa Kel. P. Harapan Kel. P. Panggang Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008 Kel. P. Tidung Kel. P. Pari Gambar 6 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin. Kel. P. Untung Jawa Perempuan 2617 958 2241 2158 1051 937 Laki-laki 2720 1002 2299 2042 1039 962 Jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk usia sepuluh tahun ke atas adalah pada jenjang Akademi/Universitas sebanyak 3,51%, jenjang SLTA/Sederajat sebesar 15,54%, jenjang SLTP/Sederajat sebesar 19,17% dan jenjang SD/Sederajat sebesar 36,77%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan penduduk di Kepulauan Seribu masih tergolong rendah dan mencerminkan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia untuk pembangunan di daerah ini. Penduduk dengan usia 15 tahun ke atas dapat dibedakan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Pada tahun 2007 jumlah angkatan kerja sebesar 7.727 orang dan bukan angkatan kerja sebesar 5.350 orang. Dari jumlah angkatan kerja, sebanyak 6.796 orang (87,95%) bekerja dan 931 orang (12,05%) mencari pekerjaan, jadi Angka Partisipasi Angkatan Kerja (APAK) di Kepulauan Seribu adalah 59,09%. Mayoritas pekerja bekerja di bidang Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, yaitu sebesar 45,07%.

30 Dengan luas wilayah 8,70 km², berarti tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mencapai 2.302 jiwa/km². Kelurahan Pulau Panggang merupakan wilayah terpadat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan kepadatan 7323 jiwa/km². Pada Tabel 3 disajikan kepadatan penduduk di wilayah Kepulauan Seribu. Tabel 3 Kepadatan penduduk di wilayah Kepulauan Seribu Wilayah / Daerah Luas daerah (km²) Jumlah Penduduk (orang) Kepadatan (Jiwa/km²) Kel. P. Kelapa 2,58 5.337 2.069 Kel. P. Harapan 2,45 1.960 800 Kel. P. Panggang 0,62 4.540 7.323 Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 5,65 11.837 2.095 Kel. P. Tidung 1,07 4.200 3.925 Kel. P. Pari 0,95 2.090 2.200 Kel. P. Untung Jawa 1,03 1.899 1.844 Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 3,05 8.189 2.685 Kepulauan Seribu 8,7 20.026 2.302 Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008 4.2 Kondisi Umum Perikanan Tangkap di Kepulauan Seribu 4.2.1 Alat tangkap Alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan di Kepulauan Seribu cukup beragam, mulai dari pancing, payang, muroami, bubu, bagan dan lain-lain. Jumlah keseluruhan alat penangkap ikan yang digunakan di perairan Kepulauan Seribu pada tahun 2004 adalah 4.348 unit alat tangkap. Alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah bubu tambun 28,98%, bubu besar 27,25% dan pancing 24,49% dari keseluruhan jumlah alat tangkap. Pada Tabel 4 disajikan jumlah alat tangkap menurut jenisnya di Kepulauan seribu.

31 Tabel 4 Jumlah alat tangkap menurut jenis di Kepulauan Seribu tahun 2004 Pulau Jenis Alat (unit) Pc Py JG JRm JRa MB MM BT BB BaT BaA JIH P. Panggang 190 79 25 10 - - 15 215 50-4 85 673 P. Pramuka 75 20 15 3 - - 12 180 - - 2 15 322 P. Kelapa 130 50 20 4-3 7 240 100-30 - 584 P. Kelapa Dua 25 62 2 1 - - - - - - 2-92 P. Harapan 85 6 15 2-3 8 100 210-2 - 431 P. Sebira 15 60 1 1 2 - - - - - - - 79 Kec. Kep. Seribu Utara 520 277 78 21 2 6 42 735 360 0 40 100 2181 Jml (unit) P. Tidung 80-15 2 1-1 120 10 - - - 229 P. Payung 125-4 65-5 10 200 - - 3-412 P. Pari 50 6 8 6 2 - - 85 15 - - - 172 P. Lancang 20-6 7 35 - - 120-90 3-281 P. Untung Jawa 270-2 1 - - - - 800 - - - 1073 Kec. Kep. Seribu Selatan 545 6 35 81 38 5 11 525 825 90 6 0 2167 Kep. Seribu 1065 283 113 102 40 11 53 1260 1185 90 46 100 4348 Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008 Ket : Pc (Pancing), Py (Payang), JG (Jaring Gebur), JRm (Jaring Rampus), JRa (Jaring Rajungan), MB (Muroami Besar), MM (Muroami Mini), BT (Bubu Tambun), BB (Bubu Besar) BaT (Bagan Tancap), BaA (Bagan Apung), JIH (Jaring Ikan Hias). 4.2.2 Kapal ikan Kapal ikan yang terdapat di perairan Kepulauan Seribu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kapal motor, perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Kapal motor adalah kapal yang mesin penggeraknya diletakkan di dalam badan kapal atau lebih dikenal dengan istilah mesin inboard. Di Kepulauan Seribu kapal motor merupakan kapal yang paling banyak digunakan, yaitu berjumlah 899 kapal atau 70,84% dari jumlah keseluruhan armada perikanan di Kepulauan Seribu. Perahu motor tempel adalah kapal yang mesin penggeraknya diletakkan atau ditempelkan pada badan belakang kapal atau buritan, lebih dikenal dengan istilah mesin outboard. Perahu motor tempel paling jarang digunakan, karena harganya yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kapal motor. Di Kepulauan Seribu hanya terdapat 27 perahu motor tempel atau hanya sekitar 2,13% jumlah keseluruhan armada perikanan di Kepulauan Seribu. Perahu tanpa motor adalah kapal yang tidak menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak, melainkan

32 menggunakan dayung atau layar sebagai alat untuk menggerakkan kapal. Jumlah armada perikanan di wilayah Kepulauan Seribu tersaji pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah armada perikanan di Kepulauan Seribu tahun 2004 Pulau Jenis Armada (unit) Jumlah Kapal Motor Perahu Sampan (unit) Motor Tempel Layar /Jukung P. Panggang 147-4 20 171 P. Pramuka 81 1 2 17 101 P. Kelapa 158 3 4 20 185 P. Kelapa Dua 58 1 2 7 68 P. Harapan 65 1 4 15 85 P. Sebira 55 2 1 6 64 Kec. Kep. Seribu Utara 564 8 17 85 674 P. Tidung 142 3 3 50 198 P. Payung 25-3 23 51 P. Pari 34 1 2 80 117 P. Lancang 46 12 1 70 129 P. Untung Jawa 88 3 2 7 100 Kec. Kep. Seribu Selatan 335 19 11 230 595 Kep. Seribu 899 27 28 315 1.269 Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008 4.2.3 Nelayan Nelayan di Kepulauan Seribu berjumlah 10.402 orang, diklasifikasikan menjadi nelayan harian, nelayan mingguan dan nelayan bulanan. Kelompok nelayan terbanyak di Kepulauan Seribu adalah nelayan harian yaitu sebesar 58,51%. Nelayan harian adalah nelayan yang melakukan one day fishing atau nelayan yang melakukan operasi penangkapan per hari. Pada Tabel 6 tersaji jumlah nelayan di wilayah Kepulauan Seribu menurut lama waktu melaut.

33 Tabel 6 Jumlah nelayan menurut lama melaut di Kepulauan Seribu Pulau Lama waktu melaut (orang) Harian Mingguan Bulanan Jumlah (orang) P. Panggang 1.118 317 110 1.545 P. Pramuka 722 185 50 957 P. Kelapa 1.093 257 815 2.165 P. Kelapa Dua 432 163-595 P. Harapan 397 109 339 845 P. Sebira 238 97-335 Kec. Kep. Seribu Utara 4.000 1.128 1.314 6.442 P. Tidung 716 176 1.008 1.900 P. Payung 190 10-200 P. Pari 370 10-380 P. Lancang 655 20-675 P. Untung Jawa 155 650-805 Kec. Kep. Seribu Selatan 2.086 866 1.008 3.960 Kep. Seribu 6.086 1.994 2.322 10.402 Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka 2008 4.2.4 Daerah penangkapan ikan Hampir semua wilayah perairan di Kepulauan Seribu merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan sekitar, akan tetapi terdapat dua wilayah perairan di Kepulauan Seribu yang terlarang untuk melakukan operasi penangkapan ikan di daerah itu (Gambar 7). Daerah pertama adalah Zona Inti Taman Nasional, yaitu bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona Inti memiliki luas sekitar 4.449 hektar, terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Zona Inti I seluas 1.389 hektar yang meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat dan Karang Rengat, Zona Inti II seluas 2.490 hektar yang meliputi daratan dan perairan sekitar Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran Timur, dan perairan sekitar Pulau Peteloran Timur, Peteloran Barat, Buton, dan Gosong Penjaliran serta Zona Inti III seluas 570 hektar yang meliputi perairan sekitar Pulau Kayu Angin Bira, Belanda dan bagian utara Pulau Bira Besar. Daerah yang kedua adalah Zona Perlindungan Taman Nasional yaitu bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti taman

34 nasional. Zona Perlindungan memiliki luas sekitar 26.284, 50 hektar yang meliputi perairan sekitar Pulau Dua Barat, Dua Timur, Jagung, Gosong Sebaru Besar, Rengit, dan Karang Mayang. Zona Inti Zona Perlindungan Gambar 7 Peta zonasi wilayah dan daerah penangkapan ikan di Kepulauan Seribu.

