HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah alokasi (transfer)

PENDAHULUAN Latar Belakang

METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

FORMULASI PERHITUNGAN KESENJANGAN FISKAL PEMEKARAN PROVINSI TAPANULI (DANA ALOKASI UMUM TAPANULI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari sumber-sumber pendapatan di dalam wilayahnya sendiri. penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

8.1. Keuangan Daerah APBD

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Kondisi Geografis

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. berupa data kuantitatif, yaitu Data Laporan Realisasi Anggaran APBD pemerintah

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII EKONOMI DAN KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV METODA PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dan kewajiban setiap orang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pembangunan

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

Desentralisasi Fiskal Dalam Perspektif Daerah Jawa Barat * Armida S. Alisjahbana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

Transkripsi:

55 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Keuangan, Pemerintah Daerah dan instansi terkait lainnya dilakukan analisis untuk bisa menjawab satu per satu tujuan penelitian yang ingin dicapai. Berikut ini adalah uraian teoritis dan pembahasan hasil analisis yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Analisis Formula DAU Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 menghapuskan dua jenis transfer utama dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang selama ini dilakukan, yaitu Subsidi Daerah Otonom (SDO) atau Dana Rutin Daerah (DRD) dan transfer berbentuk Instruksi Presiden (Inpres) atau Dana Pembangunan Daerah (DPD). Kedua transfer ini diganti dengan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Jumlah DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN. Selanjutnya 10 persen dari dana tersebut dialokasikan kepada provinsi dan sisanya 90 persen diberikan kepada kabupaten/kota. Besarnya DAU yang diterima oleh masing-masing daerah ditetapkan dengan Keputusan/Peraturan Presiden. Selanjutnya Menteri Keuangan menyalurkan DAU tersebut kepada masing-masing daerah setiap bulan sebesar 1/12 dari plafon DAU yang diterima masing-masing daerah. Tujuan pengalokasian DAU selain dalam kerangka otonomi pemerintahan di tingkat daerah juga dalam kerangka pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Meskipun kerap dinyatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya dengan sumber daya alam (SDA) tetapi distribusi SDA itu sendiri di antara provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia tidak merata. Oleh karena itu sumber perimbangan dana keuangan pusatdaerah yang berasal dari SDA juga akan menimbulkan ketidakmerataan antardaerah. Dalam konteks ini, DAU dimaksudkan untuk dapat memperbaiki pemerataan perimbangan keuangan yang ditimbulkan oleh bagi hasil SDA tersebut. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengatur bahwa DAU dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan bobot daerah. Besarnya bobot daerah dirumuskan dengan menggunakan suatu formula yang didasarkan atas celah fiskal, yaitu selisih antara

56 kebutuhan dan potensi fiskal daerah. Kebutuhan fiskal daerah dicerminkan oleh variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan penduduk miskin. Sementara potensi fiskal dicerminkan oleh variabel potensi industri, SDA, SDM, dan PDRB (lihat Gambar di bawah). KAPASITAS FISKAL Potensi Industri Potensi SDA Potensi SDM PDRB VARIABEL KAPASITAS FISKAL X1 X2 X3 X4 dst AMANAT UU 25/1999 KEBUTUHAN FISKAL Jumlah Penduduk Luas Wilayah Keadaan Geografi Penduduk Miskin PP Dana Perimbangan VARIABEL KEBUTUHAN FISKAL Y1 Y2 Y3 Y4 dst FORMULA DAU Gambar 10 Prosedur penyusunan formula DAU Sumber : Departemen Keuangan Meskipun formula dan pengalokasian DAU kepada daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 seperti dapat dilihat pada Gambar di atas, tetapi dalam pelaksanaannya formula dan alokasi DAU belum sepenuhnya dilakukan secara obyektif, adil dan transparan. Formula dan alokasi DAU masih dominan dipengaruhi oleh faktor nonekonomi, yakni political adjustment yang datang dari Panitia Anggaran DPR RI dan dari pemerintah daerah yang memiliki potensi fiskal yang tinggi. Oleh sebab itu pada bagian ini akan dilakukan analisis formula DAU yang digunakan selama tahun anggaran 2001-2005.

