BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
POLA ZONASI RUANG UNTUK REHABILITASI KAWASAN SITU CILEDUG DENGAN KAJIAN MORFOKONSERVASI. Catherine Mary Nayuki

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai merupakan tempat atau habitat suatu ekosistem keairan terbuka yang berupa alur jaringan pengaliran dan

BAB I PENDAHULUAN I-1

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan

Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

BANJIR DAN KEKERINGAN. Pertemuan 4

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu

commit to user BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB III BAHAN DAN METODE

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

LOGO Potens i Guna Lahan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelestarian kawasan lindung sangat ditentukan oleh kondisi lahan yang berada di dalamnya, dan peran masyarakat dalam usaha pelestarian sumberdaya lahan tersebut. Di sisi lain, masyarakat juga memiliki kebutuhan akan sumberdaya lahan dan air untuk kelangsungan hidup. Lahan dengan morfologi yang cenderung landai dan memiliki potensi air yang baik menjadi ketentuan yang digunakan masyarakat dalam mengembangkan lahan terbangun. Ketika kebutuhan akan lahan terbangun sudah melampaui daya dukungnya, sebagian masyarakat pada akhirnya berinisiatif untuk memanfaatkan lahan yang berada di kawasan lindung. Alih fungsi lahan banyak terjadi di wilayah perkotaan salah satunya Kota Tangerang Selatan. Sejak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, serta didukung dengan kondisi morfologi yang sesuai untuk lahan terbangun, pemerintah pusat menetapkan arahan pengembangan Kota Tangerang Selatan sebagai kawasan perkotaan pendukung dengan memantapkan peran dan fungsi permukiman baru berskala besar (PP No.26 Tahun 2008). Hal ini menjadikan adanya alih fungsi lahan secara besarbesaran di Kota Tangerang Selatan. Pusat kegiatan Kota Tangerang Selatan berada di Kecamatan Pamulang yang juga merupakan bagian tengah DAS Angke. Data penutupan lahan tahun 2007 menunjukkan sebanyak 33% dari kawasan lindung DAS Angke telah ditutupi oleh pemukiman dan areal terbangun lainnya. Peningkatan kebutuhan akan lahan tersebut pada akhirnya dipenuhi tanpa memperhatikan fungsi dari kawasan lindung pada suatu wilayah sungai, termasuk situ. Banyak wilayah manfaat situ yang telah hilang karena diubah menjadi lahan pertanian, pemukiman, dan industri, bahkan tempat

pembuangan sampah, limbah dan sebagainya hingga air situ menjadi keruh dan mengalami pendangkalan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2008 tentang RTRW Nasional, situ-situ di Tangerang Selatan merupakan kawasan lindung setempat. Data dari PKSA BBWS Ciliwung Cisadane menunjukkan bahwa situ-situ di Tangerang Selatan berada dalam kondisi kritis, salah satunya adalah Situ Ciledug. Awalnya Situ Ciledug merupakan Situ terbesar di Tangerang Selatan dengan luas 32 Ha dan berfungsi sebagai irigasi bagi sawah-sawah di sekitarnya. Seiring dengan tingginya permintaan lahan, luas situ semakin menyempit akibat sedimentasi. Penyempitan terjadi semenjak adanya alih fungsi lahan di hulu SUBDAS Cibendo dan semakin intensif terjadi setelah adanya ijin pengembangan pendirian bangunan dari pemerintah setempat sejak tahun 1980. Permasalahan tersebut meyebabakan luas Situ Ciledug saat ini tersisa 19,39 Ha (DBMSDA Tangsel, 2011). Alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian menyebabkan hilangnya sawah-sawah di sekitar Situ Ciledug, sehingga BBWS Ciliwung Cisadane menyatakan bahwa fungsi utama Situ Ciledug saat ini sebagai daerah resapan air untuk mengendalikan banjir. Masyarakat sekitar memanfaatkan Situ Ciledug dengan kegiatan pemancingan. Gambar 1.1. Situ Ciledug (Sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

Situ Ciledug sebagai bentukan yang terjadi secara alami akibat proses fluvial memiliki karakteristik morfologi dengan proses aktif yang terus berjalan yaitu sedimentasi. Proses sedimentasi ini berujung pada perubahan morfologi situ, yaitu berubahnya lahan basah menjadi lahan kering, atau dapat dikatakan sebagai penyempitan situ. Dampak penyempitan situ berpengaruh pada penyerapan daya tahan tanah sehingga penyerapan air semakin berkurang dan fungsi situ sebagai sarana penyimpan air menjadi rusak. Pada musim kemarau cadangan air semakin menipis, sebaliknya pada musim hujan Situ Ciledug tidak bisa lagi menyimpan air sehinga berdampak pula terhadap pemukiman seperti terjadinya banjir. Lemahnya penegakan peraturan tata ruang dan tata kelola air juga menyebabkan situ Ciledug mengalami kerusakan fisik. Situ Ciledug mengalami pendangkalan yang cukup parah akibat berkurangnya luas ruang terbuka hijau sebagai zona penyangga. Keamanan sebagian tanggul juga mengkhawatirkan. Situ yang seharusnya menjadi lahan konservasi air bagi warga sekitarnya, telah kehilangan separuh lahannya. Perkembangan kawasan terbangun di sekitar Situ Ciledug memberikan dampak yang sangat besar bagi kelestarian situ. Berdasarkan kondisi tersebut, akan dilakukan kajian perubahan morfologi akibat alih fungsi lahan untuk menentukan keadaan awal Situ Ciledug yang dapat dilakukan dengan pemetaan partisipatif. Keadaan awal yang mampu diukur adalah keadaan pada tahun 1950 dan 1980, dengan pertimbangan masyarakat pribumi yang sudah hidup di kala itu. Sedangkan keadaan awal didirikannya dapat dianalisis berdasarkan Peta Situ Tjiledoek tahun 1933. Kajian tersebut akan menjadi acuan dalam perencanaan lanskap dengan membuat zonasi satuan lahan untuk rehabilitasi Situ Ciledug agar perannya nyata sebagai kawasan lindung setempat. Upaya rehabilitasi dan pengelolaan Situ Ciledug sudah dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Daerah mulai dari pendataan permasalahan-permasalahan yang terjadi, hingga pada upayaupaya untuk merehabilitasi situ. Pemerintah melakukan rehabilitasi situ

