V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 1. Lokasi Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KETERKAITAN ANTARA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP ALOKASI RUANG DENGAN PERUBAHAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane)

BAB I PENDAHULUAN. Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LOGO Potens i Guna Lahan

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lingkungan hidup menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran

Lampiran 1. Kriteria Lahan Kritis di Kawasan Hutan Lindung (HL), Budidaya Pertanian (BDP) dan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan (LKHL)

PENDAHULUAN Latar Belakang


Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS

BAB I PENDAHULUAN...1

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. fungsi utama, yaitu sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan dan sebagai matriks

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

GEOGRAFI. Sesi PETA DAN PEMETAAN D. SIMBOL PETA. a. Berdasarkan Wujudnya

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

PENGELOLAAN DAS TERPADU

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi

PENGATURAN BENTUK LERENG DAN PERLAKUAN REKLAMASI. Perlakuan Konservasi Tanah (Reklamasi) Guludan. bangku. Guludan - Teras Kredit

EI 30 = 6,119 R 1,21 D -0,47 M 0,53 Tabel IV.1 Nilai Indeks Erosivitas Hujan (R)

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009, Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, hutan, industri, jalan dan emplasmen, kebun campuran, pemukiman, rumput, sawah, dan tegalan. Kecamatan Klapanunggal memiliki 10 tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, hutan, industri, kebun campuran, pemukiman, sawah, tegalan, galian C, lahan terbuka dan semak. Secara spasial sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang pada Gambar 5 dan Kecamatan Klapanunggal pada Gambar 6. Luas dan proporsinya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas dan proporsi penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Luas (ha) Proporsi (%) No Penggunaan Lahan Babakan Klapanunggal Babakan Klapanunggal Madang Madang 1 Badan air 91.32 86.26 0.99 0.90 2 Hutan 3143.23 3141.57 34.05 32.83 3 Industri 76.18 379.12 0.83 3.96 4 Jalan dan Emplasmen 136.94-1.48-5 Kebun Campuran 681.61 1025.91 7.38 10.72 6 Pemukiman 1567.61 1259.19 16.98 13.16 7 Rumput 196.32-2.13-8 Sawah 459.05 1669.85 4.97 17.45 9 Tegalan 2877.79 257.98 31.18 2.70 10 Galian C - 547.74-5.72 11 Lahan Terbuka - 253.83-2.65 12 Semak - 947.99-9.91 Total 9230.05 Sumber : Hasil Interpretasi Citra Alos Anvir 2009 9569.43 100.00 100.00 Dari Tabel 8 diketahui bahwa penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang didominasi oleh hutan dan tegalan dengan proporsi masing-masing 34.05% dan 31.18% dari total luas Kecamatan Babakan Madang. Kecamatan Klapanunggal didominasi oleh hutan dan sawah, dengan proporsi masing-masing 32.83% dan 17.45% dari total luas Kecamatan Klapanungal. Tingginya penggunaan lahan hutan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

24 dikarenakan terdapat peruntukan kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang cukup luas, sehingga penggunaan lahan hutan di dalam kawasan tersebut tetap terjaga dari konversi ke penggunaan lain karena dilindungi oleh hukum, walaupun masih terdapat beberapa penyimpangan. Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang Penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang lebih dominan tegalan dari pada padi sawah, hal tersebut di karenakan sedikitnya aliran sungai yang melintasi Kecamatan Babakan Madang, dimana air sungai merupakan salah satu sumber utama irigasi padi sawah. Sedangkan di Kecamatan Klapanunggal cukup banyak dialiri air sungai sehingga penggunaan lahan untuk padi sawah lebih dominan. Penggunaan lahan pemukiman di Kecamatan Babakan Madang sebesar 1567.61 ha dan Klapanunggal 1259.19 ha. Luasnya peruntukan kawasan pemukiman perkotaan, perkembangan perkotaan, dan pemukiman pedesaan menyebabkan banyaknya pemukiman di kedua kecamatan tersebut. Total peruntukan kawasan pemukiman perkotaan, perkembangan perkotaan, dan pemukiman pedesaan di Kecamatan Babakan Madang sebesar 2972.74 ha atau

