BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada kulit atopik yang ditandai dengan rasa gatal, disebabkan oleh hiperaktivitas kulit (Bakhtiar, 2010). Dermatitis atopik secara klinis bermanifestasi sebagai lesi eksematosa dengan distribusi lesi yang khas, pruritus yang hebat, eritema, papulovesikular, dengan episode relaps yang berlangsung kronis, dan sering berhubungan dengan asma dan/atau rinitis (Charman C, 1999). Dermatitis atopik merupakan penyakit multifaktorial. Faktor genetik (intrinsik) dan lingkungan (ekstrinsik) merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis atopik (Bakhtiar, 2010). Faktor lingkungan merupakan pencetus predisposisi tersebut. Prevalensi dermatitis atopik meningkat secara substansial di berbagai negara pada dekade barubaru ini. Perubahan gaya hidup, nutrisi, dan faktor lingkungan berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi tersebut (Civelek et al., 2011). Prevalensi dermatitis atopik pada anak mengalami peningkatan tiga dekade terakhir ini, di negara-negara industri di 1
2 seluruh dunia. Prevalensi ini meningkat dari 5% menjadi 30% (Salehi et al., 2009). Prevalensi ini juga meningkat pada banyak negara berkembang di dunia (Simpson, 2012). Namun, prevalensi dermatitis tertinggi terjadi pada negara industri (Prescott SL dan King B, 2005; Leung DYM et al., 2008). Di Amerika, insiden dermatitis atopik sebesar 0,7%-2,4% dari populasi dan paling banyak terjadi pada bayi dan anak. Di Eropa, 10%-20% anak-anak dan remaja menderita dermatitis atopik (Kanchongkittiphon et al., 2015). Tahun 2000, ditemukan 23,67% kasus baru dermatitis atopik pada anak dari 611 kasus baru penyakit kulit lainnya di Indonesia (Bakhtiar, 2010). Dermatitis atopik berkembang pada tahun pertama kehidupan pada sekitar 50% penderitanya, dan sekitar 30% saat berumur 1-5 tahun (Kanchongkittiphon et al., 2015). Derajat keparahan dermatitis atopik sangat mempengaruhi kualitas hidup anak. DA menyebabkan morbiditas yang signifikan pada anak, seperti tidak hadir sekolah dan stres emosional (Civelek et al., 2011). Memiliki anak yang menderita DA juga mempengaruhi kualitas hidup keluarga (Simpson, 2012). Alergen makanan dapat menimbulkan alergi. Prevalensi alergi yang disebabkan oleh alergen makanan pada
3 populasi umum sebesar 1%-2%, dan 6% pada anak-anak. Salah satu alergen makanan yang dapat menyebabkan alergi adalah telur. Menurut meta-analysis terkini, prevalensi alergi telur pada anak adalah 0,5% 2,5% (Caubet dan Wang, 2011). Di Asia, telur menjadi alergen makanan kedua yang sering menyebabkan alergi setelah shellfish (9,1% vs 15,8). Di Indonesia, telur menjadi salah satu alergen makanan yang paling sering menyebabkan alergi selain kacang, ikan, shellfish, dan nasi (Boye, 2012). Protein pada putih telur yang dapat menyebabkan alergi adalah ovomucoid, ovalbumin, ovotransferin dan lysozyme, sementara pada kuning telur adalah alphalivetin, vitellenin dan apoprotein. Namun protein yang paling sering menimbulkan alergi lebih banyak terkandung dalam putih telur yaitu ovomucoid (OVM) dan ovalbumin (OVA)(Caubet dan Wang, 2011). Alergi telur erat hubungannya dengan dermatitis atopik, dan ditemukan pada 2/3 anak dengan tes oral food challenges (OFC) positif yang dilakukan untuk evaluasi DA. Risiko sensitisasi terhadap aeroalergen dan asma juga meningkat pada anak dengan alergi telur (Caubet dan Wang, 2011). Immunoglobin E (IgE) merupakan faktor terlarut
4 yang dapat ditemukan dalam serum atau plasma pasien, yang dapat menjadi simptom dari alergi. IgE merupakan molekul kunci yang dapat memediasi suatu alergi (hipersentivitas), yakni hipersensitivitas tipe I (Gusareva E et al., 2007). Alergi yang timbul merupakan akibat dari paparan suatu alergen yang diyakini akibat dari histamin (agen inflamasi) yang dikeluarkan oleh sel mast akibat terpicu oleh IgE (Thomas AE dan Platts- Mills, 2001). IgE yang bersirkulasi akan meningkat pada individu dengan penyakit atopik (asma, rinitis alergi dan dermatitis atopik)(oettgen HC dan Geha RS, 1999). Saat ini, total IgE spesifik telah diakui sebagai tanda yang signifikan pada individu dengan penyakit alergi. Penelitian mengenai dermatitis atopik dengan alergen telur maupun IgE spesifik alergen telur sudah banyak dilakukan. Namun pengukuran IgE spesifik menggunakan BioIC belum banyak dilakukan, sehingga dilakukanlah penelitian menggunakan BioIC ini. B.Rumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara sensitisasi imunoglobulin E (IgE) alergen telur dengan kejadian dermatitis atopik pada anak?