dengan mengeruk situ agar kembali normal. Pengelolaan situ juga dilakukan dengan menentukan garis sempadan dan melakukan monitoring terhadap pembangunan di luar garis sempadan. Upaya pengelolaan tersebut dirasa belum cukup, sebab masalah sedimentasi masih terus berlangsung, dan perkembangan lahan terbangun semakin melewati batas sempadan danau. Berdasarkan kenyataan tersebut maka diperlukan rehabilitasi Situ Ciledug yang berbasis pada kajian morfokonservasi dan membuat perencanaan lanskap yang tepat. Pendekatan morfokonservasi diperlukan dalam upaya rehabilitasi Situ Ciledug sebab konservasi dilakukan berdasarkan pada hasil kesesuaian antara penggunaan lahan dan morfologinya dengan fungsi kawasan dan kemampuan lahannya. Arahan rehabilitasi yang dihasilkan dengan kajian morfokonservasi tidak hanya mengembalikan lahan basah (wetland) Situ Ciledug kepada fungsi dan keadaan awalnya, tetapi juga menjaga keseimbangan lingkungan Situ Ciledug sebagai kawasan lindung setempat. Analisis perubahan morfologi dan perencanaan morfokonservasi pada Situ Ciledug sangat penting dalam membuat pola zonasi ruang yang tepat dalam upaya rehabilitasi Situ Ciledug. Terapan penginderaan jauh dan pemetaan partisipatif berbasis geomorfologi dapat memberikan detail informasi lanskap yang ada dan dijadikan sebagai referensi dalam penetapan zonasi satuan lahan untuk rehabilitasi kawasan situ melalui ciri-ciri fisik yang terekam pada citra. (Bloom, 1984; Faniran dan Jeje, 1984; Thomas, 1994). 1.2 Perumusan Masalah Penelitian Dinas Sumberdaya Air dan Pemukiman Provinsi Banten telah mendata seluruh situ di Banten mengenai kondisi terkini, dan pengelolaan yang perlu dilakukan. Kondisi terkini Situ Ciledug yang menimbulkan masalah, antara lain: 1. Luas area Situ Ciledug terkini sudah banyak berkurang dari 32 Ha (tahun 1950), menjadi berkisar 19,39 Ha (tahun 2011) dengan beberapa bagian

situ yang sudah dipetak-petak menjadi empang yang terdapat keramba ikan. 2. Terjadi pendangkalan akibat sampah yang dibuang ke badan air. Kedalaman air menyusut menjadi dua meter dari sebelumnya yang mencapai enam meter. Akibatnya, di musim kemarau debit air situ selalu menurun, sementara pada musim hujan air melimpah sehingga menyebabkan banjir. 3. Tanaman (ruang terbuka hijau) yang berada di kawasan lindung sempadan situ kurang terpelihara dan sebagian sudah beralih fungsi (tahun 1980) menjadi permukiman, pertokoan, dan lain-lain, sehingga luas kawasan lindung situ semakin berkurang 4. Beberapa tebing longsor dan bangunan-bangunan air kurang terpelihara: pintu air (outlet), dinding penahan tebing (plengsengan), gorong-gorong dan saluran/pintu inlet. 5. Belum adanya zonasi ruang yang tepat untuk merehabilitasi situ secara morfokonservasi agar peran Situ Ciledug nyata sebagai kawasan lindung setempat. Pengelolaan yang kurang tepat tersebut terjadi seiring dengan kurangnya pertimbangan kajian morfokonservasi dalam rencana tata ruang guna mencapai lingkungan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sehingga menyebabkan permasalahan lingkungan fisik yang baru, yaitu: a) Perubahan morfologi yang mengakibatkan berkurangnya luas situ akibat alih fungsi lahan dalam rangka pembangunan kawasan perumahan secara besar-besaran. Salah satunya pengerukan situ untuk dijadikan lahan kawasan perumahan, sehingga tidak sesuai dengan fungsi lindung situ. b) Perkembangan lahan terbangun pada sempadan danau yang mengakibatkan berkurangnya jumlah dan luas ruang terbuka hijau sebagai wilayah penyangga yang mampu mencegah bencana banjir. Kejadian banjir seringkali dialami di Kawasan Perumahan akibat meluapnya air sungai.

c) Menurunnya kualitas lingkungan kota, yang berdampak pada menurunnya nilai properti dan nilai prestise kawasan sebagai dampak proses alam yang tidak dapat dikelola dengan baik. d) Upaya rehabilitasi situ dengan berdasarkan peraturan pemerintah mengenai batas sempadan danau kurang lebih 50 meter tidak cukup membantu melestarikan situ sebagai kawasan lindung, sehingga perlu adanya kajian morfologi untuk mengembalikan keadaan awal situ dan fungsi utamanya. Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan: 1) Bagaimana perubahan morfologi yang terjadi pada Situ Ciledug sejak kondisi awal (1950), transisi peralihan fungsi lahan (1980), hingga kondisi terkini? 2) Berapa luas lahan basah (wetland) yang mampu dikembalikan berdasarkan analisis kondisi terkini Kawasan Situ Ciledug? 3) Bagaimana bentuk perencanaan zonasi ruang yang tepat berdasarkan kajian morfokonservasi untuk rehabilitasi Kawasan Situ Ciledug? Kajian ini juga menjelaskan tentang hubungan-hubungan antara perubahan morfologi dengan perubahan penggunaan lahan, serta memberikan berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan lahan yang sesuai zonasi satuan lahan dalam perencanaan lanskap Situ Ciledug. 1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Berawal dari rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian ini yakni: 1. Mengkaji perubahan morfologi yang terjadi pada lahan basah dan lahan kering Situ Ciledug tahun 1950, 1980, 2011 untuk mengetahui proses geomorfologi yang terjadi.