25 48.09%, dan di Kecamatan Klapanunggal 1644,32 ha atau 17.18% dimana masih cukup luas peruntukan kawasan pemukiman tersebut yang belum menjadi pemukiman. Penggunaan lahan kebun campuran di Kecamatan Babakan Madang sebesar 681.61 ha dan Klapanunggal 1025.91 ha. Tingginya penggunaan lahan kebun campuran di karenakan tingginya penggunaan lahan pemukiman, sawah dan tegalan. Dimana kebun campuran cenderung berada di sekitar pemukiman, sawah, dan tegalan. Penggunaan lahan yang khas di Kecamatan Babakan yaitu jalan dan emplasmen, dan rumput. Penggunaan lahan jalan dan emplasmen berupa jalan tol dan sirkuit sentul, rumput berupa lapangan golf. Penggunaan lahan yang khas di Kecamatan Klapanunggal yaitu Galian C berupa batuan kapur yang di tambang oleh PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk, PT Holcim Indonesia Tbk, dan penduduk sekitar. Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Klapanunggal

26 5.2. Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal berdasarkan matrik logik disajikan pada Lampiran 3. Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang disajikan pada Gambar 7 dan Tabel 9. Dari Gambar 7 dan Tabel 9 menunjukkan bahwa penyimpangan pemanfaatan ruang terjadi di kawasan budidaya dan lindung. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan budidaya terjadi di kawasan, perkebunan, hutan produksi, pertanian lahan kering, dan industri. Penyimpangan terbesar terjadi di kawasan perkebunan sebesar 100%, dimana 69.57% untuk tegalan dan 30.43% untuk kebun campuran. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi terbesar untuk tegalan 21.51%. Penyimpangan di kedua kawasan tersebut sebagian besar terdapat di Desa Karang Tengah. Dimana 1927 dari 3381 rumah tangga berprofesi sebagai petani, dengan komoditas pertanian yang diusahakan adalah ubi kayu (BPS, 2009), sehingga tidak sedikit petani yang menggunakan kawasan perkebunan dan kawasan hutan produksi untuk usaha taninya. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan kering terbesar untuk sawah 18.16%. Penyimpangan tersebut terjadi di sekitar daerah aliran sungai di Desa Karang Tengah, dimana lahan masih bisa ditanami padi sawah. 100 % Penyimpangan 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0.57 Hutan Lindung 27.41 Hutan Produksi Perkebunan Pertanian Lahan Kering 24.33 23.38 Peruntukan Industri Gambar 7. Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Babakan Madang

27 Tabel 9. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Babakan Madang No RTRW Luas (ha) 1 Hutan Lindung 1826.91 2 Hutan Produksi 1583.27 3 Perkebunan 5.85 Penggunaan Lahan Penyimpangan Luas (ha) % Sawah 10.23 0.56 Tegalan 0.11 0.01 Pemukiman 13.07 0.83 Sawah 80.33 5.07 Tegalan 340.54 21.51 Tegalan 4.07 69.57 Kebun Campuran 1.78 30.43 Total (ha) 10.34 433.94 5.85 4 5 Pertanian Lahan Kering Peruntukan Industri 611.45 Pemukiman 37.71 6.17 Sawah 111.01 18.16 148.72 180.08 Pemukiman 42.10 23.38 42.10 Total 639.17 peruntukan industri menyimpang sebesar 23.38% dari alokasi RTRW dengan jenis penyimpangan menjadi pemukiman. Penyimpangan terjadi di Desa Sentul, dimana 1263 dari 2469 rumah tangga bekerja di sektor industri. Adanya industri menarik para penduduk di luar desa tersebut untuk bekerja di sana. Sehingga menyebabkan tumbuhnya pemukiman pemukiman baru sebagai tempat tinggal penduduk pendatang. Dimana pemukiman tersebut sebagian menyimpang dari peruntukan kawasaan industri. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan lindung sebesar 0.57%, untuk sawah 0.56% dan tegalan 0.01%. Penyimpangan tersebut terdapat di Desa Karang Tengah dan Bojong Koneng, dimana 1927 dari 3381 rumah tangga di Desa Karang Tengah dan 1406 dari 2618 rumah tangga di Desa Bojong Koneng bekerja sebagai petani (BPS, 2009). Sehingga terdapat beberapa petani yang menggunakan kawasan hutan lindung untuk usaha taninya. Penyimpangan pemanfaatan ruang di setiap desa tersaji pada Lampiran 4. Peta penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dapat dilihat pada Gambar 8.

