BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

dokumen-dokumen yang mirip
Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008.

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

LAMPIRAN. Penentuan negara-negara yang dijadikan sample tersebut didasarkan atas tiga kategori, yaitu:

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1)

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

2 negara lain. Dari situlah kemudian beberapa negara termasuk Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang berguna untuk mengatur seluruh pe

BAB V. Kesimpulan. Identitas ini menentukan kepentingan dan dasar dari perilaku antar aktor. Aktor tidak

87 gugatan terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement. Hanya saja, DSB bersikeras menolak untuk memenangkan gugatan kedua Indonesia yakni Pasal 2.2 TBT Agreemen

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

BAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. A. Latar Belakang

bagi Indonesia dalam menghadapi persaingan regional maupun global. Kedua, Infrastruktur industri penerbangan juga memiliki kelebihan berupa banyaknya

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

Perseteruan Antara Boeing VS Airbus Oleh: Taryana Suryana NPM:

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Saat ini Yunani sedang mengalami Krisis Ekonomi akibat akumulasi hutang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang

DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS ASEAN CINA BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA (Studi Kasus : Dampak pada Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia (TPT))

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang Masalah

REGULASI PENYIARAN DI INDONESIA

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n

BAB I PENDAHULUAN. oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 1

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

BAB I PENDAHULUAN. meyampaikan pendapatnya di pertemuan rakyat terbuka untuk kepentingan

1.1 Latar Belakang. BAB I : Pendahuluan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

Uraian Diskusi Keadilan Ekonomi IGJ Edisi April/I/2018

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Makalah Perdagangan Internasional BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

1 BAB V: PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

Isu Prioritas - Standar (SNI)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010.

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup

KEBIJAKAN ANTIKORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini

Point penting dari diskusi Panel Dalam First Session IGWG Meeting on Binding Treaty for TNCs (6-10 July 2015):

BAB I PENDAHULUAN. negeri berupa pajak. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

RERANGKA ANALISIS LINGKUNGAN PEMASARAN GLOBAL

Sumber-sumber kemasyarakatan merupakan aspek dari non pemerintah dari suatu system politik yang mempengaruhi tingkah laku eksternal negaranya.

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Membantu Indonesia Menyediakan Perlindungan terhadap Praktik Perdagangan yang Tidak Adil dan Lonjakan Impor

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... 1 LEMBAR PENGESAHAN 2 LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.. 3 KATA PENGANTAR. 4 ABSTRACK... 7 INTISARI 8 DAFTAR ISI...

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017 Website :

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perancangan

Selamat Datang di Modul Pelatihan Melindungi Privasi Anda.

BAB II PERJANJIAN TRIPS YANG DIKELUARKAN OLEH WTO DAN RATIFIKASI INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding

BAB I PENDAHULUAN. Dengan masih besarnya pengaruh Cina terhadap perekonomian dunia, maka

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB 5 KESIMPULAN. Dampak krisis..., Adjie Aditya Purwaka, FISIP UI, Universitas Indonesia

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam

Harga Sebuah Kebijakan Bahan Bakar Fosil: Subsidi Pemerintah Indonesia di Sektor Hulu Minyak & Gas Bumi

Oleh : Erick E Abednego 11/315703/EK/18501

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini di Indonesia, perusahaan publik, bank dan BUMN wajib memiliki

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

HUBUNGAN KUALITAS LINGKUNGAN ( EMISI CO 2 ) DENGAN EKSPOR INDONESIA DALAM KERANGKA PERDAGANGAN DENGAN ASEAN5 +CHINA SKRIPSI. Oleh: Ayu Andria Sari