35 4.3 Aktivitas Pengoperasian Muroami 4.3.1 Sejarah perkembangan muroami di Kepulauan Seribu Alat tangkap muroami yang terdapat di Perairan Pulau Pramuka telah mengalami banyak perubahan dari tahun ke tahun sejak muroami pertama kali diperkenalkan di daerah tersebut. Mulai dari konstruksi alat, metode pengoperasian, sampai sistem pemberian upah kepada nelayan buruh. Muroami pertama kali di perkenalkan di Perairan Kepulauan Seribu sekitar tahun 1970-an, tetapi nelayan di Pulau Pramuka baru mulai menggunakan muroami baru sekitar tahun 1980-an. Menurut hasil wawancara terhadap nelayan setempat, muroami yang pertama kali dioperasikan di Perairan Kepulauan Seribu memiliki ukuran yang jauh lebih besar dan bentuk kantong yang berbeda. Kantong muroami dahulu berbentuk setengah lingkaran, baik kantong maupun sayap terbuat dari bahan polyethylen. Muroami yang ada sekarang kantongnya berbentuk kerucut, kantong tersusun dari bahan Polyethylen, sedangkan sayap terbuat dari bahan Polyamide monofilament. Pada pengoperasiannya muroami dahulu menggunakan empat buah kapal utama dan dua buah kapal penampung hasil tangkapan. Nelayan tidak menggunakan kompresor untuk menyelam serta nelayan yang turut serta mengoperasikan alat tangkap muroami bisa mencapai ± 100 orang dengan sistem upah berupa sistem kontrak selama 3 bulan. Pengoperasian muroami sekarang hanya menggunakan sebuah kapal utama dan sebuah sampan, menggunakan kompresor sebagai alat bantu pernafasan ketika menyelam dengan jumlah nelayan 15-18 orang, serta menggunakan sistem bagi hasil untuk upah nelayan. Perbandingan antara muroami lama dan muroami baru dapat dilihat pada Tabel 7. Faktor utama yang menyebabkan perubahan pada alat tangkap muroami adalah faktor finansial. Untuk menjalankan usaha muroami terdahulu diperlukan modal yang sangat besar, pembiayaan untuk satu kali trip saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu pemilik modal muroami mengubah skala alat tangkap menjadi lebih kecil agar biaya operasional muroami menjadi lebih terjangkau.

36 Tabel 7 Perbandingan antara muroami lama dengan muroami baru Bagian yang berbeda Muroami lama Muroami baru Bentuk kantong Setengah lingkaran Kerucut Bahan penyusun jaring Kantong & Sayap: PE Kantong: PE & Sayap: PA Alat bantu pernafasan Tidak ada Kompresor Jumlah kapal 4 Kapal utama & 2 Sebuah kapal utama dan sampan kapal penampung Jumlah nelayan ± 100 orang 15-18 orang Sistem upah Kontrak Bagi hasil Sumber: wawancara 4.3.2 Deskripsi unit penangkapan muroami Unit penangkapan ikan merupakan suatu kesatuan teknik dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri atas alat tangkap, kapal dan nelayan. Dalam operasionalnya, unit penangkapan muroami menggunakan sebuah kapal, sebuah sampan, jaring muroami dan nelayan muroami itu sendiri. 1) Alat tangkap Muroami merupakan salah satu alat tangkap yang umum digunakan nelayan di Kepulauan Seribu untuk menangkap ikan karang, khususnya ikan ekor kuning. Di Kelurahan Pulau Panggang terdapat 15 unit alat tangkap muroami, 12 unit terdapat di Pulau Pramuka dan 3 unit berada di Pulau Panggang. Ada dua bagian utama dari alat tangkap muroami, yaitu jaring kantong (Gambar 8) dan jaring sayap. Jaring kantong muroami jika dalam keadaan dioperasikan berbentuk seperti kerucut dan memiliki ukuran panjang sekitar 40 meter, lebar bukaan mulut sekitar 15 meter dan tinggi bukaan mulut sekitar 20 meter. Jaring kantong terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian mulut, tengah atau badan dan poncot (cod end). Bagian mulut terbuat dari bahan polyethilen (PE) atau nelayan setempat biasa menyebutnya jaring bago, memiliki mesh size 3 inch dengan panjang kurang lebih sepersepuluh bagian dari panjang keseluruhan jaring. Bagian badan kantong terbuat dari dua jenis bahan yang berbeda, pada bagian atas badan kantong terbuat dari polyethilen dengan mesh size 1¾ inch dan pada bagian bawah badan kantong terbuat dari polyamide (PA) multifilamen dengan mesh size 1½ inch. Badan kantong memiliki panjang sekitar tujuh per sepuluh bagian dari panjang keseluruhan jaring. Bagian poncot atau tempat

37 tertampungnya ikan terbuat dari polyethilen dengan mesh size 1 inch dengan panjang seperlima bagian dari panjang keseluruhan jaring. Pada bagian tali ris atas terdapat pelampung yang terbuat dari PVC berbentuh silinder dengan panjang sekitar 5 cm dan diameter sekitar 3 cm. Jarak antar pelampung adalah sekitar 20 cm dengan panjang tali ris atas adalah sekitar 15 meter. Pada bagian tali ris bawah terdapat pemberat dari timah dengan berat masing-masing sekitar 500 gram dan jarak antar pemberat sekitar 10 cm. Permukaan perairan Tali bulan Tali selotan Pelampung/ derigen Pelampung Pemberat Poncot Badan/ tengah Tali ampar Pemberat Mulut Linggis Gambar 8 Konstruksi jaring kantong muroami. Pada saat pengoperasian muroami, selain pelampung pada tari ris atas, nelayan biasanya menambahkan 2 buah jerigen untuk menambah daya apung kantong, masing masing satu buah pada ujung sebelah atas mulut kantong. Pada bagian ujung sebelah bawah mulut kantong, masing-masing dipasang linggis yang ditancapkan di dasar perairan untuk menjaga bukaan mulut jaring agar tetap terbuka sempurna dan agar kantong tidak terbawa arus. Pada ujung poncot terdapat tali selotan yang digunakan untuk mengikat poncot ke batu karang agar posisi poncot tidak berubah. Selain itu terdapat tali ampar dan tali bulan. Tali ampar merupakan tali dari bahan tambang yang masing-masing menghubungkan ujung sebelah bawah mulut kantong tempat linggis berada sampai ke sampan.