57 Formula DAU Tahun 2001 Dalam proses penyusunan formula DAU 2001 yang disepakati antara pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR RI mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut (Sidik et al. 2002): 1. Norma Hukum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Salah satu kaidah utama yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 adalah bahwa DAU akan dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan bobot daerah. Bobot daerah harus dirumuskan dengan menggunakan fomula yang didasarkan atas pertimbangan kebutuhan dan potensi penerimaan daerah. 2. Besarnya DAU minimal sama dengan besarnya DRD dan DPD Pada tahun anggaran 2000 dan sebelumnya, seluruh pembiayaan untuk memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat diberikan secara langsung dan diarahkan oleh pemerintah pusat dalam bentuk Dana Rutin Daerah (DRD) atau istilah sebelumnya Subsidi Daerah Otonom (SDO), dan Dana Pembangunan Daerah (DPD) atau istilah sebelumnya Inpres. Oleh karena proses otonomi dimulai pada tahun 2001 maka sebagian besar pegawai pusat (pegawai Kanwil dan Kandep) akan menjadi pegawai daerah. Untuk itu bantuan DRD sepenuhnya akan didaerahkan pula dalam bentuk DAU. Oleh karena itu DAU minimal harus sama dengan DRD dan DPD yang diterima daerah tahun sebelumnya. 3. Formula didasarkan atas variabel yang datanya tersedia dan akurat Formula DAU harus memiliki variabel yang datanya terdapat di setiap daerah dan instansi yang kredibilitas seperti Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka formula DAU 2001 dapat dituliskan sebagai berikut: DAU = Faktor Penyeimbang (FP) + Faktor Lumpsum (FL) + Faktor Formula (FF) Faktor penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk mencegah penurunan kapasitas fiskal daerah, pemerintah menjamin secara eksplisit bahwa setiap daerah tidak akan menerima DAU lebih rendah dari total DRD dan DPD. Mengingat tahun anggaran 2000 hanya berumur 9 bulan, maka dasar penghitungan yang dipakai adalah 4/3 kali

58 besarnya anggaran tahun 2000. Di samping fungsi di atas faktor penyeimbang juga diharapkan dapat mengatasi masalah pendanaan yang muncul akibat terjadinya transfer pegawai pusat ke daerah yang membawa konsekuensi pada belanja pegawai daerah. Transfer pegawai terjadi akibat dilikuidasinya beberapa Kanwil dan Kandep menjadi dinas daerah. Guna mengatasi beban tersebut pemerintah memperkirakan bahwa kenaikan 30% DRD dan 10% Inpres akan cukup memadai. Dasar penetapan angka tersebut adalah kenaikan DRD dan DPD tahun 1999/2000 dan 2000. Dengan demikian besarnya faktor penyeimbang adalah: FP = 1,3 DRD + 1,1 DPD Faktor Lumpsum pada intinya adalah suatu mekanisme untuk membagi habis total DAU yang sudah dianggarkan dalam APBN. Dalam praktiknya terjadi selisih hitung antara total DAU yang dianggarkan dengan total faktor penyeimbang dan faktor formula. Mengingat selisih tersebut hanya Rp361 juta, maka jumlah tersebut dibagi rata untuk kabupaten/kota yang saat itu berjumlah 337, sehingga setiap kabupaten/kota menerima sekitar Rp1,1 juta. Variabel yang dipergunakan dalam Faktor Formula yang mencerminkan potensi penerimaan adalah sebagai berikut: 1. PDRB sektor SDA (primer) Sektor-sektor yang termasuk dalam SDA ini adalah sektor yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 untuk dibagihasilkan ke daerah, yaitu Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Minyak dan Gas. Variabel ini dipergunakan untuk memperlihatkan perbedaan potensi daerah kaya dengan miskin SDA. Indeks SDA Daerah = (PDRB sektor SDA Daerah / PDRB Daerah) (PDB sektor SDA Nasional/PDB Nasional) 2. PDRB sektor industri dan jasa lainnya (nonprimer) Variabel ini dipelukan untuk menunjukkan potensi penerimaan suatu daerah dari sumber-sumber yang berasal bukan dari bagi hasil SDA, seperti PAD maupun bagi hasil pajak PBB.

