REEKSISTENSI KETETAPAN MPR DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

Problematic MPR Decree Post Reform and After The Issuance of Law No. 12 of 2011

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB SATU PENDAHULUAN

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan


BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

Prospek Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal dan Penafsir Konstitusi - Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA. Oleh : Irwandi,SH.MH. 1. Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA

BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA. A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang-

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Meirina Fajarwati*

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Kajian Yuridis Eksistensi dan Materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Hirarki Perundang-Undangan di Indonesia

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

PROBLEMATIKA KEDUDUKAN TAP MPR DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB II EKSISTENSI PERPPU DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA. A. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TINJAUAN YURIDIS TENTANG LEGALITAS EXECUTIVE REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH (PERDA) Oleh : Deni Daryatno* ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. (judicial power) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif(executive

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA

PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Abstrak

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN *

PENGUJIAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA KRISTON SIGILIPU / D

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI BIDANG LEGISLASI

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB III SUMBER HUKUM

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

REFORMULASI PROSES REKRUITMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 03 Juni 2016; disetujui: 27 Juni 2016

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA

Transkripsi:

WAHANA INOVASI VOLUME 3 No.1 JAN-JUNI 2014 ISSN : 2089-8592 REEKSISTENSI KETETAPAN MPR DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA Haposan Siallagan Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen (UHN), Medan E-mail : siallagan.haposan@yahoo.com ABSTRACT The re-inclusion Ketetapan MPR within statutory legal hierarchy based on UU No.12/ 2011 (Act No. 12/ 2011)poses several problems, especially about judicial review mechanism. There are two problems must be solved. First, the neccesity of constitutional review to Ketetapan MPR and the neccesity of judicial review the statutory below Ketetapan MPR towards Ketetapan MPR. These problems are becoming important, because statutory legal of Indonesia hsve not know it before, including the agencies that have the authority to do it. Key words : Position, Judicial Review, Juridical Implication ABSTRAK Pencantuman Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundangundangan menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 menimbulkan berbagai diskursus, terutama dalam soal judicial review. Terdapat dua problema hukum yang harus segera dicari solusinya. Pertama, perlu adanya judicial review Ketetapan MPR terhadap UUD NRI Tahun 1945 dan judicial review peraturan perundangundangan di bawah Ketetapan MPR terhadap Ketetapan MPR, Hal ini menjadi penting, karena dalam sistem perundangundangan di Indonesia saat ini belum mengenal jenis judicial review tersebut, termasuk lembaga yang berwenang melakukannya. Kata Kunci : Kedudukan, Pengujian, Implikasi Yuridis PENDAHULUAN Perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali berimplikasi besar dan mendasar terhadap sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Salah satu perubahan mendasar adalah menyoal pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang sebelumnya berbunyi: Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, kini diubah menjadi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar. Berdasarkan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) yang sebelumnya merupakan penyelenggara kedaulatan rakyat serta penyelenggara kekuasaan negara yang tertinggi, kini tidak lagi menjadi pemegang dan pelaksana tertinggi kedaulatan rakyat. Tetapi menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya. Hal ini sesuai dengan semangat prinsip checks and balances yang dianut dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah perubahan UUD 1945. Selain kedudukan MPR yang mengalami pergeseran, beberapa kewenangan penting MPR juga dieliminasi. Misalnya kewenangan memilih Presiden dan Wakil Presiden serta menetapkan GBHN. Dengan demikian, setelah perubahan UUD 1945, MPR hanya berwenang mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Untuk melakukan tindakan atau keputusan hukum terhadap wewenang yang dimilikinya tersebut, MPR membutuhkan wadah atau produk hukum tertentu. Ada dua bentuk produk hukum yang pernah dikeluarkan MPR, yakni Ketetapan MPR dan Keputusan MPR. Ketetapan MPR mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam Majelis, sedangkan Keputusan MPR mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis.

