BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri retail dan chain store telah berkembang pesat dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan customer, baik dalam skala internasional, nasional, bahkan lokal. Walmart dan Carrefour adalah contoh chain store internasional, untuk skala nasional terdapat chain store Alfamart dan Indomaret, sedangkan untuk chain store lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta contohnya adalah Pamella Swalayan Supermarket dan Gading Mas. Chopra dan Meindl (2001) menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan sebuah perusahaan adalah supply chain management yang baik. Supply chain management is a set of approaches utilized to efficiently integrate suppliers, manufacturers, warehouses, and stores, so that merchandise is produced and distributed at the right quantities, to the right locations, and at the right time, in order to minimize systemwide costs while satisfying service level requirements. (Simchi-Levi et al., 2000). Fokus perusahaan adalah keunggulan, optimasi, dan integrasi supply chain untuk meningkatkan profit dan meminimalkan biaya, salah satunya adalah manajemen inventory (Atmojo, 2011). Salah satu jenis pemborosan dalam 7 wastes adalah inventory, karena inventory tidak memberikan profit dan menambah beban biaya simpan. Chain store dengan skala internasional dan nasional pada umumnya telah menerapkan supply chain management yang baik, namun chain store dengan skala lokal biasanya belum sepenuhnya menerapkan supply chain management, yang berperan pula dalam pengendalian inventory. Masalah yang sering muncul adalah overstock dan stockout. Apabila terjadi overstock, maka akan menimbulkan biaya simpan, sedangkan apabila terjadi stockout, akan menimbulkan opportunity cost (biaya kesempatan) karena adanya lost sales akibat permintaan konsumen yang tidak terpenuhi. 1
Ahmed (2012) menyatakan dibandingkan sektor industri lain, industri retail secara signifikan membutuhkan penerapan teknologi yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan industri retail melibatkan banyak operasi kompleks dari rantai pasok dan logistik, warehouse, manajemen customer experience, dan pengambilan keputusan. Dengan operasi bisnis yang semakin global, teknologi yang lebih mutakhir dapat membantu proses bisnis menjadi lebih efisien sehingga perusahan dapat berfokus pada aktivitas inti. Walmart adalah salah satu chain store berskala internasional dari Amerika Serikat dan telah mengadopsi Self-checkout System, Radio Frequency Identification, dan Cloud Computing yang membantu retailer mengurangi usaha manusia, mengurangi biaya, dan meningkatkan profit. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan faktor-faktor kunci yang mempengaruhi industri retail untuk mengadaptasi teknologi untuk proses bisnis mereka agar menjadi lebih kompetitif. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua yakni internal, dan eksternal. Faktor internal adalah manajemen warehouse dan sumber daya manusia, sedangkan dari faktor eksternal adalah customers dan suppliers. Sejak tahun 1980-an, tren Vendor Managed Inventory (VMI) telah berkembang sebagai salah satu konsep untuk meningkatkan efisiensi dalam mengelola rantai pasok dalam suatu perusahaan (Shafie, 2004). Walmart menjalin kerjasama dengan Procter and Gamble (P&G) dengan tujuan untuk meningkatkan hubungan bisnis serta membagi informasi dan pengetahuan mengenai pasar. VMI adalah strategi direct replenishment, melibatkan persetujuan antara perusahaan dan pemasok, di mana pemasok akan menentukan alokasi optimal berdasar data penjualan di setiap cabang sehingga cabang chain store berperan sebagai Point of Sales. Selain itu, pemasok juga bertanggung jawab mengatur persediaan, menentukan jumlah produk yang dikirim, dan waktu pengirimannya. Saat ini, Pamella Swalayan Supermarket masih menggunakan sistem purchase order (PO) untuk pengadaan barang dari gudang pusat ke setiap cabang, di mana setiap cabang mengelola permintaan produk di masing-masing cabang. Pengiriman produk ke setiap cabang memiliki dua cara, yang pertama yaitu barang dikirim langsung dari supplier ke cabang, dan cara yang kedua yaitu barang dikirim dari supplier ke gudang pusat kemudian dikirim ke setiap cabang. 2