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Airbus dan Boeing adalah dua pemain besar dalam industri penerbangan yang merupakan salah satu industri yang memiliki peranan besar dalam perekonomian dunia. Boeing yang berpusat di Chicago ini merupakan salah satu perusahaan eksportir terbesar di Amerika Serikat berdasarkan nilai barang dan memiliki surplus perdagangan terbesar dibandingkan industri manufaktur lainnya (Reed, 2009). Airbus sendiri merupakan perusahaan manufaktur pesawat sipil yang juga merupakan bagian dari konsorsium EADS (European Aerospanautic Defence and Space Company), berpusat di kota Toulouse Perancis serta pabrik perakitan yang tersebar di berbagai negara di Eropa, Asia dan Amerika (www.airbus.com). Berdirinya Airbus juga menandakan berakhirnya monopoli Boeing dalam industri penerbangan sipil. Hingga saat ini kedua perusahaan menjadi rival dalam industri aviasi dunia. Rivalitas antara kedua perusahaan ini yang ditandai dengan terus berkembangnya Airbus hingga mampu mengambil sebagian market share yang sebelumnya dimiliki oleh Boeing membuat Amerika merasa khawatir, hal ini dikarenakan Airbus mendapat bantuan dana yang besar dari beberapa negara Uni Eropa seperti Perancis dan Jerman. Sehingga, pada tahun 1992 Amerika mengadakan pertemuan dengan Uni Eropa untuk meregulasi keterlibatan negara dalam sektor manufaktur pesawat terbang komersil besar melalui perjanjian bilateral dalam pesawat komersil besar (Agreement on Large Civil Aircraft). Sengketa antara kedua raksasa penerbangan ini dimulai pada Oktober 2004. Ketika itu Amerika Serikat secara sepihak mengakhiri perjanjian bilateral tahun 1992 terkait perdagangan pesawat sipil dengan Uni Eropa dan mulai melakukan komplain kepada WTO. Dua komplain terpisah yang telah dimasukkan ke dalam WTO Panel, DS 316 (kompain Amerika Serikat kepada Airbus) tersebut merupakan komplain Amerika Serikat kepada Uni Eropa, Perancis, Jerman, Spanyol dan Inggris. DS 353 (komplain Uni Eropa terhadap Boeing) merupakan komplain oleh Uni Eropa terhadap Amerika Serikat. Sengketa ini merupakan sengketa terbesar dan salah satu sengketa paling kompleks yang masuk kedalam 1

DSM, dimana panel Dispute Settlement Body (DSB) membutuhkan waktu 5 tahun untuk merilis keputusan, sedangkan rata-rata kasus yang masuk di DSB hanya membuuhkan waktu paling lama 12 bulan (Kendler, 2012). Dalam konteks sistem perdagangan global, akan dijelaskan bagaimana WTO memiliki pernanan penting terutama melalui SCM (Subsidy and Counterveiling Measure) serta DSB dimana kedua alat dalam sistem WTO ini bisa menjelaskan jenis bantuan dan seberapa besar negara mampu memberikan bantuan terhadap sektor privat di negaranya. Kasus ini penting dibahas karena menurut Peter Mandelson, komisioner perdagangan Uni Eropa, sengketa antara Boeing dengan Airbus merupakan sengketa terbesar, tersulit dan termahal dalam sejarah WTO (Mathis, 2006). Sementara, dalam artikel 1 perjanjian SCM, subsidi dinyatakan ada apabila pertama ada kontribusi finansial dari pemerintah. Di sini, kedua pihak baik Airbus maupun Boeing sama-sama menyangkal adanya subsidi yang masuk kedalam perusahaan mereka. Sedangkan biaya untuk memasuki pasar industri pesawat terbang sipil sangat sulit sehingga tidak ada perusahaan yang sanggup untuk menjadi pembuat pesawat. Maka dari itu industri semacam ini membutuhkan dukungan konsisten dari pemerintah (Kemp, 2007). Penelitian ini nantinya akan menjelaskan bagaimana kasus sengketa subsidi Airbus dengan Boeing bisa diteliti dengan kerangka konseptual serta perspektif dari hubungan negara dan korporasi (state-firm). Sengketa subsidi antara Airbus dengan Boeing ini bisa dilihat sebagai hubungan antara negara dengan korporasi (Uni Eropa dengan Amerika Serikat) dalam lingkup rezim internasional yaitu WTO. Sebagai rezim Internasional dalam hal sistem perdagangan global WTO memiliki perangkat yang mengatur bagaimana dan seberapa besar negara bisa memberikan bantuan kepada korporasi dalam negeri. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimana proses penyelesaian sengketa antara Airbus dengan Boeing di WTO dalam kurun waktu 2004 hingga 2013? C. Landasan Teori Ada dua teori yang digunakan untuk menjawab Rumusan masalah penelitian, yaitu Political Economy theory of Subsidy Agreements oleh Daniel Brou dan Michele Ruta serta 2