233 Sesungguhnya, UUD 1945 dan perubahannya tidak pernah mengamanatkan secara langsung kepada MPR untuk membentuk Ketetapan MPR. Munculnya nama Ketetapan sebagai salah satu bentuk produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR tak lain adalah sebagai kesepakatan yang diambil oleh MPR berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 yang berbunyi: Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar haluan daripada negara. Dalam perkembangan selanjutnya, dihapusnya kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN dalam UUD NRI Tahun 1945 menjadi dasar untuk menghapus kewenangan MPR mengeluarkan Ketetapan MPR. Sebagai tindak lanjut, UUD NRI Tahun 1945 menugaskan MPR melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPR/S. Untuk melaksanakan amanat konstitusi tersebut, MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960-2002. Hasilnya, MPR menggolongkan Ketetapan MPR/S ke dalam 6 (enam) kelompok (Nazriyah, 2007), yakni : 1. Ketetapan MPR/S yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; 2. Ketetapan MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan masingmasing; 3. Ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004; 4. Ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undangundang; 5. Ketetapan MPR/S tentang Peraturan Tata Tertib dinyatakan masih berlaku sampai ditetapkannya Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR-RI hasil Pemilu 2004; 6. Ketetapan MPR/S yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena lebih bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan merupakan salah satu Ketetapan MPR yang ditinjau. Berdasarkan peninjauan tersebut, Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 berlaku sampai dengan berlakunya undang-undang yang mengatur materi yang sama. Oleh karena itu, setelah berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, maka Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tidak berlaku lagi (Nurbaningsih, 2011). Harapan banyak pihak, dengan berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004, kondisi tertib hukum di Indonesia akan berlangsung lebih baik. Namun, harapan ini tidak sepenuhnya terwujud karena UU tersebut juga masih bermasalah. Permasalahan paling menonjol terletak pada penjenisan peraturan perundangundangan, terutama terkait atas ketidakjelasan status 14 Ketetapan MPR/S yang telah ditinjau MPR melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Mengingat masih ada Ketetapan MPR/S yang masih berlaku, maka UU Nomor 12 Tahun 2011 kembali memasukkan Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan (Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011). Pencantuman Ketetapan MPR sebagai sumber hukum formil memunculkan beberapa permasalahan dalam sistem perundang-undangan Indonesia, seperti perlunya mekanisme pengujian (judicial review) Ketetapan MPR terhadap UUD NRI Tahun 1945 maupun judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR terhadap Ketetapan MPR. PEMBAHASAN A. Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia Ketetapan MPR merupakan produk hukum yang cukup unik dan khas Indonesia, sebab MPR sendiri juga merupakan lembaga negara yang cukup unik. Lembaga sejenis MPR hanya terdapat di lingkungan negara-negara komunis yang menerapkan sistem partai tunggal (Yuhana, 2007). Dalam sistem perundang-undangan Indonesia, kedudukan Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundangundangan tidak berubah. Dalam berbagai ketentuan hierarki peraturan perundangundangan yang pernah berlaku, Ketetapan MPR selalu berada setingkat di bawah UUD 1945 dan setingkat di atas

234 UU. Berbagai perdebatan kemudian muncul mengenai faktor yang menyebabkan perbedaan kedudukan antara UUD 1945 dan Ketetapan MPR tersebut. Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, dengan mengutip teori jenjang norma hukum Hans Nawiasky, maka kelompok norma dari Staatsgrundgesetz di Indonesia terdiri dari Vervassungsnorm (UUD 1945), Ketetapan MPR serta Hukum Dasar Tidak Tertulis. UUD 1945 dan Ketetapan MPR merupakan normanorma hukum yang masih bersifat umum dan memuat garis-garis besar serta masih merupakan norma tunggal (Indrati, 2007). Namun, kendati sama-sama menjadi Vervassungsnorm, UUD 1945 harus ditempatkan lebih tinggi dari Ketetapan MPR karena beberapa alasan sebagai berikut: 1. Ditinjau dari bobot pelaksanaan fungsi MPR Dalam pelaksanaan fungsinya, ada tiga tingkatan fungsi MPR yang dapat dibedakan dalam dua jenis kualitas/bobot, yakni: a. Fungsi I : Menetapkan UUD b. Fungsi IIa : Menetapkan garisgaris besar daripada haluan negara. Fungsi II b : Memilih Presiden dan Wakil Presiden (sebelum selanjutnya dipilih langsung oleh rakyat). Dalam melaksanakan Fungsi I, MPR mempunyai kedudukan yang lebih utama (sebagai konstituante) daripada Fungsi II. Pelaksanaan Fungsi I juga hanya dilaksanakan dalam keadaan tertentu. Berbeda dengan pelaksanaan fungsi II yang dilakukan secara teratur sekali dalam lima tahun. Berdasarkan teori pengikatan diri, setelah MPR melaksankaan fungsi I, selanjutnya MPR akan mengikatkan diri dalam ketentuan UUD yang telah dibentuk dan ditetapkan MPR sebelumnya. Sehingga Ketetapan MPR sebagai produk hukum dalam pelaksanaan fungsi II seharusnya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. 2. Ditinjau dari persyaratan Dalam melakukan perubahan UUD 1945, terdapat syarat materil dan syarat formil yang harus dipenuhi MPR. Untuk persyaratan materil, Perubahan UUD 1945 tidak boleh mengganggu keselarasan dan harmoni kaidah-kaidah dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan persyaratan formilnya adalah harus memenuhi persyaratan sesuai dengan yang tercantum dalam UUD. Sedangkan dalam mengubah, mencabut dan menetapkan Ketetapan MPR tidak terdapat syarat materil. Yang ada hanya syarat formil dan lebih ringan daripada perubahan, pencabutan dan penetapan sebuah UUD. Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa kedudukan UUD 1945 lebih tinggi daripada Ketetapan MPR. Namun demikian, UUD 1945 dan Ketetapan MPR termasuk dalam Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara. B. Teori Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Dalam sejarah ilmu perundangundangan, paling tidak terdapat dua teori jenjang norma/hierarki perundangundangan yang paling terkenal, yakni Stufentheorie dari Hans Kelsen dan die Theorie von Stufenordnung derrechstnormen oleh Hans Nawiasky. Secara umum, kedua teori ini memiliki banyak persamaan, yakni sama-sama menyebutkan bahwa norma-norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis, dalam arti suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya. Norma yang di atasnya berlaku dan bersumber pada norma yang di atasnya lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi dan tidak dapat ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi bersifat pre-supposed dan axiomatis (Soeprapto, 2007). Kendati Hans Kelsen terlebih dahulu mengeluarkan teori jenjang norma, namun die Theorie von Stufenordnung der- Rechstnormen oleh Hans Nawiasky lebih kompleks. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi kelebihannya, yakni: pertama, Hans Nawiasky sudah membagi semua norma yang ada ke dalam empat bagian, yakni staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara), Staatsgrundgesetz (aturan dasar negara), formell gesetz (undang-undang formal) dan Verordnung dan Autonome Satzung (peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom) sedangkan Hans Kelsen belum mengelompokkan norma itu. kedua, Hans Nawiasky telah membahas teori jenjang norma itu secara lebih khusus, yang dihubungkan dengan suatu negara sedangkan Hans