Untuk produk yang dikirim dari gudang, branch manager akan mengirimkan PO ke gudang pusat yang berisikan informasi produk dan kuantitas permintaan pengiriman berdasarkan intuisi. Setelah itu, jika produk yang diminta tersedia, gudang pusat akan mengeluarkan delivery order (DO) dan mengirimkan barang sesuai PO. Sistem ini dapat menimbulkan permasalahan pada gudang pusat dan cabang karena kesulitan mengatur persediaan, serta pengalokasian yang kurang tepat dapat menyebabkan overstock di satu cabang dan stockout di cabang lain, karena pengadaan barang hanya berdasarkan intuisi masing-masing branch manager. Hal ini dapat berdampak pada total biaya persediaan. Biaya persediaan memiliki tiga biaya dasar terkait, yakni biaya simpan, biaya transportasi, dan opportunity cost (Stevenson, 2004). Sistem yang ingin diajukan adalah di mana gudang pusat berperan sebagai pengatur alokasi untuk setiap cabang, sehingga tidak akan ada lagi PO yang dikirim dari setiap cabang. Gudang pusat akan menentukan kuantitas produk yang dikirim ke setiap cabang berdasarkan data penjualan historis. Selain alokasi yang tepat untuk setiap cabang, hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah frekuensi pengiriman dan reorder point, atau titik di mana pengadaan barang perlu dilakukan kembali. Hal ini untuk menjaga persediaan di setiap cabang agar tetap dapat memenuhi kebutuhan customer dan meminimalisir kemungkinan lost sales. Saat ini, Pamella Swalayan Supermarket memiliki tujuh cabang dengan tujuh moda transportasi yang mengirimkan barang dari gudang pusat ke masingmasing cabang dan belum mempertimbangkan frekuensi pengiriman yang optimal. Dengan adanya perhitungan frekuensi pengiriman produk ke setiap cabang untuk setiap periode, perusahaan dapat mengkalkulasi biaya transportasi. Dengan sistem PO, gudang hanya akan mengirimkan barang ketika cabang mengirimkan PO, yang berisi barang-barang tertentu dengan jumlah yang diminta. Hal ini dapat menimbulkan kemungkinan lost sales lebih tinggi karena pengiriman PO hanya berdasar intuisi semata. Dengan demikian, perlu dilakukan perhitungan untuk menentukan frekuensi pengiriman yang optimal untuk meminimalisir biaya-biaya yang terkait dengan biaya persediaan, yakni biaya transportasi, biaya simpan, dan opportunity cost. 3
Dalam penelitian sebelumnya di Pamella Swalayan oleh Riyaningrum (2014), diperoleh alokasi optimal di setiap cabang dengan menggunakan pendekatan logika kabur (fuzzy logic) dengan gross profit sebagai faktor pembanding. Penelitian ini melanjutkan penelitian sebelumnya di Pamella Swalayan Supermarket untuk menentukan frekuensi pengiriman yang optimal untuk menurunkan biaya persediaan, yang terdiri dari biaya transportasi, biaya simpan, dan opportunity cost. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah pada penelitian ini adalah untuk mengetahui penentuan frekuensi pengiriman produk yang optimal dari gudang pusat ke cabang-cabang chain store Pamella Swalayan Supermarket dengan biaya transportasi, biaya simpan, dan opportunity cost (biaya kesempatan) sebagai faktor pembanding. 1.3 Asumsi dan Batasan Masalah Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Gudang pusat dapat memenuhi kebutuhan semua cabang. 2. Penjualan dalam seminggu terjual secara merata setiap hari. 3. Data permintaan diasumsikan sama dengan data penjualan. 4. Stockout cost hanya memperhitungkan opportunity cost dan tidak mempertimbangkan customer yang berpindah produk atau menunda pembeliannya. 5. Penentuan frekuensi pengiriman hanya mempertimbangkan biaya transportasi dan biaya simpan. 6. Skenario pengiriman hanya dibatasi untuk delapan skenario per bulan, yakni 1 kali, 2 kali, 3 kali, 5 kali, 6 kali, 10 kali, 15 kali, dan setiap hari. 7. Volume kendaraan digunakan seluruhnya. 8. Tidak ada persediaan di awal tahun. 4
Batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Penelitian dilakukan pada gudang pusat dan tujuh cabang Pamella Swalayan Supermarket serta mengikuti sistem saat ini di mana Pamella Swalayan Supermarket memiliki tujuh kendaraan yang melayani pengiriman produk dari gudang pusat ke masing-masing cabang. 2. Setiap cabang memiliki persediaan masing-masing dan tidak dapat memindahkan persediaan ke cabang lain. 3. Produk yang diteliti meliputi 10 produk yang dikirim dari gudang pusat ke tujuh cabang Pamella Swalayan Supermarket. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. menentukan frekuensi pengiriman produk yang optimal dari gudang pusat ke tujuh cabang Pamella Swalayan Supermarket, 2. membandingkan biaya persediaan yaang dikeluarkan Pamella Swalayan Supermarket dengan frekuensi pengiriman yang ada saat ini dengan biaya persediaan setelah menerapkan frekuensi pengiriman produk yang optimal. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk membantu pihak manajemen Pamella Swalayan Supermarket dalam pengambilan keputusan untuk menentukan frekuensi pengiriman produk yang optimal dari gudang pusat ke cabang-cabangnya untuk meminimalkan biaya persediaan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber referensi untuk pengembangan penelitian selanjutnya dengan topik yang sama. 5