diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

Daerah Jawa Barat, serta instansi-instansi lain yang terkait.

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

Daftar Populasi dan Sampel Penelitian

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB I PENDAHULUAN. sektor perindustrian ini adalah dengan cara mengembangkan industri kecil.

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN UMUM

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi

V. PEMBAHASAN Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penanaman Modal Asing di Kota. Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi

BAB III METODE PENELITIAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

III. METODE PENELITIAN. data sudah dikompilasi ke dalam bentuk digital file, publikasi, buku, laporan dan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH

V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN, DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Provinsi Jawa

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. dipergunakan untuk melihat keadaan perekonomian di suatu wilayah.

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR SOSIAL TERHADAP CURAHAN WAKTU KERJA KELOMPOK WANITA TANI PADI DI DESA BANJARAN KECAMATAN BANGSRI KABUPATEN JEPARA

Tabel I.1 Luas Panen dan Jumlah Produksi Singkong Provinsi Jawa Barat Tahun

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp:// [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR KONVERSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI PROVINSI JAWA BARAT ELVIRA G.V. BUTAR-BUTAR

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah)

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan Zat Gizi Komoditas Kedelai. Serat (g) Kedelai Protein (g) Sumber: Prosea 1996 ( Purwono: 2009)

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

Seuntai Kata. Bandung, Mei 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Gema Purwana

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah (BD) Di Provinsi Jawa Barat

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

BAB III METODE PENELITIAN. Salah satu komponen dari penelitian adalah menggunakan metode yang

(Studi Kasus di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu)

(Studi Kasus di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu)

VI. ANALISIS EFISIENSI FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI PADI

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian telah

BERITA RESMI STATISTIK

Katalog BPS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Divisi ton beras dari petani nasional khususnya petani di wilayah Jawa

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatera Utara, khususnya dalam

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series triwulan dari

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

IV METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. Timur dan Tenggara. Negara-negara dengan sebutan Newly Industrializing Countries

Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian (Sugiyono,2002). Sehingga penelitian ini mengambil obyek

BAB III METODE PENELITIAN. sebagai salah satu input faktor produksi yang memiliki peran penting. Permintaan

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu tujuan

Transkripsi:

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini baik. Hal ini dapat dilihat dari uji kriteria statistik dan ekonometriknya. Uji kriteria statistik dapat dilihat dari R-squared, F- statistik, dan t-statistiknya. Sedangkan uji ekonometrikanya dapat dilihat dari hasil uji normalitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas dan uji multikolinearitas. Tabel 16. Hasil Dugaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di Provinsi Jawa Barat Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas VIF Keterangan Variabel C -73697-1.17 0.325 Konstanta LPP -1083-0.23 0.829 1.9 Laju Pertumbuhan penduduk (%) GKP -9.790-0.94 0.418 4.3 Harga GKP (rupiah/kg) LPLP 178.1 0.25 0.818 1.4 Pertumbuhan luas pemukiman (%) LPPI 2161.9 5.04 0.015*) 1.7 Pertumbuhan PDRB industri (%) LPPJ 986.4 2.34 0.101**) 1.5 Pertambahan panjang jalan (%) NTP 31.5 0.08 0.944 2.7 NTP (%) R-squared 93.3% F-statistik 6.92 Adj-R-squared 79.8% Prob (F-stat) 0.070 Durbin-Watson 0.866108 Keterangan: *) nyata pada taraf 5 % **) nyata pada taraf 15% Nilai R-squared adalah sebesar 93,3% yang menunjukkan bahwa keragaman dari variabel dependen yaitu konversi lahan sawah irigasi teknis dapat diterangkan oleh variabel independennya yaitu laju pertumbuhan penduduk, harga Gabah Kering Panen (GKP), laju pertumbuhan luas lahan pemukiman, laju pertumbuhan PDRB industri, laju pertambahan panjang jalan, dan Nilai Tukar Petani (NTP) sisanya diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% menjelaskan bahwa variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 79,8% atau 79,8% perubahan dalam konversi lahan sawah mampu dijelaskan 75