235 Kelsen masih membahas norma secara umum dalam arti berlaku untuk semua jenjang norma (termasuk norma hukum negara). Ketiga, Hans Nawiasky tidak sepakat dengan penyebutan Norma Dasar Negara dengan staatsgrundnorm, melainkan staatsfundamentalnorm. Penyebutan ini harus dibedakan, sebab sebutan staatsgrundnorm memiliki pengertian norma dasar yang tidak akan berubah. Padahal, norma dasar ini bisa saja berubah akibat terjadinya perebutan kekuasaan, kudeta dan sebagainya. Oleh karena itu, penyebutan norma dasar negara lebih baik dengan staatsfundamentalnorm. Jika melihat konteks jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka sebagai Norma Dasar/ Norma Fundamental Negara (staatsfundamentalnorm) yang merupakan landasan filosofis dan mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut adalah Pancasila. Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila selanjutnya akan melandasi Aturan Dasar Negara (Staatsgrundgesetz). Norma-norma dari Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara ini merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar. Di Indonesia, staatsgrundgesetz ini ditemukan dalam UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan MPR dan Konvensi Ketatanegaraan sebagai hukum dasar tidak tertulis. Selanjutnya, Aturan Pokok/Aturan Dasar Negara ini akan menjadi landasan bagi pembentukan UU (formell gesetz) dan peraturan lain yang lebih rendah. Berbeda dengan staatsgrundgesetz, norma-norma dalam suatu UU sudah merupakan norma hukum yang lebih konkrit, terinci serta sudah dapat langsung berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Norma-norma dalam UU juga tidak lagi merupakan norma hukum tunggal, karena selain norma hukum primer, juga sudah berpasangan dengan norma hukum sekunder berupa norma tentang sanksi pidana maupun sanksi pemaksa lainnya. Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (verordnung) dan peraturan otonom (Autonome Satzung). Peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi dan peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi. Saat ini, ketentuan yang mengatur jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, yakni sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota C. Teori Judicial Review Pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan berkaitan erat dengan prinsip kekuasaan negara, baik prinsip pembagian kekuasaan negara (distribution of power) maupun pemisahan kekuasaan negara (separation of power). Kedua prinsip ini kemudian dihubungkan dengan prinsip checks and balances yang berfungsi untuk mencegah kekuasaan berada di tangan satu tangan atau organ serta untuk mencegah adanya campur tangan antara badan/organ negara, sehingga masing-masing badan/organ negara dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana yang diatur dalam konstitusi. Dalam praktik dikenal tiga macam norma hukum yang dapat diuji yakni, keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgemen) biasa disebut vonis (bahasa Belanda: vonnis) (Kamus Hukum Belanda Indonesia, 1998). Vonnis dan beschikking selalu bersifat individual and concrete, sedangkan regeling selalu bersifat general and abstract (Asshiddiqie, 2010). Ketiga bentuk norma hukum di atas sama-sama dapat diuji kebenaran dan konsistensinya melalui mekanisme peradilan (justisial) maupun mekanisme nonjustisial. Jika pengujian itu dilakukan oleh lembaga peradilan, maka proses pengujiannya disebut sebagai judicial review. Akan tetapi, jika pengujian itu bukan dilakukan oleh lembaga peradilan tidak dapat disebut dengan judicial review.