2. Menaksir luas lahan basah (wetland) yang mampu dikembalikan berdasarkan analisis kondisi terkini Kawasan Situ Ciledug sebagai acuan dalam perencanaan morfokonservasi. 3. Membuat zonasi ruang yang tepat untuk merehabilitasi Situ Ciledug secara morfokonservasi agar kembali pada keadaan alamiah dan mempertahankan fungsinya sebagai kawasan lindung setempat. 1.3.2 Sasaran Penelitian Adapun sasaran dalam penelitian ini adalah: 1. Tergambarnya morfologi alamiah Situ Ciledug dan proses geomorfologi yang berkaitan 2. Terukurnya luas area lahan basah alamiah Kawasan Situ Ciledug yang dapat dikembalikan 3. Terciptanya bentuk perencanaan morfokonservasi yang tepat untuk Rehabilitasi Situ Ciledug Hasil dari penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu acuan dalam proses rehabilitasi situ-situ di Kota Tangerang Selatan dan berguna sebagai input dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah a. Memberikan gambaran mengenai perubahan morfologi yang terjadi pada Situ Ciledug selama tahun 1950 sampai tahun 2011, serta faktor-faktor penyebabnya. b. Memberikan informasi mengenai luas lahan basah yang harus dikembalikan untuk merehabilitasi Kawasan Situ Ciledug. c. Memberikan pengetahuan mengenai konsep zonasi ruang secara morfokonservasi untuk mempertahankan fungsi Situ Ciledug sebagai kawasan lindung setempat.

1.5 Ruang Lingkup 1.5.1 Ruang Lingkup Substansial Ruang lingkup substansial dalam penelitian ini mencakup sistem pendekatan fenologis yang dianalisis berdasarkan morfologi wilayah. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengembangkan (induktif) dan selanjutnya mempersempit (deduktif) untuk menghasilkan kesimpulan. Pendekatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan fisik kawasan, yaitu dengan mengkaji perubahan morfologi Situ Ciledug, dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya, serta dampak yang mungkin terjadi terhadap kondisi fisik Situ maupun terhadap manusia. 2. Pendekatan pelaksanaan, yaitu dengan membuat perencanaan lanskap untuk rehabilitasi Situ Ciledug. 1.5.2 Ruang Lingkup Spasial Ruang lingkup spasial penelitian adalah kawasan Situ Ciledug yang berada di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan. Ruang lingkup tersebut dapat dibagi menjadi: a. Wilayah yang mempengaruhi, adalah wilayah di sekitar kawasan Situ Ciledug yang proses-prosesnya baik proses antropogenik, maupun proses fluvial, mempengaruhi kondisi fisik Situ Ciledug. Wilayah tersebut merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan badan air Situ Ciledug, dan wilayah dengan batasan topografi. Perencanaan lanskap untuk rehabilitasi Situ Ciledug dilakukan pada wilayah ini. b. Wilayah yang terpengaruh adalah satuan lahan pengelolaan air Situ Ciledug. Kajian perubahan morfologi dilakukan di wilayah ini.

1.6 Tinjauan Pustaka 1.6.1 Gomorfologi dan Lanskap Geomorfologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menafsirkan bentuk roman muka bumi dengan memperhatikan faktor-faktor pembentuk geomorfologi, yaitu: struktur, proses, dan stadia (Lobeck, 1939; Worcester, 1939). Geomorfologi dengan pendekatan genesis dapat dijadikan pedoman untuk melihat suatu wilayah secara spasial. Suatu kajian spasial dapat dibuktikan dengan pendekatan bentuklahan berdasarkan genesis dengan menemukenali ciri-ciri kenampakan fisik dan data hasil pembuktian. Pendekatan genesis dapat dilakukan berdasarkan kajian kualitatif dan kuantitatif (King, 1972; Kirkby, 1994; Leeder, 1982; Verstappen, 1983). Objek kajian yang menjadi pembahasan disiplin ilmu ini adalah bentangalam, sejarah terjadinya, dan proses-proses aktif yang mengakibatkan perubahan-perubahan yang dapat terjadi, sehingga membutuhkan pengenalan bentanglahan. Bentanglahan merupakan respon terhadap kombinasi antara proses alam dan antropogenik. Sejarah perkembangan suatu bentanglahan dapat diketahui dengan membandingkan kenampakan bentanglahan yang berdekatan dan didasarkan pada stadium prosesnya yang meliputi tingkat pelapukan dan tingkat pengikisan. Pengenalan bentanglahan di wilayah penelitian juga mempertimbangkam aspek morfografi, morfometri, morfogenesis, morfokronologi, dan morfospasial. Salah satu aspek dalam geomorfologi adalah fisiografis dan lanskap wilayah. Van Bemmelen (1970) menyatakan bahwa secara fisiografis Pulau Jawa dapat dibagi ke dalam 7 kondisi geomorfik, yaitu : (1) Vulkan-vulkan berusia kuarter, (2) Dataran alluvial Jawa Utara, (3) Antiklinorium Rembang Madura, (4) Antiklinorium Bogor, Serayu Utara, dan Antiklinorium Kendeng, (5) Dome dan Igir di Zona Depresi Sentral, (6) Zona Depresi Sentral Jawa dan Zona Randublatung, dan (7)