28 Gambar 8. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kec. Babakan Madang Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Klapanunggal hanya terjadi di kawasan budidaya yaitu pada kawasan pertanian lahan kering, industri, hutan produksi, pertanian lahan basah, dan pemukiman pedesaan. Jenis dan luas penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut disajikan pada pada Tabel 10 dan Gambar 9. Dari Tabel 10 dan Gambar 9 terlihat bahwa penyimpangan terbesar terjadi di kawasan pertanian lahan kering. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan kering digunakan untuk pemukiman 34.18%, selain itu industri 3.09% dan sawah 3.7%. Penyimpangan tersebut sebagian besar terletak di Desa Ligar Mukti. Tingginya penyimpangan kawasan pertanian lahan kering menjadi pemukiman di kawasan tersebut karena jauhnya jarak desa dari pusat kota. Listiawan (2010) mengungkapkan bahwa, jarak desa yang jauh dari pusat kota menyebabkan rendahnya pengawasan aparat terhadap segala bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi.

29 % Penyimpangan 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 12.23 Hutan Produksi 5.19 Pertanian Lahan Basah 40.97 Pertanian Lahan Kering 24.88 Peruntukan Industri 3.64 Pemukiman Pedesaan Gambar 9. Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Klapanunggal Tabel 10. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Klapanunggal No RTRW Luas (ha) 1 Hutan Produksi 3756.80 Penggunaan Lahan Penyimpangan Luas % (ha) Galian C 116.93 3.11 Kebun Campuran 165.29 4.40 Lahan Terbuka 4.17 0.11 Pemukiman 33.50 0.89 Sawah 50.65 1.35 Tegalan 89.10 2.37 Total (ha) 459.64 2 Pertanian Lahan Basah 1017.63 Pemukiman 52.78 5.19 52.78 3 Pertanian Lahan Kering 796.19 Industri 24.64 3.09 Pemukiman 272.17 34.18 Sawah 29.48 3.70 326.29 4 Peruntukan Industri 1250.16 Pemukiman 311.03 24.88 311.03 5 Pemukiman Pedesaan 1009.76 Industri 36.71 3.64 36.71 Total 1186.44 Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan basah dan peruntukan industri berupa pemukiman sebesar 5.19% dan 24.88%. Penyimpangan tersebut terjadi di Desa Klapanunggal dan Kembang Kuning. Tingginya jumlah penduduk (11859 jiwa di Desa Klapanunggal dan 13122 jiwa di Desa Kembang Kuning) (BPS, 2008) menyebabkan terjadinya penyimpangan di kedua kawasan tersebut. Selain itu, penduduk di kedua desa tersebut sebagian