236 Dalam bahasa Inggris, upaya hukum untuk menggugat atau menguji ketiga bentuk norma hukum itu melalui pengadilan sama-sama disebut sebagai judicial review. Misalnya, pengujian yang dilakukan oleh hakim tingkat banding untuk menilai kembali vonis pengadilan tingkat pertama, dalam sistem peradilan Amerika Serikat juga disebut judicial review. Demikian pula pengujian kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan di bawahnya disebut pula judicial review. Termasuk dalam mengadili gugatan-gugatan perkara Tata Usaha Negara terhadap keputusan-keputusan administrasi negara, para hakim Amerika Serikat juga menggunakan istilah judicial review. Jika di Inggris tidak dikenal adanya mekanisme judicial review terhadap undang-undang (legislative acts) yang ditetapkan oleh parlemen, sebaliknya justru Amerika Serikat yang pertama sekali (Christopher Wolfe, 1996), mengembangkan mekanisme judicial review atas undang-undang buatan The Congress (Asshiddiqie, 2005), yang dimulai dengan putusan atas kasus Marbury versus Madison pada Tahun 1803 (Chemerinsky, 1997). Padahal, pemakaian istilah judicial review seharusnya tidak bisa digunakan/ dipersamakan untuk semua jenis pengujian peraturan perundang-undangan. Sering terjadi kekeliruan yang menganggap judicial review identik dengan hak menguji (toetsingsrecht). Padahal sesungguhnya sangat berbeda. Hak menguji (toetsingsrecht) memiliki makna yang lebih luas daripada judicial review (Fatmawati, 2005). Di negara yang menganut sistem civil law, kewenangan judicial review hanya diberikan kepada satu lembaga tertinggi saja yang dikenal dengan Constitutional Court atau Mahkamah Konstitusi. Oleh karena tata cara pengujian hanya dilakukan oleh satu Mahkamah saja, maka sistem pengujian tersebut dikenal dengan nama sistem sentralisasi, sedangkan metode pengujiannya disebut principaliter. Di beberapa negara lainnya yang menganut sistem common law, judicial review diberikan kepada para hakim yang bertugas untuk menguji apakah peraturan yang dipermasalahkan dalam kasus yang sedang diperiksa bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Oleh karena prosedur pengujian tersebut dapat dilakukan oleh para hakim dalam pemeriksaan perkara secara konkrit, maka sistem ini disebut dengan sistem desentralisasi dan metode pengujiannya disebut incidenter. Judicial review perlu dilakukan untuk menguji apakah suatu kaidah hukum tidak berlawanan dengan kaidah hukum lain, dan terutama apakah suatu kaidah hukum tidak ingkar dari atau bersifat menyisihkan dari kaidah hukum yang lebih penting atau lebih tinggi derajatnya. Perbedaan dan pertentangan antara kaidah-kaidah hukum dalam satu tata hukum harus diselesaikan dan diakhiri oleh lembaga peradilan yang berwenang menentukan apa yang menjadi hukum positif dalam suatu negara. D. Judicial Review di Indonesia Sebelum berlakunya UUD NRI Tahun 1945, telah berlaku tiga UUD di Indonesia yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dalam UUD 1945. Ketiga UUD tersebut sama sekali tidak memuat ketentuan mengenai pengujian (judicial review). Hal yang sama terjadi juga dalam UUDS 1950. Bahkan dalam Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950 diatur bahwa: Undang- Undang tidak dapat diganggu gugat.. Lahirnya ketentuan seperti ini bisa dipahami karena UUDS 1950 digunakan dalam sistem pemerintahan parlementer. Hal yang berbeda terdapat dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUD NRI Tahun 1945. Dalam kedua UUD ini, ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang- undangan sudah dicantumkan kendati dengan bentuk dan jenis kewenangan yang berbeda, yakni: a. Konstitusi RIS 1949 mengatur bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan ketatanegaraan atau UU daerah bagian dan tidak berhak menguji UU Federal karena UU Federal tidak dapat diganggu gugat. b. UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, sedangkan Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap Undang-Undang Dasar. Menurut UUD NRI Tahun 1945, ada dua jenis peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengujian, yakni UUD dan UU. Menurut Jimly Asshiddiqie (2010), pengujian peraturan perundangundangan di bawah UU terhadap UU