oleh variabel laju pertumbuhan penduduk, harga Gabah Kering Panen (GKP), laju pertumbuhan luas lahan pemukiman, laju pertumbuhan PDRB industri, laju pertambahan panjang jalan, dan Nilai Tukar Petani (NTP), sedangkan 20,2% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Nilai Adjusted R-squared lebih baik digunakan daripada nilai R-squared karena nilai Adjusted R-squared tidak bergantung dengan jumlah variabel independen artinya nilai tersebut murni. Karakteristik ekonomi dapat dilihat dari nilai koefisien masing-masing variabel dan dibandingkan dengan hipotesis yang digunakan. Terdapat empat koefisien variabel yang sesuai dengan hipotesis yang digunakan yaitu laju harga GKP, laju pertumbuhan luas lahan pemukiman, laju pertumbuhan PDRB industri, dan laju pertambahan panjang jalan. Sedangkan koefisien variabel yang tidak sesuai dengan hipotesis adalah laju pertumbuhan penduduk dan NTP. Pengaruh bersama-sama antara variabel independen dengan variabel dependen secara keseluruhan dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statistik. Nilai probabilistik F-statistik yang diperoleh sebesar 0,070 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,1 (10%) memiliki arti bahwa dari hasil estimasi regresi minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya. Untuk melihat signifikan atau tidaknya pengaruh setiap variabel independen secara individu terhadap variabel dependennya dilihat dari nilai probabilitas t-statistik tiap variabel independennya. Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis adalah laju pertumbuhan PDRB industri dan laju pertambahan panjang jalan. Hal ini dapat dilihat 76

berdasarkan probabilitas t-statistik dari variabel laju pertumbuhan PDRB industri sebesar 0,015 yang bernilai lebih kecil dari taraf α sebesar 5% dan laju pertambahan panjang jalan sebesar 0,101 yang bernilai lebih kecil dari taraf α sebesar 15%. Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis adalah laju pertumbuhan penduduk, harga Gabah Kering Panen (GKP), dan Nilai Tukar Petani (NTP) yang bernilai lebih besar dari taraf α sebesar 5% yaitu 0,811; 0,287; 0,782; dan 0,958. Sehingga berdasarkan Tabel 16, maka model yang tepat adalah : KLSIT = - 73697-1083 LPP - 9.8 GKP + 178 LPLLP + 2162 LPPI + 986 LPPJ + 31 NTP Untuk membuktikan tidak ada masalah multikolinearitas dalam model digunakan nilai VIF yang dihasilkan, dimana apabila nilainya di bawah 10 berarti tidak terjadi multikolinearitas. Berdasarkan hasil pengolahan data, nilai VIF pada variabel LPP, GKP, LPLLP, LPPI, LPPJ dan NTP di bawah 10. Hal ini berarti bahwa tidak terjadi multikolinearitas. Sedangkan untuk memenuhi asumsi tidak terjadi autokorelasi, dilakukan uji statistik Durbin-Watson yang menghasilkan nilai statistik sebesar 0,866108. Hal ini berarti bahwa dalam model regresi yang digunakan tidak terjadi autokorelasi. Uji normalitas dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Pengujian ini menghasilkan nilai p-value sebesar 0,150 yang lebih besar dari taraf α sebesar 5%. Hal ini berarti sisaan yang diperoleh menyebar normal. 77

6.1.1 Laju Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Hal ini dilihat dari nilai probabilitas t-statistik yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,829>0,05). Berdasarkan hipotesis sebelumnya disebutkan bahwa laju pertumbuhan penduduk berpengaruh positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Akan tetapi hasil estimasi menunjukkan bahwa koefisien regresi variabel laju pertumbuhan penduduk bertanda negatif. Koefisien variabel laju pertumbuhan penduduk yang bernilai -1083 menjelaskan bahwa setiap peningkatan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1 satuan akan menyebabkan penurunan konversi lahan sawah irigasi teknis sebesar 1083 hektar. Konversi lahan sawah irigasi teknis yang terjadi di Jawa Barat rata-rata berada di wilayah Pantai Utara Jawa Barat terutama di Kabupaten Indramayu, Bekasi dan Subang. Wilayah ini merupakan jalur utama dalam pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa (Jakarta-Cirebon). Hal ini menyebabkan petani mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan menjual lahan sawahnya kepada investor sehingga penduduk di wilayah tersebut bermigrasi untuk mencari pekerjaan lain ke daerah seperti Kabupaten Bogor, Bandung, dan Garut yang memiliki banyak lapangan pekerjaan diluar bertani. Laju pertumbuhan penduduk yang semakin besar di Provinsi Jawa Barat menyebabkan penyediaan kebutuhan pangan pokok perlu ditingkatkan, sehingga sawah dengan tingkat produktivitas yang tinggi tetap dipertahankan dan didukung oleh kemajuan teknologi yang tepat guna terutama seperti di Kabupaten 78