30 besar bekerja di sektor industri (BPS, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Restina (2009) kepadatan penduduk dan jenis pekerjaan mempengaruhi terjadinya penyimpangan alokasi ruang. Adanya industri menarik para penduduk untuk bekerja di sana yang menyebabkan tumbuhnya pemukiman pemukiman di sekitar kawasan industri. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pemukiman perdesaan berupa industri sebesar 36.71 ha atau 3.64%. Penyumbang terbesar penyimpangan tersebut terdapat pada pabrik Holcim, dimana 19.10 ha atau 21.96% dari luas pabrik Holcim tidak sesuai dengan alokasi ruang yang seharusnya digunakan untuk pemukiman perdesaan. PT. Holcim Indonesia Tbk merupakan industri semen ketiga terbesar di Indonesia dengan kapasitas terpasang sebesar 7.9 juta ton. Dengan produksi yang tercapai pada tahun 2005 sebesar 6.5 juta ton (www.winpluscapital.com, 10 Desember 2011). Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi terbesar untuk kebun campuran sebesar 165.29 ha atau 4.40%. Selain itu untuk galian C sebesar 116.93 ha atau 3.11%. Banyaknya kawasan hutan produksi menjadi kebun campuran karena dekatnya kawasan hutan produksi dengan pemukiman penduduk, sawah, dan tegalan, sehingga banyak penduduk yang memanfaatkan sebagian kawasan hutan produksi menjadi kebun campuran. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi untuk galian-c sebesar 116.93 ha atau 3.11%, penyimpangan terjadi Desa Leuwikaret dan Desa Klapanunggal. Di Desa Leuwikaret penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi untuk galian-c disebabkan oleh tambang PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, yang merupakan industri semen terbesar kedua setelah Semen Gresik Grup dengan total kapasitas sebesar 16.5 juta ton atau 37% dari seluruh kapasitas terpasang industri semen di Indonesia (www.winpluscapital.com, 10 Desember 2011). Sedangkan di Desa Klapanunggal penyimpangan kawasan hutan produksi menjadi galian-c terjadi karena terdapat beberapa tambang liar yang dilakukan oleh penduduk sekitar. Tambang liar di desa tersebut disebabkan oleh kurangnya pengawasan aparat berwajib. Penyimpangan pemanfaatan ruang di setiap desa tersaji pada Lampiran 5. Peta penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dapat dilihat pada Gambar 10.

31 Gambar 10. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Klapanunggal 5.3. Variabel fisik lingkungan penciri tingkat kekritisan lahan Hasil pengamatan variabel penciri tingkat kekritisan lahan di lapang tersaji pada Lampiran 6 11. Hasil analisis diskriminan dari data tersebut disajikan pada Tabel 11. Dari Tabel 11 memperlihatkan bahwa terdapat empat variabel yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% membedakan tingkat kekritisan lahan yaitu batuan permukaan, kedalaman efektif, singkapan batuan dan erosi. Sedangkan varibel yang lain lereng, drainase, tindakan konservasi dan tutupan vegetasi tidak terpilih. Hal ini mengindikasikan kemampuan variabel yang rendah dalam mendiskriminasi antar kelas kekritisan, kemungkinan adanya multikolinearitas antar variabel. Tabel 11 juga memperlihatkan bahwa nilai Wilks variabel batuan permukaan, kedalaman efektif, erosi, dan singkapan batuan cenderung mendekati 0. Nilai Wilks lambda mendekati 0 menunjukkan variabel tersebut mampu membedakan tingkat kekritisan lahan cukup sempurna. Keempat variabel tersebut memiliki nilai 1-Toler cenderung mendekati 1, nilai tersebut menunjukkan redudansi cukup tinggi (Panuju dan Rustiadi, 2010).

32 Tabel 11. Variabel Penciri Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan Variabel Wilks' p-level 1-Toler. Batuan Permukaan 0.423 0.002 0.671 Kedalaman Efektif 0.376 0.028 0.688 Singkapan Batuan 0.370 0.039 0.466 Tingkat Erosi 0.369 0.042 0.620 5.4. Ketepatan Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan DRLKT Menggunakan Kriteria Modifikasi Hasil analisis diskriminan untuk ketepatan klasifikasi DRLKT menggunakan Kriteria Modifikasi disajikan dalam matriks klasifikasi pada Tabel 12. Dari Tabel 12 menunjukkan bahwa ketepatan klasifikasi DRLKT dengan menggunakan kriteria modifikasi sebesar 66.67%, sisanya 33.33% merupakan kesalahan klasifikasi. Tingkat ketepatan klasifikasi yang rendah dikarenakan kriteria yang digunakan untuk menguji tingkat ketepatan klasifikasi berbeda dari kriteria DRLKT. Ketepatan klasifikasi pada kelas sangat kritis sebesar 71.43%, dimana 2 dari 7 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk ke dalam kelas agak kritis dan potensial kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas kritis 53.85%, dimana 6 dari 13 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk ke dalam kelas sangat kritis 2 sampel, potensial kritis 3 sampel, dan tidak kritis 1 sampel. Satu sampel tidak kritis tersebut terdapat di Kecamatan Babakan Madang dengan penggunaan lahan sawah, tingginya tutupan vegetasi, lereng yang tidak curam karena sudah di teras, batuan dan singkapan batuan yang rendah, serta tidak terjadi erosi menyebabkan sampel tersebut cenderung masuk kedalam kelas tidak kritis dari pada kedalam kelas kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas agak kritis 66.67%, dimana 4 sampel dari 18 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas potensial kritis sebesar 81.25%, dimana 2 sampel dari 16 sampel yang di ujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas agak kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas tidak kritis 50%, dimana 3 sampel dari 6 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Persentase ketepatan klasifikasi tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa kelas kritis dan tidak kritis