237 dapat disebut sebagai pengujian legalitas (menguji the legality of regulation). Sedangkan pengujian UU terhadap UUD disebut sebagai pengujian konstitusionalitas (menguji the constitutionality of legislative law or legislation). Dijadikannya UU sebagai dasar pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU didasarkan pada pemikiran bahwa UU sebagai konstruksi yuridis yang maksimal untuk mencerminkan kekuasaan tertinggi pada rakyat (Wahjono, 1986). Berbeda dengan legalitas berdasarkan UU, konstitusionalitas berdasarkan UUD tidak harus dimaknai sebatas apa yang tertulis dalam UUD (Asshiddiqie, 2010). Oleh karena itu, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang dapat menggunakna beberapa alat pengukur atau penilai yakni: a. Naskah UUD yang resmi tertulis; b. Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah UUD itu seperti risalah-risalah, keputusan dan Ketetapan MPR, UU tertentu, peraturan tata tertib dan lain-lain; c. Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan yang telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara; Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif masyarakat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan yang ideal dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, maka peraturan perundangundangan di bawah UU yang dapat diuji kepada UU adalah Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang dapat diuji kepada UUD adalah UU saja. Permasalahannya kemudian adalah, setelah berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2011, dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdapat Ketetapan MPR yang kedudukannya berada di antara UUD dan UU. Dari kedua jenis pengujian yang ada, baik oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tak satu pun Mahkamah tersebut yang berwenang menguji konstitusionalitas Ketetapan MPR terhadap UUD. Kendati ke depannya MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk berupa Ketetapan MPR yang bersifat regeling, namun Ketetapan-Ketetapan MPR yang berlaku saat ini juga perlu untuk diuji, apakah Ketetapan tersebut bertentangan atau tidak dengan UUD NRI Tahun 1945. E. Judicial Review Ketetapan MPR terhadap UUD NRI tahun 1945. Berdasarkan teori stufenbau maka Ketetapan MPR harus berlaku, bersumber, mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada di atasnya, yakni UUD NRI Tahun 1945. Faktanya, masih banyak isi dari peraturan perundang-undangan yang belum sesuai atau menyimpang dari UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, sebagai negara hukum, maka harus ada cara untuk membenarkannya, yakni melalui pengujian oleh lembaga yudisial (judicial review) atas suatu peraturan perundangundangan. Pengujian peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan oleh lembaga yang diberi kewenangan melakukan judicial review terhadap suatu peraturan perundang-undangan, apakah masih sejalan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis lebih tinggi. Persoalan pengujian Ketetapan MPR terhadap UUD NRI Tahun 1945 tentu tidak bisa dianggap sebelah mata. Jika isi Ketetapan MPR saja sudah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, maka Ketetapan MPR tersebut menjadi tidak layak dijadikan sebagai acuan, sandaran atau gantungan bagi norma hukum di bawahnya. Beragam pendapat menyoal mekanisme judicial review Ketetapan MPR terhadap UUD NRI Tahun 1945. Menurut Jimly Asshiddiqie (2010), jika membaca Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003, sesungguhnya MPR sendiri telah menundukkan status hukum Ketetapan-Ketetapan yang dibuatnya sendiri menjadi setingkat dengan UU. Sehingga untuk selanjutnya, Ketetapan- Ketetapan yang tersisa (dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003) telah sederajat dengan UU maka pengujiannya terhadap UUD NRI