38 Tali bulan merupakan tali dari bahan tambang yang menghubungkan bagian tengah tali ris atas sampai ke sampan. Tali ampar dan tali bulan berfungsi dalam proses hauling, yaitu untuk menutup mulut jaring kantong dan menarik jaring kantong ke sampan pada saat proses hauling berlangsung. Konstruksi kantong muroami dapat dilihat pada Gambar 8. Jaring sayap atau lebih dikenal dengan jaring tangsi oleh nelayan sekitar terdiri atas dua bagian yang terpisah, masing-masing terletak di samping kanan dan kiri jaring kantong. Jaring sayap berfungsi sebagai penaju untuk mengarahkan ikan yang digiring agar masuk ke dalam kantong. Bagian pertama dari jaring sayap adalah jaring darat (Gambar 9), diposisikan di perairan yang lebih dangkal dan tersusun dari beberapa piece jaring yang digabungkan dengan cara dijahit. Jaring darat dibentuk dari 2-2½ piece jaring polyamide monofilamen yang disusun vertikal, memiliki ukuran panjang sekitar 100 meter dan tinggi 6 hingga 7,5 meter dengan ukuran mata jaring 2½ inch. ± 50 cm c f a ± 6 m e ± 30 cm d g b Keterangan : a. Pelampung (derigen) d. Pemberat g. Tali ris bawah b. Batu karang e. Badan jaring c. Pelampung f. Tali ris atas Gambar 9 Konstruksi jaring darat. Pada tali ris bagian atas jaring sayap terdapat pelampung dari PVC berbentuk silinder dengan panjang sekitar 5 cm dengan jarak antar pelampung

39 sekitar 50 cm. Pada bagian tali ris bawah terdapat pemberat dari timah dengan berat sekitar 500 gram dan jarak antar pemberat sekitar 30 cm. Bagian ujung jaring sayap menenpel dengan bagian samping mulut kantong dan ujung lainnya di ikat ke batu karang agar posisinya tidak berubah. Bagian kedua dari jaring sayap adalah jaring tengah (Gambar 10), diposisikan di perairan yang lebih dalam. Jaring tengah dibentuk dari 3 piece jaring polyamide monofilament yang disusun vertikal dengan ukuran mata jaring 2½ inch, memiliki panjang sekitar 100 meter dengan tinggi sekitar 9 meter. ± 50 cm c f a ± 9 m e ± 30 cm d g b Keterangan : a. Pelampung (derigen) d. Pemberat g. Tali ris bawah b. Batu karang e. Badan jaring c. Pelampung f. Tali ris atas Gambar 10 Konstruksi jaring tengah. Dalam pengoperasian muroami terdapat beberapa alat bantu yang digunakan nelayan, diantaranya adalah GPS, sonar, keranjang, kecrik dan alat bantu selam. GPS digunakan nelayan untuk menandai posisi fishing ground dan membantu juru mudi dalam navigasi. Sonar digunakan untuk mengetahui kedalaman perairan dan keberadaan ikan di perairan, sonar hanya digunakan jika nelayan melakukan

40 operasi penangkapan ikan lebih dari satu hari, dapat beberapa minggu hingga satu bulan operasi penangkapan ke luar daerah Kepulauan Seribu, atau dikenal dengan istilah babang. Keranjang digunakan setelah proses hauling untuk memindahkan hasil tangkapan dari kantong jaring ke dalam palkah. Kecrik (Gambar 11) merupakan alat bantu untuk menggiring atau menakuti ikan agar ikan masuk ke dalam kantong. a d c (a) b c b d a Keterangan: a. Gelang-gelang besi c. Pelampung b. Rumbai-rumbai (plastik) d. Tali (tambang) (b) Gambar 11 Alat bantu penangkapan (Kecrik) (a) Bagian ujung kecrik (b) Sambungan antar kecrik. Kecrik terbuat dari tambang sepanjang sekitar 150 meter, di setiap jarak sekitar 20 meter terdapat gelang-gelang besi yang dapat menghasilkan suara untuk

41 menggiring ikan, dan di setiap sekitar 1 meter terdapat pelampung dan rumbairumbai dari bahan pelastik. Alat bantu selam terdiri atas beberapa komponen, yaitu mesin dan tabung kompresor, selang kompresor dan regulator, weight belt, masker serta sepatu karet. 2) Kapal Kapal yang biasa digunakan oleh nelayan muroami umumnya menggunakan material kayu sebagai bahan utama penyusunnya. Dalam pengoperasiannya unit penangkapan muroami menggunakan dua buah kapal, yaitu kapal utama dan sampan (Gambar 12 & 13). Kapal utama digunakan sebagai alat transportasi utama untuk membawa nelayan, hasil tangkapan, alat bantu penangkapan, jaring sayap dan perlengkapan lainnya. Kapal utama yang umum digunakan di perairan Pulau Pramuka memiliki panjang 9-12 meter, lebar 1,8-2,5 meter dan tinggi 1,5-2 meter. Mesin yang digunakan sebagai tenaga penggerak kapal adalah mesin inboard dengan kekuatan antara 22-28 PK. Kapal utama memiliki wheelhouse yang berfungsi sebagai tempat istirahat nelayan, di bagian haluan kapal terdapat palkah sebagai tempat menaruh hasil tangkapan, sedangkan di bagian buritan terdapat dapur dan tempat kendali kapal. Gambar 12 Kapal utama dan sampan muroami. Berbeda dengan kapal utama, sampan hanya berfungsi untuk membawa bagian kantong jaring muroami. Pada saat operasional, sampan berfungsi sebagai

42 media untuk menurunkan jaring pada saat setting dan menaikkan jaring pada proses hauling. Sampan yang digunakan nelayan muroami di perairan Pulau Pramuka umum memiliki ukuran panjang 3 meter, lebar 1,5 meter dan tinggi 1 meter. Sampan tidak menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak, untuk mencapai fishing ground dan pulang ke fishing base sampan ditarik oleh kapal utama. Pada Tabel 8 tersaji spesifikasi kapal utama dan sampan muroami. 6 8 4 3 2 1 7 5 9 Keterangan : 1. Tempat menyimpan kecrik 6. Tempat peralatan makan/masak 2. Palkah 7. Dapur 3. Tabung dan mesin kompresor 8. Tempat kendali kapal 4. Tempat istirahat 9. Tempat kantong jaring muroami 5. Pintu Ruang mesin Gambar 13 Konstruksi kapal utama dan sampan muroami tampak atas. 3) Nelayan Dalam satu unit alat penangkapan muroami terdapat 15-18 orang nelayan yang mengoperasikan alat tangkap tersebut. Nelayan muroami terdiri atas pemilik kapal muroami dan nelayan buruh. Biasanya pemilik kapal muroami tidak ikut serta dalam operasi penangkapan ikan dan hanya mengawasi saat pendaratan ikan berlangsung, tetapi ada beberapa pemilik yang ikut serta dalam pengoperasian alat tangkap muroami. Setiap nelayan buruh memiliki tugas masing-masing dalam

43 pengoperasian alat tangkap sesuai keahliannya. muroami dapat dilihat pada Tabel 9. Pembagian tugas nelayan Tabel 8 Spesifikasi kapal utama dan sampan muroami Spesifikasi Kapal utama Sampan Dimensi utama: a. Panjang (m) 8-12 3 b. Lebar (m) 1,8-2,5 1.5 c. Tinggi (m) 1,5-2 1 Material konstruksi Kayu Mentru Kayu Mentru Mesin: - a. Mesin kapal (PK) Inboard; 22-28; Yanmar b. Mesin Kompresor (PK) kompresor; 6 Kapasitas Palkah: - a. P x L x T (m3) 1 x 1 x 1 b. Volume (ton) 0.7-1 Bahan bakar Solar - Sumber: wawancara Pengecekan arus dan keberadaan ikan di fishing ground dilakukan oleh seorang kepala kerja setiap sebelum pemasangan jaring. Biasanya terdapat lebih dari satu kepala kerja di setiap kapal, tetapi kepala tugas melakukan tugas secara bergiliran. Kepala kerja juga merangkap tugas sebagai penggiring pada saat operasi penangkapan ikan berlangsung. Penggiring merupakan posisi yang paling banyak membutuhkan tenaga dalam unit penangkapan muroami, tetapi dalam satu kali setting biasanya hanya 7-8 orang atau tergantung jumlah selang kompresor yang dimiliki yang bertugas memasang jaring pada fishing ground serta menggiring ikan. Pada saat setting, hanya dua orang penjaga jaring yang bertugas menurunkan jaring, tetapi pada saat hauling biasanya penggiring dan juru masak membantu dalam proses penarikan jaring ke sampan, sehingga penjaga jaring dapat berjumlah 4-5 orang. Posisi penjaga selang kompresor biasanya diisi oleh penggiring yang sedang tidak bertugas memasang jaring pada fishing ground dan menggiring ikan.