33 merupakan dua kelas yang ketepatan klasifikasinya relatif lebih rendah, jika di bandingkan dengan kelas kekritisan lainnya. Tabel 12. Matriks Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. Tingkat Kekritisan Persentase Ketepatan Sangat Agak Potensial Tidak Sangat 71.43 5 0 1 1 0 53.85 2 7 0 3 1 Agak 66.67 1 1 12 4 0 Potensial 81.25 0 1 2 13 0 Tidak 50.00 0 0 0 3 3 Total 66.67 8 9 15 24 4 Peluang posterior yang menunjukkan ketepatan klasifikasi setiap unit pengamatan secara detil disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 memperlihatkan bahwa variabel fisik lahan dari pengamatan lapang terdapat 20 kasus misklasifikasi dari 60 unit pengamatan yang di analisis. Unit pengamatan yang mengalami misklasifikasi yaitu nomor 1, 2, 4, 7, 11, 15, 20, 22, 23, 25, 27, 29, 33, 34, 35, 37, 38, 40, 50, dan 51. Pada unit pengamatan nomer 25, 29, dan 21, cenderung masuk ke dalam kelas sangat kritis. Unit pengamatan nomor 2 dan 11, cenderung masuk ke dalam kelas kritis. Unit pengamatan nomor 15, 22, dan 37, cenderung masuk kedalam kelas agak kritis. Unit pengamatan nomor 1, 2, 20, 23, 27, 33, 34, 35, 38, 40 dan 50, cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Sedangkan unit pengamatan nomer 4 cenderung masuk kedalam kelas tidak kritis. Sebaran secara spasial ketepatan klasifikasi setiap unit pengamatan terdapat pada Gambar 11 dan 12. Data karakteristik fisik lingkungan tersaji pada Lampiran 12.

