HASIL DAN PEMBAHASAN. A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.)

dokumen-dokumen yang mirip
METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Alumni Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor ABSTRACT

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian J. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XX No. 1 Th. 2009

HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong

PENDAHULUAN. Sumber utama karbohidrat, diantaranya adalah serealia (contoh gandum, jagung,

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

TINJAUAN PUSTAKA. setelah dikupas dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas.

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan. Secara alami pati ditemukan dalam bentuk butiran-butiran yang

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Pati ubi kayu (tapioka)

HASIL DAN PEMBAHASAN. pengolahan, penanganan dan penyimpanan (Khalil, 1999 dalam Retnani dkk, 2011).

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

PENYIAPAN DAN KARAKTERISASI PATI NANOKRISTALIN DARI SAGU DAN TAPIOKA KARTIKA WULANDARI

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

Gambar 1. Tanaman garut

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

3 METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

MODIFIKASI PATI GARUT

BAB I PENDAHULUAN. penderitanya mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

5.1 Total Bakteri Probiotik

III. METODOLOGI PENELITIAN

Kata kunci : rimpang garut, pati garut, umur panen, industri pangan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

BAB I PENDAHULUAN. glukosa. Unit-unit fruktosa dalam inulin dihubungkan oleh ikatan β-(2 1)-Dfruktosil-fruktosa

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka termasuk industri hilir, di mana industri ini melakukan proses pengolahan

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG LABU KUNING (Cucurbita moschata)

Seminar Nasional Hasil Penelitian, 2016

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

PRODUKSI DEKSTRIN DARI UBI JALAR ASAL PONTIANAK SECARA ENZIMATIS

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN DAYA CERNA PROTEIN IN VITRO DAN PENGUKURAN DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

DISERTASI. Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Doktor di Program Doktor Ilmu Pertanian

III. METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Pilot. Plant, dan Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung.

VARIETAS UNGGUL UBIKAYU UNTUK BAHAN PANGAN DAN BAHAN INDUSTRI

PRODUKSI PATI ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN PATI SAGU NANOKRISTALIN YUNITA SAUYANA

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.) Umbi garut yang digunakan dalam penelitian ini berumur sekitar 10 bulan ketika dipanen. Kandungan pati maksimum adalah pada saat umbi garut berusia 12 bulan namun kekurangannya adalah umbi banyak mengandung serat sehingga pati sulit untuk diekstrak (Lingga et al. 1989). Umbi garut yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pati garut umumnya berumur 8-11 bulan. Kultivar umbi garut yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultivar creole, yang memiliki kadar pati lebih tinggi dibandingkan kultivar banana, sehingga lebih baik untuk diekstrak patinya. Umbi garut kultivar creole mengandung 21.7 gram pati dalam 100 gram umbi garut, sementara kultivar banana mengandung 19.4% pati (Kay 1987). Pati dibuat melalui tahapan proses pengupasan, pencucian, perendaman, ekstraksi, pengendapan, pengeringan, penggilingan, pengayakan. Proses pengupasan bertujuan untuk menghilangkan bagian-bagian seperti akar, kulit, dan juga kotoran yang melekat pada umbi. Proses pengupasan bersamaan dengan proses pencucian karena proses pencucian dengan air memudahkan pengupasan. Tahap pencucian pun bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran yang mungkin masih menempel pada umbi. Setelah itu dilanjutkan dengan perendaman selama 1 jam yang bertujuan untuk melunakkan jaringan umbi agar memudahkan pemarutan. Jumlah air yang digunakan untuk merendam sedemikian rupa sehingga seluruh bagian umbi terendam. Tahap pemarutan dilakukan dengan menggunakan mesin pemarut (rasper). Tujuan pemarutan adalah untuk merusak jaringan dan memperluas permukaan umbi sehingga pati dapat keluar dan proses ekstraksi pati dengan air optimal. Proses pemarutan juga dilakukan dengan penambahan air untuk memberikan tekanan pada parutan agar pati dapat keluar dari jaringannya dan menyempurnakan kerusakan jaringan umbi. Kemudian dilakukan proses ekstraksi yaitu pemisahan pati dari ampasnya dengan menggunakan air. Proses ekstraksi dilakukan dengan perendaman dalam air berlebih dengan perbandingan bahan dan air adalah 1 : 3.5 (b/v). Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan 36

vibrating screen. Saat ekstraksi akan terpisah antara cairan (suspensi pati) dan ampas. Selanjutnya dilakukan ekstraksi kembali terhadap ampas yang diperoleh dari proses pemisahan, sebanyak dua kali dengan rasio penambahan air 1 : 3.5 (b/v).. Suspensi pati selanjutnya diendapkan selama 12 jam. Pati merupakan molekul yang memiliki bobot molekul yang sangat besar sehingga lebih mudah mengendap dibandingkan molekul-molekul lainnya seperti protein, lemak, dan gula-gula yang lebih sederhana. Setelah pati mengendap, air pada bagian atas dialirkan keluar bak penampung hingga yang tersisa hanya bagian pati basah. Pengeringan pati basah dilakukan dengan menggunakan oven pengering bersuhu 55 o C selama 6 jam atau hingga kadar air sekitar 10-12%. Pati yang berbentuk bongkahan tidak seragam selanjutnya digiling untuk mengecilkann ukuran dengan menggunakan disc mill sekaligus dilakukan proses pengayakann pati dengan ayakan 80 mesh agar didapatkan ukuran pati yang seragam. Pati garut yang telah diayak tersebut selanjutnya digunakan untuk pembuatan pati modifikasi. Rendemen pati dihitung berdasarkan perbandingan berat pati yang telah dikeringkan terhadap umbi yang sudah dibersihkan kulitnya, yaitu sebesar 15.69% (Tabel 3).. Rendemen pati pada penelitian ini lebih kecil dari optimasi rendemen pati umbi garut yang dapat diekstrak yaitu sekitar 19 21% (Utami 2008). Hal ini disebabkan umbi garut yang digunakan masih muda berumur 10 bulan sehingga belum mencapai kandungan pati maksimum. Gambar 9 dan Tabel 3 masing-masing menunjukkan pati garut hasil ekstraksi dan rendemen pati dari umbi garut. PATI GARUT Gambar 9. Pati garut hasil ekstraksi. 37

Tabel 3. Rendemen pati dari umbi garut. Umbi garut (kg) Umbi garut setelah dikupas (kg) Pati garut (kg) Rendemen pati (%) 67.3 63.1 9.9 15.69 B. PEMBUATAN PATI GARUT TERMODIFIKASI UNTUK MENGHASILKAN PATI RESISTEN TIPE 3 Pembuatan pati modifikasi diawali dengan perlakuan pendahuluan yaitu hidrolisis pati dengan asam (lintnerisasi). Proses hidrolisis pati bertujuan untuk mengurangi bobot molekul pati sehingga dihasilkan lebih banyak hidrolisat berupa polimer rantai linear yang berbobot molekul lebih rendah. Perlakuan dengan asam menyebabkan pemutusan rantai amilosa dan juga pada sebagian rantai linear amilopektin yang berakibat meningkatnya kandungan amilosa (Saguilan et al. 2005). Asam yang digunakan adalah asam yang tergolong asam kuat, yaitu asam klorida. Asam kuat dipilih karena kemampuannya lebih besar untuk memutus ikatan pada rantai pati dibandingkan dengan asam lemah. Rendemen hasil proses hidrolisis pati berkisar antara 82-93%, seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rendemen proses hidrolisis pati. Perlakuan konsentrasi 1,1 N 2,2 N Waktu hidrolisis (jam) Berat pati awal (gram) Berat pati kering setelah hidrolisis (gram) Rendemen proses hidrolisis (%) 2 20 16.45 82.25 4 20 17.05 85.25 6 20 18.75 93.75 2 20 16.56 82.80 4 20 17.10 85.50 6 20 17.69 88.45 Rendemen proses ini cukup tinggi karena proses hidrolisis asam yang dilakukan merupakan hidrolisis asam sebagian (suhu proses hidrolisis di bawah suhu gelatinisasi pati). Jika hidrolisis dilakukan sempurna akan menghasilkan 38