Pegunungan Selatan. Berdasarkan acuan tersebut, maka zona penelitian ini merupakan bagian dari morfologi daratan alluvial Jawa Utara. Dataran alluvial ini membentang dari Teluk Banten hingga ke Cirebon. Hubungan antara geomorfologi dan lanskap terkait pada identifikasi masalah lingkungan fisikal dan pengenbangan wilayah. Lanskap merupakan suatu bentanglahan hasil gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang membentuk karakteristik tertentu, meliputi aspek spasial, tekstural, komposisional, dan dinamika tanah (Irwan, 1992; Marsh, 1983; Simonds, 1983). Lanskap terbentuk dari beberapa faktor yag masing-masing saling berinteraksi. Faktor pembentuk lanskap meliputi vegetasi, tanah, batuan, air, bentuklahan, iklim makro maupun mikro, hewan dan manusia. Burton (1995) mengemukakan bahwa terdapat tiga unsur pembentuk lanskap, yaitu: 1. Bentang alam yang membentuk permukaan bumi seperti sungai, danau dan laut yang dapat membentuk dan mempertajam landform. 2. Vegetasi alami dan binatang-binatang yang menempatinya. Vegetasi dan habitat binatang ini sangat tergantung dengan pola iklim dan karakteristik fisik tanah. 3. Penggunaan lahan. Unsur ketiga ini adalah hasil kreatifitas manusia dalam merubah atau memodifikasi kondisi alami suatu bentanglahan menjadi tanah lahan pemanfaatan seperti, usaha kehutanan, bangunanbangunan, jalan, dan lain sebagainya. Interaksi manusia dengan berbagai bentuk alam menciftakan bentang budaya (cultural lanskap). Ketiga elemen tersebut di atas tidak selalu ada di suatu tempat, bisa jadi salah satu elemen mendominasi, misalnya pada gurun yang kering unsur landform sangat dominan, sedangkan pada wilayah perkotaan unsur penggunaan tanah lebih dominan, dan pada hutan hujan tropis unsur vegetasi yang dominan menjadi pembentuk suatu lanskap. Lanskap terdiri dari dua elemen, yaitu lanskap utama dan lanskap penunjang. Lanskap atama merupakan bentuk lanskap alam yang fitur

dan kekuatannya sulit untuk diubah, seperti pegunungan, lembah, dataran pantai, danau, laut, dan komponen lain yang didominasi topografi. Fitur pada lanskap utama dapat berupa hujan, salju, kabut, dan suhu, sedangkan kekuatan lanskap meliputi angin, erosi, radiasi surya, gravitasi, pasang surut, dan gejala meteorologi. Lanskap penunjang merupakan elemen lanskap yang umumnya mudah diubah, seperti bukit, hutan, sungai, dan rawa. 1.6.2 Pengertian Situ (danau) dan Morfologi Fluvial Morfologi fluvial merupakan bentuklahan yang cara terjadinya berhubungan erat dengan proses fluvial (proses aliran sungai) yang terjadi pada suatu wilayah. Berdasarkan pengamatan para pakar geomorfologi, bentuklahan fluvial di suatu wilayah tidak selalu sama dengan bentuklahan fluvial di wilayah lain pada lokasi yang berjauhan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kondisi iklim, letak geografi, struktur geologi penyusunnya dan komponen biotik yang terdapat di wilayah tersebut. Proses fluvial terjadi akibat adanya materi yang terbawa oleh aliran sungai dan terendapkan pada dataran yang lebih rendah. Faktor penyebab proses tersebut adalah karena daya angkut sedimen sungai sudah berkurang seiring dengan kecepatan aliran sungai menurun bahkan terkesan membentuk genangan. Akibat adanya genangan ini maka relatif besar volume sedimen yang dibawa sungai, akan diendapkan dan menghasilkan suatu bentuklahan yang disebut bentuklahan asal fluvial. Proses tersebut juga ditandai dengan adanya pola meandering pada sungai. Genangan air pada suatu cekungan sungai yang sangat lebar dan bermeander dapat mengalami proses cut off akibat aliran sungai mengalami perpindahan (shifted), sehingga genangan tersebut membentuk sebuah danau pada dataran alluvial. Morfologi dataran alluvial dapat dibagi menjadi lahan basah dan lahan kering. Pembagian zona lahan basah dan lahan kering ini

dipengaruhi oleh proses alam.lahan basah pada dataran alluvial dapat berupa badan sungai dan danau. Proses alam yang aktif terjadi pada suatu danau berupa proses sedimentasi. Proses sedimentasi pada danau menunjukkan adanya perubahan morfologi akibat proses eksogen baik itu alami maupun non-alami. Perubahan morfologi suatu bentuklahan fluvial dapat dikaji dengan pendekatan geomorfologi perairan. Pendekatan geomorfologi perairan pada dasarnya merujuk pada pendekatan yang berbasiskan bentukan asal-usul atau genesis (forms of origin). Pendekatan secara genesa dapat memenuhi untuk mengetahui sebaran sedimen dari daratan di sekitar danau ke arah danau. Danau danau kecil dan dangkal didaerah Jawa Barat dikenal dengan nama situ (Sulastri, 2003). Menurut KLH (2007), situ merupakan genangan air dalam satu cekungan dipermukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya bersumber dari air permukaan atau air tanah, berukuran relatif lebih kecil dibanding danau, tergolong ke dalam ekosistem perairan tawar terbuka dan bersifat dinamis. Air perairan ini umumnya jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas di pinggiran perairan (Suwignyo, 2003). Secara ekologi, situ bermanfaat sebagai sistem penyerapan air dan tendon air yang keberadaannya sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Keberlangsungan proses ekologis pada situ berhubungan dengan tata air dan drainase wilayah serta dipengaruhi oleh tipe pemanfaatan badan air situ dan pemanfaatan lahan di dalam wilayah tangkapannya. Ditinjau dari sudut tata air, situ berperan sebagai reservoir yang dapat dimanfaatkana sebagai alat pemenuhan irigasi dan perikanan, sebagai sumber air baku, sebagai tangkapan air untuk pengendalian banjir, serta penyuplai airtanah. 1.6.3 Proses Antropogenik dan Permasalahan Perkotaan Proses antropogenik merupakan proses yang berkaitan dengan aktivitas manusia yang membentuk suatu karakteristik wilayah dan