34 Tabel 13. Peluang Posterior Kelas Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. No Simbol Pengamatan Sangat Agak Potensial Tidak * 1 HP.SW2.1 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 * 2 HP.SW3 Agak 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 3 HP.TG3.1 Agak 0.02 0.25 0.48 0.24 0.00 * 4 HP.SW2.2 0.00 0.07 0.08 0.12 0.73 5 HP.TG3.2 Agak 0.01 0.33 0.43 0.23 0.00 6 HL.SW4.1 Potensial 0.00 0.15 0.20 0.59 0.05 * 7 PB.TG3 Agak 0.03 0.72 0.17 0.08 0.00 8 LK.SW2 0.05 0.55 0.31 0.10 0.00 9 LK.SW4.1 Potensial 0.00 0.17 0.19 0.38 0.26 10 HP.TG2.1 0.08 0.66 0.17 0.06 0.03 * 11 LK.SW4.2 Potensial 0.05 0.55 0.31 0.10 0.00 12 HP.H4.1 Potensial 0.00 0.04 0.48 0.48 0.00 13 HP.H2.1 0.06 0.62 0.23 0.08 0.00 14 H L.H4 1 Potensial 0.00 0.05 0.38 0.57 0.00 * 15 PB.KC4 Potensial 0.00 0.09 0.46 0.45 0.00 16 LK.TG1 Sangat 0.85 0.13 0.02 0.00 0.00 17 LK.TG3 Agak 0.13 0.32 0.44 0.11 0.00 18 LK.TG21 0.24 0.66 0.08 0.01 0.00 19 HP.H4.2 Potensial 0.00 0.04 0.48 0.48 0.00 * 20 HP.H2.2 0.00 0.04 0.48 0.48 0.00 21 Pp.TG1 Sangat 0.66 0.22 0.11 0.01 0.00 * 22 Prw.RP1 Sangat 0.02 0.25 0.48 0.24 0.00 * 23 Pp.KC1 Sangat 0.01 0.20 0.25 0.52 0.02 24 Prw.TG2 0.08 0.53 0.31 0.08 0.00 * 25 LK.TG2.2 0.52 0.31 0.15 0.02 0.00 26 Pp.TG2 0.00 0.56 0.18 0.25 0.01 * 27 Pp.KC3.1 Agak 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 28 Pp.KC3.2 Agak 0.00 0.25 0.41 0.34 0.00 * 29 Pp.TG3 Agak 0.66 0.22 0.11 0.01 0.00 30 HL.H4.2 Potensial 0.00 0.14 0.38 0.47 0.01 31 Pp.SW4 Potensial 0.01 0.09 0.27 0.51 0.12 32 PP.TG4 Potensial 0.01 0.09 0.27 0.59 0.05 * 33 PP.TG5.1 Tidak 0.01 0.09 0.27 0.59 0.05 * 34 PP.TG5.2 Tidak 0.01 0.09 0.27 0.59 0.05 * 35 PP.RP5 Tidak 0.00 0.10 0.21 0.61 0.07 36 HP.KC3 Agak 0.00 0.06 0.64 0.29 0.00 * 37 HP.SW4 Potensial 0.01 0.04 0.58 0.37 0.00 * 38 HP.SW3 Agak 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 * 40 LK.SW3 Agak 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 41 HP.H3 Agak 0.09 0.23 0.62 0.07 0.00 42 HP.H4 Potensial 0.00 0.10 0.34 0.56 0.01 43 LK.TG3 Agak 0.00 0.03 0.50 0.47 0.00 44 LB.S W4 Potensial 0.00 0.07 0.27 0.65 0.01 45 HP.H31 Agak 0.01 0.22 0.55 0.22 0.00 46 ZT.GC1 Sangat 0.99 0.01 0.01 0.00 0.00 47 IN.LT11 Sangat 0.90 0.05 0.04 0.00 0.00 48 IN.LT12 Sangat 0.71 0.06 0.23 0.01 0.00 49 IN.LT2 0.05 0.67 0.16 0.08 0.04 * 50 Pp.SW2 0.00 0.07 0.27 0.65 0.01 * 51 IN.SE2 0.65 0.30 0.05 0.00 0.00 52 LK.H3 Agak 0.14 0.09 0.69 0.07 0.01 53 PD.KC3 Agak 0.00 0.25 0.41 0.34 0.00 54 Pp.SE3 Agak 0.10 0.02 0.80 0.07 0.01 55 LB.S W4 1 Potensial 0.00 0.07 0.27 0.65 0.01 56 PD.KC4 Potensial 0.00 0.15 0.07 0.60 0.19 57 LB.S W4 2 Potensial 0.00 0.09 0.07 0.60 0.23 58 IN.KC5 Tidak 0.00 0.00 0.00 0.00 0.99 59 IN.SE51 Tidak 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 60 IN.SE52 Tidak 0.00 0.00 0.00 0.00 0.99 Keterangan : kasus bertanda *) terjadi salah klasifikasi; nilai cetak merah peluang di kelas DRLKT dan dicetak biru peluang terbesar hasil pemodelan.

35 35 Gambar 11. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Babakan Madang

36 36 Gambar 12. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Klapanunggal