Karawang yang memiliki luas lahan sawah irigasi terbesar dan dengan tingkat konversi kategori rendah di Jawa Barat. 6.1.2 Harga Gabah Kering Panen (GKP) Hasil estimasi regresi, nilai probabilitas harga padi lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,418>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa harga Gabah Kering Panen (GKP) tidak berpengaruh secara nyata atau tidak signifikan secara statistik terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis dan koefisien regresi variabel harga GKP bertanda negatif. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diduga sebelumnya bahwa harga GKP berkorelasi negatif dengan luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi. Koefisien variabel harga GKP yang bernilai -9,790 menjelaskan bahwa setiap peningkatan harga GKP Rp 1 akan menyebabkan penurunan konversi lahan sawah irigasi teknis sebesar 9,79 hektar. Padi merupakan kebutuhan pokok penduduk sehingga dengan harga GKP yang meningkat, petani akan tetap beruntung dengan mempertahankan dan mengelola lahan sawahnya dalam memproduksi padi daripada mengubah lahan sawahnya menjadi sektor non pertanian. Hal ini dapat menekan terjadinya impor beras sehingga petani lokal semakin sejahtera. 6.1.3 Laju Pertumbuhan Luas Lahan Pemukiman Berdasarkan hasil estimasi regresi, dapat dilihat bahwa nilai probabilitas t- statistik yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,818>0,05). Hal ini berarti bahwa luas lahan pemukiman tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan secara statistik. Berdasarkan hipotesis sebelumnya disebutkan bahwa luas lahan pemukiman berpengaruh positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Hasil 79

estimasi ini sesuai dengan hipotesis. Koefisien variabel laju pertumbuhan luas lahan pemukiman yang bernilai 178 menjelaskan bahwa setiap kenaikan luas lahan pemukiman sebesar 1% maka akan menyebabkan peningkatan konversi lahan sawah irigasi teknis sebesar 178 hektar. Semakin tinggi jumlah penduduk suatu daerah maka akan semakin tinggi pula permintaan terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan pemukiman dan sarana/prasarana. Untuk memenuhi kebutuhan akan pemukiman, sekarang ini dikembangkan unit-unit perumahan yang mayoritas lahannya berasal dari lahan sawah non irigasi teknis seperti lahan kering, lahan sawah irigasi sederhana, semi teknis, bukan PU, tadah hujan, dan jenis sawah lainnya. Lahan sawah irigasi teknis tidak banyak digunakan untuk pembangunan perumahan dan bangunan lainnya karena produktivitas jenis sawah ini lebih unggul dalam meningkatkan produksi padi. Selain itu, peningkatan pembangunan pemukiman baik yang dilakukan pengembang atau yang dibangun secara pribadi-pribadi tidak hanya akibat bertambahnya penduduk, tetapi sebagian merupakan investasi bagi masyarakat yang berpendapatan tinggi yang akhir-akhir ini merupakan tren masyarakat di sekitar perkotaan. Pembangunan pemukiman yang cukup pesat terjadi di beberapa kabupaten, antara lain Kabupaten Ciamis, Bandung, Bogor dan Garut. 6.1.4 Laju Pertumbuhan PDRB Industri Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa laju pertumbuhan PDRB industri berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Hal ini dilihat dari nilai probabilitas t-statistik yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0,015<0,05). Hal ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya disebutkan 80