umumnya terjadi di perkotaan. Pengaruh aktivitas manusia terhadap morfologi danau dapat dikaji secara tepat dengan melakukan pendekatan mengikuti tata cara pandang disiplin bidang ilmu geomorfologi fluvial. Aktivitas manusia dapat berupa aktivitas yang disengaja dan direncanakan untuk membuat suatu bentuklahan yang baru dari bentuklahan yang telah ada, maupun aktivitas manusia yang secara tidak sengaja telah merubah bentuklahan yang telah ada. Cook dan Doornkamp (1994) Menyatakan bahwa perbedaan aktivitas manusia dalam pemanfaatan wilayah akan memberikan intensitas pengaruh yang berbeda terhadap suatu bentuklahan. Seiring dengan berlangsungnya proses antropogenik, proses alam pada suatu kenampakan bentuklahan juga terus berlangsung. Keberlangsungan dari proses alam ini menjadi lebih aktif dengan adanya campur tangan manusia terlebih lagi dengan memanfaatkan teknologi untuk melakukan perubahan pemanfaatan lahan. Proses antropogenik mampu mengubah suatu bentuklahan yang telah ada menjadi bentukan yang baru, seperti yang terjadi pada lokasi penelitian ini yakni perkembangan pemanfaatan dataran aluvial menjadi sebuah kota dengan wilayah terbangun. Proses-proses antropogenik ini pula yang mempengaruhi keberadaan bentukan asal fluvial seperti sungai dan danau yang mengalami perubahan pemanfaatan. Proses antropogenik juga memberikan manfaat sosioekonomis bagi suatu kenampakan lahan. Manfaat sosioekonomis pada situ antara lain sebagai cadangan sumber air bersih, pengendali banjir, irigasi, sumber penyedia protein dari sektor perikanan darat, sebagai sarana rekreasi dan sebagainya. Akibat proses pembangunan di wilayah perkotaan, maka dapat memberikan penekanan sumberdaya lahan yang ada karena potensi lahannya telah beralih fungsi. Perubahan penggunaan lahan di sekitar danau juga mampu mempengaruhi ekosistem danau. Perubahan penggunaan lahan di wilayah perkotaan tidak dapat dihindarkan, terlebih lagi dengan adanya penetapan status kota sebagai

wilayah pendukung bagi Ibu Kota. Perubahan semakin dipercepat dengan adanya para pengembang serta isu strategis dari kalangan pengambil kebijakan yang memilih dan menetapkan prioritas pembangunan. Sumberdaya lahan yang ada telah dimanfaatkan melalui program pembangunan yang sudah disetujui oleh pemerintah. Program dari pemerintah umumnya mencakup pemulihan terhadap sumberdaya lahan yang mengalami permasalahan. Perkembangan dan perubahan morfologi perairan darat yang umumnya masih berjalan ditandai dengan adanya penambahan daratan ke arah perairan (sedimentasi danau) yang dominan terjadi pada lokasi penelitian Permasalahan lingkungan berupa sedimentasi danau umum terjadi di wilayah perkotaan. Sedimentasi pada perairan darat menandakan bahwa telah terdapat kelebihan muatan sedimen yang masuk ke wilayah perairan. Fenomena ini terlihat dengan adanya pendangkalan wilayah perairan darat. Terjadinya sedimentasi pada daerah penelitian mengindikasikan bahwa sedimen yang datang dari dataran aluvial di sekitarnya maupun dari hulu memiliki volume besar, dan ini dapat mengancam rusaknya ekosistem perairan darat. Sedimentasi pada danau di wilayah perkotaan mengakibatkan perubahan posisi garis sempadan danau. Perubahan posisi garis sempadan danau yang semakin mundur ke arah perairan mengindikasikan adanya proses erosi yang cukup serius di lahan sekitar danau. Faktor yang menyebabkan terjadinya erosi dari lahan sekitar tangkapan air dan sedimentasi pada badan air salah satunya adalah konversi lahan yang mengubah ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun. Kebutuhan lahan yang semakin meningkat untuk keperluan masyarakat maupun pembangunan, telah meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya lahan di Indonesia (Sandy, 1995; Harsono 1995). Akibat tekanan tersebut, maka manusia cenderung memanfaatkan lahan untuk membangun. Andreas (2011) dalam tesisnya menyatakan bahwa

perubahan penggunaan lahan bertujuan untuk memberikan hasil yang optimal dalam pemanfaatannya tetapi disisi lain memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan hidup. Keterbatasan lahan menyebabkan dilakukannya konversi terhadap kawasan lindung yang seharusnya menjadi penyangga wilayah di sekitarnya, sehingga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan fisik berupa terciptanya lahan kritis, erosi dan banjir. Permasalahan konversi lahan mengindikasikan bahwa sumberdaya lahan saat ini dan di masa mendatang semakin mendapat tekanan yang serius. Aktivitas pembangunan yang tidak terkendali oleh manusia menimbulkan degradasi lingkungan sekitarnya. Kondisi ini akan terus berjalan seiring dengan semakin meningktanya kebutuhan manusia untuk memanfaatkan sumberdaya lahan. 1.6.4 Penginderaan Jauh dalam Geomorfologi dan Pemetaan Partisipatif Pengendalian terhadap segala bentuk aktivitas pembangunan merupakan salah satu cara untuk membatasi konversi lahan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan sewaktu-waktu dapat menjadi bencana. Pendekatan penginderaan jauh berbasis geomorfologi menjadi salah satu alternatif pilihan yang cepat dan mampu memberikan informasi secara detail dengan baik dalam pemantauan sumberdaya lahan dengan memanfaatkan teknologi perekaman gambar permukaan bumi (Nossin dan Zuidam, 1993; Aiki, et al 1994; Louer, 1998). Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh telah berkembang dengan menghasilkan rekaman citra satelit dengan berbagai resolusi spektral, spasial, dan temporal. Penginderaan jauh telah dikenal mampu memberikan kontribusi dalam mendukung percepatan pengadaan informasi pembangunan wilayah dan sumberdaya lahan. (Edward, 1997; Florinsky,1998) Pemanfaatan penginderaan jauh digital yang telah dikembangkan menjadi solusi dalam upaya inventarisasi serta monitoring proses