59 Indeks Industri Daerah = (PDRB sektor nonprimer Daerah / PDRB Daerah) (PDB sektor nonprimer Nasional/PDB Nasional) 3. Besarnya angkatan kerja Variabel ini untuk menunjukkan perbedaan potensi SDM yang dimiliki daerah. Daerah yang memiliki SDM yang besar secara relatif akan memiliki potensi penerimaan yang lebih baik, misalnya dari bagi hasil PPh perorangan. Indeks SDM Daerah = (Angkatan Kerja Daerah / Populasi Daerah). (Angkatan Kerja Indonesia/Populasi Indonesia) Variabel yang dipergunakan Kebutuhan Daerah adalah sebagai berikut: 1. Jumlah Penduduk Besarnya penduduk suatu daerah mencerminkan kebutuhan pelayanan yang diperlukan. Indeks Penduduk = Populasi Daerah. Rata-rata Populasi Daerah secara nasional 2. Luas Wilayah Daerah dengan penduduk yang tidak padat tetapi dengan memiliki cakupan wilayah yang luas membutuhkan pembiayaan yang besar. Indeks Luas Daerah = Luas Daerah. Rata-rata Luas Daerah secara nasional 3. Indek Harga Bangunan Indeks harga bangunan merupakan pencerminan dari kondisi geografis suatu daerah. Biaya konstruksi akan lebih mahal pada daerah pegunungan maupun daerah terpencil dibandingkan dengan daerah dataran atau perkotaan.

60 Indeks Harga Daerah = Indeks Konstruksi Daerah. Rata-rata Indeks Konstruksi Daerah 4. Jumlah Penduduk Miskin Target pelayanan adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, makin banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan makin besar kebutuhan pembiayaan suatu daerah. Indeks Kemiskinan = Jumlah Penduduk Miskin Daerah. Rata-rata Jumlah Penduduk Miskin nasional Proses Penetapan variabel dan Formula DAU tahun 2001 dapat digambarkan sebagai berikut: KAPASITAS FISKAL Potensi Industri Potensi SDA Potensi SDM PDRB VARIABEL KAPASITAS FISKAL PDRB Nonprimer PDRB Primer Angkatan Kerja AMANAT UU 25/1999 KEBUTUHAN FISKAL Jumlah Penduduk Luas Wilayah Keadaan Geografi Penduduk Miskin PP Dana Perimbangan VARIABEL KEBUTUHAN FISKAL Jumlah Penduduk Luas Wilayah Indeks Harga Bangunan Jumlah Penduduk Miskin FORMULA DAU 2001 Gambar 11 Proses penetapan variabel dan formula DAU tahun 2001 Sumber : Departemen Keuangan

61 Selanjutnya, untuk menentukan bobot DAU suatu daerah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Melakukan perkiraan Kebutuhan Fiskal dengan menggunakan variabel-variabel: Kebutuhan Fiskal = Pengeluaran Daerah Rata-rata x Indeks Pdkk + Indeks luas + Indeks Harga + Indeks Miskin 4 Pengeluaran daerah rata-rata adalah total nasional belanja daerah ditambah dengan pengeluaran DIK yang akan didaerahkan untuk tahun 2001 dibagi dengan jumlah daerah (provinsi atau kabupaten/kota) Pengeluaran Daerah Rata-rata = Total Belanja Daerah Nasional + Dana DIK yang didaerahkan Jumlah Daerah 2. Melakukan perkiraan Kapasitas Fiskal dengan menggunakan variabel-variabel: Kapasitas Fiskal = Penerimaan Daerah Rata-rata x Indeks Industri + Indeks SDA + Indeks SDM 3 Penerimaan daerah rata-rata adalah total PAD ditambah dengan Bagi Hasil Pajak dibagi dengan jumlah daerah (provinsi atau kabupaten/kota). Penerimaan Daerah Rata-rata = PAD + Bagi Hasil Pajak Jumlah Daerah 3. Menetapkan kebutuhan DAU daerah dengan cara menghitung selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Kebutuhan DAU = Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal 4. Menetapkan Bobot DAU Daerah dengan cara membandingkan kebutuhan DAU daerah yang bersangkutan terhadap total kebutuhan DAU.