bahwa laju pertumbuhan PDRB industri berpengaruh positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Koefisien variabel yang bernilai 2.161 menjelaskan bahwa setiap kenaikan laju pertumbuhan PDRB industri sebesar 1% maka luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi akan meningkat sebesar 2.161 hektar. Tabel 17. Hubungan antara Rataan Banyaknya Industri dengan Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Jawa Barat Selama Periode 2001 2010 No Kabupaten/Kota Rataan Industri Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis Kab/Reg 1 Bogor 14170.4-198.6 2 Sukabumi 14304.2-179.1 3 Cianjur 1162.1-97.7 4 Bandung 12839.8-448 5 Garut 9716.5-202 6 Tasikmalaya 1317.5-479.5 7 Ciamis 1298.2-492.7 8 Kuningan 2064.6 153.9 9 Cirebon 10530.8 181.2 10 Majalengka 7349.8 42.5 11 Sumedang 5023.8 19 12 Indramayu 2273.7-860.6 13 Subang 3330.6-459.7 14 Purwakarta 10621.7 6.4 15 Karawang 9222.1 429.6 16 Bekasi 10382.8-674.7 17 Bandung Barat 3.7 199.6 Kota/City 18 Bogor 7974.2 40.7 19 Sukabumi 9386.2 0 20 Bandung 10736.6 9.3 21 Cirebon 9331.4-4.1 22 Bekasi 9832.7-22.6 23 Depok 10192.9-4.1 24 Cimahi 6446.5 0 25 Tasikmalaya 9613.2 280.3 26 Banjar 9231.8 178.7 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat, berbagai terbitan (diolah) Semakin tinggi aktivitas ekonomi akan meningkatkan permintaan lahan sebagai input kegiatan produksi yang dilakukan. Keterbatasan dan keberadaan lahan 81

sawah irigasi teknis yang sebagian besar pada daerah yang mudah diakses, seperti wilayah Pantura (Karawang, Indramayu, Subang, dan Bekasi) menyebabkan banyak lahan sawah yang digunakan untuk mendukung aktivitas ekonomi tersebut. Pembangunan industri pengolahan (kecil, menengah, dan besar) yang terbanyak berada di Kabupaten Sukabumi, Bogor, Bandung, dan Indramayu. Sedangkan konversi lahan sawah irigasi teknis terbesar berada di Kabupaten Karawang, Indramayu, Subang, dan Bekasi. Semakin meningkatnya laju pertumbuhan PDRB industri maka permintaan akan kebutuhan lahan untuk pembangunan industri pengolahan juga akan semakin meningkat. 6.1.5 Laju Pertambahan Panjang Jalan Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan laju pertambahan panjang jalan berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilistik t-statistik yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0,101<0,15). Hal ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya bahwa laju pertambahan panjang jalan berpengaruh positif dengan luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi. Koefisien variabel yang bernilai 986 menjelaskan bahwa setiap kenaikan 1% laju pertambahan panjang jalan maka akan menyebabkan kenaikan konversi lahan sawah irigasi teknis sebesar 986 hektar. Jalan merupakan penghubung antara sentra-sentra produksi dengan daerah pemasaran dalam meningkatkan perekonomian suatu wilayah. Untuk itu dibutuhkan pelebaran atau pembukaan jalan baru di Provinsi Jawa Barat terutama dilakukan di wilayah Pantura. Panjang jalan yang terpanjang menurut kabupaten berada di Kabupaten Bandung, Karawang, Sukabumi, dan Bogor. Dan menurut kondisi jalan 82

baik berada di Kabupaten Karawang sedangkan menurut kondisi jalan sedang, rusak, dan rusak berat berada di Kabupaten Bandung. Artinya semakin membaiknya aksesibilitas suatu wilayah, kecenderungan terjadinya konversi lahan sawah adalah semakin tinggi. Selain itu, kondisi ini membuktikan bahwa opportunity cost dari penggunaan lahan bagi sektor pertanian relatif lebih tinggi dibandingkan sektorsektor yang lainnya. Tabel 18. Hubungan antara Rataan Panjang Jalan Menurut Kondisinya dengan Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Jawa Barat Selama Periode 2001 2010 No Kabupaten/Kota Baik Sedang Rusak Rusak Berat Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis Kab/Reg 1 Bogor 700.00 265.44 209.88 367.61-198.6 2 Sukabumi 86.11 642.92 590.31 236.66-179.1 3 Cianjur 189.61 236.14 238.11 145.21-97.7 4 Bandung 346.29 981.26 963.26 430.06-448 5 Garut 302.86 367.60 185.97 57.23-202 6 Tasikmalaya 486.51 164.23 311.48 183.75-479.5 7 Ciamis 164.91 225.67 273.68 108.35-492.7 8 Kuningan 198.25 120.91 77.10 23.91 153.9 9 Cirebon 335.20 177.02 82.16 46.15 181.2 10 Majalengka 301.88 184.35 150.11 58.21 42.5 11 Sumedang 224.47 171.65 174.84 156.37 19 12 Indramayu 418.90 140.40 118.53 132.26-860.6 13 Subang 217.35 273.89 426.52 112.80-459.7 14 Purwakarta 200.48 206.72 158.09 249.16 6.4 15 Karawang 735.76 740.40 517.14 340.51 429.6 16 Bekasi 331.15 246.77 212.43 117.06-674.7 17 Bandung Barat 38.10 41.09 46.38 35.31 199.6 Kota/City 18 Bogor 217.65 310.03 71.06 34.80 40.7 19 Sukabumi 160.04 37.99 23.05 2.25 0 20 Bandung 735.25 116.09 140.94 0 9.3 21 Cirebon 153.82 12.96 7.60 140.17-4.1 22 Bekasi 326.82 108.48 2.20 0.72-22.6 23 Depok 263.73 53.17 83.69 15.81-4.1 24 Cimahi 68.82 29.31 11.65 2.26 0 25 Tasikmalaya 147.86 146.23 138.87 40.88 280.3 26 Banjar 55.10 68.71 33.15 47.00 178.7 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat, berbagai terbitan (diolah) 83