44 Tabel 9 Pembagian tugas nelayan muroami No Posisi Jumlah (Orang) 1. Juru Mudi 1 2. Juru Mesin 1 3. Kepala Kerja 1-3 4. Penggiring 7-13 5. Penjaga Jaring 1-2 6. Penjaga Selang 3-4 7. Juru Masak 1 Sumber: wawancara Tugas Mencari dan menentukan daerah penangkapan ikan, serta mengemudikan kapal Mengecek dan menjaga kondisi mesin kapal dan kompresor Mengecek keadaan arus dan keberadaan ikan sebelum jaring diturunkan Menyeting jaring dan menggiring ikan ke dalam jaring Menurunkan jaring dari sampan pada saat setting dan menarik jaring ke sampan pada saat hauling Mengulur selang kompresor dan menjaganya agak tidak terbelit, serta menggulung selang kembali setelah operasi penangkapan ikan selesai Menyiapkan makanan dan minuman untuk nelayan buruh 4.3.3 Metode pengoperasian muroami Sistem pengoperasian muroami di Perairan Kepulauan Seribu adalah one day fishing, tetapi pada musim tertentu beberapa nelayan mengoperasikan muroami ke luar Perairan Kepulauan Seribu dan memerlukan waktu antara 1 minggu hingga 1 bulan atau lebih dikenal dengan istilah babang. Babang biasanya dilakukan ke Perairan Bangka Belitung, Karimun Jawa, Lampung, Banten, Teluk Betung, dan perairan lainnya di luar Perairan Kepulauan Seribu. Nelayan biasanya berangkat dari fishing base pukul 05.00 dan kembali pukul 17.00, akan tetapi jadwal keberangkatan dan kembali nelayan kadang-kadang tidak menentu, bergantung pada tujuan fishing ground, cuaca dan hasil tangkapan yang diperoleh. Pengoperasian muroami dibagi menjadi empat tahap, yaitu persiapan, setting, penggiringan ikan dan hauling. Tahap persiapan dilakukan sebelum berangkat dari fishing base, nelayan menyiapkan segala kebutuhan untuk melaut terlebih dahulu, seperti makanan dan minuman, bahan bakar dan es. Persiapan di fishing base biasanya memakan waktu sekitar 30 menit. Fishing ground biasanya sudah ditentukan terlebih dahulu sebelum berangkat, penentuan fishing ground biasanya berdasarkan pengalaman nelayan dan perolehan hasil tangkapan dari

45 operasi penangkapan ikan sebelumnya. Jika pada operasi penangkapan ikan sebelumnya nelayan mendapakan hasil tangkapan yang banyak, maka esok harinya nelayan akan melakukan operasi penangkapan ikan di lahan yang sama, tetapi sebaliknya jika hasil tangkapan sebelumnya sedikit, maka nelayan akan berpindah ke fishing ground lain. Selama perjalanan menuju fishing ground, biasanya nelayan meluruskan selang kompresor yang akan dipakai pada saat operasi penangkapan ikan. Hal ini dilakukan dengan cara menghanyutkan selang kompresor di sepanjang perjalanan menuju fishing ground, lalu menggulungnya lagi sebelum digunakan. Setelah sampai di fishing ground satu orang kepala kerja akan mengecek kecepatan dan arah arus, serta jumlah ikan di perairan tersebut. Jika arus di perairan terlalu kencang, maka nelayan akan menunggu sampai arus sedikit melemah atau mencari fishing ground yang lain. Jika ikan di perairan tersebut tergolong sedikit menurut kepala kerja, maka fishing ground akan dialihkan ke tempat lain. Setelah menemukan fishing ground yang cocok, para penggiring mulai bersiap menggunakan peralatan selam masing-masing yang terdiri atas masker, penutup kepala, weight belt, sepatu karet, serta regulator yang terhubung langsung dengan kompresor melalui selang kompresor. Sebelum jaring diturunkan, 7-8 orang penyelam terlebih dahulu menyelam untuk menentukan lokasi jaring akan di pasang. Setelah menemukan lokasi yang cocok, kemudian jaring mulai diturunkan oleh 1-2 orang penjaga jaring dan penjaga jaring akan tetap berada di atas sampan sampai operasi penangkapan ikan berakhir. Bagian jaring muroami yang pertama kali diturunkan adalah bagian kantong, menyusul bagian sayap. Proses setting biasanya memakan waktu sekitar 30 menit. Gambar 14 menunjukkan ilustrasi jaring muroami saat pengoperasian. Setelah setting selesai, para penyelam naik kembali ke atas kapal, kemudian kapal bergerak menjauhi jaring untuk memulai tahap penggiringan ikan. Setelah memperhitungkan jarak penggiringan cukup, kapal berhenti dan 7-8 orang penggiring menyelam kembali untuk tahap penggiringan atau sesuai dengan jumlah selang kompresor yang dimiliki. Penggiring menggunakan kecrik untuk menakuti ikan akibat suara yang dihasilkan oleh gelang-gelang besi yang terdapat

46 pada kecrik. Waktu yang dibutuhkan dalam proses penggiringan berkisar antara 30-60 menit, bergantung pada luas daerah penggiringan dan keadaan arus. Jaring darat Pelampung/ derigen Pelampung tambahan (pelastik) Jaring tengah Kantong Gambar 14 Ilustrasi jaring muroami saat pengoperasian. Segera setelah proses penggiringan selesai proses hauling langsung dilakukan, penjaga jaring ditambah juru masak dan beberapa penyelam yang sudah naik ke permukaan bertugas menarik jaring kantong ke atas sampan. Sementara penyelam lainnya mengangkat jaring sayap dan kecrik ke atas kapal. Penjaga selang kompresor membantu penyelam dengan menarik selang kompresor agar penyelam tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga untuk berenang sampai ke kapal. Setelah proses hauling selesai, penjaga selang akan menarik selang kompresor yang digunakan penyelam yang membantu menarik jaring kantong ke atas sampan sehingga perlahan-lahan sampan mendekati kapal sampai sampan sejajar di sebelah kanan kapal, barulah setetah itu hasil tangkapan di kantong jaring dipindahkan ke dalam palka kapal dengan menggunakan keranjang. Hauling biasanya memakan waktu antara 10-30 menit, bergantung jumlah hasil tangkapan yang diperoleh. Proses setting dapat dilakukan kembali setelah seluruh

47 hasil tangkapan masuk ke dalam palkah. Dalam satu kali trip biasanya nelayan muroami dapat melakukan 3-4 kali setting, atau bergantung pada hasil tangkapan yang di peroleh dari setting sebelumnya. 4.3.4 Daerah dan musim penangkapan Pada umumnya seluruh wilayah perairan di kawasan Kepulauan Seribu merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan muroami, kecuali Zona Inti Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) dan Zona Perlindungan TNLKpS. Wilayah Zona Inti meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat, Karang Rengat, Pulau Penjaliran Barat, Penjaliran Timur, Pulau Peteloran Timur, Peteloran Barat, Buton, Gosong Penjaliran, Pulau Kayu Angin Bira, Pulau Belanda dan bagian utara Pulau Bira Besar. Wilayah zona perlindungan meliputi perairan sekitar Pulau Dua Barat, Dua Timur, Jagung, Gosong Sebaru Besar, Rengit dan Karang Mayang. Zona Inti dan Zona Perlindungan merupakan daerah terlarang bagi kegiatan penangkapan ikan komersil di Perairan Kepulauan Seribu. Selain kedua wilayah tersebut merupakan fishing ground bagi nelayan di Kepulauan Seribu. Musim penangkapan di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin moonson. Angin musim barat terjadi antara Bulan Desember hingga Bulan Maret dan angin musim timur terjadi antara Bulan Juni hingga Bulan September. Musim peralihan terjadi antara Bulan April sampai Bulai Mei dan Bulan Oktober sampai Bulan November, lebih dikenal dengan musim pancaroba. Pada musim barat intensitas curah hujan tinggi disertai angin yang sangat kencang sehingga menyebabkan ombak yang besar. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tidak melaut untuk menangkap ikan terkait faktor keamanan di laut. Oleh karena itu pada musim barat hasil tangkapan nelayan sangat sedikti, musim barat sering pula disebut musim paceklik. Pada musim timur keadaan perairan biasanya tenang, karena curah hujan yang rendah serta angin yang tidak kencang, sehingga kegiatan penangkapan ikan dapat berjalan dengan lancar. Musim timur merupakan musim puncak produksi ikan.