238 Tahun 1945 pun dapat dilakukan oleh lembaga yang menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945, yakni Mahkamah Konstitusi. Pendapat Jimly ini tidak dapat diterima seluruhnya karena faktanya tidak semua Ketetapan MPR yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003 tersebut diamanatkan untuk diubah menjadi UU, Untuk Ketetapan yang terdapat dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 memang benar diamanatkan akan diubah ke dalam bentuk UU, namun tiga Ketetapan MPR/S yang terdapat dalam Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003 tidak demikian halnya. Menurut Ni matul Huda, cara menguji Ketetapan MPR terhadap UUD NRI Tahun 1945 adalah oleh MPR itu sendiri, yakni melalui political review atau legislative review. Dasar konstitusional kewenangan tersebut adalah Pasal 1 Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945. Menurut penulis, solusi ini tidak tepat karena dasar pertimbangan, alasan dan tujuan legislative review tidak selalu sama dengan judicial review. Diskursus pengujian Ketetapan MPR/S terhadap UUD tersebut akhirnya terjawab oleh Putusan MK Nomor 24/PUU-XI/2013. Dalam putusan tersebut, MK dengan tegas mengatakan bahwa pengujian Ketetapan MPR/S terhadap UUD bukanlah kewenangan mahkamah. Penulis berpendapat bahwa Putusan MK tersebut terlalu positivistik. Harusnya, MK dapat memberikan putusan yang lebih responsif dan progresif agar tidak terjadi kebuntuan hukum. Dalam putusan tersebut, MK seyogyanya dapat menjadikan asas ius curia novit (seorang hakim tidak bisa menolak perkara dengan alasan tidak ada ketentuan hukum yang mengaturnya) sebagai titik tolak kewenangan pengujian Ketetapan MPR. Dengan bersandar pada asas tersebut, menjadi suatu kewajiban bagi MK untuk menyelesaikan permasalahan konstitusional yang diajukan kepadanya. Artinya hakim tidak bisa hanya menjadi corong undang-undang, namun harus mampu menafsirkan hukum karena hakim diberikan kebebasan untuk menemukan hukum (rechtsvinding) yang dianggap adil untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Selain hal tersebut, bersandar pada kewenangannya sebagai the guardian of constitution, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban menyelesaikan permasalahan konstitusional yang dialami setiap warga negara dengan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Artinya, ketika kehadiran sebuah peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Ketetapan MPR) dianggap telah merampas hak konstitusional warga negara, maka Mahkamah Konstitusi harus berani menyatakan bahwa peraturan perundangundangan tersebut inkonstitusional. Dengan putusan MK tersebut, Ketetapan MPR/S telah menjadi peraturan perundang-undangan yang seolah-olah tidak tersentuh. Tidak ada upaya yang dapat dilakukan untuk mengoreksi jika seandainya Ketetapan MPR/S tersebut bertentangan dengan UUD sebagai hukum tertinggi di negeri ini. Apalagi, MPR setelah Perubahan UUD 1945 juga tidak diberikan kewenangan untuk mengeluarkan Ketetapan MPR. F. Judicial Review Peraturan Perundang-Undangan di Bawah Ketetapan MPR Terhadap Ketetapan MPR Sebelum menganalisis lebih jauh mengenai judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR terhadap Ketetapan MPR, perlu dikaji terlebih dahulu posisi Ketetapan MPR bila dipandang dari lembaga yag membuatnya. Secara konstitusional, MPR sebagai lembaga pembentuk Ketetapan MPR bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara yang berada di atas lembaga lainnya, melainkan setingkat dengan DPR dan Presiden sebagai lembaga legislatif (pembuat UU). Berdasarkan asas bahwa peraturan yang dibuat oleh lembaga yang lebih tinggi akan berkedudukan lebih tinggi pula (Purbacaraka dan Soekamto, 1993), maka Ketetapan MPR secara teoritis dapat dikatakan setara dengan UU, bukan setingkat di atas UU. Namun, persoalannya tidak berhenti sampai di situ saja. Jika dipandang dari segi bentuk dan lembaga yang berwenang menetapkannya, jelas bahwa Ketetapan MPR sama sekali bukanlah UU. Ketetapan MPR yang masih berlaku saat ini masih dapat dinilai lebih tinggi dari UU dengan alasan sebagai berikut (Asshiddiqie, 2010):