Economic Theory of Dispute Settlement Institutions yang diperkenalkan oleh Alexander Keck dan Simon Schropp. Political Economy theory of Subsidy Agreements menekankan pada bagaimana peran dari subsidi domestik terhadap sistem perdagangan multilateral. Sedangkan Economic Theory of Dispute Settlement Institutions memberikan analisis yang komprehensif mengenai dispute settlement institutions yang nantinya mampu memberikan pemahaman mengenai proses penyelesaian sengketa antara Airbus dengan Boeing di WTO a. Political Economy Theory of Subsidy Agreements Penangangan terkait subsidi dalam suatu perjanjian perdagangan merupakan isu yang masih dalam perdebatan para akademisi. Pertemuan tingkat menteri di Doha pada tahun 2001 menyatakan: "In the light of experience and of the increasing application of these instruments by Members, we agree to negotiations aimed at clarifying and improving disciplines under the Agreement on Subsidies and Countervailing Measures" (paragraf 28 dari Doha Ministerial Declaration). Menurut Daniel Brou dan Michele Ruta (2009), Political Economy Theory of Subsidy Agreements berusaha menjelaskan bagaimana peran perjanjian subsidi dalam kerangka perjanjian perdagangan internasional serta mengapa negara sangat menghargai perjanjian tersebut. Pertama, teori ini menjelaskan bagaimana subsidi merupakan kebijakan terbaik yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar yang bisa berujung pada tingkat produksi yang terlalu kecil (Brou & Michael, A Commitment Theory of Subsidy Agreements, 2012). Perjanjian perdagangan terkait subsidi sendiri berusaha untuk mengatur bagaimana pemerintah bisa memberikan subsidi terhadap suatu kegiatan produksi tanpa memberikan distorsi yang besar terhadap pasar. Idealnya perjanjian tersebut harus memiliki kebijakan pemerintah yang seimbang dalam menggunakan subsidi domestik untuk menanggulangi distorsi pasar dan perlunya membatasi kewenangan pemerintah guna mengamankan komitmen terhadap akses pasar. Aturan subsidi didalam WTO bertujuan untuk memberikan hak dan kewajiban bagi negara anggotanya guna menekan distorsi pasar akibat dari subsidi. Aturan ini kemudian dituangkan dalam mekanisme Subsidy and Countervailing measure (SCM). SCM bertujuan untuk mendisiplinkan penggunaan subsidi serta meregulasi setiap kebijakan dari negara-negara guna menghadapi dampak dari subsidi itu sendiri (WTO Trade Topics: Subsidies and Countervailing Measures). 3

b. Economic Theory of Dispute Settlement Institutions Economic Theory of Dispute Settlement Institutions (Teori ekonomi tentang insitutsi penyelesaian sengketa) merupakan teori yang diperkenalkan oleh Alexander Keck dan Simon Schropp (2007). teori ini menjelaskan bagaimana peradilan dalam perdagangan internasional muncul dan peran yang diemban dalam rangka memfasilitasi sengketa dalam perdagangan internasional. Keck dan Schropp (2007) mengkritisi bagaimana teori terkait perjanjian perdagangan mengesampingkan peran insititusi dalam melakukan upaya bina damai terkait sengketa perdagangan. Dalam teori terkait perjanjian perdagangan yang dikemukakan oleh Wilferd (2004) dalam karyanya yang berjudul The Political Externalities serta Kyle Bagwell dan Robert Staiger (2002) dalam The Economic of World Trading System, dijelaskan bahwa perjanjian internasional mampu mereduksi hambatan serta merupakan skema yang baik guna menghindari inefisiensi dari sistem unilateral. Dari kedua pandangan yang diajukan oleh Wilferd serta Bagwell dan Staiger bisa ditarik kesimpulan bahwa kerjasama perdagangan internasional dilakukan guna menghindari prisoner s dilemma 1, di mana dalam negara dihadapkan pada keputusan untuk meningkatkan kebijakan proteksionisme perdagangan yang didasari pada kekhawatiran negara lain akan melakukan hal yang sama di kemudian hari. Proteksionisme pada akhirnya memunculkan masalah baru seperti inefisiensi perdagangan dan terhambatnya pemerataan kemakmuran. Untuk mengurangi hambatan perdagangan serta terlepas dari prisoner s dilemma, negara membuat suatu kerjasama perdagangan. Pada akhirnya sebuah Konsep kerjasama perdagangan ini merupakan sebuah kerjasama perdagangan ditopang berdasarkan grim trigger strategy. Dimana pihak yang bekerjasama saling mengancam satu sama lain untuk menghukum segala bentuk pelanggaran dengan keluar dari perjanjian yang telah disepakati, sehingga kembali kepada upaya 1 Menurut Mochtar Mas oed dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan metodologi menggambarkan prisoner s dilemma sebagai suatu situasi deadlock dimana dua orang yang berpotensi sebagai rekan tidak bias mengadakan kerjasama satu sama lain karena tidak adanya sikap saling percaya. 4