pembangunan dan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan fisik. (GOI, *tahun*, Miller R, et al 2005, Rencz, 1999). Teknik yang digunakan dalam penginderaan jauh adalah dengan interpretasi citra secara manual berbasis pada kajian geomorfologi untuk pengenalan bentuklahan dan proses-proses yang terjadi di daerah yang dijadikan lokasi penelitian (Meijerink, 1974; Verstappen, 1977; Zuidam, 1983) Interpretasi citra dilakukan berdasarkan unsur-unsur interpretasi dalam penginderaan jauh untuk pengenalan objek di wilayah penelitian, yakni bentuklahan menurut kajian geomorfologi, sehingga mampu menyajikan peta yang mengandung informasi fisik wilayah (Bostater, 1977; Hafelem et al., 1999; Pavlopoulus K et al. 2009). Nyoman (2010) dalam disertasinya menyatakan bahwa informasi wilayah melalui pendekatan analisa penginderaan jauh berdasarkan hasil satu rekaman citra maupun citra multi saluran memiliki ketelitian yang tinggi. Perekaman secara multi termporal pada wilayah yang sama dapat memberikan informasi secara historis perubahan-perubahan morfologi yang terjadi sebagai akibat proses alam maupun non alam. Atas dasar tersebut maka perubahan lanskap suatu danau pada daerah yang diteliti dapat dianalisis. Penentuan kondisi lingkungan fisik termasuk wilayah penelitian akan semakin cermat apabila ada ketersediaan citra satelit dengan resolusinya yang semakin tinggi. Kondisi terkini lanskap wilayah penelitian yang sudah mengalami perubahan akibat proses antropogenik dapat dianalisis dengan citra satelit Quickbird. QuickBird merupakan satelit yang diluncurkan oleh DigitalGlobe dengan tujuan untuk menghasilkan citra satelit resolusi tinggi. QuickBird memiliki resolusi spasial 0,61 meter untuk citra pankromatik serta 2,4 meter untuk citra multispektral (Digital Globe. Inc, 2009). Resolusi spasial tinggi ditujukan untuk mendukung aplikasi kekotaan, seperti pengenalan pola permukiman, perkembangan dan perluasan daerah terbangun, serta evaluasi pemanfaatan lahan di sempadan sungai dan danau. Saluran-saluran spektral yang dipilih dalam

citra Quickbird telah terbukti efektif dalam menyajikan variasi fenomena yang terkait dengan kota untuk keperluan perbaikan lingkungan. Selain citra satelit, terdapat citra foto (foto udara) untuk menyediakan informasi bentuklahan yang lebih detail. Ketelitian informasi pada foto udara tergantung pada skalanya. Daerah cakupan pada setiap lembar foto udara relatif lebih kecil dibandingkan daerah cakupan pada citra satelit (non foto). Oleh karena itu perlu dilakukan deliniasi dari beberapa foto udara yang meliput seluruh daerah penelitian untuk mengetahui kondisi morfologi berdasarkan foto udara. Perekaman objek-objek pada suatu wilayah melalui citra penginderaan jauh selain memiliki nilai praktis dalam menyajikan informasi, juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan dalam penyajian informasi dapat terjadi pada proses yang tidak dapat teridentifikasi pada citra. Kajian secara detail diperlukan untuk dijadikan sumber informasi dalam mencari solusi bagi masalah perubahan lanskap. Pemetaan partisipatif dalam observasi lapangan merupakan salah satu cara untuk melengkapi keterbatasan tersebut, sehingga infromasi yang kurang pada saat interpretasi dapat dilengkapi dan dibuktikan. 1.6.5 Zonasi Ruang, Perencanaan Lanskap, dan Rehabilitasi Perencanaan lanskap ialah suatu perencanaan yang sistematis dan berpijak kuat pada dasar ilmu lingkungan dan pengetahuhan alami yang bergerak dalam kegiatan penelitian mengenai lahan dalam mencari ketepatan tata guna lahan untuk menentukan keadaan awal dan cara yang tepat untuk mencapai pada keadaan tersebut (Gold, 1980; Rachman, 1984). Untuk itu, dalam menentukan keadaan awal suatu kenampakan lanskap diperlukan kajian geomorfologi dengan menekankan aspek hidrologis. Konsep perencanaan lanskap kawasan situ dengan berdasarkan pada analisis perubahan morfologi bertujuan untuk mengembalikan keadaan awal (morfologi alami) situ dan fungsi utamanya sebagai daerah tangkapan air hujan. Konsep ini diperkirakan