48 4.3.5 Komposisi hasil tangkapan Hasil tangkapan total muroami yang tercatat di Pangkalan Pendaratan Ikan Pulau Pramuka pada tahun 2008 berjumlah 415,16 ton dengan rata-rata 436,09 kg per trip. Hasil tangkapan didominasi oleh ikan ekor kuning (Caesio cuning) sebanyak 46,97% dari total hasil tangkapan, ikan pisang-pisang (Pterocaesio chrysozona) sebanyak 30,94% dan ikan selar (Selaroides leptolepis) sebanyak 11,44% dari total hasil tangkapan. Selain ikan ekor kuning, ikan pisang-pisang dan ikan selar, beberapa hasil tangkapan yang biasa diperoleh antara lain adalah ikan kakatua (Cetoscarus sp), barakuda (Sphyraena sp), baronang (Siganus sp), bawal karang (Platax sp), kuwe (Caranx sp) dan lain lain. Komposisi tangkapan muroami pada tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 15. Barakuda 3.40% Selar 11.44% Kue 2.95% Lain-lain 4.31% Pisang - Pisang 30.94% Ekor Kuning 46.97% Gambar 15 Komposisi hasil tangkapan muroami pada tahun 2008. 4.3.6 Analisis biologi ikan ekor kuning 1) Distribusi frekuensi panjang Panjang rata-rata contoh ikan ekor kuning yang diamati 17,78 cm dan bobot rata-rata 95,86 gram. Panjang contoh ikan yang diamati berkisar antara 11-30,7 cm dan berat antara 10-450 gram. Dari 300 ekor contoh ikan ekor kuning yang diambil, frekuensi selang kelas tertinggi berada dalam selang kelas 13-14,9 cm dengan jumlah 91 ekor dan frekuensi selang kelas terendah berada dalam selang kelas 27-28,9 cm dan 29-30,9

49 cm dengan jumlah 3 ekor. Grafik sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning dapat dilihat pada Gambar 16. Frekuensi 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Selang Kelas (mm) Gambar 16 Sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning. Menurut Irawan (2008), panjang ikan ekor kuning pertama kali matang gonad (Lm) adalah 16,75 cm. Gambar 17 memperlihatkan sebaran contoh ikan yang tertangkap oleh muroami, titik-titik yang berada di atas garis Lm menunjukkan ikan yang sudah layak tangkap dan yang berada di bawah garis Lm adalah ukuran ikan yang belum layak tertangkap. Ikan yang layak tertangkap adalah ikan yang minimal telah satu kali bereproduksi, dalam hal ini diwakili dengan nilai Lm. Jika ikan sudah tertangkap sebelum bereproduksi, maka keberlangsungan populasi ikan tersebut akan terancam. Panjang (cm) 35 30 25 20 15 10 5 0 1 15 29 43 57 71 85 99 113 127 141 155 169 183 197 211 225 239 253 267 281 295 Ulangan Panjang Aktual Lm Gambar 17 Panjang aktual ikan ekor kuning yang tertangkap dan panjang pertama kali matang gonad (Lm).

50 Dari 300 ekor contoh ikan ekor kuning yang diamati, 133 ekor atau 44,33% ikan ekor kuning tergolong ikan yang belum layak tangkap atau ukuran panjang ikan masih di bawah panjang pertama kali matang gonad. Jumlah tersebut hampir setengah dari jumlah contoh ikan yang diamati. Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning selanjutnya. 2) Hubungan panjang-bobot Pengamatan terhadap salah satu aspek biologi ikan ekor kuning yaitu hubungan panjang dan bobot. Menurut Fafioye (2005) hubungan panjang-bobot memiliki beberapa kegunaan. Analisis panjang dan bobot jika dihubungkan dengan data kelompok umur dapat digunakan untuk mengetahui komposisi stok, umur saat pertama memijah, siklus kehidupan, kematian pertumbuhan dan produksi. Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning yang tertangkap oleh alat tangkap muroami di Perairan Kepulaun Seribu memiliki persamaan W = 5E- 07L 3,631 dengan nilai koefisien regresi (R 2 ) sebesar 0,984. Nilai koefisien regresi yang cukup besar menunjukan bahwa hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning sangat erat. Berdasarkan persamaan tersebut didapat nilai koefisien pertumbuhan (b) = 3,631 yang artinya ikan ekor kuning memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, yaitu pola pertumbuhan dimana pertambahan bobot lebih cepat dari pada pertambahan panjang. Grafik hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning disajikan pada Gambar 18. 600 Bobot (gram) 500 400 300 200 y = 5E-07x 3.631 R² = 0.984 100 0 0 50 100 150 200 250 300 350 Panjang Total (mm) Gambar 18 Hubungan antara panjang dan bobot ikan ekor kuning.

51 4.3.7 Analisis bio-teknik ikan ekor kuning 1) Produksi dan upaya penangkapan muroami Hasil tangkapan muroami di Perairan Kepulauan Seribu berfluktuasi dengan kecenderungan produksi mengalami peningkatan mengikuti persamaan y = 0,012x 490,4. Gambar 19 menunjukkan produksi tertinggi tercapai pada bulan Maret 2009 dengan total hasil tangkapan sebesar 44 ton dan produksi terendah pada Bulan Juli 2007 dengan total hasil tangkapan sebesar 2,24 ton. Fluktuasi produksi muroami setiap bulannya dapat dipengaruhi oleh faktor musim penangkapan, jumlah unit penangkapan muroami yang beroperasi dan ketersediaan ikan yang menjadi target penangkapan. Upaya penangkapan (effort) muroami berfluktuasi setiap bulannya. Pada Gambar 20 menunjukkan nilai effort tertinggi tercapai pada Bulan Maret 2009 sebesar 151 trip, sedangkan nilai effort terendah terjadi pada Bulan Agustus 2007 dengan nilai 7 trip. Sejalan dengan kecenderungan peningkatan produksi, upaya penangkapan muroami di Perairan Kepulauan Seribu juga memiliki kecenderungan meningkat mengikuti persamaan y = 0,090x - 3510. Fluktuasi pada upaya penangkapan ikan terjadi karena musim penangkapan ikan, ketersediaan ikan yang menjadi target penangkapan, serta kegiatan keagamaan dan sosial yang dilakukan nelayan. Catch (ton) 50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 y = 0.012x - 490.4 Bulan Gambar 19 Perkembangan produksi ikan ekor kuning di PPI Pulau Pramuka pada periode Mei 2007 - April 2009.

52 Effort (trip) 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 y = 0.090x - 3510. Bulan Gambar 20 Perkembangan upaya penangkapan ikan ekor kuning di PPI Pulau Pramuka pada periode Mei 2007 - April 2009. 2) Produktivitas alat tangkap Produktivitas tertinggi unit penangkapan muroami sebesar 4,89 ton per unit pada Bulan Maret 2008 dan produktivitas terendah sebesar 0,37 ton per unit pada Bulan Juli 2007 dengan nilai produktivitas rata-rata unit penangkapan muroami sebesar 1,80 ton per unit. Perkembangan produktivitas unit penangkapan muroami pada periode Mei 2007 - April 2009 memiliki kecenderungan meningkat mengikuti persamaan trend y = 0,001x 50,02 dimana setiap bulannya produktivitas muroami akan bertambah sebanyak 1 kg per unit per bulannya. Pada Gambar 21 disajikan perkembangan produktivitas muroami di PPI Pulau Pramuka selama periode Mei 2007 April 2009. 6.00 Produktivitas (ton/unit) 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 y = 0.001x - 50.02 Bulan Gambar 21 Perkembangan produktivitas muroami di PPI Pulau Pramuka pada periode Mei 2007 - April 2009

53 3) Catch per Unit Effort (CPUE) Perkembangan hasil tangkapan per upaya penangkapan ikan (CPUE) di Perairan Kepulauan Seribu memiliki kecenderungan menurun. Hal ini ditunjukkan oleh persamaan y = 17,27 0,000x. Gambar 22 menunjukkan nilai CPUE tertinggi terdapat pada Bulan Agustus dan September 2007. Hal ini terkait dengan upaya penangkapan ikan pada bulan tersebut yang sangat kecil, yaitu 7 trip pada Bulan Agustus 2007 dan 10 trip pada Bulan September 2007. Kecilnya jumlah trip dikarenakan banyak nelayan muroami pada bulan tersebut melakukan babang, yaitu operasi penangkapan yang dilakukan selama beberapa minggu sampai satu bulan dalam satu kali trip penangkapan. Babang biasanya dilakukan apabila ketersediaan ikan di Perairan Kepulauan Seribu sedang sedikit. Daerah penangkapan ikan yang dituju biasanya di luar Perairan Kepulauan Seribu, seperti di Lampung, Bangka Belitung, Karimun Jawa dan wilayah perairan lainnya. CPUE (ton/trip) 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 y = -0.000x + 17.27 Bulan Gambar 22 Nilai CPUE unit penangkapan muroami periode Mei 2007 April 2009. Hubungan antara nilai tangkapan per upaya penangkapan ikan (CPUE) dengan upaya penangkapan ikan (effort) dari unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu antara Bulan Mei 2007 hingga April 2009 memiliki trend yang menurun. Hal ini ditunjukkan oleh persamaan garis linier. Hubungan CPUE dengan Effort unit penangkapan muroami dapat dilihat pada Gambar 23. Korelasi antara CPUE dan upaya penangkapan ikan menunjukkan