37 5.5. Keterkaitan Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan Keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan tersaji pada Tabel 14. Dari Tabel 14 terlihat bahwa nilai koefisien korelasi antara penyimpangan pemanfaatan ruang dengan tingkat kekritisan lahan signifikan pada tingkat kepercayaan lebih dari 95%. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka penyimpangan pemanfaatan ruang berkorelasi lemah terhadap lahan sangat kritis, berkorelasi sedang terhadap lahan kritis dan tidak kritis, berkorelasi kuat terhadap lahan potensial kritis, dan berkorelasi sangat kuat terhadap lahan agak kritis. Koefisien korelasi paling besar terdapat pada lahan agak kritis (0.950), nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin luas penyimpangan pemanfaatan ruang maka tingkat kekritisan lahan agak kritis cenderung semakin luas jika dibandingkan dengan tingkat kekritisan lahan yang lain. Tabel 14. Korelasi antara Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Lahan Tingkat Kekritisan Lahan Penyimpangan Koefisien Korelasi Sangat Agak Potensial Tidak 0.342 0.438 0.950 0.665 0.503 Signifikansi 0.130 0.047 0.000 0.001 0.020 Penyimpangan alokasi ruang dan perubahan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang disajikan pada Tabel 15. Dari Tabel 15 terlihat bahwa penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang pada kawasan hutan lindung, pertanian lahan kering dan kawasan industri di Kecamatan Babakan Madang tidak menimbulkan peningkatan kekritisan lahan. Penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan lindung untuk tegalan, tidak dilakukan pengamatan lapang karena luasannya relatif kecil yaitu 0.11 ha atau 0.01% dan susah di jangkau. Penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan produksi, menjadi pemukiman dan tegalan pada lokasi 2 meningkatkan kekritisan lahan, hal tersebut terlihat dari tingkat kekritisan lahan pada hutan produksi potensial kritis, berubah menjadi agak kritis. Sedangkan penyimpangan pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi menjadi pemukiman dan tegalan pada lokasi 1 tidak meningkatkan

38 kekritisan lahan. Penyimpangan pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi menjadi pemukiman dan tegalan pada lokasi 2 terjadi peningkatan kekritisan lahan karena tutupan vegetasi pada penggunaan lahan tersebut lebih sedikit dari pada kawasan hutan produksi yang penggunaan lahannya tetap sebagai hutan. Berkurangnya tutupan vegetasi menyebabkan pengaruh hujan dan lereng semakin nyata terhadap timbulnya erosi. Erosi menyebabkan kedalaman efektif tanah semakin dangkal dan meningkatnya persentase singkapan batuan dan batuan permukaan di tanah. Foto penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang tersaji pada Lampiran 1. Tabel 15. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Babakan Madang No 1 2 Alokasi Ruang Hutan Lindung Hutan Produksi 3 Perkebunan 4 5 Pertanian Lahan Kering Peruntukan Industri Penggunaan Lahan Tingkat Kekritisan Lokasi 1 Lokasi 2 Hutan Lindung Potensial - Sawah Potensial - Hutan Produksi Potensial Pemukiman Agak Sawah Potensial Tegalan Agak Kebun Campuran Potensial - Tegalan Agak - Tegalan - Pemukiman - Sawah - Industri Potensial - Pemukiman Potensial - Penyimpangan pemanfaatan ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Klapanunggal disajikan dalam Tabel 16. Dari Tabel 16 terlihat bahwa hanya pada kawasan hutan produksi menjadi galian C yang mengalami peningkatan kekritisan lahan, yaitu dari agak kritis menjadi sangat kritis. Peningkatan kekritisan untuk galian-c tersebut di karenakan tutupan vegetasi dan solum tanah sebagian besar telah hilang akibat kegiatan pertambangan. Foto penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang tersaji pada Lampiran 2.