62 Bobot DAU Daerah = Kebutuhan DAU Total Kebutuhan Daerah DAU 5. Setelah bobot DAU setiap daerah diketahui, maka dapat dihitung besarnya alokasi DAU untuk setiap suatu kabupaten/kota atau suatu provinsi. Besarnya alokasi DAU ke suatu kabupaten/kota dihitung dengan mengalikan bobot kabupaten/kota bersangkutan dengan besarnya total dana DAU yang tersedia untuk kabupaten/kota. Total dana DAU untuk kabupaten/kota secara nasional adalah 90% dikalikan DAU Nasional, sedangkan total dana untuk provinsi adalah 10% dikalikan DAU provinsi. Besar DAU Nasional adalah 25% dari penerimaan dalam negeri netto APBN. Alokasi DAU suatu kabupaten/kota = 90% x DAU Nasional x bobot DAU Alokasi DAU suatu provinsi = 10% x DAU Nasional x bobot DAU DAU Nasional = 25% x Penerimaan Dalam Negeri Netto APBN

63 Langkah-langkah penetapan bobot DAU daerah secara ringkas dapat dilihat pada gambar di bawah ini: KAPASITAS FISKAL PAD + BHP Industri x + SDM + SDA n 3 Rutin + Pembangunan + DIK Pdkk + Luas + Harga + Miskin x n 4 KEBUTUHAN FISKAL CELAH FISKAL DAERAH Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal BOBOT DAU DAERAH Celah Celah Fiskal Fiskal Daerah i Total Celah Fiskal DAU PROVINSI 10% x DAU Nasional x Bobot DAU DAU KABUPATEN/KOTA 90% x DAU Nasional x Bobot DAU Gambar 12 Proses penetapan alokasi DAU tahun 2001 Sumber : Departemen Keuangan diolah Dengan ditetapkannya kebijakan yang mengharuskan alokasi DAU yang diterima daerah minimal sama dengan penerimaan daerah tahun sebelumnya (holding harmless), konsekuensinya harus ada penyesuaian terhadap proporsi faktor penyeimbang dan faktor formula. Akibat dari kebijakan tersebut, sekitar 80% alokasi DAU ditentukan oleh faktor penyeimbang dan 20% oleh faktor formula. Hal ini berimplikasi langsung terhadap distribusi DAU menjadi tidak proporsional. Faktor pemerataan yang dicerminkan melalui faktor formula, proporsinya justru jauh lebih kecil dibandingkan dengan faktor penyeimbang (faktor politis). Berarti tujuan dari kebijakan alokasi DAU, yaitu