54 korelasi yang negatif, korelasi negatif antara CPUE dan upaya penangkapan ikan mengindikasikan bahwa nilai CPUE akan semakin menurun dengan adanya peningkatan upaya penangkapan ikan. Hal tersebut dapat terjadi karena peningkatan upaya yang dilakukan nelayan tidak diimbangi dengan peningkatan hasil tangkapan. CPUE (ton/trip) 1.60 1.40 1.20 1.00 y = -0.004x + 0.612 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0 20 40 60 80 100 120 140 160 Effort (trip) Gambar 23 Hubungan CPUE dengan Effort unit penangkapan muroami. 4) Produksi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu Berdasarkan hasil analisis regresi hubungan antara CPUE dengan effort unit penangkapan muroami, diperoleh nilai koefisien regresi (α) sebesar 0,612 dan koefisien kemiringan (β) sebesar 0,004. Menurut persamaan model surplus produksi Schaefer, fungsi produksi perikanan muroami di Perairan Kepulauan Seribu adalah CPUE = 0,612 0,004E. Dengan menggunakan pendekatan model Algoritma Fox maka diperoleh nilai effort lestari (E MSY ) sebesar 70 trip per bulan dan nilai hasil tangkapan lestari (h MSY ) sebesar 21,49 ton per bulan. produksi lestari disajikan pada Gambar 24. Kurva Produksi aktual ikan ekor kuning merupakan produksi yang didaratkan di TPI Pulau Pramuka periode Mei 2007 April 2009 dan produksi lestari ikan ekor kuning adalah nilai yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan (5), yaitu h = αe βe 2. Pada Gambar 25 dapat dilihat perbandingan

55 sebaran antara produksi lestari dengan produksi aktual unit penangkapan muroami di Pulau Pramuka. 25 20 h MSY = 21,49 y = -0.004x 2 + 0.612x - 1E-13 Yield (ton) 15 10 5 0 E MSY = 70 0 20 40 60 80 100 120 140 160 Effort (trip) Gambar 24 Kurva produksi lestari. Yield (ton) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 50 100 150 Produksi aktual h MSY = 21,49 E MSY = 70 Effort (trip) Produksi lestari Gambar 25 Kurva produksi lestari dan produksi aktual. Pada bulan-bulan tertentu dapat dilihat bahwa upaya penangkapan (effort) dari unit penangkapan muroami telah melewati batas upaya penangkapan lestari(e MSY ). Hal tersebut terjadi akibat pengaruh musim penangkapan. Pada musim angin barat sangat sedikit sekali nelayan yang melakukan operasi penangkapan ikan akibat cuaca yang buruk, ketika musim angin barat berakhir dan berganti menjadi musim angin timur, maka nelayan berlomba-lomba untuk memperoleh hasil tangkapan yang banyak, sehingga total dari upaya penangkapan

56 pada bulan-bulan tertentu menjadi sangat tinggi. Jika hal tersebut terus berlangsung maka sumberdaya ikan karang di Perairan Kepulauan Seribu terancam kelestarianya. Tabel 10 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu Bulan Effort (trip) Total catch (ton) TP (%) Mei 2007 59 7.27 33.81% Juni 2007 84 5.01 23.32% Juli 2007 66 2.24 10.41% Agustus 2007 7 6.40 29.78% September 2007 10 14.50 67.48% Oktober 2007 22 3.91 18.21% November 2007 148 21.68 100.91% Desember 2007 94 23.78 110.66% Januari 2008 58 9.17 42.67% Februari 2008 43 19.18 89.25% Maret 2008 91 44.00 204.77% April 2008 68 19.75 91.91% Mei 2008 110 13.84 64.41% Juni 2008 106 10.70 49.80% Juli 2008 107 12.56 58.45% Agustus 2008 53 9.09 42.32% September 2008 49 12.14 56.49% Oktober 2008 75 13.71 63.80% November 2008 102 20.03 93.23% Desember 2008 90 10.82 50.34% Januari 2009 77 7.85 36.53% Februari 2009 81 13.68 63.65% Maret 2009 151 26.03 121.12% April 2009 150 24.29 113.02% Rata2 79 15 68.18% Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dapat diketahui dengan cara mempresentasekan jumlah hasil tangkapan pada tahun tertentu terhadap nilai Maximum Sustainable Yield (MSY). Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu menurut data yang tercatat selama periode bulan Mei 2007 sampai bulan April 2009 menunjukkan rata-rata tingkat pemanfaatan sebesar

57 68,18%. Tingkat pemanfaatan tertinggi terjadi pada Bulan Maret 2008 sebesar 204,77% dan terendah pada Bulan Juli 2007 sebesar 10,41%. Pada Tabel 10 disajikan Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu. Dari data tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu dua tahun terakhir, dapat dilihat bahwa rata-rata pemanfaatan sumberdaya ikan mencapai 68,18% per bulannya. Dari angka ini dapat disimpulkan bahwa sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu secara biologi belum sepenuhnya terexploitasi, hanya pada bulan tertentu saja pemanfaatan sumberdaya ikan melebihi angka 100%, akan tetapi jika hal ini terus berlanjut, maka hal tersebut dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu. Untuk itulah instansi terkait sebaiknya mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu agar kelestariannya tetap terjaga. 4.3.8 Evaluasi teknik kegiatan pengoperasian muroami 1) Pendataan hasil tangkapan yang didaratkan Dari 15 unit alat tangkap muroami yang terdapat di Kelurahan Pulau Panggang, hanya 10 unit muroami yang mendaratkan hasil tangkapannya di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pulau Pramuka. Hal tersebut menyebabkan data hasil tangkapan lima unit alat tangkap muroami yang tidak mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Pulau Pramuka tidak pernah tercatat. Dinas Perikanan setempat telah berusaha untuk meyakinkan nelayan muroami untuk mendaratkan hasil tangkapan di PPI Pulau Pramuka selama bertahun-tahun, akan tetapi dengan alasan tidak praktis dan tempat pendaratan berjarak cukup jauh dengan fishing base yang berada di Pulau Panggang nelayan tersebut terus menolak untuk mendaratkan ikan di PPI Pulau Pramuka. Akibatnya Dinas Perikanan setempat kesulitan dalam mendata jumlah produksi perikanan tangkap di Perairan Kepulauan Seribu secara keseluruhan, dan juga menyulitkan pihak-pihak yang meneliti tentang produksi perikanan tangkap di Perairan Kepulauan Seribu.

