BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. A. Latar belakang permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

Bab I. Pendahuluan. muncul adalah orang yang beragama Hindu. Dan identitasnya seringkali terhubung

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Bandung, 1999, hlm 30

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN A. MASALAH. A.1. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 M.M. Srisetyati Haryadi, PengantarAgronomi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, p

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Bab I PENDAHULUAN. Perubahan tersebut juga berimbas kepada Gereja. Menurut Tata Gereja GKJ, Gereja adalah

PEMAHAMAN MAKNA LITURGI (Studi Mengenai Makna Warna-warna Liturgis dalam Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan Bali/GKPB)

Bab I Pendahuluan. A. Permasalahan. A.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang Permasalahan. Gereja Kristen Protestan di Bali, yang dalam penulisan ini selanjutnya disebut

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasahan. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ada sebagian kecil orang yang memilih untuk hidup sendiri, seperti Rasul Paulus

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1 Chris Hartono, Mandiri dan Kemandirian, dalam Majalah Gema STT Duta Wacana, Maret 1983, p. 46.

Bab I Pendahuluan UKDW

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. golongan, bangsa, dan kesukuan. Hal ini kedudukannya sama dengan masingmasing

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan

3.2. GKPB jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi baik itu organisasi profit. maupun non profit memiliki kebijakan mutasi.

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Y, Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

ANGGARAN RUMAH TANGGA

BAB I. Pendahuluan Latar Belakang Kajian

BAB I KONDISI DESA BLIMBINGSARI

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN BANJAR DINAS DALAM DESA DAN LINGKUNGAN DALAM KELURAHAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

UKDW. Bab I. Pendahuluan

BAB I P E N D A H U L U A N. menghargai orang yang menderita itu. Salah satunya dengan memanfaatkan metodemetode konseling dari ilmu psikologi.

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. hal.1. 1 Dalam artikel yang ditulis oleh Pdt. Yahya Wijaya, PhD yang berjudul Musik Gereja dan Budaya Populer,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dra.Ny.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988 hal. 82

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

REDESAIN GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI BALI (GKPB) JEMAAT PHILIA DI AMLAPURA

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang

BAB V PENUTUP. Pada bab ini dipaparkan tentang (1) kesimpulan dan (2) saran :

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN. GPIB, 1995 p. 154 dst 4 Tata Gereja GPIB merupakan peraturan gereja, susunan (struktur) gereja atau sistem gereja yang ditetapkan

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB BAB I NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN

BAB I PENDAHULUAN. Anastasia Jessica Putri Larasati

KARANG MEMADU DESA PENGLIPURAN, TRADISI YANG MASIH TERJAGA. Yulia Ardiani (Staff UPT. Puskom ISI Denpasar)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. 1 Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan dan Peraturan Majelis Agung Tentang Badan-badan Pembantu

UKDW. Bab I Pendahuluan

I.1. PERMASALAHAN I.1.1.

1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jubelando O Tambunan, 2013

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

Dalam rangka mewujudkan kehidupan bergereja yang lebih baik, GKJ Krapyak mempunyai strategi pelayanan kemajelisan sebagai berikut :

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DABRAH TINGKAT I BALI TE NTAN G. Menimbang i a. NOMOR : 99 TAHUN : 1990 SERI : D NO.99

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB V : KEPEMIMPINAN GEREJAWI

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin rentan sistem tersebut untuk terlibat konflik. Oleh sebab itu, saat ini semakin

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. 1.1.a Pengertian Emeritasi Secara Umum

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta sebagai Runggun dan termasuk di dalam lingkup Klasis Jakarta-Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. 1. Latar Belakang Masalah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG Nomor : 16 Tahun1982 Seri D Nomor :16