64 meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, secara umum belum sepenuhnya dilakukan pada tahun 2001. Formula DAU Tahun 2002 DAU tahun 2001 dengan model perhitungan seperti yang telah diuraikan di atas dialokasikan kepada daerah melalui Keppres Nomor 181 Tahun 2000. Pemerintah menyadari bahwa formula DAU 2001 masih terdapat beberapa kelemahan, guna menindaklanjutinya pemerintah bekerjasama dengan 4 universitas, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Andalas, dan Universitas Hasanuddin melakukan studi mengenai formula DAU 2002. Hasil kajian 4 universitas tersebut menjadi bahan rekomendasi Pemerintah dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) kepada DPR RI. Rekomendasi formula DAU 2002 hasil kajian keempat universitas tersebut untuk variabel Kapasitas Fiskal adalah: 1. Pendapatan Asli Daerah Mengingat pajak dan retribusi daerah sangat terkait dengan kegiatan sektor jasa, maka variabel ini merupakan penjumlahan nilai tambah bruto dari sektor yang berkaitan dengan jasa : sektor listrik, gas, air minum, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor perhubungan dan komunikasi, sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya, serta sektor jasa-jasa lainnya. PAD (perkiraan) = βo + β1 PDRB Sektor Jasa 2. PBB dan BPHTB Meskipun kedua jenis pajak ini merupakan pajak pusat tetapi karena pembagiannya lebih dari 90% kembali ke daerah, maka kedua jenis pajak ini dimasukkan sebagai kapasitas fiskal daerah. 3. Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi PPh Orang pribadi dibagihasilkan kepada daerah sebesar 20%. Suatu daerah yang memiliki jumlah SDM yang besar akan memiliki potensi penerimaan yang lebih baik. 4. Bagi Hasil SDA Mengingat pertimbangan adanya ketidakpastian jumlah bagi hasil SDA yang akan diterima daerah serta untuk memberikan insentif daerah sebagai biaya perbaikan

65 lingkungan dan biaya sosial sebagai dampak eksploitasi SDA, maka bagi hasil SDA yang diperhitungkan dalam formula DAU hanya sebesar 75%. Sementara rekomendasi untuk variabel Kebutuhan Fiskal 2002 secara keseluruhan relatif sama dengan Kebutuhan Fiskal 2001, yaitu (1) Jumlah penduduk, (2) Luas Wilayah, (3) Indeks Harga Bangunan (4) Penduduk Miskin. Variabel kebutuhan fiskal dikelompokkan dalam variabel kependudukan dan variabel kewilayahan dengan masingmasing bobot yang sama sebesar 50%, dengan rincian: Indeks Kependudukan diberi bobot 0,4 Indeks Kemiskinan diberi bobot 0,1 Indeks Luas Wilayah diberi bobot 0,4 Indeks Harga Bangunan diberi bobot 0,1 Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangan kemampuan daerah dalam pembiayaan beban pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya, aloksi DAU 2002 di samping menggunakan formula yang didasarkan celah fiskal, juga memperhitungkan Alokasi Minimal yang didasarkan atas besarnya kebutuhan belanja pegawai daerah dan lumpsum. Proporsi gaji PNS merupakan transfer dari sejumlah proporsi DAU yang dialokasikan secara proporsional dari kebutuhan gaji pegawai masing-masing daerah kebutuhan gaji daerah secara nasional. Lumpsum merupakan sejumlah proporsi DAU yang dibagikan secara merata kepada seluruh daerah Dengan demikian formula DAU 2002 hasil kajian 4 universitas dan disetujui oleh Pemerintah, DPOD, dan DPR adalah sebagai berikut: DAU i = AM i + (BD i x DAU n ) Bobot DAU daerah bersangkutan dihitung sebagai porsi celah fiskal daerah bersangkutan terhadap total celah fiskal yang ada: BD i = Celah Fiskal i /Total Celah Fikal

66 Penjelasan variabel adalah sebagai berikut: DAU i = DAU yang akan dialokasikan ke provinsi atau kabupaten/kota i DAU n = DAU yang akan dialokasikan ke seluruh provinsi atau kabupaten/kota setelah dikurangi Alokasi Minimal BD i = Bobot Daerah provinsi atau kabupaten/kota Bobot DAU dibentuk dari perhitungan celah fiskal yang didasarkan atas selisih antara kebutuhan fiskal daerah dan kapasitas fiskal daerah. Celah Fiskal i = Kebutuhan Fiskal i Kapasitas Fiskal i Variabel Kebutuhan Fiskal (KbF) dan Kapasitas Fiskal (KpF) dicerminkan oleh: Kebutuhan Fiskal i = TPR (0,4 IP i + 0,1 IW i + 0,1 IKR i + 0,4 IHB i ) Penjelasan variabel adalah sebagai berikut: TPR : Total Pengeluaran Rata-rata dalam APBD; IP : Indeks Jumlah Penduduk; IW : Indeks Luas Wilayah; IKR : Indeks Kemiskinan Relatif (poverty gap); IHB : Indeks Harga Bangunan; Kapasitas Fiskal i = PAD i + PBB i + BPHTB i + PPh i + SDA i Penjelasan variabel adalah sebagai berikut: PAD : Pendapatan Asli Daerah Estimasi PBB : Pajak Bumi dan Bangunan BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan PPh : Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Pasal 21 SDA : Sumber Daya Alam