58 2) Permasalahan teknik alat tangkap muroami Pengoperasian muroami di Pulau Pramuka ternyata memiliki beberapa permasalahan terkait segi teknik. Pertama adalah permasalahan ukuran mata jaring muroami yang kecil dan yang kedua adalah metode pengoperasian muroami yang kurang ramah lingkungan. Dari analisis data panjang-bobot ikan ekor kuning yang dilakukan, sebanyak 44,33% ikan yang diamati tergolong ikan yang belum layak tangkap atau panjang ikan tersebut masih berada di bawah panjang pertama kali matang gonad. Hal tersebut dikarenakan oleh ukuran mata jaring muroami yang relatif kecil, yaitu sekitar 1-3 inch. Jika hal tersebut terus berlangsung, maka jumlah populasi ikan tangkapan akan terganggu, karena jika ikan yang belum pernah bereproduksi tertangkap oleh muroami, maka tidak terjadi regenerasi untuk melestarikan jumlah populasi ikan tersebut. Penggantian jaring muroami dengan ukuran mata jaring yang lebih besar mungkin jadi satu solusi untuk meloloskan ikan yang berukuran kecil pada saat pengoperasian berlangsung, dengan cara tersebut maka ikan yang belum layak tertangkap tidak akan tertangkap oleh jaring muroami. Akan tetapi dengan cara pengoperasian muroami yang sifatnya menggiring bukan menjerat, seharusnya faktor penggiringan yang perlu dikaji. Jika ikan yang digiring masih berukuran kecil, seharusnya kelompok ikan itu tidak ditangkap. Pengarahan ini perlu disampaikan kepada nelayan, selain itu perlu alternatif pekerjaan lain agar nelayan tetap dapat bermatapencaharian. Selanjutnya untuk penyebab ukuran ikan yang mengecil dapat dilakukan penelitian lebih dalam menyangkut aspek biologi dan lingkungan tempat ikan hidup. Selain ukuran mata jaring yang terlalu kecil, Dinas Perikanan setempat dan Taman Nasional Kepulauan Seribu juga mempermasalahkan kerusakan terumbu karang yang terjadi akibat pengoperasian muroami. Dari pengamatan langsung penulis terhadap metode pengoperasian muroami, penulis menyimpulkan bahwa pengoperasian muroami turut berperan dalam kerusakan terumbu karang yang terjadi. Penggiringan ikan dilakukan menggunakan alat bantu berupa scare line atau kecrik. Penggiringan ikan dilakukan oleh 7-8 orang penyelam yang membawa kecrik. Oleh karena jarak penggiringan cukup jauh dan lama, maka untuk

59 menghemat tenaga dan mempercepat gerakan, penggiring biasanya tidak selalu berenang, tetapi sesekali berpijak pada terumbu karang untuk mendapat gaya dorong yang lebih kuat agar dapat berenang dengan lebih cepat. Oleh karena itu, terumbu karang yang dilalui oleh penggiring akan rusak akibat terinjak saat penggiringan ikan berlangsung. Selain terinjak oleh nelayan, pemasangan jaring muroami yang diikatkan pada terumbu karang hidup juga berpotensi merusak terumbu karang tersebut. Untuk menghindari rusaknya terumbu karang akibat terinjak oleh nelayan muroami, dapat dilakukan dengan melakukan penggiringan ikan tanpa menyelam. Nelayan muroami cukup melakukan penggiringan ikan menggunakan kecrik dengan cara snorkling, sama seperti cara penggiringan muroami dahulu ketika belum menggunakan kompresor. Agar penggiringan ikan tanpa menyelam dapat dilakukan dengan lebih efekif, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang konstruksi kecrik yang dapat berfungsi lebih baik dengan cara snorkling. Menurut Hasian (2009), persentase karang hidup di Perairan Pulau Pramuka adalah 24,61%, sedangkan persentase karang mati sebesar 39,01%, sisanya adalah partikel-partikel benthic dan abiotik sebesar 36,39%. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa presentase karang mati lebih banyak bila dibandingkan dengan karang hidup, hal tersebut mengindikasikan kerusakan terumbu karang di Perairan Pulau Pramuka sudah sangat parah dan telah berlangsung lama, dengan banyak ditemukannya karang mati yang tertinggal. Dalam hal ini teknik penggiringan sebaiknya diubah untuk menghindari kerusakan terumbu karang. Penggiringan ikan sebaiknya dilakukan oleh nelayan tidak sampai menyentuh dasar perairan, sehingga terumbu karang di tempat pengoperasian alat tangkap tidak terinjak-injak atau terbentur oleh gelang besi kecrik. 3) Dampak pengoperasian muroami pada kesehatan nelayan Selain berdampak merusak terumbu karang, pengoperasian muroami juga berdampak buruk terhadap nelayan muroami itu sendiri. Penggunaan kompresor sebagai alat bantu pernafasan pada saat menyelam bukan tanpa resiko, mesin dan tabung kompresor yang digunakan adalah mesin dan tabung kompresor yang biasa

60 digunakan untuk mengisi udara pada ban kendaraan bermotor. Sebenarnya penggunaan mesin dan tabung kompresor yang biasa digunakan untuk mengisi udara pada ban kendaraan bermotor bisa saja tanpa menimbulkan resiko, dengan syarat oli yang digunakan pada mesin kompresor menggunakan oli nabati dan filter yang digunakan dalam keadaan baik. Selain itu udara yang dikompres ke dalam tabung kompresor haruslah udara yang bersih dan tidak tercemar. Oleh karena itu biasanya filter udara yang digunakan untuk menyaring udara harus diberi jarak tertentu dengan mesin kompresor agar udara yang masuk tidak tercemar oleh asap pembuangan mesin kompresor. Hal ini lah yang biasanya diabaikan oleh nelayan, sehingga udara dalam tabung kompresor tidak sepenuhnya bersih. Selain itu perlengkapan yang seadanya juga dapat berdampak buruk terhadap nelayan muroami, contohnya saja pakaian yang digunakan bukanlah pakaian khusus selam. Pakaian khusus selam dapat menjaga suhu tubuh penyelam agar tidak turun drastis pada saat penyelaman berlangsung, karena semakain dalam perairan maka semakin dingin suhu perairan tersebut. Hipotermia dapat dialami oleh nelayan muroami karena nelayan muroami tidak menggunakan pakaian khusus selam, karena kedalaman perairan pada saat pengoperasian muroami berkisar antara 10-40 meter dan pada kedalaman tersebut suhu perairan cukup rendah. Pada pengoperasian muroami nelayan tidak terlalu memperdulikan kedalaman yang dicapai serta kecepatan menyelam dan kembali ke permukaan, bagi nelayan semakin cepat mencapai dasar semakin baik dan begitu pula sebaliknya, semakin cepat sampai ke permukaan semakin cepat dapat beristirahat, yang penting pengoperasian muroami tidak memakan waktu yang lama. Hal tersebut sangat berbahaya bagi penyelam, akibatnya banyak nelayan muroami yang mengalami Dekompresi. Jika kita menyelam pada kedalaman tertentu, maka nitrogen yang larut di dalam darah akan bertambah, demikian sebaliknya jika kita naik ke permukaan. Semakin dalam kita menyelam dan semakin lama kita berada di bawah air, maka nitrogen yang larut dalam darah akan semakin banyak. Masalah akan muncul jika kita naik ke permukaan terlalu cepat, sehingga nitrogen tidak dapat dilepaskan seluruhnya ke luar tubuh. Kelebihan nitrogen ini

61 dapat membentuk gelembung dan menghasilkan penyakit yang dikenal sebagai dekompresi atau bends. Dekompresi dapat menimbulkan gatal-gatal serta bercak merah pada kulit, nyeri pada persendian, kram, kelumpuhan, hingga kematian. Sudah banyak nelayan muroami yang mengalami kelumpuhan dan kematian akibat dekompresi, akan tetapi hingga saat ini nelayan muroami masih tidak mengubah cara menyelam yang beresiko. Nelayan menyadari dampak cara penyelaman yang biasa dilakukan terhadap kondisi tubuhnya, oleh karena itu setiap 3-4 bulan sekali nelayan melakukan terapi Decompression chamber untuk menghindari akibat fatal dari dekompresi. Terapi Decompression chamber memang dapat menyembuhkan dekompresi. Jika dekompresi yang dialami nelayan cukup akut pada pasca penyelaman, maka saat itu juga nelayan tersebut harus masuk Decompression chamber. Hal tersebut mustahil dilakukan, mengingat tempat terapi dengan fishing ground berjarak sangat jauh. Oleh sebab itulah banyak nelayan muroami yang mengalami kelumpuhan bahkan kematian karena cara penyelaman yang tidak sesuai prosedur. Untuk meminimalisir kemungkinan nelayan mengalami dekompresi, sebaiknya pihak-pihak yang terkait seperti Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu setempat maupun Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu memberikan pelatihan dan evaluasi secara berkala tentang cara penyelaman yang baik dan aman kepada nelayan setempat.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1) Ada dua bagian utama dari alat tangkap muroami, yaitu jaring kantong dan jaring sayap. Panjang jaring kantong muroami sekitar 40 meter, lebar bukaan mulut sekitar 15 meter dan tinggi bukaan mulut sekitar 20 meter. Jaring kantong terbuat dari PE dengan ukuran mata jaring 1-3 inch, terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian mulut, tengah atau badan dan poncot. Jaring sayap terdiri atas dua bagian, yaitu jaring darat dan jaring tengah. Jaring darat dibentuk dari 2-2½ piece jaring PA monofilamen yang disusun vertikal, dengan panjang sekitar 100 meter, tinggi 6-7,5 meter dan ukuran mata jaring 2½ inch. Jaring tengah dibentuk dari 3 piece jaring PA monofilamen yang disusun vertikal dengan ukuran mata jaring 2½ inch, panjang sekitar 100 meter dan tinggi 9 meter. Alat bantu penangkapan ikan berupa kecrik, terbuat dari tambang sepanjang sekitar 150 meter dengan memasang gelanggelang besi di setiap jarak sekitar 20 meter. Pengoperasian muroami dilakukan dalam empat tahap, yaitu persiapan, pemasangan jaring muroami, penggiringan ikan dan pengangkatan hasil tangkapan. Pengoperasian muroami dilakukan oleh 15-18 orang menggunakan sebuah kapal utama dan sebuah sampan. Pengoperasian muroami turut berperan dalam kerusakan terumbu karang yang terjadi, penggiringan ikan merupakan tahapan dalam pengoperasian muroami yang paling berpotensi merusak terumbu karang. 2) Hasil tangkapan pada tahun 2008 didominasi oleh ikan ekor kuning (Caesio cuning) sebanyak 46,97% dari total hasil tangkapan, ikan pisang-pisang (Pterocaesio chrysozona) sebanyak 30,94% dan ikan selar (Selaroides leptolepis) sebanyak 11,44%. Nilai effort lestari (E MSY ) sebesar 70 trip per bulan dan nilai hasil tangkapan lestari (h MSY ) sebesar 21,49 ton per bulan. Rata-rata tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu sebesar 68,18%, jadi secara biologi sumberdaya ikan di Perairan Kepulaun Seribu belum sepenuhnya terexploitasi.