Dibawah ini adalah tabel yang menunjukkan panjang jalan menurut pemerintah yang berwenang di Provinsi Jawa Barat tahun 2001-2010. Panjang jalan Negara merupakan panjang jalan terkecil sebesar 10.897,19 km atau 4,28% dari total panjang jalan. Panjang jalan provinsi sebesar 21690,18 km atau 8,51% dari total panjang jalan. Panjang jalan kabupaten merupakan jalan yang terpanjangsebesar 186.267,54 km atau 73,09% dari total panjang jalan. Dan panjang jalan kota sebesar 36.006,84 km atau 14,13% dari total panjang jalan. Tabel 19. Panjang Jalan Menurut Tingkat Pemerintah yang Berwenang di Jawa Barat Periode 2001-2010 Tahun Negara (km) Provinsi (km) Kabupaten (km) Kota (km) 2001 958.51 2061.11 20881.57 1427.39 2002 958.51 2061.11 19621.74 2552.27 2003 966.90 2418.01 18961.82 3394.32 2004 958.51 2077.12 19189.04 3828.65 2005 1140.69 2077.12 17924.11 3793.00 2006 1140.69 2199.12 16699.58 4590.08 2007 1140.69 2199.12 17528.76 4215.72 2008 1140.69 2199.12 18931.07 4207.63 2009 1140.69 2199.18 18522.64 4234.99 2010 1351.31 2199.18 18007.20 3762.80 Total 10897,19 21690.18 186267.54 36006.84 % 4,28 8.51 73.09 14.13 Sumber: BPS berbagai terbitan, (diolah) 6.1.6 Nilai Tukar Petani (NTP) Hasil estimasi regresi, nilai probabilitas NTP lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,944>0,1). Hal ini menunjukkan bahwa NTP tidak berpengaruh secara nyata dan tidak sesuai dengan hipotesis yang diduga sebelumnya bahwa NTP berkorelasi negatif dengan luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi. Koefisien 84

variabel yang bernilai 31 menjelaskan bahwa setiap kenaikan NTP sebesar 1% maka luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi akan meningkat sebesar 31 hektar. Pengamatan dari data menunjukkan bahwa pada beberapa tahun terakhir ini, NTP menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini berarti kemampuan atau nilai tukar produk-produk pertanian semakin kecil bila dibandingkan dengan pengeluaran untuk keperluan konsumsi rumah tangga dan pembelian sarana produksi. Maka kondisi demikian akan mendorong petani mengalihfungsikan lahan sawahnya untuk kepentingan lain yang lebih menguntungkan. Hal ini menyebabkan kesejahteraan petani menjadi meningkat. 6.2 Dampak Ekonomi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat 6.2.1 Produksi dan Nilai Produksi Padi Dampak ekonomi dari konversi lahan sawah irigasi teknis adalah produksi dan nilai produksi padi berdasarkan analisis usahatani padi sawah total. Produksi padi yang hilang sebagai dampak langsung dari konversi lahan sawah dipengaruhi antara lain oleh: luas lahan sawah yang terkonversi, pola tanam yang diterapkan, dan produktivitas lahan sawah. Asumsi yang digunakan dalam menghitung produksi minimum dan nilai produksi minimum padi yang hilang akibat konversi lahan sawah irigasi teknis periode 2001-2010 adalah pola tanam yang dilakukan adalah padi dua kali tanam, produktivitas dari keempat jenis sawah (irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan) adalah sama, serta diestimasi berdasarkan harga Gabah Kering Panen (GKP) konstan tahun 2000. 85