67 Proses Penetapan variabel dan Formula DAU tahun 2002 dapat digambarkan sebagai berikut: KAPASITAS FISKAL Potensi Industri Potensi SDA Potensi SDM PDRB VARIABEL KAPASITAS FISKAL PDRB Industri dan Jasa Bagi Hasil SDA, PBB, BPHTB PPh Orang pribadi AMANAT UU 25/1999 KEBUTUHAN FISKAL Jumlah Penduduk Luas Wilayah Keadaan Geografi Penduduk Miskin PP Dana Perimbangan VARIABEL KEBUTUHAN FISKAL Jumlah Penduduk Luas Wilayah Indeks Harga Bangunan Indeks Kemisikinan Relatif FORMULA DAU 2002 Gambar 13 Proses penetapan variabel dan formula DAU tahun 2002 Sumber : Departemen Keuangan Besarnya komposisi antara Alokasi Minimal dan formula Celah Fiskal adalah : Untuk Provinsi : 50% Alokasi Minimal (30% berdasarkan kebutuhan gaji, 20% Lumpsum) dan 50% Celah Fiskal. Untuk Kabupaten/Kota : 60% Alokasi Minimal (50% berdasarkan kebutuhan gaji, 10% Lumpsum) dan 40% Celah Fiskal. Formula DAU Tahun 2003-2005 Pada dasarnya variabel Kebutuhan Fiskal, variabel Kapasitas Fiskal dan variabel Alokasi Minimal yang dipergunakan untuk formula DAU tahun anggaran 2003 sampai 2005 tidak mengalami perbedaan dari formula DAU 2002. Perubahan terjadi hanya pada besarnya komposisi antar Alokasi Minimal dan Celah Fiskal. Pada formula DAU 2003-2005 komposisi Alokasi Minimal semakin berkurang dan komposisi Celah Fiskal semakin bertambah. Perbandingan komposisi antara Alokasi Minimal dan Celah Fiskal yang dipergunakan dalam perhitungan DAU selama tahun anggaran 2001-2005 dapat dilihat pada Tabel berikut.

68 Tabel 12 Perbandingan perhitungan DAU tahun 2001-2005 Uraian Komponen DAU Perhitungan DAU 2001 2002 2003 2004 2005 Nasional AM + CF M + CF AM + CF AM + CF AM + CF Alokasi Minimal (AM) DRD + DPD TA 2000 Lumpsum + α Gaji Lumpsum + α Gaji Provinsi Lumpsum + α Gaji Lumpsum + α Gaji Alokasi Minimal (Faktor Politis) 80% 30% α Gaji 30% α Gaji 30% α Gaji 30% α Gaji 20%Lumpsum 10%Lumpsum 5%Lumpsum 5%Lumpsum Komposisi Celah Fiskal (Faktor Pemerataan) Komposisi Alokasi Minimal (Faktor Politis) Komposisi Celah Fiskal 20% 50% 60% 65% 65% Kab/Kota 10%Lumpsum 5%Lumpsum 5%Lumpsum 5%Lumpsum 80% 50% α Gaji 45% α Gaji 40% α Gaji 40% α Gaji (Faktor Pemerataan) 20% 40% 50% 55% 55% Sumber : Departemen Keuangan AM = Alokasi Minimal CF = Celah Fiskal DRD = Dana Rutin Daerah DPD = Dana Pembangunan Daerah