39 Tabel 16. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan di Kecamatan Klapanunggal No Alokasi Ruang Penggunaan Lahan Tingkat Kekritisan Hutan Agak Galian C Sangat 1 Hutan Produksi Kebun Campuran Agak Sawah Potensial Tegalan Agak Pemukiman Agak 2 Pertanian Lahan Basah Sawah Potensial Pemukiman Potensial Tegalan Agak 3 Pertanian Lahan Kering Pemukiman Agak Sawah Potensial Industri Agak 4 Peruntukan Industri Industri Agak Pemukiman Agak 5 Pemukiman Perdesaan Pemukiman Agak Industri Agak Korelasi antara variabel fisik lahan dengan tingkat kekritisan lahan disajikan pada Tabel 17. Dari Tabel 17 terlihat bahwa koefisien korelasi antara tingkat kekritisan dengan tutupan vegetasi, kedalam efektif, dan drainase tanah bertanda negatif. Tanda negatif menunjukkan bahwa tutupan vegetasi yang rendah, kedalaman efektif yang dangkal, dan buruknya drainase tanah maka tingkat kekritisan lahan akan semakin tinggi, begitu sebaliknya. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka tutupan vegetasi dan kedalaman efektif berkorelasi sedang dengan tingkat kekritisan lahan, dan drainase berkorelasi sangat lemah. Drainase memiliki tingkat kepercayaan kurang dari 95% yang menunjukkan bahwa, drainase kurang signifikan berkorelasi dengan tingkat kekritisan lahan. Sedangkan tutupan vegetasi dan kedalaman efektif tingkat kepercayaan lebih dari 95% yang menunjukkan bahwa, tutupan vegetasi dan kedalaman efektif signifikan berkorelasi dengan tingkat kekritisan lahan. Tutupan vegetasi sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis. Suatu lahan dengan tutupan vegetasi yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik, dan memperkecil koefisien aliran permukaan sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal. Kedalaman efektif merupakan

40 salah satu sifat lahan yang berperan terhadap kekritisan lahan. Semakin dangkal kedalaman efektif suatu lahan maka memiliki kemungkinan yang besar terhadap terjadinya lahan kritis. Sebaliknya kedalaman efektif tanah yang dalam, memiliki kemungkinan yang kecil terhadap munculnya lahan kritis Tabel 17. Korelasi antara Variabel Fisik Lahan dengan Tingkat Kekritisan Lahan Variabel Koefisien Korelasi Signifikansi TutupanVegetasi -0.526 0.000 Lereng 0.472 0.000 Kedalaman Efektif -0.410 0.001 Batuan Permukaan 0.647 0.000 Singkapan Batuan 0.122 0.354 Drainase -0.013 0.921 Tindakan Konservasi 0.107 0.417 Erosi 0.368 0.004 Koefisien korelasi antara tingkat kekritisan lahan dengan lereng, batuan permukaan, singkapan batuan, curah hujan, tindakan konservasi, dan erosi bertanda positif. Tanda positif tersebut menunjukkan bahwa batuan permukaan, singkapan batuan, dan curah hujan yang semakin tinggi, lereng yg semakin curam, terdapat erosi, serta tidak terdapat tindakan konservasi maka tingkat kekritisan lahan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Namun, singkapan batuan dan tindakan konservasi memiliki tingkat kepercayaan yang relatif rendah yaitu kurang dari 95%, sedangkan lereng, batuan permukaan, curah hujan dan erosi memiliki tingkat kepercayaan lebih dari 95%. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka batuan permukaan berkorelasi kuat dengan tingkat kekritisan lahan, tutupan vegetasi dan kedalaman efektif berkorelasi sedang, erosi dan curah hujan berkorelasi lemah. Tingkat erosi dapat menjadi indikator kekritisan lahan, dimana semakin tinggi tingkat erosi maka mengakibatkan lahan semakin kritis. Hasil penelitian Idjudin (2003), tanah inceptisol pada kemiringan lahan 14% di Citayam Bogor, yang ditanami tanaman semusim tanpa tindakan konservasi, menjadi kritis dan mengalami penurunan produktivitas lahan setelah dua tahun karena terjadi erosi atau kehilangan tanah setebal 2.5cm/tahun.

41 Kecuraman lereng juga merupakan salah satu penentu terjadinya lahan kritis, karena semakin curam lereng maka aliran permukaan semakin meningkat, dengan meningkatnya aliran permukaan maka sedimen yang tererosi bersama aliran permukaan juga semakin meningkat. Terlebih jika tidak ada tindakan konservasi yang di terapkan, maka hal tersebut akan semakin mempercepat terjadinya kekritisan lahan. Batuan di permukaan dan singkapan batuan akan mempengaruhi penggunaan dan pengelolaan lahan. Semakin banyak batuan menyebabkan semakin berkurangnya areal-areal yang bisa ditanami. Selain itu, semakin banyak batuan maka semakin menyulitkan dalam pengolahan tanahnya, sehingga semakin banyak persentase dan singkapan batuan menunjukkan kondisi lahan semakin kritis..