gula-gula sederhana yang dapat larut dalam air. Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa hidrolisis asam selama 2 jam (konsentrasi HCl 1.1 N dan 2.2 N) menghasilkan rendemen pati yang tidak berbeda, yaitu secara berturut-turut 82.25 dan 82.80%. Begitu pula yang terjadi pada proses hidrolisis asam 4 jam. Hidrolisis asam selama 4 jam (konsentrasi HCl 1.1 N dan 2.2 N) menghasilkan rendemen pati secara berturut-turut, yaitu 85.25 dan 85.50%. Namun hidrolisis asam selama 6 jam menghasilkan rendemen pati yang cukup berbeda, yaitu secara berturut-turut 93.75 dan 88.45%. Tujuan utama dari hidrolisis pati dengan asam adalah untuk meningkatkan fraksi amilosa rantai pendek pada pati. Hidrolisis pati dengan asam akan lebih mudah memutus rantai pada bagian amorfous daripada kristalin karena daerah amorfous tersusun lebih renggang sedangkan daerah kristalin lebih rapat. Hal ini didukung oleh pernyataan Vasanthan dan Bhatty (1998) bahwa asam (HCl 2.2 N) lebih cenderung menghidrolisis rantai pati pada daerah amorfous dari granula pati native. Bagian amorfous yang tersusun atas titik percabangan (ikatan α-d-1,6) dari amilopektin mudah mengalami hidrolisis asam (Wurzburg 1989). Terputusnya titik percabangan dari rantai molekul amilopektin (fraksi bercabang) pada daerah amorfous mengakibatkan meningkatnya fraksi linear pati (amilosa) rantai pendek. Dengan demikian, selama tahap awal perlakuan asam terhadap pati, hidrolisis dapat terjadi atau dekat dengan titik percabangan amilopektin, yang dapat menghasilkan peningkatan fraksi linear rantai pendek pada hidrolisat pati. Oleh karena itu hidrolisis asam akan lebih mudah memutus rantai pada bagian amorfous daripada kristalin dan meningkatkan fraksi linear rantai pendek pada pati. Perbedaan jenis pati mempengaruhi perbedaan kerentanan terhadap hidrolisis asam. Perbedaan ini dapat berhubungan dengan penyebaran titik percabangan α-1,6 (amilopektin) antara daerah amorfous dan kristalin (Gunaratne dan Hoover 2002). Pati dari umbi-umbian umumnya tergolong pati tipe B, dimana titik percabangan α-1,6 terutama terletak pada daerah amorfous sehingga sangat rentan terhadap serangan hidrolisis asam. Sementara pati dari serealia tergolong pati tipe A, titik percabangan α-1,6 terutama terletak pada daerah kristalin sehingga tahan terhadap hidrolisis oleh asam (Gunaratne dan 39

Hoover 2002). Hal ini menunjukkan bahwa hidrolisis asam terhadap pati garut diduga memungkinkan adanya peningkatan kandungan fraksi linear (amilosa) rantai pendek dari hasil pemutusan titik percabangan rantai amilopektin pada daerah amorfous pati. Proses modifikasi fisik terdiri atas dua tahap yaitu gelatinisasi dan retrogradasi. Konsentrasi pati yang akan digelatinisasi yaitu 1:5 atau 20% (b/v). Konsentrasi ini dipilih karena mengacu pada penelitian Lehmann et al. (2002), yang menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi pati dari 10% menjadi 20% dapat meningkatkan kandungan pati resisten pada pisang secara signifikan. Hal ini diperkuat oleh Sievert dan Pomeranz (1989) diacu dalam Sajilata et al (2006) yang menyatakan bahwa kandungan RS maksimum dapat diperoleh dengan rasio pati : air sebesar 1 : 3.5 (b/v). Selanjutnya pati yang telah tergelatinisasi didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam dan disimpan pada suhu 4 o C selama 24 jam untuk memicu terjadinya retrogradasi. Gel pati tergelatinisasi yang didiamkan beberapa lama pada suhu yang lebih rendah mengakibatkan terjadinya perluasan daerah kristal sehingga struktur gel mengalami pengerutan yang biasanya diikuti dengan keluarnya air dari gel (sineresis). Bila pati didinginkan, energi kinetik tidak cukup tinggi untuk mencegah kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk berikatan satu sama lain. Dengan demikian terjadi semacam jaringjaring yang membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno 2008). Pemilihan suhu dan waktu penyimpanan tersebut mengacu pada penelitian yang dilakukan Lehmann et al. (2003). Menurut Lehmann et al. (2003), kandungan pati resisten dari gel pati pisang (Musa acuminata) yang disimpan pada suhu 4 (suhu refrigerator) dan 25 o C (suhu ruang) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun suhu 4 o C dipilih pada penelitian ini karena alasan mikrobiologi. Suhu 4 o C merupakan suhu yang cukup aman dari bahaya mikrobiologi untuk penyimpanan sampel pangan dengan a w tinggi karena berada di bawah danger zone (5 63 o C). Tabel 5 menyajikan rendemen hasil proses modifikasi fisik. 40

Tabel 5. Rendemen proses modifikasi fisik (3 siklus autoclaving-cooling) setelah proses hidrolisis asam. Perlakuan konsentrasi 1,1 N 2,2 N Waktu hidrolisis (jam) Bobot awal pati (gram) Bobot pati modifikasi (gram) Rendemen proses modifikasi fisik (%) 2 15.80 3.60 22.78 4 14.90 6.03 40.44 6 12.90 6.88 53.36 2 9.20 3.71 40.31 4 13.60 3.40 25.02 6 13.90 7.09 51.04 Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa rendemen proses modifikasi fisik berkisar antara 22 54% atau rata-rata 38.82%. Hasil ini lebih rendah dari hasil penelitian Pratiwi (2008) yang menyatakan rendemen pati garut termodifikasi secara fisik pada perlakuan yang sama dengan penelitian ini, yaitu sebesar 70.58%. Hal ini dikarenakan perbedaan metode pengeringan pati termodifikasi secara fisik tersebut. Penelitian ini menggunakan oven pengering sedangkan Pratiwi (2008) menggunakan drum dryer. Pengeringan dengan oven pengering menghasilkan pati kering berbentuk kristal-kristal yang keras sehingga sulit untuk digiling (dijadikan tepung). Hal ini yang menyebabkan rendemen menjadi lebih kecil. Namun pati hasil pengeringan dengan oven pengering menghasilkan daya cerna pati yang lebih rendah daripada pati hasil pengeringan dengan drum dryer. Proses hidrolisis asam mengakibatkan meningkatnya fraksi amilosa rantai pendek, sehingga akan memudahkan pati mengalami retrogradasi saat dilakukan proses siklus autoclaving-cooling. Retrogradasi mudah terjadi pada sebagian fraksi amilosa (rantai pendek) sebagai struktur linear yang memfasilitasi ikatan silang dengan adanya ikatan hidrogen. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen (Sajilata et al. 2006). Retrogradasi amilosa akan sangat resisten terhadap amilolisis (Ring et al. 1988 diacu dalam 41