mampu mengurangi kerusakan lingkungan fisik kota yang terjadi akibat proses antropogenik. Hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan suatu kawasan menurut Nurisjah dan Pramukanto (1995), diantaranya: a. Mempelajari hubungan antara kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar. b. Memperhatikan keharmonisan antara daerah sekitarnya dengan kawasan yang akan direncanakan. c. Menjadikan sebagai objek yang menarik. d. Merencanakan kawasan tersebut sehingga dapat menghasilkan suatu kawasan yang dapat menampilkan kesan masa lalunya. Perencanaan tidak dapat dipisahkan dari pengendalian pemanfaatan ruang, oleh karena itu dalam pelaksanaannya memerlukan instrument, yaitu peraturan zonasi (Zoning Regulation). Dalam Ketentuan Umum UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa peraturan zonasi dibuat sebagai penjabaran dari zona peruntukkan yang termuat di dalam rencana rinci. Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. Di berbagai Negara peraturan zoansi dapat terbagi menjadi dua unsur, yaitu zoning text/zoning statement dan zoning map. Zoning text/statement berisi aturan-aturan yang menjelaskan mengenai tata gua lahan dan kawasan, pemanfaatan yang diizinkan dan diizinkan sengan syarat, standar pengembangan, dan lain-lain. Zoning map merupakan penggambaran mengenai tata guna lahan dan lokasi tiap fungsi lahan dan kawasan, berisi blok-blok peruntukan dengan ketentuan aturan untuk tiap blok peruntukkan. Dalam prosesnya, pertimbangan-pertimbanan lokal juga akan menentukan teknik peraturan zonasi yang berlaku sesuai dengan kebutuhannya. Marsh (1991) mengemukakan konsep zonasi lahan dalam perencanaan lanskap sebagai pembagian satuan lahan berdasarkan fungsi

ruang pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Konsep zonasi lahan menurut Marsh yaitu suatu kawasan pada DAS terbagi menjadi tiga satuan lahan yaitu satuan lahan pengembangan, satuan lahan penyangga, dan satuan lahan pengelolaan air. Kajian geomorfologi akan menentukan keadaan awal fisik situ dengan zonasi satuan lahan yang sesuai sehingga mampu mengurangi risiko kerusakan lingkungan fisik dan mengembalikan lanskap kawasan situ sesuai fungsi hidrologi dan ekologi. Satuan lahan pengelolaan air yang dimaksud Marsh adalah batasan badan air. Di luar satuan lahan pengelolaan air adalah satuan lahan penyangga yang berupa ruang terbuka hijau (RTH). Ruang terbuka hijau adalah area memanjang atau jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka dan sebagai tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional). Batasan terluar dari zonasi ini adalah satuan lahan pengembangan yang dapat terdiri dari lahan terbangun maupun lahan pertanian. Zonasi satuan lahan berdasarkan fungsi ruang pada DAS menjadi acuan dalam kegiatan rehabilitasi situ. Rehabilitasi merupakan upaya untuk memperbaiki dan menjaga kelestarian seluruh komponen ekologi dan sistem perairan danau, sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai penampung air yang dapat digunakan untuk keperluan air bersih dan masukan air tanah, serta menyeimbangkan ekosistem. 1.7 Tinjauan Empiris Penelitian tentang analisis perubahan morfologi untuk zonasi satuan lahan dalam perencanaan lanksap yang bertujuan merehabilitasi kawasan lindung situ belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Beberapa hasil penelitian perencanaan lanskap kawasan situ umumnya belum mengkaji perubahan morfologi yang terjadi akibat gabungan proses antopogenik dan

proses fluvial. Referensi hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang ditelaah dalam penelitian ini dilakukan sebagai pengalaman empiris serta mendukung keaslian penelitian, yakni sebagai berikut: 1. Nurika Naulie Faizah (2011) Lokasi penelitian berada di Kawasan Lindung Situ Gintung dan sekitarnya sejauh wilayah di sekitarnya tersebut mempengaruhi kondisi lingkungan fisik Situ Gintung. Tujuan Penelitian ini adalah untuk untuk menyusun rencana lanskap Kawasan Situ Gintung pasca bencana. Ide penelitian ini didasarkan pada lanskap kawasan Situ Gintung yang awalnya memiliki fungsi hidrologi sebagai daerah resapan air untuk kawasan di sekitarnya, beralih fungsi menjadi permukiman tanpa memperhatikan keberlanjutan fungsi ekologis situ. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode skoring berdasarkan SK Menteri Pertanian, metode buffering berdasarkan Peraturan Pemerintah, metode wawancara berdasarkan kebutuhan air domestik, dan metode rasional untuk menentukan luas ruang terbuka hijau yang dibutuhkan. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini berupa rencana lanskap kawasan Situ Gintung Pasca Bencana yang penentuannya zonasinya dilakukan menurut teori Marsh dengan membagi kawasan situ menjadi 3 zona berdasarkan fungsi ruang DAS. Penelitian empiris dari teori Marsh akan dilakukan dengan mengaplikasikan teori ini sebagai upaya rehabilitasi kawasan Situ Ciledug, namun dengan berbasis pada ilmu geomorfologi. 2. I Nyoman Sukmantalya (2010) Penelitian yang dilakukan ialah mengenai morfodinamika kepesisiran Teluk Banten. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan teknologi survey dan pemetaan berupa pemanfaatan citra penginderaan jauh multi temporal yang mampu menyediakan informasi kepesisiran dengan baik. Penerapan metode ini membutuhkan pengalaman dalam interpretasi citra.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa telah terjadi alih fungsi lahan yang menyebabkan proses erosi dan akresi yang cepat, sehingga memerlukan usaha konservasi di dalamnya. Salah satu bentuk upaya konservasi yang dilakukan adalah dengan mendasarkan pada karakteristik morfologi yang dinamai morfokonservasi. Nyoman (2010) menyatakan bahwa Morfokonservasi Teluk Benten ini dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam melindungi wilayah kepesisiran Teluk Banten terhadap kerusakan lebih lanjut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti bermaksud menerapkan kajian morfologi dalam upaya rehabilitasi Kawasan Situ Ciledug. Upaya rehabilitasi ini juga memasukkan aspek konservasi di dalamnya. 1.8 Kerangka Pemikiran Seluruh proses-proses yang terjadi di Kawasan Situ Ciledug menyebabkan perubahan morfologi dan pemanfaatan kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, sehingga memerlukan rehabilitasi. Perencanaan rehabilitasi Kawasan Situ Ciledug, memerlukan zonasi ruang yang tepat, sesuai dengan kaidah morfokonservasi. Zonasi satuan lahan berdasarkan fungsi lindung setempat yaitu satuan lahan pengelolaan air, satuan lahan penyangga, dan satuan lahan pengembangan. Indikator yang diperlukan untuk menentukan zonasi peruntukkan lahan Kawasan Situ Ciledug agar sesuai dengan kaidah morfokonservasi adalah dengan mengetahui perubahan morfologinya terhadap kondisi terkini, kondisi fisik seperti kemiringan lereng, kepekaan tanah terhadap erosi, dan intensitas hujan harian, serta area-area yang mengalami permasalahan kejadian banjir dan longsor. Perubahan morfologi dianalisis dengan melihat batas-batas badan air situ tahun 1950, 1980, dan 2011. Besarnya luas lahan yang megalami transformasi dianalisis untuk mengetahui area-area yang dapat dikembalikan sesuai dengan peruntukkannya dan menjadi inti dari zonasi Satuan