proteksionisme. Disimpulkan bahwa perjanjian perdagangan internasional merepresentasikan apa yang disebut full efficient contract dan renegotiation proof, di mana kontrak ini bersifat sempurna dan tidak perlu direvisi, amandemen atau dinegosiasi ulang (Keck & Schropp, 2007). Melihat perjanjian bersifat stabil dan sempurna, kerjasama ini dijalankan berdasarkan grim-trigger strategy, di mana kedua pihak akan saling memberikan ancaman jika terjadi pelanggaran perjanjian dengan cara menarik diri dari kerjasama. Konsekuensinya ialah tidak adanya ruang untuk terjadinya sebuah sengketa perdagangan yang pada akhirnya perjanjian perdagangan berlangsung tanpa adanya bantuan dari pihak ketiga, sehingga pembentukan institusi maupun organisasi internasional tidak memiliki manfaat dan hanya menambah beban biaya. Dari penjelasan diatas, terlihat tidak adanya ruang bagi institusi dalam konteks perjanjian perdagangan internasional. Belum adanya definisi yang jelas mengenai peran insitusi dalam perjanjian perdagangan dikarenakan konsep teori diatas lebih menekankan pada logika dari perjanjian perdagangan. Keck dan Schroop (2007) kemudian menghilangkan variable dari grim-trigger strategy, sehingga memungkinkan masuknya instutusi dalam perjanjian perdagangan internasional. Kedua ilmuwan ini lantas menekankan pada prinsip enforcement (implementasi, penegakan), dengan memberikan penjelasan bahwa enforcement bukan hanya berupa hukuman dan ancaman, tetapi menjadi inti dari terbentuknya Dispute Settlement Institution (institusi penyelesaian sengketa). Perjanjian perdagangan haruslah mengikat layaknya kontrak. Kontrak sendiri didefinisikan sebagai komitmen yang harus dipatuhi dalam jangka waktu tertentu (Craswell, 1999). Enforcement merupakan bagian penting dari sebuah kontrak, karena enforcement memberikan kredibilitas pada sebuah komitmen bersama dan mencegah pelanggaran dari kontrak (Keck & Schropp, 2007, p. 10). Tanpa adanya penegakkan, kemungkinan kontrak akan gagal di tengah jalan, bahkan gagal dirumuskan sejak awal (Maten, 1999). Dalam setiap perjanjian perdagangan haruslah memiliki enforcement capacity dan enforceability guna merespon pelanggaran terhadap kontrak. Enforcement ini bisa dilakukan oleh pihak yang terdampak (self-enforcement) atau pihak ketiga yang netral. Enforceability setidaknya memerlukan tiga unsur yaitu: 1. Observability: di mana pelanggaran terhadap kontrak bisa dideteksi sejak awal, baik itu oleh pihak yang terdampak maupun pihak ketiga. 5

2. Veriviability: di mana mempertanyakan apakah kontrak bisa di patuhi dan dijalankan sesuai perjanjian, pelanggaran terhadap kontrak bisa dibuktikan jika pihak yang terdampak mampu menunjukan klausul kontrak yang dilanggar. 3. Quantifiability: di mana pihak yang terdampak (atau peradilan) mampu melakukan kalkulasi terhadap dampak buruk yang terjadi akibat pelanggaran didalam klausul kontrak. (Keck & Schropp, 2007, p. 10) Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan memasukan konsep observability, verifiability dan quantifability, maka enforcement lebih mengarah kepada sebuah proses ketimbang sebuah alat untuk menghukum. Dari penjelasan di atas, peneliti melihat Economic Theory of Dispute Settlement Institutions mampu memberikan reality check terkait proses dispute settlement mechanism yang ada di WTO dan upayanya dalam menyelesaikan sengketa antara Boeing dan Airbus terkait subsidi. Teori ini juga diharapkan mampu memberikan analisis mengenai proses dispute settlement di WTO, yang juga melibatkan dua pihak antara Amerika dan Uni Eropa. Serta memberikan gambaran mengapa Amerika mundur dari perjanjian perdagangan bilateral dengan Uni Eropa terkait pesawat komersial pada tahun 1992 dan memutuskan untuk memasukan sengketa dagang ini ke dispute settlement mechanism WTO. D. Argumen Utama Sengketa antara Airbus dengan Boeing berawal dari pembatalan secara sepihak oleh AS atas perjanjian bilateral dengan Uni Eropa terkait perdagangan pesawat sipil berbadan lebar yang dimulai pada tahun 1992. Dengan menggunakan Economic Theory of Dispute Settlement Institutions dapat dipahami bahwa pembatalan secara sepihak tersebut mencerminkan kelemahan dari perjanjian perdagangan yang dilakukan secara bilateral. Karena sifatnya berupa full efficient contract, dimana tidak ada celah untuk melakukan renegosiasi kontrak Grim trigger strategy yang dilakukan oleh Amerika Serikat, dimana pihak Uni Eropa diduga melakukan pelanggaran terhadap perjanjian tersebut sehingga Amerika Serikat memutuskan untuk mengakhiri perjanjian bilateral tersebut dan membawa permasalahan ini ke WTO. Melalui Economic Theory of Dispute Settlement Institutions juga bisa dilihat bagaimana aktor Internasional lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa 6