Sajilata et al. 2006) sehingga diharapkan akan meningkatkan kandungan pati resisten dari pati tersebut. Perlakuan panas dengan autoclaving dan penambahan air dapat menyebabkan ekspansi matriks pati dan gelatinisasi granula. Selama proses pendinginan setelah autoclaving, sebagian fragmen yang terlarut akan menyatu kembali membentuk lapisan kaku dan kuat pada permukaan granula. (Raja dan Shindu 2000). Saat siklus autoclaving-cooling, terjadi penyusunan ulang molekul-molekul pati antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin yang berakibat pada penguatan ikatan pada pati (Shin 2004). Reasosiasi tersebut membentuk gel yang sangat kaku pada permukaan granula, yang berubah menjadi semakin keras setelah didinginkan. Hal ini dikarenakan fragmen amilosa saling dihubungkan dengan ikatan hidrogen, menyebar lebih dari satu kristalit (Le Lay dan Darmas 1998 diacu dalam Raja dan Shindu 2000). Fakta ini yang menyebabkan terjadinya penurunan kerentanan pati terhadap serangan enzim-enzim pencernaan sehingga pati semakin sulit untuk dicerna akibat perlakuan autoclaving-cooling. Menurut Mahadevamma et al. (2003), kadar pati resisten dapat ditingkatkan melalui autoclaving-cooling berulang. Menurut Pratiwi (2008), perlakuan modifikasi fisik dengan 3 siklus dapat meningkatkan kadar pati resisten tipe 3 hingga hampir 6 kali lipat. Vasanthan dan Bhatty (1998) menyatakan bahwa kandungan pati resisten tipe 3 dapat ditingkatkan dengan memanaskan dan mendinginkan secara berulang pati yang telah tergelatinisasi, dan proses sebanyak 3 siklus menghasilkan kandungan pati resisten yang paling tinggi. Kandungan RS tipe 3 jagung amylomaize dan kacang tanah masing-masing meningkat dari 9% menjadi sekitar 19% dan 8% menjadi 14% akibat proses annealing sebanyak 3 siklus pada suhu 100 o C (Vasanthan dan Bhatty 1998). Saguillan et al. (2005) dapat menghasilkan pati resisten pada pati pisang 8 kali lipat lebih besar setelah mengalami autoclaving-cooling sebanyak 3 siklus. Oleh karena itu, perlakuan pati yang telah dihidrolisis oleh asam dikombinasikan dengan modifikasi fisik (autoclaving-cooling sebanyak 3 siklus). 42

Proses pengeringan hasil modifikasi fisik dilakukan menggunakan oven pengering bersuhu 50 o C. Tabel 6 menunjukkan rendemen dari keseluruhan proses modifikasi yang dilakukan. Proses modifikasi asam menghasilkan rendemen pati 64.18%, modifikasi fisik menghasilkan rendemen pati 48.09%, dan kombinasi modifikasi asam-fisik menghasilkan rendemen pati 35.72%. Tabel 6. Rendemen keseluruhan proses modifikasi pati. Perlakuan modifikasi Bobot awal pati (gram) Bobot pati modifikasi (gram) Rendemen (%) Asam 50 32.09 64.18 Fisik 100 48.09 48.09 Asam-Fisik 100 35.72 35.72 C. DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO Daya cerna pati dijadikan parameter awal karena pati modifikasi dengan daya cerna lebih rendah kemungkinan memiliki kandungan pati resisten yang lebih tinggi. Asumsi ini didasarkan atas definisi pati resisten yang merupakan sejumlah pati maupun hasil degradasi pati yang tidak terserap pada usus halus individu yang sehat dikarenakan sifat keresistenannya terhadap pencernaan enzim (Asp 1992). Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih kecil (Muchtadi 1989). Uji daya cerna pati dilakukan untuk menentukan proses hidrolisis pati yang terpilih. Daya cerna pati dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni (soluble starch). Pati murni diasumsikan dapat tercerna sempurna dalam sistem saluran pencernaan. Perlakuan kombinasi hidrolisis asam dan modifikasi fisik yang menghasilkan daya cerna pati terendah akan dianalisis lebih lanjut sifat kimianya. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa daya cerna pati (Lampiran 1) sampel pati garut sebesar 84.35%. Pati garut native yang mengalami hidrolisis HCl 1.1 N selama 2, 4, 6 jam disertai perlakuan modifikasi fisik (siklus autoclaving-cooling) memiliki daya cerna secara berturut-turut yaitu 32.13, 48.37, dan 55.69% pati. Sedangkan daya cerna pati garut yang dihidrolisis HCl 2.2 N selama 2, 4, 6 jam disertai dengan perlakuan 43

modifikasi fisik (panas) pula secara berturut-turut adalah 22.04, 25.41, dan 31.40% pati. Pati garut yang tidak mengalami hidrolisis HCl (hanya mengalami perlakuan modifikasi fisik) memiliki daya cerna pati yang relatif lebih tinggi (48.45%) jika dibandingkan dengan pati garut yang mengalami proses hidrolisis asam terlebih dahulu. Hasil pengukuran daya cerna pati sampel pati garut dan pati modifikasi disajikan pada Gambar 10. Daya Cerna Pati (%) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 84..35 + 0..20 f 48.45 + 0.84 d 32.13 + 0.10 c PG PGF PGHF 1.1/2 48.37 + 0.48 d PGHF 1.1/4 PGHF 1.1/6 55.69 + 0.42 e 25.41 + 22.04 + 0.02 b 0.43 a PGHF 2.2/2 PGHF 2.2/4 PGHF 2.2/6 31.40 + 0.54 c Ket : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilaii yang tidak berbeda nyata (P>0.05) (Lampiran 2). PG: Pati Garut native; PGF: Pati Garut dengan Modifikasi Fisik (tanpa hidrolisis); PGHF : Pati Garut dengan Hidrolisis-Modifikasi Fisik. Gambar 10. Daya cerna pati garut dan pati modifikasi. Berdasarkan Gambar 10 terlihat bahwa pati yang mengalami proses modifikasi (perlakuan hidrolisis asam dan modifikasi fisik, melalui siklus autoclaving-cooling) mengalami penurunan daya cerna pati. Adanya penurunan daya cerna pati disebabkan oleh : (1) proses hidrolisis dengan asam dapat meningkatkan jumlah fraksi amilosa berbobot molekul rendah. Bertambahnya fraksi amilosa rantai pendek akan memudahkan pati mengalami retrogradasi saat dilakukan proses siklus autoclaving-cooling. Retrogradasi mudah terjadi pada sebagian rantai amilosa sebagai struktur linear yang memfasilitasi ikatan silang dengan adanya ikatan hidrogen. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang 44

distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen (Sajilata et al. 2006); (2) Saat siklus autoclaving-cooling, terjadi penyusunan ulang molekul-molekul pati antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin yang berakibat pada penguatan ikatan pada pati dan membuat pati lebih sulit untuk tercerna (Shin 2004). Pratiwi (2008) menyatakan bahwa pati garut yang dimodifikasi dengan autoclaving-cooling sebanyak 3 siklus menghasilkan daya cerna pati lebih rendah dari pati garut native. Rendahnya daya cerna pati berkorelasi dengan tingginya kandungan bahan yang tidak tercerna dalam usus halus, seperti serat pangan dan pati resisten. Proses lintnerisasi (hidrolisis asam sebagian), menurunkan bobot molekul pati, yang diikuti dengan retrogradasi dapat meningkatkan kadar pati resisten kacang polong kira-kira 20% (Lehmann et al. 2003). Panjang rantai α-1,4-glukan dengan derajat polimerisasi (DP) sekitar 20 sangat optimal dalam pembentukan pati resisten yang tinggi, hingga 94% (Lehmann et al. 2003). Lintnerisasi secara selektif memecah bagian amorfous pada granula pati menghasilkan material-material yang kaya akan kristalit-kristalit amilopektin (Mumny 2000; Saguilan et al. 2005). Pati yang mengalami perlakuan lintnerisasi-pemanasan-pendinginan menunjukkan kandungan pati resisten yang lebih tinggi dikarenakan adanya peningkatan rantai linear glukan. Oleh sebab itu, perlakuan ini cenderung mudah mengalami retrogradasi yang pada gilirannya memicu terbentuknya pati resisten yang lebih besar (Berry 1986; Saguilan 2005). Hidrolisis asam dengan konsentrasi HCl 2.2 N yang dilanjutkan dengan siklus pemanasan suhu tinggi-pendinginan (autoclaving-cooling) menghasilkan daya cerna pati lebih rendah dibandingkan dengan hidrolisis menggunakan HCl 1.1 N. Hal ini karena semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan maka akan semakin banyak bagian pati yang terhidrolisis dan menghasilkan molekul dengan bobot yang lebih rendah dan linear sehingga pati cenderung mudah mengalami retrogradasi dan memicu peningkatan kadar pati resisten, dengan demikian pati semakin sulit untuk dicerna. Proses hidrolisis asam selama 4 dan 6 jam untuk mereduksi bobot molekul pati yang diikuti siklus autoclavingcooling menghasilkan pati dengan daya cerna lebih tinggi daripada proses 45