239 a. Secara historis sampai dengan pelaksanaan sidang MPR tahun 2003, kedudukan Ketetapan MPR memang lebih tinggi daripada kedudukan UU seperti yang ditentukan oleh Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000; b. Berdasarkan bentuknya, jelas bahwa Ketetapan MPR yang masih berlaku tidak berbentuk UU, sehingga tidak dapat disamakan dengan UU; c. Berdasarkan lembaga pebentuk atau lembaga yang menetapkannya, jelas bahwa Ketetapan MPR tidak ditetapkan oleh lembaga pembentuk UU yaitu DPR dan Presiden, melainkan oleh MPR atau MPRS. Oleh karena itu, dalam pembentukan UU Nomor 12 Tahun 2011, sesungguhnya hanya ada dua pilihan yang dimungkinkan, yakni Ketetapan MPR sejajar dengan UUD NRI Tahun 1945 atau berada setingkat di atas UU namun tetap di bawah UUD NRI Tahun 1945. Faktanya, pembuat UU akhirnya memutuskan bahwa Ketetapan MPR berada setingkat di bawah UUD NRI Tahun 1945 dan setingkat di atas UU. Dengan demikian, secara normatif UU berada di bawah Ketetapan MPR/S dan sesuai teori stufenbau, otomatis pula bahwa UU harus sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan Ketetapan MPR. Jika tidak sesuai, maka harus dilakukan judicial review. Sayangnya, mekanisme judicial review ini tidak diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU Nomor 12 Tahun 2011, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun UU Nomor 24 Tahun 2003 jo UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, sesungguhnya ada celah dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR terhadap Ketetapan MPR, yakni jika ditarik dari lembaga yang membuatnya. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, MPR mempunyai wewenang mengubah dan menetapkan UUD. Berdasarkan pasal tersebut, maka Ketetapan MPR/S kalau dilihat dari lembaga yang membuatnya adalah peraturan yang setingkat dengan UUD 1945, namun karena mengubah dan menetapkan UUD merupakan fungsi MPR yang utama (fungsi konstituante) sehingga secara hierarki UUD 1945 lebih tinggi dari TAP MPR/S. Dengan demikian, berdasarkan lembaga yang membuatnya, maka penulis lebih sepakat bahwa kalau terjadi pertentangan antara peraturan perundangundangan di bawah Ketetapan MPR terhadap Ketetapan MPR, maka yang mengujinya adalah Mahkamah Konstitusi. Alasannya adalah bahwa Ketetapan MPR dan UUD NRI Tahun 1945 bisa dianggap setingkat karena dibuat oleh lembaga yang sama. Selain itu, berdasarkan materi muatannya, Ketetapan MPR dan UUD NRI Tahun 1945 adalah sama-sama merupakan Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara. Tentu dapat dipahami kalau berbagai macam perdebatan akan langsung muncul jika judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR terhadap Ketetapan MPR dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Alasannya tentu karena tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur hal tersebut. Secara normatif kepastian hukum alasan tersebut mungkin saja benar, namun kalau dilihat dari substansinya maka itu dapat dibenarkan sebab dalam permasalahan ini terjadi kekosongan hukum. Seharusnya, jika terjadi kekosongan hukum maka sebuah kebijaksanaan dapat diambil demi terciptanya keadilan substansial. Mengutip pendapat Mahfud MD (2007), bahwa ketentuan tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan sebagai cara/ upaya untuk mencapai keadilan. Sebagai contoh, banyak pihak berpendapat bahwa UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dianggap beberapa kalangan tidak sesuai dengan ekonomi kerakyatan sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Seandainya ada warga negara yang keberatan dengan UU ini maka seharusnya judicial review bisa dilakukan karena bertentanngan dengan Ketetapan MPR tersebut. Kenyataannya, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR (dalam hal ini UU/Perpu) terhadap Ketetapan MPR belum ada. Dengan demikian, dalam hal ini terjadi kebuntuan hukum. Jika negara tidak mengambil langkah konkrit untuk mengatasi permasalahan tersebut, berarti