dagangnya di WTO melalui Dispute settlement mechanism dibandingkan menyelesaikanya secara bilateral. Sulitnya penyelesaian sengketa antara Airbus dan Boeing di WTO dikarenakan terlalu kompleksnya sengketa ini untuk ditangani oleh WTO. Hal ini terlihat dari upaya Amerika Serikat dan Uni Eropa yang tidak patuh pada rekomendasi DSM untuk merevisi kebijakannya terkait subsidi yang diberikan kepada Boeing maupun Airbus. Keengganan Amerika Serikat maupun Uni Eropa bisa dipahami karena ini menyangkut industri dengan skala ekonomi yang besar serta kepentingan nasional masing-masing negara. Yang terjadi adalah baik itu Amerika Serikat maupun Uni Eropa merevisi sedikit kebijakan subsidinya kemudian melaporkan kepada WTO bahwa mereka sudah mengikuti rekomendasi DSM. Sikap ini yang kemudian memaksa pihak yang mengajukan komplain kembali ke WTO kembali mengajukan banding serta meminta WTO untuk mengajukan sanksi perdagangan. Hal inilah yang menyebabkan lamanya penyelesaian sengketa subsidi antara Airbus dengan Boeing di WTO. E. Metode Riset Metode riset yang akan peneliti lakukan untuk penulisan skripsi ini adalah metode riset dengan pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh berasal dari berbagai literatur dengan mengambil dari buku seperti Boeing vs Airbus karya Newman, jurnal terkait sengketa antara Airbus dengan Boeing, e-book, media massa baik itu cetak maupun elektronik serta sumber data yang diambil dari situs resmi WTO. Selanjutnya data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah secara kualitatif sesuai dengan permasalahan, tujuan serta landasan teori yang nantinya bisa ditarik kesimpulan. F. Struktur Penulisan Bab 1 menjelaskan latar belakang permasalahan sengketa antara Airbus dan Boeing di WTO dan mengapa hal ini penting untuk dibahas serta rumusan masalah. Teori yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah tersebut ialah Political Economy Theory of 7

Subsidy Agreements oleh Daniel Brou dan Michele Ruta serta Economic Theory of Dispute Settlement Institutions oleh Alexander Keck dan Simon Schropp Bab 2 memberikan deskripsi mengenai latar belakang Boeing dan Airbus. Dijelaskan pula peranan WTO dalam sengketa serta perjanjian terkait industri pesawat sipil dalam mengontrol subsidi. Dengan memberikan penjelasan mengenai latar belakang perusahaan dan perjanjian mengenai Industri pesawat sipil, bab ini berusaha untuk memberikan gambaran mengenai asal mula sengketa antara Airbus dengan Boeing. Bab 3 berisi analisis terkait sengketa subsidi antara Boeing dengan Airbus di WTO melalui dua teori yang telah dijabarkan di Bab 1. Di dalam bab 3 akan dijelaskan bagaimana sengketa antara Airbus dan Boeing dalam panel DSB. Dalam perkembangannya, penyelesaian sengketa di DSB ini ternyata mengalami berbagai kendala sehingga menyulitkan penyelesaian sengketa ini. Bab 4 berisi kesimpulan berdasarkan temuan-temuan dari pembahasan di bab sebelumnya. Yaitu sengketa dagang antara Boeing dan Airbus yang sedang diselesaikan di WTO mengalami kemandekan dikarenakan adanya campur tangan kepentingan politik dan ekonomi di masing-masing negara industri tersebut berasal. 8