hidrolisis selama 2 jam. Hal ini menunjukkan bahwa pada proses hidrolisis hingga 4 dan 6 jam, proses degradasi molekul pati terlalu tinggi sehingga tidak menghasilkan panjang rantai yang optimal untuk pembentukan pati resisten. Kemungkinan pada proses hidrolisis selama 4 dan 6 jam menghasilkan hidrolisat-hidrolisat yang berbobot molekul terlalu rendah. Terbentuknya hidrolisat berbobot molekul terlalu rendah tidak dapat membentuk pati resisten sehingga daya cerna pati menjadi lebih tinggi karena gula-gula sederhana mudah diserap di usus halus. Titik kritis yang menentukan pembentukan RS selama perlakuan autoclaving-cooling adalah derajat polimerisasi. Polimer lebih kecil dari 10 satuan glukosa dapat menghambat retrogradasi (Gidley et al. 1995 diacu dalam Jacobasch et al. 2006), yang sangat berpengaruh terhadap kadar RS. Lehmann et al. (2003) sependapat bahwa rantai yang pendek (DP<10) menggangu proses retrogradasi. Derajat polimerisasi yang baik untuk terjadinya retrogradasi adalah DP 10-35, pada konsentrasi gel pati yang tinggi. Panjang rantai α-1,4-d-glukan antara 10 dan 40 optimal untuk pembentukan RS tipe 3, yang dapat meningkat hingga 94% (Schmiedl et al. 2000 diacu dalam Jacobasch et al. 2006). Rantai gula-gula sederhana akibat hidrolisis asam tersebut dapat dihilangkan terlebih dahulu dengan etanol 80% sehingga memicu pembentukan pati resisten yang lebih optimal. Pati garut termodifikasi (dengan perlakuan hidrolisis asam dan modifikasi fisik) terpilih yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki daya cerna pati lebih rendah dibandingkan dengan pati resisten tipe 3 komersial, seperti Novelose 330. Menurut Pratiwi (2008) Novelose 330 memiliki daya cerna pati 47.85%. Perubahan struktur dan sifat pati karena siklus autoclavingcooling sangat tergantung pada sumber botani. Jenis umbi-umbian lebih rentan bila diberi perlakuan siklus autoclaving-cooling dibandingkan dengan jenis serealia dan kacang-kacangan (Shin 2004). Pati garut yang telah dimodifikasi dengan siklus autoclaving-cooling menghasilkan daya cerna yang lebih rendah dibandingkan dengan Novelose 330 yang berbahan pati jagung tinggi amilosa (Pratiwi 2008). Menurut Mahadevamma et al. (2003), proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor 46

intrinsik yang menyebabkan pati lambat dicerna dalam usus halus yaitu jika bentuk fisik makanan mengganggu pengeluaran amilase pankreatik, khususnya jika granula pati terhalang oleh material lain. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi daya cerna pati adalah transit time, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, kadar tanin, jumlah pati dan keberadaan komponen pangan lainnya. D. SIFAT KIMIAWI PATI GARUT TERMODIFIKASI Pati garut termodifikasi yang memiliki daya cerna pati terendah, yaitu hasil hidrolisis HCl 2.2 N selama 2 jam (pretreatment) dan dilanjutkan dengan modifikasi fisik (siklus autoclaving-cooling), dianalisis sifat kimianya. Pati garut native (PG), pati terhidrolisis asam (PGH), pati termodifikasi fisik (PGF), dan Novelose 330 juga turut dianalisis sebagai pembanding. Novelose 330 dipilih sebagai pembanding karena beramilosa tinggi dan sudah dikomersialkan sebagai sumber pati resisten tipe 3 (RS tipe 3). Komposisi kimia pati garut, pati terhidrolisis asam, pati termodifikasi fisik, pati termodifikasi hidrolisis-fisik, dan Novelose 330, dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil analisis proksimat pati garut native, pati terhidrolisis asam, pati termodifikasi fisik, pati termodifikasi hidrolisis-fisik, dan Novelose 330. Kadar (%bk) PG PGH PGF PGHF Nov Air 10.01±0.00 b 12.46±0.13 c 14.18±0.04 d 14.33±0.00 d 9.75±0.07 a Abu 0.29±0.00 a 3.69±0.01 b 0.40±0.01 a 3.59±0.30 b 0.22±0.01 a Protein 0.42±0.02 b 0.34±0.01 a 0.48±0.00 c 0.84±0.00 e 0.60±0.00 d Lemak 0.67±0.06 c 0.26±0.04 b 0.10±0.00 a 0.16±0.01 a 0.08±0.02 a Karbohidrat 98.62±0.08 b 95.70±0.06 a 99.02±0.01 c 95.41±0.31 a 99.10±0.04 c Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 3, 5, 6, 7, dan 8); PG: Pati Garut native; PGH: Pati Garut Terhidrolisis Asam; PGF: Pati Garut Termodifikasi Fisik; PGHF: Pati Garut Termodifikasi Hidrolisis-Fisik; Nov: Novelose 330. 47

1. Kadar Air Berdasarkan hasil analisis ragam (P<0.05) (Lampiran 3), pati garut dengan kadar air 10.01% masing-masing berbeda nyata dengan Novelose 330 dengan kadar air 9.75% dan pati terhidrolisis asam dengan kadar air 12.46% (Lampiran 4). Menurut Pratiwi (2008), kadar air pati garut sebesar 10.05%. Berdasarkan informasi yang tertera pada label dari manufaktur, Novelose 330 memiliki kadar air minimum 8% dan maksimum 14%. Saguilan et al. (2005) menyebutkan bahwa lebih tingginya kadar air pati terhidrolisis asam disebabkan proses hidrolisis asam menghasilkan rantai-rantai linear yang memiliki daya ikat air lebih tinggi. Pati garut termodifikasi dikeringkan dengan menggunakan oven pengering bersuhu 50 o C. PGF dan PGHF masing-masing memiliki kadar air 14.18 dan 14.33% (Lampiran 4). Tingginya kadar air ini dikarenakan kondisi proses pengeringan yang tidak optimum. Penetrasi panas dari oven pengering tidak cukup untuk menghilangkan kadar air hingga batas terendah. Pengeringan gel pati, setelah mengalami siklus autoclaving-cooling, mengakibatkan struktur pati menjadi kristalin dan sangat kaku. Hal ini menyebabkan penetrasi panas dari oven 50 o C tidak cukup mengeringkan pati. Namun batas maksimum kadar air dalam pati garut menurut SNI adalah 16% (BSN 1999). Kadar air pati modifikasi ini berbeda dengan hasil yang dilakukan Pratiwi (2008). Pati garut hasil modifikasi 3 siklus dan 5 siklus dengan waktu gelatinisasi 15 menit memiliki kadar air yang lebih rendah yaitu masingmasing 6.85 dan 6.93 % (Pratiwi 2008). Proses pengeringan pati modifikasi tersebut menggunakan drum dryer. Kadar air yang rendah pada pati modifikasi tersebut disebabkan suhu pengeringan pada drum dryer yang lebih tinggi (lebih dari 80 o C). 2. Kadar Abu Kadar abu merupakan komponen anorganik yang menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bahan. Kadar abu pati garut adalah 0.29% bk (Lampiran 4). Hal ini tidak terlalu berbeda dengan hasil penelitian Pratiwi (2008) serta Raja dan Shindu (2000) yang menyatakan bahwa kadar 48