69 Beberapa evaluasi atas pelaksanaan mekanisme DAU selama tahun anggaran 2001-2005 dapat diberikan sebagai berikut: 1. Pengalokasian DAU belum sepenuhnya menunjukkan peranan DAU sebagai mediasi pemerataan kemampuan keuangan antardaerah (equalization grants), terutama untuk menetralisir dampak yang ditimbulkan oleh jenis transfer yang lain seperti bagi hasil SDA dan bagi hasil pajak pendapatan perseorangan. Hal ini terlihat dari komposisi peranan Alokasi Minimal (faktor politis) dalam formula DAU yang relatif masih tinggi, tahun anggaran 2001 komposisi Alokasi Minimal sebesar 80% dan tahun anggaran 2005 menjadi 35% (provinsi) dan 45% (kabupaten/kota). Komposisi ini tentu akan menguntungkan daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang tinggi. Seharusnya daerah tersebut mendapatkan DAU yang kecil atau tidak mendapatkan sama sekali, tetapi dengan komposisi tersebut mereka mendapatkan minimal sebesar Alokasi Minimal ditambah Lumpsum. 2. Alokasi Minimal dalam formula DAU 2002-2005 merupakan komposisi formula DAU yang diperhitungkan untuk membiayai gaji pegawai negeri sipil. Pertimbangan pemerintah dan DPR RI tetap mempertahankan Alokasi Minimal karena gaji pegawai negeri wajib dibayar oleh negara dan ketersediaan sumber dananya harus dijamin oleh negara pula. Masalah belanja pegawai dinilai sangat krusial sebab bila terjadi sesuatu efeknya dapat mempengaruhi kondisi politis negara. 3. Dalam upaya mengoptimalkan peranan DAU sebagai mediasi pemerataan kemampuan keuangan antardaerah (equalization grants), pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang merevisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Berdasarkan amanat Pasal 32 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif (kebutuhan fiskal < kapasitas fiskal) dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar (minimal), yaitu gaji PNS yang harus dibayar daerah, maka daerah tersebut tidak menerima DAU. Selanjutnya dalam Pasal 108 diatur bahwa ketentuan tersebut akan berlaku efektif mulai tahun anggaran 2008.

70 Analisis Pemerataan Kemampuan Keuangan Antardaerah di Provinsi Banten Dalam upaya mencapai tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, pemerintah bersama DPR RI senantiasa mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang dipakai sebagai acuan formula DAU, yaitu agar formula DAU yang dipergunakan menghasilkan suatu indeks koefisien variasi penerimaan per kapita yang sekecil mungkin. Secara teknis indeks koefisien variasi penerimaan per kapita dapat dihitung dengan Williamson Index (Sidik et al. 2002). Guna mendukung sasaran pemerintah tersebut, pada bagian ini akan dianalisis mengenai peranan DAU sebagai transfer pemerataan kemampuan keuangan antardaerah di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2001-2005. Berdasarkan hasil pembahasan antara pemerintah dengan DPR RI, jumlah alokasi DAU nasional yang dianggarkan dalam APBN, DAU untuk seluruh provinsi, DAU untuk seluruh kabupaten/kota, dan DAU yang diterima kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2001-2005 adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 13. Pada tahun anggaran 2001, tahun pertama diberlakukannya mekanisme DAU, jumlah DAU yang dialokasikan dari APBN sebesar Rp60,516 triliun dengan rincian 10 persen untuk provinsi yang berjumlah 30 provinsi, yaitu sebesar Rp6,0516 triliun dan 90 persen untuk kabupaten/kota yang berjumlah 330 kabupaten/kota, sebesar Rp54,465 triliun. Sedangkan pada tahun anggaran 2005 jumlah DAU yang dialokasikan dari APBN meningkat menjadi sebesar Rp88,765 triliun dengan rincian untuk provinsi (32 provinsi) sebesar Rp8,8765 triliun dan untuk kabupaten/kota (434 kabupaten/kota) sebesar Rp79,889 triliun. Dari data di atas terlihat bahwa semenjak diberlakukannya mekanisme DAU jumlah daerah provinsi dan terutama kabupaten/kota cenderung terus meningkat.