Berdasarkan Tabel 20, dengan asumsi apabila lahan yang tidak dikonversi dan tetap mengusahakan tanaman padi sawah tiga kali tanam, maka jumlah produksi padi yang hilang selama periode 2001-2010 adalah sebesar 1.308.420,30 ton. Sehingga nilai produksi padi yang hilang akibat adanya konversi lahan selama periode 2001-2010 sebesar Rp 2.008.252.301 atau mencapai Rp 2,0 triliun. Tabel 20. Perhitungan Nilai Produksi Padi yang Hilang di Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2010 Tahun Luas Lahan Produksi Harga Nilai Produktivitas Sawah Irigasi Padi 3 Kali Riil GKP Produksi Padi Padi Sawah Teknis Tanam yang (Rp yang Hilang (ton/ha/tahun) Terkonversi Hilang (ton) ribu/ton) (Rp miliar) (ha) 2001 4.9-59965 -881485.50 1340-1181190570 2002 5.1-30002 -459030.60 1400-642642840 2003 5.2 8592 134035.20 1247 167141894 2004 5.1 6396 97858.80 1151 112635479 2005 5.1-2265 -34654.50 1401-48550955 2006 5.2-648 -10108.80 2021-20429885 2007 5.4-5498 -89067.60 2358-210021401 2008 5.6 4006 67300.80 2425 163204440 2009 5.8-4700 -81780.00 2469-201914820 2010 5.7-3011 -51488.10 2845-146483645 Total 53.10-87095 -1308420.30 - -2008252301 Sumber: BPS berbagai terbitan (diolah) 6.2.2 Penyerapan Tenaga Kerja dan Upah Tenaga Kerja Petani Padi Proses produksi usahatani padi terdiri dari persiapan lahan, penanaman, pemupukan, penyiangan, penyemprotan pestisida, pemanenan, perontokan, dan pengeringan. Semua kegiatan produksi dilakukan oleh buruh tani yang dipekerjakan oleh petani. Di bawah ini adalah perhitungan penyerapan tenaga kerja dengan menggunakan nilai HOK (1 HOK = 6 jam ) dan upah tenaga kerja petani padi yang 86

hilang akibat konversi lahan sawah irigasi teknis periode 2001-2010 di Provinsi Jawa Barat. Dari tabel 21 di bawah dapat dilihat bahwa penyerapan tenaga kerja yang hilang dalam HOK dengan pola tiga kali tanam akibat konversi lahan sawah irigasi teknis periode 2001-2010 adalah sebesar 48,26 juta atau 4,8 juta setiap tahun. Sedangkan upah tenaga kerja yang hilang dengan asumsi upah tenaga kerja setiap tahun Rp25.000 adalah sebesar Rp 6,53 miliar atau Rp 0,6 miliar setiap tahun. Tabel 21. Perhitungan Nilai HOK dan Upah Tenaga Kerja Petani Padi yang Hilang dalam Pola Tiga Kali Tanam periode 2001-2010 di Provinsi Jawa Barat Tahun HOK/ha/musim Luas Lahan Sawah Terkonversi (ha) Nilai HOK yang Hilang (3x Tanam) Upah yang Hilang (Rp) 2001 187 59965 33.640.365 4.497.375.000 2002 186 30002 16.741.116 2.250.150.000 2003 183 8592 4.717.008 644.400.000 2004 185 6396 3.549.780 479.700.000 2005 184 2265 1.250.280 169.875.000 2006 176 648 342.144 48.600.000 2007 172 5498 2.836.968 412.350.000 2008 150 4006 1.802.700 300.450.000 2009 142 4700 2.002.200 352.500.000 2010 168 3011 1.517.544 225.825.000 Total 1733 87095 48.261.129 6.532.125.000 Sumber: BPS, berbagai terbitan (diolah) 87