240 negara telah menelantarkan rakyat yang ingin mencari keadilan akibat berlakunya UU tersebut. Padahal, seyogyanya UU berfungsi sebagai pengatur masyarakat, dan persoalan mengatur masyarakat adalah bagaimana mendistribusikan keadilan bisa diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat (Saifuddin, 2009). Dengan demikian, jika UU Nomor 25 Tahun 2007 tidak diterima oleh masyarakat atau pihakpihak yang merasa haknya dilanggar dengan lahirnya UU tersebut, maka seharusnya ada jalur hukum untuk mempertanyakannya. Memang, jika seandainya MK memutuskan berwenang untuk mengadili judicial review UU/Perpu terhadap Ketetapan MPR, maka diyakini akan memunculkan perdebatan-perdebatan. Banyak pihak akan menuduh MK telah dengan seenaknya memperluas kewenangannya sendiri. Namun, dengan berkaca pada beberapa Putusan MK tentang judicial review Perpu terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka MK dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat terkait judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR terhadap Ketetapan MPR. Sebagai perbandingan, MK dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang perkara Permohonan Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam Pertimbangan Hukumnya mengatakan: Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 junctis Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), selanjutnya disebut UU MK dan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), selanjutnya disebut UU 4/2004 salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji UU terhadap UUD. Dalam pertimbangan hukum tersebut, memang tidak terdapat kewenangan MK untuk melakukan judicial review Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, namun dalam pertimbangan hukum selanjutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dapat disamakan dengan Undang-Undang seperti di bawah ini: Menimbang bahwa UUD membedakan antara Perpu dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2) yang tujuannya adalah untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Karena Perpu diatur dalam Bab tentang DPR sedangkan DPR adalah pemegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang maka materi Perpu seharusnya adalah materi yang menurut UUD diatur dengan UU dan bukan materi yang melaksanakan UU sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan materi Perpu juga bukan materi UUD. Apabila terjadi kekosongan UU karena adanya berbagai hal sehingga materi UU tersebut belum diproses untuk menjadi UU sesuai dengan tata cara atau ketentuan yang berlaku dalam pembuatan UU namun terjadi situasi dan kondisi yang bersifat mendesak yang membutuhkan aturan hukum in casu UU untuk segera digunakan mengatasi sesuatu hal yang terjadi tersebut maka Pasal 22 UUD 1945 menyediakan pranata khusus dengan memberi wewenang kepada Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang-Undang. Pembuatan UU untuk mengisi kekosongan hukum dengan cara membentuk UU seperti proses biasa atau normal dengan dimulai tahap pengajuan RUU oleh DPR atau oleh Presiden akan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga kebutuhan hukum yang mendesak tersebut tidak dapat diatasi. Sekali lagi, dengan perbandingan putusan di atas, maka seharusnya MK berwenang juga melakukan judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR terhadap Ketetapan MPR dengan menggunakan alasan bahwa Ketetapan MPR dan UUD NRI Tahun

241 1945 bisa dianggap setingkat karena dibuat oleh lembaga yang sama. Selain itu, berdasarkan materi muatannya, Ketetapan MPR dan UUD NRI Tahun 1945 adalah sama-sama merupakan Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara. PENUTUP Untuk menjawab permasalahan judicial review setelah dicantumkannya kembali Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah Konstitusi seharusnya berwenang untuk melakukannya, baik judicial review Ketetapan MPR terhadap UUD NRI Tahun 1945, maupun judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR terhadap Ketetapan MPR. Untuk itu, demi memberikan kepastian hukum terhadap Ketetapan MPR yang masih berlaku, maka diperlukan ketegasan pembentuk UU untuk memasukkan ketentuan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011 ke dalam ketentuan batang tubuh UU Nomor 12 Tahun 2011. Jika ada pendapat yang menginginkan judicial review terhadap Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 dengan harapan Ketetapan MPR tidak masuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Hemat penulis, judicial review tersebut tidak menyelesaikan masalah, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa Ketetapan-Ketetapan MPR dalam Pasal 2 dan 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 masih hidup dan berlaku, setidaknya untuk Pasal 2. Oleh karena itu, yang diperlukan bukan judicial review Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2011, namun perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judicial review di Indonesia dalam rangka memberikan kepastian hukum atas permasalahan judicial review dalam sistem perundang-undangan di Indonesia setelah berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2011. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, J. 2005. Model-Model Pengujian Konstitutional di Berbagai Negara, Cetakan Pertama, Jakarta: Konstitusi Press.. 2010. Perihal Undang- Undang, Jakarta: Rajawali Press.. 2010. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sinar Grafika. Fatmawati. 2005. Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara, Jakarta: LP3ES. Nazriyah, R. 2007. MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, Yogyakarta: FH UII Press. Purbacaraka, P., dan S. Soekamto. 1993. Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Cetakan Keempat, Bandung: Citra Aditya Bakti. Saifudin. 2009. Partisifasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Parundangundangan, Yogyakarta: FH UII Press. Soeprapto, M. F. I. 2007. Ilmu Perundang- Undangan Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Cetakan Ketigabelas, Yogyakarta: Kanisius. Yuhana, A. 2007. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung: Fokus Media. Nurbaningsih, E. 2011. Implikasi Hierarki Baru Terhadap Sistem Legislasi Pusat dan Daerah, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 8, Nomor 4, Desember, 2011. Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.

242 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XI/2013. Risalah Rapat Paripurna ke-36 (tiga puluh enam) DPR RI Masa Sidang IV Tahun Sidang 2010 2011, 22 Juli 2011. Kurnia Illahi, Perlukah GBHN Dibentuk Kembali, dalam http://arsip.jurnalparlemen.com/news/ kelengkapan/perlukah-gbhndibentuk-kembali.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2012.