Pengelolaan Air. Kondisi fisik seperti kemiringan lereng, kepekaan tanah terhadap erosi, dan intensitas hujan harian, serta area-area yang mengalami permasalahan kejadian banjir dan longsor menjadi indikator dalam menentukan Satuan Lahan Penyangga yang disusun dalam perencanaan lanskap untuk rehabilitasi Situ Ciledug. Kerangka pemikiran disajikan secara lengkap dalam diagram alir berikut: Penyusutan Luas Lahan Basah Situ Ciledug Permasalahan Lingkungan dan Kejadian Banjir Perubahan Morfologi Situ Ciledug Analisis Kondisi Fisik, Kejadian Bencana, dan Kebijakan Kawasan Tahun 1950 Tahun 1980 Tahun 2011 Kepekaan Tanah Terhadap Erosi Intensitas Hujan Harian Rata-rata Titik Pasang tertinggi Peraturan Pemerintah Analisis Perubahan Morfologi Terhadap Kondisi Terkini Kemiringan Lereng Risiko Banjir Risiko Longsor Penentuan Lahan Basah yang Dapat Dikembalikan Penentuan Zonasi Peruntukkan Lahan Satuan Pengelolaan Air Satuan Lahan Penyangga Satuan Lahan Pengembangan Pola Zonasi Ruang Untuk Perencanaan Rehabilitasi Kawasan Situ Ciledug Gambar 1.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

1.9 Batasan Penelitian 1.9.1 Batasan Operasional Penelitian ini difokuskan pada analisis perubahan morfologi dan kondisi terkini sehingga mampu menyusun perencanaan lasnkap yang tepat untuk rehabilitasi Kawasan Situ Ciledug. Penekanan pengkajian permasalahan penelitian pada aspek morfologi, aspek topografi, aspek jenis tanah, aspek hidrologi, aspek tata guna lahan, dan aspek vegetasi dan satwa di Kawasan Situ Ciledug. Wilayah operasional terdiri dari wilayah yang mempengaruhi dan wilayah yang dipengaruhi. Wilayah yang mempengaruhi adalah kawasan di luar badan air Situ Ciledug, sedangkan wilayah yang dipengaruhi adalah badan air Situ Ciledug. Penelitian ini mempertimbangkan bahwa perencanaan lanskap harus mempertimbangkan morfologi awal Situ Ciledug, sehingga mampu mengurangi permasalahan pendangkalan Situ Ciledug. 1.9.2 Batasan Istilah Geomorfologi merupakan ilmu yang menafsirkan bentuk roman muka bumi dengan memperhatikan faktor-faktor pembentuk geomorfologi, yaitu: struktur, proses, dan stadia (Lobeck, 1939; Worcester, 1939). Nilai perbandingan dispersi (NPD) adalah suatu nilai yang menunjukkan kemantapan agregat oleh ikatan lempung dan debu (Partoyo, 2005) Pendekatan genesis merupakan pendekatan berdasarkan kajian kualitatif dan kuantitatif (King, 1972; Kirkby, 1994; Leeder, 1982; Verstappen, 1983). Lanskap adalah suatu bentanglahan hasil gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang membentuk karakteristik tertentu, meliputi aspek spasial, tekstural, komposisional, dan dinamika tanah (Irwan, 1992; Marsh, 1983; Simonds, 1983).

Unsur pembentuk lanskap adalah bentang alam, vegetasi alami dan binatang-binatang yang menempatinya, dan penggunaan lahan. (Burton,1995) Situ merupakan genangan air dalam satu cekungan di permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya bersumber dari air permukaan atau air tanah, berukuran relatif lebih kecil dan dangkal dibanding danau, tergolong ke dalam ekosistem perairan tawar terbuka, bersifat dinamis, dan penamaannya hanya ada di Jawa Barat. (Sulastri, 2003; KLH, 2007) Penginderaan jauh berbasis geomorfologi merupakan alat yang memberikan informasi dalam pemantauan sumberdaya lahan dengan memanfaatkan teknologi perekaman gambar permukaan bumi (Nossin dan Zuidam, 1993; Aiki, et al 1994; Louer, 1998). Perencanaan lanskap ialah suatu perencanaan yang sistematis dan berpijak kuat pada dasar ilmu lingkungan dan pengetahuhan alami yang bergerak dalam kegiatan penelitian mengenai lahan dalam mencari ketepatan tata guna lahan untuk menentukan keadaan awal dan cara yang tepat untuk mencapai pada keadaan tersebut (Gold, 1980; Rachman, 1984). Konsep zonasi lahan dalam perencanaan lanskap merupakan pembagian satuan lahan berdasarkan fungsi ruang pada Daerah Aliran Sungai. (Marsh, 1991)