63 3) Hubungan panjang-bobot ikan ekor kuning dinyatakan dalam persamaan W = 5E-07L 3,631. Nilai 3,631 menunjukkan bahwa ikan ekor kuning memiliki pola pertumbuhan alometrik positif. 5.2 Saran Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian tentang kajian bio-teknik perikanan muroami di Perairan Kepulauan Seribu, maka penulis menyarankan agar 1) Dilakukan pengendalian upaya penangkapan ikan dan jumlah produksi pada musim puncak penangkapan agar kelestarian ikan tetap terjaga. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara membatasi hasil tangkapan per trip yang diperbolehkan; 2) Dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aspek teknik terkait pengoperasian muroami yang ramah lingkungan, antara lain konstruksi kecrik yang dapat berfungsi lebih optimal, serta metode penggiringan ikan yang tidak merusak terumbu karang; 3) Dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aspek biologi dan lingkungan terkait ukuran hasil tangkapan yang semakin mengecil.

DAFTAR PUSTAKA Allen G, Steene R, Human P and DeLoach N. 2007. Reef Fish Identification Tropical Pacific. Florida: New World Publications, Inc. Arami H. 2006. Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan Karang dalam Rangka Pengembangan Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 215 hal. Baskoro MS. 2006. Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal 15-17. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Kepulauan Seribu dalam Angka 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 27-38. Dawes CJ. 1981. Marine Botany. New York: John and Sons, Inc. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. 2002. Pedoman Pelaksanaan Pengumpulan Data Statistik Penangkapan Perikanan Laut. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 51 hlm. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hlm. Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 hlm. Gladfelter WB and Gladfelter EH. 1978. Fish community structure as a function of habitat structure on West Indian patch reefs. Revista di Biologia Tropica: Supplement 1:65-84 Hasian O. 2008. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Jakarta: Sekolah Tinggi Perikanan. 71 hlm. Irawan H. 2008. Aspek Perikanan Tangkap Jaring Muroami dan Aspek Biologi Ikan Ekor Kuning (caesio cuning) dalam Pengelolaan Perikanan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Jakarta: Sekolah Tinggi Perikanan. 97 hlm. Isnaini. 2008. Pola Rezim Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning di Kepulauan Seribu [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 142 hal

65 Lagler KF, Bardach JE, Miller RR and Passino DR. 1977. Ichtyology. USA: John Wiley and Sons. 506 hal. Lowe RH and McConnell. 1987. Ecological Studies in Tropical Fish Communities. London: Cambridge University Press. 235 hal. Luna SM. 2009. Caesio cuning. [terhubung berkala]. www.fishbase.org. [17 september 2009]. Marnane MJ et al. 2003. Studi Kegiatan Perikanan Muroami di Kepulauan Karimunjawa, September 2003. [terhubung tidak berkala]. www.wcsmarineindonesia.org. [26 Juli 2008]. Martasuganda S. 2004. Set Net (teichi ami), Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 101 hal. Mawardi W. 1998. Studi Tentang Pengaruh Pemasangan Leader Net Terhadap Hasil Tangkapan dan Tinjauan Tingkah Laku Ikan Karang pada Alat Tangkap Bubu Sayap di Teluk Belebuh, Lampung [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 59 hal. Moll H and Suharsono. 1986. Distribution, Diversity and Abundance of Reef Corals in Jakarta Bay and Kepulauan Seribu. In Human Induced Damaged to Coral Reef: Result of Region UNESCO (COMAR) Workshop. (Brown, B.E., eds). UNESCO Report in Marine Science, 40 : 112-125. Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 622 hal. Ricker WE. 1975. Computation and Interpretation of Biological Statistics of Fish Population. Ottawa: Departement of The Environment. Fisheries & Marine Service. Pasific Biological Station. 382 Hal. Romimohtarto K dan S Juwana. 2005. Biologi Laut Ilmu Tentang Biota Laut. Jakarta: Djambatan. Hal 331-332. Sale PF. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. California: Academic Press Inc. 754 hal. Sparre P and Venema SC. 1999. Introduction to Tropical Fish Stock Assesment Part 1. Terjemahan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (Berdasarkan Kerjasama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa). Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku 1. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 438 hal.

66 Subani W dan HR. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Perikanan Laut. Nomor: 50 Tahun 1988/1989. Jakarta: Badan Penelitian Perikanan Laut, Departemen Pertanian. Hal 172-174. Suharti SR. 2006. Ekologi Ikan Karang. [terhubung tidak berkala]. www.coremap.or.id. [06 Juni 2008]. Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 96-98. The BayScience Foundation. 2009. Caesio cuning (Redbelly Yellowtail Fusilier). [terhubung berkala]. http://zipcodezoo.com/. [17 Sepember 2009]. von Brandt A. 2005. Fish Catching Methods of the World 4 th Edition. England: Fishing New Book Ltd. 523 hal. Wibisono MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Hal 207-209.

68 Lampiran 1 Peta lokasi penelitian dan daerah penangkapan ikan di perairan Kepulauan Seribu Pulau Pramuka LOKASI PENELITIAN PETA ZONASI TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU Skala 1:50.000 U Legenda : Zona Inti Zona Perlindungan Zona Pemanfaatan Wisata Zona Pemukiman DEPARTEMEN KEHUTANAN 1 0 1 2 Km Sumber : Taman Nasional Kepulauan Seribu

69 Lampiran 2 Jaring kantong muroami Jaring kantong muroami Jaring kantong muroami saat dioperasikan

70 Lampiran 3 Jaring sayap muroami Jaring sayap muroami Jaring sayap muroami saat dioperasikan

71 Lampiran 4 Alat bantu penangkapan Kecrik Serok

72 Lampiran 5 Perlengkapan penunjang dalam kegiatan penangkapan ikan Keranjang Cool box Palkah

73 Lampiran 6 Alat bantu selam yang digunakan nelayan muroami di Kepulauan Seribu Tabung kompresor Mesin Kompresor Selang kompresor Regulator Masker Weight belt Sepatu karet

74 Lampiran 7 Perlengkapan selam Wet Suit Buoyancy Compensator Device (BCD) Tabung Oksigen Regulator Masker dan Fin Weight Belt

75 Lampiran 8 Pengoperasian muroami di Kepulauan Seribu Penurunan jaring muroami Setting jaring muroami Penggiringan ikan

76 Lampiran 8 (Lanjutan) Hauling Pengangkatan hasil tangkapan ke atas kapal

77 Lampiran 9 Ikan hasil tangkapan dominan muroami Ikan ekor kuning (Caesio cuning) Ikan pisang-pisang (Caesio chrysozona)