5 C.Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sensitisasi imunoglobulin E (IgE) alergen telur terhadap kejadian dermatitis atopik pada anak. D.Keaslian Penelitian Penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu yang hampir serupa dengan penelitian ini. Penelitian oleh Salehi et al.(2009) di Iran mendapatkan hasil bahwa alergen makanan yang paling sering pada ketiga kelompok umur (<2, 2-<6 dan 6-14 tahun) adalah telur. Terdapat dua hasil yang didapatkan dari pengukuran IgE spesifik telur yaitu, cut-off point dari IgE spesifik telur adalah 0,62 kua/l dan pada pasien dengan DA dan alergi telur, total serum IgE secara signifikan lebih tinggi daripada pasien DA tanpa alergi telur (p<0,01). Diagnosis DA pada subyek penelitian ini menggunakan kriteria Hanifin-Rajka (memenuhi 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor), sementara sensitisasi terhadap alergen dievaluasi menggunakan skin pricked test (SPT) dan pengukuran IgE spesifik dengan ImmunoCAP pada alergen telur, susu sapi, gandum, jagung dan kedelai.
6 Penelitian lain yang serupa adalah penelitian oleh Shakoor et al.,(2014) di Riyadh, Arab Saudi yang mendapatkan hasil bahwa dermatitis atopik merupakan kondisi klinis terbanyak pada subyek yang memiliki kadar IgE spesifik telur ayam (putih telur dan kuning telur) yang tinggi. Penelitian ini merupakan studi retrospektif. Data subyek dengan alergi didapatkan dari Rumah Sakit Universitas King Khalid, Thiyad, Arab Saudi. Lima ratus tujuh puluh delapan subyek dengan alergi kemudian diukur IgE spesifiknya dengan radioallergosorbent test (RAST) menggunakan ImmunoCAP 250. Persamaan kedua penelitian di atas dengan penelitian ini adalah subyek anak-anak dengan rentang umur yang hampir sama dan variabel penelitian yang juga hampir sama. Namun cara mengukur IgE spesifik alergen antara kedua penelitian terdahulu dengan penelitian ini berbeda. Kedua penelitian sebelumnya menggunakan ImmunoCAP, sementara pada penelitian ini menggunakan BioIC.
7 Tabel (1). Daftar penelitian penelitian sebelumnnya Penelitian (tahun) Desain Σ sampel Variabel bebas Variabel tergantung Cara pengukuran Hasil Salehi et al.,(2009) Cross sectional (84) IgE spesifik alergen telur Alergi telur pada pasien DA Diagnosis DA dengan kriteria Hanifin- Rajka (memenuhi 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor), skin prick test (SPTs) dan pengukuran IgE spesisifk dengan ImmunoCAP pada alergen telur, susu sapi, gandum, jagung dan kedelai Alergen makanan yang paling sering pada ketiga kelompok usia adalah telur. Cut-off point dari IgE spesifik alergen telur adalah 0,62 kua/l. Pada pasien dengan DA dan alergi telur, total serum IgE lebih tinggi daripada pasien DA tanpa alergi telur (p<0,01) Shakoor et al.,(2014) Retrospektif (578) Antibodi IgE spesifik pada telur ayam dan daging ayam. Kejadian alergi(simtom pencernaan, urtikaria, dermatitis atopik, asma dan rinitis alergi) Pengukuran IgE spesifik dengan radioallergosorbent test (RAST) menggunakan Pharmacia ImmunoCAP 250 Dermatitis atopik merupakan kondisi klinis terbanyak pada subyek dan memiliki kadar IgE spesifik telur ayam yang tinggi.
8 E.Manfaat Penelitian Pasien Pasien mendapatkan informasi mengenai hubungan IgE positif pada alergen telur terhadap kejadian dermatitis atopik khususnya pada pasien anak-anak. Sehingga informasi ini dapat digunakan untuk melakukan pencegahan dan penanganan terhadap dermatitis atopik. Institusi Penelitian ini menyediakan informasi berupa data statistik mengenai hubungan IgE positif pada alergen telur terhadap kejadian dermatitis atopik pada anak, sehingga penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini. Peneliti Penelitian ini memberikan informasi kepada Peneliti mengenai mengenai hubungan IgE positif pada alergen telur terhadap kejadian dermatitis atopik pada anak, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan ketika melakukan edukasi terhadap pasien ketika telah menjadi dokter kelak dan dengan penelitian ini, Peneliti mendapatkan pengalaman dan pembelajaran mengenai bagaimana melakukan suatu penelitian.