abu pati garut sebesar 0.31 dan 0.45% bk. Batas maksimum kadar abu menurut SNI adalah 0.5% bk (BSN 1999). Kadar abu Novelose 330 sebesar 0.22% bk. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis National Starch (2007) yang menyatakan bahwa kadar abu Novelose 330 dibawah 1%. Kadar abu pati garut modifikasi fisik sebesar 0.40% bk. Berdasarkan analisis sidik ragam, ketiga sampel pati tersebut tidak berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 5). Namun baik pati terhidrolisis asam maupun pati termodifikasi hidrolisis-fisik memiliki kadar abu yang lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan dengan pati tanpa perlakuan hidrolisis asam, yaitu sebesar 3.69 dan 3.59% bk. Hal ini dikarenakan residu mineral akibat proses penetralan asam masih cukup tinggi. Proses pemisahan residu pati dan larutan hasil penetralan asam-alkali (supernatan) menggunakan sentrifugasi. Supernatan dipisahkan dari residu dan dilakukan pencucian residu pati dengan air destilata hingga beberapa kali. Namun pada kenyataannya residu mineral masih tersisa pada endapan pati. Mineral yang tersisa merupakan garam NaCl yang terbentuk saat penetralan HCl dan NaOH pada konsentrasi yang sama sehingga terhitung sebagai abu (mineral). Faktor lain yang membedakan besarnya kadar abu adalah proses pengolahan menjadi pati. Pati garut dan Novelose 330 diperoleh dengan cara ekstraksi dan pencucian berulang dengan air. Pencucian tersebut dapat menyebabkan terlarutnya mineral dalam umbi oleh air pencuci sehingga kandungan mineralnya berkurang. Selain itu proses ekstraksi juga dapat menyebabkan hilangnya mineral karena mineral tersebut dapat ikut terbawa ampas. 3. Kadar Protein Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa kadar protein masing-masing pati di bawah 1%. Kadar protein pati garut native sebesar 0.42% bk, sedangkan kadar protein pati garut setelah mengalami hidrolisis adalah sebesar 0.34% bk. Rendahnya kadar protein pati garut native disebabkan oleh proses ekstraksi (pemurnian) pati. Hidrolisis asam turut melarutkan sebagian protein di dalam matriks pati yang telah terbuka akibat hidrolisis asam sehingga kadar protein mengalami penurunan (Saguilan et al. 2005). Kadar protein pati garut 49

termodifikasi fisik dan pati termodifikasi hidrolisis-fisik secara berturut-turut sebesar 0.48 dan 0.84% bk. Novelose 330 memiliki kadar protein sebesar 0.60% bk (Lampiran 4). Berdasarkan analisis sidik ragam (P<0.05), keseluruhan sampel berbeda nyata (Lampiran 6). Protein merupakan komponen minor dalam produk pati-patian dikarenakan protein ikut terlarut saat ekstraksi (pemurnian pati) ataupun mungkin tertinggal pada ampas. Rendahnya kadar protein ini juga disebabkan kadar protein pada umbi garut yang tidak terlalu tinggi. Berdasarkan penelitian Utami (2007), kadar protein tepung umbi garut sebesar 4.26% bk. Rendahnya kadar protein pada pati modifikasi merupakan hal yang diinginkan. Beberapa komponen pada pangan yang berinteraksi dengan pati dan pada akhirnya mempengaruhi pembentukan RS antara lain: protein, serat pangan, enzim inhibitor, ion, dan lipid (Sajilata et al. 2006). Interaksi antara protein dan pati dapat mengurangi kadar pati resisten. Hal ini terbukti pada penelitian Escapa et al. (1996) bahwa pati kentang yang diautoklaf dengan ditambahkan albumin kemudian diretrogradasi pada suhu -20 o C, ternyata mengalami penurunan kandungan pati resisten. 4. Kadar Lemak Kadar lemak umbi-umbian biasanya sangat rendah, sehingga kadar lemak dalam tepung yang dihasilkannya pun akan rendah. Umbi garut yang pernah dianalisis oleh Utami (2008) mengandung lemak sebesar 0.28% bb. Sama halnya dengan tepung umbi garut, pati garut mengandung lemak yang lebih rendah. Kadar lemak dalam pati garut native sebesar 0.67% bk. Sama seperti protein, lemak ikut terlarut saat proses ekstraksi pati dan hilang sebagian akibat pencucian. Proses hidrolisis asam juga semakin menurunkan kadar lemak dalam pati garut. Kadar lemak turun hingga mencapai 0.26% bk setelah pati dihidrolisis. Kadar lemak dalam pati termodifikasi fisik, pati termodifikasi hidrolisis-fisik, dan Novelose 330 secara berturut-turut yaitu sebesar 0.10, 0.16, dan 0.08% bk (Lampiran 4). Berdasarkan analisis sidik ragam (P<0.05) (Lampiran 7), kadar lemak dalam ketiga sampel pati modifikasi tersebut tidak berbeda nyata. 50

Sama halnya dengan protein, keberadaan lemak akan menggangu proses pembentukan pati resisten tipe 3. Lemak merupakan komponen yang dapat. berinteraksi dengan pati. Lemak yang berinteraksi dapat berasal dari sumber endogenous yang sudah terdapat dalam bahan maupun yang berasal dari bahan lain yang ditambahkan. Proses pemanasan pati yang ditambahkan lemak dari luar di atas suhu 100 0 C membentuk kompleks amilosa-lipid. Bentuk kompleks amilosa-lipid ini merupakan bentuk enzyme-degradable. Penambahan jumlah kompleks amilosa-lipid yang terbentuk dapat menurunkan kadar pati resisten bahan. Proses rekristalisasi amilosa untuk menghasilkan RS terhambat karena adanya pengkompleksan amilosa oleh lipid (Sajilata et al. 2006; Adamu 2001). Hal ini juga terjadi pada lipid endogenous. Adanya lemak yang berasal dari bahan pangan itu sendiri juga dapat menurunkan kadar pati resisten (Sajilata et al. 2006). 5. Kadar Karbohidrat Sebagai bahan pangan sumber karbohidrat, kandungan karbohidrat umbi penting untuk diketahui. Penentuan kadar karbohidrat by difference menghasilkan perkiraan jumlah karbohidrat secara keseluruhan, baik karbohidrat sederhana maupun yang kompleks. Kadar karbohidrat pati garut, pati hidrolisis, pati termodifikasi fisik, pati termodifikasi hidrolisis-fisik, dan Novelose 330 berturut-turut adalah 98.62, 95.70, 99.02, 95.41, dan 99.10% bk (Lampiran 4). Kandungan karbohidrat seluruh sampel sangat tinggi karena keseluruhan sampel merupakan pati yang termasuk komponen utama karbohidrat. Berdasarkan analisis sidik ragam (P<0.05) (Lampiran 8), pati yang mengalami proses hidrolisis berbeda nyata dengan pati tanpa proses hidrolisis. Hal ini dikarenakan sebagian komponen pati telah menjadi gula-gula yang lebih sederhana yang dapat ikut terlarut saat proses pencucian pati terhidrolisis asam. 6. Kadar Pati Total Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 9, dapat dilihat bahwa kadar pati pada pati garut native sebesar 98.10 % bk. Tingginya kadar pati sampel pati garut karena dipengaruhi oleh proses ekstraksi yang dilakukan. Hasil ini 51