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Desa pakraman, yang lebih sering dikenal dengan sebutan desa adat di Bali lahir dari tuntutan manusia sebagai mahluk sosial yang tidak mampu hidup sendiri. Secara historis belum dapat ditemukan sejak kapan terbentuknya desa adat di Bali. Ada yang menduga desa adat ada di Bali sejak zaman neolitikum, yaitu pada saat manusia telah memiliki pola pemukiman menetap dengan budaya bercocok tanam. Desa adat ini erat hubungannya dengan pola religius yang dianut oleh kelompok tersebut dalam hal ini agama Hindu. Konsep desa adat tidak dapat lepas dari bentuk-bentuk upacara dan kegiatan ritual lainnya. Masyarakat yang tinggal di desa adat hidup secara otonom dan diikat oleh aturan adat dikepalai oleh seorang bendesa adat atau kelian adat. Tiap tiap desa terdiri atas satu Banjar atau lebih yang dikepalai oleh kelian banjar. Komunitas desa sebagai sebuah unit masyarakat mempunyai ikatan sosial yang cukup kuat. Setiap anggota masyarakat (warga desa) harus tunduk pada awigawig desa (undang-undang desa) yang mencakup seluruh aspek kehidupan secara komunal antara lain hak dan kewajiban serta sangsi-sangsi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok di daerah tersebut dan juga hal hal yang menyangkut soal upacara desa, kematian, perkawinan, dan lain sebagainya. Desa adat Abianbase adalah salah satu dari desa adat (pakraman) yang ada di Bali. Desa adat Abianbase berada di wilayah desa Abianbase, kelurahan Abianbase, kecamatan Mengwi, daerah tingkat II Badung, propinsi Daerah Tingkat I Bali. Wilayah ini memiliki dua desa adat yaitu desa adat Hindu dan desa adat Kristen. Pesamuan adat Abianbase adalah desa adat kristen yang terdiri dari enam wilayah yaitu Semate-Gaduh, Tangkasan-Dangin Yeh,Dauh Jalan, Dajan Rurung, Delod Rurung, dan Dalang. 1 Masing-masing desa adat di Bali memiliki awig-awig yang mengatur berbagai macam hal yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakatnya, salah satunya adalah upacara perkawinan adat. Seperti halnya desa adat yang lain, awig-awig pesamuan adat Abianbase mengatur perkawinan anggotanya. Perkawinan yang dilakukan oleh orang Bali tidak lepas dari sebuah tradisi yang berkembang secara turun-temurun, perkawinan dipahami bukan sebatas menyatukan dua orang saja melainkan sebuah bentuk upacara yang 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, 2001. p.1

melibatkan seluruh anggota masyarakat yang ada dalam komunitas desa adat. Perkawinan bagi orang Bali Kristen juga hal yang penting, oleh karena orang Bali Kristen juga memiliki latar belakang budaya Bali maka dalam proses perkawinannya pun mereka tidak lepas dari pengaruh tradisi yang terdahulu, sehingga tidak heran jika dalam proses perkawinan ada beberapa hal yang mereka gunakan dan ada juga yang mereka hilangkan karena dianggap tidak sesuai dengan iman kristen. Awig-awig pesamuan adat Abianbase merupakan aturan yang dibuat oleh jemaat GKPB jemaat Galang Ning Hyang, Abianbase. Awig-awig ini baru ada dan berlaku hanya di lingkungan gereja GKPB jemaat Galang Ning Hyang, Abianbase. Menurut Pendeta jemaat GKPB Galang Ning Hyang, awig-awig ini ada karena latar belakang anggota jemaat yang sebagian besar berasal dari agama Hindu. 2 Selain itu Gereja dan anggota jemaat Galang Ning Hyang, Abianbase berada di tengah-tengah masyarakat yang menganut agama Hindu membuat anggota GKPB jemaat Galang Ning Hyang Abianbase merasa membutuhkan awig-awig yang mengatur kehidupan mereka secara adat. Sedangkan dalam hubungan di banjar masing-masing anggota pesamuan adat Abianbase turut aktif sebagai krama banjar, namun hanya sebatas kegiatan sosial dan kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan. Sedangkan hal yang berhubungan dengan kegiatan upacara, anggota jemaat Galang Ning Hyang ikut dalam Pesamuan Adat GKPB jemaat Galang Ning Hyang. Menurut penulis hal ini menarik dan menimbulkan pertanyaan apakah jika Jemaat GKPB Galang Ning Hyang tidak memiliki desa adat, mereka tidak dapat diterima oleh kelompok masyarakat yang lain? Mengapa dalam upacara perkawinan di kalangan masyarakat Bali-Kristen Abianbase adat masih tetap kuat dipertahankan? 1.1.2. Rumusan Masalah Desa adat Abianbase memiliki awig-awig yang hanya berlaku untuk anggota pesamuan adat Abianbase saja. Sama seperti konsep adat di Bali, awig-awig yang berlaku di pesamuan adat Abianbase juga memiliki otoritas dalam mengatur kehidupan anggotannya, antara lain dalam hal perkawinan. Perkawinan bagi orang Bali merupakan saat yang amat penting dalam kehidupan seseorang, karena pada saat itulah ia dianggap sebagai warga penuh dari masyarakatnya. Baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat. 3 Awig-awig pesamuan adat Abianbase juga berisi aturan tata cara dan pelaksanaan upacara perkawinan adat dengan seorang Kelihan adat sebagai penanggungjawab kelancaran dari 2 Wawancara dengan Pdt. Drs. Wayan Sudira Husada, MM. Tanggal 9 mei 2005 3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pandangan terhadap upacara perkawinan adat di kota Denpasar, (Jakarta:1998), p. 27