berbeda dengan analisis total pati sampel pati garut yang dilakukan oleh Pratiwi (2008), yang menyatakan bahwa kadar pati dalam pati garut sebesar 94.89% bk. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan umur umbi. Pratiwi (2008) menggunakan umbi garut yang berumur 6 bulan. Raja dan Shindu (2000) yang juga menganalisiss kadar total pati garut menyatakan bahwa pati garut mengandung kadar pati sebesar 86.67% bb atau 96.10% bk. Namun setelah pati garut mengalami proses hidrolisis menggunakan asam, kandungan total pati mengalami penurunan yaitu menjadi 81.52% bk. Penurunan jumlah pati garut yang telah dihidrolisis mungkin disebabkan proses hidrolisis pati dapat memutus rantai pati menjadi hidrolisat-hidrolisat yang lebih sederhana dan larut dalam air. Gambar 11 menyajikan hasil analisis kadar total pati sampel pati garut, pati terhidrolisis asam, pati termodifikasi dan Novelose 330. Kadar Pati (% bk) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 98.10 + 1.04 d 81.52 + 0.53 a 94.54 + 0.27 c 87.55 + 0.55 b PG PGH PGF PGHF NOV 86.85 + 0.62 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) (Lampiran 10). Gambar 11. Kadar pati total pati garut native, pati terhidrolisis asam, pati termodifikasi fisik, pati termodifikasi hidrolisis-fisik, dan Novelose 330. 52

Pati garut termodifikasi fisik memiliki kadar pati yang lebih rendah dibandingkan pati garut native, yaitu sebesar 94.54% bk. Hal ini dimungkinkan karena saat proses autoclaving-cooling terjadi perubahan dan pemecahan terhadap struktur kompleks pati, yang mengakibatkan kandungan total pati menurun. Sedangkan kadar total pati pada pati garut termodifikasi hidrolisisfisik sebesar 87.55% bk. Saat siklus autoclaving-cooling terjadi kristalisasi amilosa kembali. Menurut Vasanthan dan Bhatty (1998), kristalisasi amilosa pada saat retrogradasi memicu pembentukan pati resisten. Hidrolisat-hidrolisat pati (rantai amilosa dan sebagian amilopektin yang terputus-putus) akibat proses hidrolisis akan mengalami penyusunan ulang sehingga memicu terbentuknya pati resisten. Meningkatnya total pati berkorelasi dengan meningkatnya kandungan pati resisten pada pati terhidrolisis asam setelah mengalami siklus autoclaving-cooling. Kadar total pati Novelose 330 sebesar 86.85% bk. Perbedaan kadar pati Novelose 330 dengan pati garut serta pati garut modifikasi kemungkinan karena perbedaan sumber botani, varietas yang digunakan dan cara pengolahan. Berdasarkan hasil analisis ragam (P<0.05) (Lampiran 10), kadar total pati masing-masing sampel pati garut dan modifikasinya berbeda nyata, akan tetapi kadar pati Novelose 330 tidak berbeda nyata dengan pati termodifikasi hidrolisis-fisik. 7. Kadar Amilosa dan Amilopektin Rasio amilosa-amilopektin dalam pati akan menentukan sifat pati secara keseluruhan. Kandungan amilosa dalam bahan pangan berpati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa sangat rendah dengan kadar < 10 %, kadar amilosa rendah 10-20 %, dan kadar amilosa sedang 20 24 %, dan kadar amilosa tinggi > 25 % (Aliawati 2003). Berdasarkan pada hasil analisis amilosa (Lampiran 11), pati garut mengandung amilosa sebesar 24.64% bk. Namun hasil ini berbeda dengan penelitian Pratiwi (2008) yang menyatakan bahwa pati garut tergolong beramilosa rendah dengan kadar 18.66% bk. Perbedaan tersebut dikarenakan umbi garut yang digunakan Pratiwi (2008) berumur 6 bulan, sementara umbi garut yang digunakan dalam penelitian ini berumur 10 bulan. Jika dipanen pada kondisi pati yang optimum ( + 11 bulan), kadar amilosa pati garut dapat lebih 53

tinggi dari kadar amilosa pati garut yang digunakan pada penelitian ini, yaitu dapat mencapai 27%. Naraya dan Moorthy (2002) menyatakan bahwa kadar amilosa pati garut berada pada kisaran 16 27%. Singkong memiliki kandungan amilosa 13.26 23.8%, ubi jalar 20.5 25.5%, uwi 21%, talas 14-19.4%, umbi Dioscorea 13 15%. Kadar amilosa dipengaruhii beberapa faktor antara lain: jenis botani, varietas tanaman, umur botani. Pada kondisi pati optimum, dibandingkan dengan kadar amilosa umbi lainya kadar amilosa garut cukup tinggi (Naraya dan Moorthy 2002). Hal ini menjadikan umbi garut baik dijadikan bahan baku pati resisten tipe 3. Gambar 12 menyajikan kadar amilosa pati garut, pati terhidrolisis asam, pati termodifikasi dan Novelose 330. Kadar Amilosa (% bk) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 24.64 + 0.06 a 30.13 + 0.00 c 28.12 + 0.43 b 31.55 + 0.00 d 35.54 + 0.19 e PG PGH PGF PGHF NOV Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) (Lampiran 12). Gambar 12. Kadar amilosa pati garut native, pati terhidrolisis asam, pati termodifikasi fisik, pati termodifikasi hidrolisis-fisik, dan Novelose 330. Proses hidrolisis berpengaruh terhadap meningkatnya kandungan amilosa pati garut. Hal ini dapat dibuktikan bahwa kandungan amilosaa (Lampiran 11) pati garut hasil hidrolisis sebesar 30.13% bk atau meningkat 22% dibandingkan pati garut native.. Perlakuan hidrolisis dengan asam selain menghasilkan pemutusan pada rantai amilosa, juga terjadi pada sebagian rantai amilopektin, 54

yang berakibat meningkatnya kandungan amilosa (Saguilan et al. 2005). Kandungan amilosa pati garut termodifikasi fisik dan termodifikasi hidrolisisfisik masing-masing sebesar 28.12 dan 31.55% bk (Lampiran 11). Kadar amilosa pati garut hasil modifikasi fisik sedikit lebih tinggi dari kadar amilosa pati garut native. Walaupun demikian berdasarkan analisis sidik ragam, kedua pati tersebut berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 12). Kadar amilosa pati garut termodifikasi hidrolisis-fisik pun sedikit lebih tinggi dan berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 12) dibandingkan dengan amilosa pati garut hasil hidrolisis. Namun menurut Pratiwi (2008), proses autoclaving-cooling terhadap pati secara umum hanya mengubah struktur amilosa dan bukan kadar amilosanya. Anggraini (2007) menyatakan pula bahwa tidak terjadi perubahan kadar amilosa pada pati yang dimodifikasi dengan perlakuan autoclavingcooling. Kandungan amilosa Novelose 330 lebih tinggi daripada kadar amilosa pati garut dan modifikasinya, yaitu sebesar 35.54% bk (Lampiran 11). Menurut Saguilan et al. (2005) Novelose 330 berasal dari pati jagung beramilosa tinggi, sehingga cenderung lebih mudah mengalami retrogradasi. Amilosa yang memiliki ikatan alfa 1,4 glikosidik yang tidak bercabang menyebabkan ikatan amilosa lebih kuat sehingga sulit digelatinisasi dan pati sulit dicerna (Parker 2003). Berdasarkan pernyataan tersebut, semakin tinggi kandungan amilosanya pati semakin memiliki daya cerna pati yang lebih rendah. Bila dihubungkan dengan hasil daya cerna pati, persen daya cerna pati garut modifikasi fisik dan modifikasi hidrolisis-fisik lebih rendah dibandingkan dengan pati garut native. Hal ini disebabkan perlakuan autoclaving-cooling yang berulang menyebabkan perubahan susunan molekul pati antar fraksi amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin yang memperkuat ikatan pati (Shin et al. 2004). Pati yang diberi perlakuan autoclaving-cooling dengan beberapa siklus gelatinisasi dan retrogradasi dapat menghasilkan pati modifikasi dengan ikatan yang kuat. Siklus autoclaving cooling dapat menyebabkan pembentukan reassosiasi rantai amilosa pada pati resisten (Adamu 2001). Kristalisasi amilosa selama proses retrogradasi membentuk pati resisten tipe 3. Reasosiasi rantai amilosa memfasilitasi penyatuan heliks oleh penyusunan interheliks ikatan 55

hidrogen. Susunan heliks ganda dari pati tersebut mengisyaratkan pembentukan kristal, yang tahan terhadap difusi enzim penghidrolisis pati (Vasanthan dan Bhatty 1998). Hal inilah yang menjadikannya resisten terhadap enzim-enzim penghidrolisis pada saluran pencernaan. Kadar amilosa pati garut native sebesar 25.12% dari total pati, sedangkan sisanya adalah amilopektin sebesar 74.88% dari total pati (Tabel 8). Molekul amilopektin menentukan kemudahan pati tersebut untuk dicerna. Rasio amilosa terhadap amilopektin juga menentukan daya cerna pati. Semakin rendah rasio, kecenderungan bahan pangan untuk dicerna semakin mudah. Pati garut tergolong baik untuk dicerna di saluran pencernaan. Sedangkan Novelose 330 memiliki kecenderungan sulit untuk dicerna. Sedangkan kecenderungan pati garut termodifikasi untuk dicerna tergolong moderat. Tabel 8 menyajikan perbandingan kadar pati, amilosa, dan amilopektin. Tabel 8. Perbandingan kadar pati total, amilosa, dan amilopektin. Sampel Kadar pati (% bk) Kadar amilosa (% bk) Kadar amilopektin (% bk) PG 98.10 d 24.64 a 73.46 PGH 81.52 a 30.13 c 51.39 PGF 94.54 c 28.12 b 66.42 PGHF 87.55 b 31.55 d 56.00 Novelose 330 86.85 b 35.54 e 51.31 Ket : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) (Lampiran 10 dan 12). 8. Kadar Serat Pangan Serat pangan yang terkandung dalam bahan pangan akan mempengaruhi sifat fisiknya. Setiap bahan pangan memiliki kadar serat pangan yang berbedabeda. Departement of Nutrition, Ministry of Health and Institute of Health (1999) seperti yang dikutip oleh Anggraini (2007) menyatakan bahwa makanan dapat diklaim sebagai sumber serat pangan apabila mengandung serat pangan sebesar 3-6 gram/100 gram. Hasil analisis serat pangan (Lampiran 13) menunjukkan bahwa pati garut mengandung serat pangan total sebesar 2.41% bk (2.41 gram serat per 100 gram bahan), terdiri dari 0.95% bk serat larut dan 1.46% bk serat tidak larut. Bila mengacu pada klaim di atas, maka pati garut tergolong pangan yang 56

kurang berserat. Menurut U.S. Departemant of Agriculture and Health and Human Services yang diacu oleh Hopkins Technology (1990), kebutuhan serat pangan adalah 20-30 gram per hari dengan batas maksimum 35 gram per hari. Pati garut yang mengalami hidrolisis asam mengandung serat pangan sebesar 3.07% bk, terdiri atas 1.11% bk serat larut dan 1.96% bk serat tidak larut. Hasil ini menunjukkan bahwa proses hidrolisis asam mengakibatkan meningkatnya kadar serat pangan, baik serat larut maupun serat tidak larut. Namun berdasarkan analisis sidik ragam, kadar serat pangan total kedua pati tersebut tidak berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 14). Proses hidrolisis yang tidak diikuti dengan proses siklus autoclaving-cooling tidak secara signifikan meningkatkan kadar serat pangan dan pati resisten pati garut terutama pati resisten tipe 3. Hal ini dikarenakan RS tipe 3 hanya terbentuk setelah pati dipanaskan pada suhu tinggi dan didinginkan. Hidrolisis asam hanya memecah pati menjadi hidrolisat-hidrolisat dengan derajat polimerisasi (DP) lebih rendah sehingga tidak mungkin RS tipe 3 terbentuk pada proses ini. Begitu juga dengan proses pengeringan pati terhidrolisis asam dengan oven bersuhu 50 o C tidak secara spontan meningkatkan kadar pati resisten tipe 3. Suhu oven 50 o C berada di bawah suhu gelatinisasi pati garut, yaitu 70 o C (Suriani 2008) sehingga pati garut tidak dapat tergelatinisasi pada suhu oven tersebut. Wurzburg (1989) menyatakan bahwa struktur granula pati setelah mengalami hidrolisis asam tidak terlalu berbeda dengan pati tanpa modifikasi, artinya granula pati belum mengalami pembengkakkan. Kadar pati resisten dalam bahan pangan secara alami pada umumnya rendah. Kemungkinan pati resisten yang terukur pada pati garut tanpa perlakuan modifikasi adalah pati resisten tipe 2 yang secara alami terdapat pada pati garut, sedangkan pati resisten yang terdapat pada pati garut yang telah dimodifikasi secara fisik dan Novelose 330 adalah pati resisten tipe 3. Englyst dan Cummings (1987) menyebutkan bahwa pati resisten yang terukur pada pati akibat proses siklus pemanasan suhu tinggi-pendinginan hanya pati resisten tipe 3 (RS tipe 3), karena RS tipe 1 tidak mungkin terdapat pada pati yang telah dimurnikan dan RS tipe 2 tidak akan tahan lama (terhidrolisis dan 57

terlarut) terhadap perlakuan enzim (α-amilase tahan panas) pada saat analisis pati resisten. Pati garut termodifikasi (PGF dan PGHF) mengandung total serat pangan sekita 3-4 kali lipat lebih besar dibandingkan pati garut native. Pati garut modifikasi fisik (PGF) mengandung total serat pangan sebesar 9.07% bk, terdiri atas 0.79% bk serat larut dan 8.28% bk serat tidak larut. Sedangkan pati garut modifikasi hidrolisis-fisik (PGHF) mengandung total serat pangan sebesar 9.84% bk, terdiri atas 2.86% bk serat larut dan 6.98% serat tidak larut. Sedangkan Novelose 330 mengandung total serat pangan sebesar 41.16% bk, terdiri atas 1.25% bk serat larut dan 39.91% bk serat tidak larut (Lampiran 13). Peningkatan kandungan serat pangan pada pati garut termodifikasi karena pati resisten yang terbentuk akibat proses modifikasi pati juga termasuk dalam serat pangan. Berdasarkan analisis sidik ragam (P<0.05) (Lampiran 14), kandungan total serat pangan pati garut termodifikasi berbeda nyata dengan pati native dan pati terhidrolisis asam. Perbedaan secara nyata terdapat pada hasil analisis ragam serat tidak larut (Lampiran 15) sehingga berpengaruh terhadap perbedaan secara nyata pada kadar serat pangan total. Akan tetapi kandungan serat larut pati termodifikasi fisik tidak berbeda nyata dengan pati native (Lampiran 16). Namun kandungan serat larut pati termodifikasi hidrolisisfisik berbeda nyata dengan ketiga sampel pati lainnya yang dianalisis. Ini mengindikasikan adanya peningkatan serat larut akibat proses hidrolisis. Hal ini dimungkinkan karena setelah proses hidrolisis asam terbentuk hidrolisathidrolisat pati dengan derajat polimerisasi (DP) tertentu. Menurut Wurzburg (1989) bobot molekul fraksi komponen pati menurun seiring dengan meningkatnya fluiditas (menurunnya total padatan). Meningkatnya fluiditas mengindikasikan derajat polimerisasi pati berkurang. Kemungkinan saat hidrolisis asam terbentuk hidrolisat pati dengan DP kurang dari 10 satuan glukosa. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis derajat polimerisasi (DP) rantai pati sehingga tidak dapat diketahui DP pati terhidrolisis asam. Kadar serat pangan total Novelose 330 sesuai dengan National Starch (2007) yang menyatakan bahwa kadar serat pangan total Novelose 330 58