perkawinan. Upacara perkawinan,yang dilakukan oleh Jemaat Galang Ning Hyang sesuai dengan tata Gereja Sinode GKPB, dengan terlebih dahulu melaksanakan percakapan gerejawi dengan Pendeta dan Majelis jemaat. Keberadaan awig-awig ini memiliki pengaruh yang besar di dalam kehidupan Jemaat GKPB Galang Ning Hyang khususnya dalam hal perkawinan dan kematian. Gereja menempatkan Pesamuan adat ini dalam komisi yang mengatur perihal yang berhubungan dengan adat. Awigawig Pesamuan Adat merupakan peraturan yang dibuat oleh Jemaat dan hanya dimiliki GKPB jemaat Galang Ning Hyang sehingga tiap-tiap individu di dalamnya harus tunduk kepada awigawig tersebut. Jika seseorang melanggar aturan di dalam awig-awig, maka ia akan mendapatkan sangsi dari desa adat. Lalu bagaimana dengan awig-awig perkawinan, apa sangsinya bila upacara perkawinan adat tidak dilaksanakan dengan benar? atau bila ada salah satu unsurnya yang dilewatkan? Terlebih lagi jemaat GKPB Galang Ning Hyang mempunyai dua konteks yaitu konteks desa adat Hindu dan Kristen maka terkait dengan hal awig-awig perkawinan penulis terdorong untuk mempertanyakan apa yang menjadi latar belakang jemaat hingga mereka sangat membutuhkan desa adat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis melihat persamaan dan perbedaan dalam awig-awig perkawinan adat Bali Hindu dengan awig-awig perkawinan adat Bali Kristen. 1.2. Alasan Pemilihan Judul 1.2.1. Rumusan Judul Awig-awig Pesamuan Adat GKPB Galang Ning Hyang Abianbase: Studi Komparasi Awig-awig Perkawinan GKPB Galang Ning Hyang dengan Awig-awig Perkawinan Adat Hindu-Bali 1.2.2. Alasan Pemilihan Judul Ada tiga alasan mengapa penulis tertarik menggumuli masalah ini : 1. Menarik Awig-awig berfungsi sebagai aturan yang sifatnya mengikat krama desa (anggota) yang tinggal didalamnya, aturan itu mencakup seluruh aspek kehidupan. GKPB jemaat Galang Ning Hyang Abianbase merupakan satu jemaat yang memiliki awig-awig yang fungsinya sama dengan yang dimiliki oleh orang Bali Hindu. 2. Aktual

Perkawinan merupakan hal yang penting bagi orang Bali, untuk itu penulis membandingkan awig-awig perkawinan yang berlaku di wilayah Badung utara. Dengan begitu penulis dapat mengetahui mengapa GKPB Galang Ning Hyang membutuhkan desa adat. Karena saat ini generasi muda GKPB Galang Ning Hyang cenderung melaksanakan berdasarkan kebiasaan. Dalam lingkungan Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, belum pernah ada yang menulis topik masalah ini. 3. Bermanfaat Penulis melihat dengan adanya awig-awig pesamuan adat didalam kehidupan berjemaat di GKPB Galang Ning Hyang memberikan masukan baru dalam melaksanakan persekutuan. Nilai-nilai budaya menjadi salah satu hal pendukung kegiatan gerejawi. 1.3. Metode Penulisan Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis berusaha untuk melakukan pendekatan deskriptif-analitis. Dengan metode pengumpulan data dari buku, wawancara kepada Pendeta jemaat, Kelian adat dan literatur lainnya yang dapat mendukung penyusunan skripsi ini. 1.4. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Mengungkapkan permasalahan, alasan pemilihan judul, metode dan sistimatika penulisan BAB II AWIG-AWIG PERKAWINAN ADAT BALI Bagian ini akan memaparkan secara umum budaya Bali yang relevan dengan topik bahasan penulis, termasuk didalamnya sistem kekerabatan, sistem kemasyarakatan orang Bali. Bagian ini juga akan memaparkan pemahaman dan proses perkawinan adat Bali yang berlaku di daerah Badung utara, dan Cara pandang (world view) mereka yang tercermin dalam pandangan mereka tentang Tuhan, manusia dan alam semesta. BAB III AWIG-AWIG PERKAWINAN PESAMUAN ADAT GKPB JEMAAT GALANG NING HYANG ABIANBASE. Bagian ini akan memaparkan sejarah dan perkembangan Gereja GKPB jemaat Galang Ning Hyang Abianbase, Mengwi, Badung-Bali. Bagian ini juga akan memaparkan isi dan proses upacara perkawinan menurut awig-awig perkawinan Pesamuan adat Jemaat GKPB Abianbase.

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN AWIG-AWIG PERKAWINAN HINDU BALI DENGAN PESAMUAN ADAT GKPB GALANG NING HYANG. Mengungkapkan proses pertemuan antara aturan perkawinan yang ada dalam awig-awig pesamuan adat Abianbase dengan Gereja, melalui persamaan dan perbedaan yang ada. Bagaimana Gereja menyikapi adat sebagai bagian di dalam kehidupan berjemaat. BAB IV PENUTUP. Bab ini merupakan kesimpulan dari keseluruhan skripsi ini. Penulis juga memberikan saran dan sumbangan pemikiran dari hasil analisa untuk kehidupan berjemaat di GKPB jemaat Galang Ning Hyang Abianbase.