minimum 30%. Hasil analisis kadar serat pangan sampel modifikasi, dan Novelose 330 dapat dilihat pada Gambar 13. pati garut, pati Kadar Serat Pangan (% bk) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 8.28 9.07 9.84 6.98 2.86 0.95 1.46 2.41 3.07 1.11 1.96 0.79 PG PGH PGF PGHF SDF IDF TDF 41.16 39.91 1.25 NOV Gambar 13. Kadar serat pangan pati garut native, pati terhidrolisis asam, pati termodifikasi fisik, pati termodifikasi hidrolisis-fisik, dan Novelose 330. Kadar serat pangan total pati garut yang mengalami modifikasi fisik meningkat 3.8 kali dibandingkan kadar serat pangan total pati garut native. Sedangkan kadar serat pangan total pati garut yang mengalami pretreatment hidrolisis asam lalu dilanjutkan dengan modifikasi fisik meningkat 4.1 kali dari serat pangan total pati garut native. Ranhotra et al. (1991) diacu dalam Sajilata et al. (2006) menyatakan bahwa perlakuan siklus autoclaving-cooling berulang pada pati gandum dapat meningkatkan kadar serat pangan total hingga 3 4 kali lipat. Peningkatan kadar serat pangan total pada pati yang mengalami proses siklus autoclaving-cooling terjadi karena peningkatan kadar serat tidak larut. Hasil ini sesuai dengan dengan pernyataan Ranhotra et al. (1991) diacu dalam Sajilata et al. (2006) bahwa pati resisten terukur sebagai serat tidak larut. Hal ini diperkuat oleh Haralampu (2000) diacu dalam Sajilata et al. (2006) bahwa pati resisten teruji sebagai serat tidak larut tetapi memiliki fungsi fisiologis seperti serat larut. 59

Serat pangan dalam diet memiliki manfaat fisiologis yang baik bagi kesehatan. Serat pangan larut bersifat hipoglikemik dan hipokolesterolemik serta dapat berfungsi sebagai prebiotik bagi mikroflora usus, sedangkan serat pangan tidak larut mengurangi resiko pembentukan kanker saluran pencernaan. Berdasarkan hasil analisis, Novelose 330 dan pati garut yang telah dimodifikasi memiliki kandungan serat pangan yang baik jika digunakan sebagai sumber serat pangan untuk diaplikasikan sebagai bahan makanan dalam diet. 9. Kadar Pati Resisten Pati garut native mengandung 1.35% bk pati resisten (Lampiran 17). Sedangkan Pratiwi (2008) menyatakan bahwa pati garut mengandung 2.12% pati resisten. Kandungan pati resisten tipe 3 dalam makanan secara alami pada umumnya rendah. Kemungkinan pati resisten yang terukur pada pati garut tanpa perlakuan adalah didominasi pati resisten tipe 2 yang memang secara alami telah terdapat pada pati garut. Pati garut setelah mengalami proses hidrolisis memiliki kandungan pati resisten sebesar 1.58% bk (Lampiran 17). Berdasarkan analisis ragam, kandungan pati resisten pada pati garut tanpa perlakuan dan pati terhidrolisis asam tidak berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 18). Pati garut modifikasi fisik dan hidrolisis-fisik masing-masing mengandung pati resisten sebesar 7.49 dan 5.91% bk (Lampiran 17). Dengan demikian kandungan pati garut termodifikasi tersebut masing-masing meningkat 5.6 kali dan 4.4 kali dari pati garut native. Hasil ini mendekati penelitian Pratiwi (2008), yang menyatakan bahwa kandungan pati resisten tipe 3 pati garut modifikasi fisik dengan 3 siklus autoclaving-cooling sebesar 10.91% bk, atau meningkatkan kadar pati resisten tipe 3 hingga lebih dari 5 kali lipat dibandingkan pati garut native. Namun pati termodifikasi hidrolisisfisik mengandung pati resisten lebih rendah dibandingkan dengan pati termodifikasi fisik. Ini mungkin disebabkan terbentuknya polimer kurang dari 10 satuan glukosa setelah pati mengalami hidrolisis. Hal ini dapat menganggu pembentukan pati resisten yang optimal. Gidley et al. (1995) menyatakan bahwa polimer lebih kecil dari 10 satuan glukosa dapat menghambat 60

retrogradasi, yang sangat berpengaruh terhadap kadar RS. Panjang rantai yang optimal untuk pembentukan RS tipe 3 adalah α-1,4-d-glukan antara dengan DP 10 dan 40 (Schmiedl et al. 2000). Jika dihubungkan dengan kadar serat pangan, pati resisten tipe 3 berkontribusi menaikkan kadar serat pangan total pati garut yang telah dimodifikasi. Pati resisten tipe 3 pada pati termodifikasi fisik berkontribusi 82.58% dari serat pangan total, sedangkan pati resisten tipe 3 pada pati termodifikasi hidrolisis-fisik berkontribusi 60.06% dari serat pangan total. Tabel 9 memperlihatkan hasil analisis kadar serat pangan total dan pati resisten dari masing-masing sampel. Tabel 9. Perbandingan kadar serat pangan dan pati resisten pati garut native, pati terhidrolisis asam, pati termodifikasi fisik, pati termodifikasi hidrolisis-fisik, dan Novelose 330. Sampel Serat pangan total (%bk) Pati resisten (%bk) PG 2.41 a 1.35 a PGH 3.07 a 1.58 a PGF 9.07 b 7.49 c PGHF 9.84 b 5.91 b Novelose 330 41.16 c 39.99 d Ket : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) (Lampiran 14 dan 18). Novelose 330 memiliki kandungan pati resisten sangat tinggi yaitu 39.9% bk (Lampiran 17). Kandungan pati resisten Novelose 330 sangat tinggi dibandingkan dengan pati modifikasi dari pati garut. Hal ini dimungkinkan karena kandungan amilosa Novelose 330 yang tinggi. Kandungan pati resisten yang tinggi berkolerasi dengan tingginya kandungan amilosa (Shu et al. 2007). Novelose 330 memiliki serat pangan yang sangat tinggi karena berasal dari pati jagung tinggi amilosa, yang cenderung mudah mengalami retrogradasi, dengan demikian menghasilkan kandungan pati resisten yang tinggi akibat proses pemanasan-pendinginan (Saguilan et al. 2005). Peningkatan kandungan pati resisten akibat proses modifikasi berkaitan dengan peningkatan kadar serat pangan tidak larut. Hal ini dinyatakan oleh 61