71 Tabel 13 DAU Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 No. Wilayah Dana Alokasi Umum (Rp Miliar) 2001 2002 2003 2004 2005 A Nasional 60.516,70 (Keppres 181/2000) 69.114,10 (Keppres 131/2001) 76.979,00 (Keppres 1/2003) 82.130,60 (Keppres 109/2003) 88.765,60 (Perpres 3/2004) B Total Provinsi (10 %) 6.051,67 (30 Prov) 6.911,41 (30 Prov) 7.697,90 (30 Prov) 8,213,06 (32 Prov) 8.876,56 (32 Prov) C Total Kab/Kota (90 %) 54.465,03 (330 K/K) 62.202,69 (348 K/K) 69.281,1 (370 K/K) 73.917,54 (410 K/K) 79.889,04 (434 K/K) Wilayah Banten Total 1.123,75 1.250,53 1.491,15 1.593,48 1.729,80 1 Kab. Lebak 198,31 205,52 247,27 264,40 288,40 Kab. 2 Pandeglang 225,23 235,52 268,90 284,43 300,72 3 Kab. Serang 244,31 260,52 327,76 346,94 372,52 Kab. 4 Tangerang 259,48 306,60 367,01 401,15 448,77 5 Kota Cilegon 49,89 84,26 94,11 95,54 105,29 Kota 6 Tangerang 146,53 158,11 186,10 201,02 214,10 Sumber : Departemen Keuangan Prov = jumlah provinsi K/K = jumlah kabupaten/kota

72 Alokasi DAU untuk kabupaten/kota di Provinsi Banten pada tahun anggaran 2001 sebesar Rp1,123 triliun dan meningkat menjadi Rp1,729 triliun pada tahun 2005. Secara nominal Kabupaten Tangerang memperoleh DAU yang terbesar dari seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten, sedangkan Kota Cilegon memperoleh DAU yang terkecil. Pada tahun 2001 Kabupaten Tangerang menerima DAU sebesar Rp259,485 miliar dan meningkat menjadi Rp448,770 miliar pada tahun 2005. Kota Cilegon menerima DAU sebesar Rp49,891 miliar dan meningkat menjadi Rp105,298 miliar pada tahun 2005. 500 450 400 350 Rp Miliar 300 250 200 150 100 50 0 Kab. Lebak Kab. Pandeglang Kab. Serang Kab. Tangerang Kota Cilegon Kota Tangerang 2001 2002 2003 2004 2005 Gambar 14 Perkembangan DAU di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 Untuk menilai tingkat pemerataan kemampuan keuangan (fiskal) antardaerah dilihat dari angka Indeks Williamson. Semakin kecil angka Indeks Williamson (mendekati nol) semakin merata kemampuan keuangan antardaerah dan semakin besar angka Indeks Williamson (mendekati satu) semakin tidak merata. Mengingat DAU bukan merupakan satu-satunya sumber pembiayaan daerah, maka analisis kemampuan keuangan akan dihitung dari besarnya pendapatan APBD dan dari DAU yang diterima masing-masing daerah per kapita. Pendapatan APBD adalah semua penerimaan daerah yang berasal dari PAD, Dana Perimbangan, dan Penerimaan lain-lain. PAD terdiri atas Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Laba BUMD, dan lain-lain PAD. Dana Perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil, DAU, dan DAK. Sedangkan Penerimaan lain-lain terdiri

73 atas penerimaan dari pusat di luar dana perimbangan, penerimaan dari provinsi, penerimaan dari kabupaten/kota lainnya. Kota Cilegon merupakan daerah dengan jumlah pendapatan APBD per kapita yang tertinggi selama tahun 2001-2005. Pada tahun 2001 pendapatan APBD per kapita Kota Cilegon sebesar Rp436.490 dan meningkat menjadi Rp738.240 per penduduk pada tahun 2005. Dengan data ini Kota Cilegon merupakan daerah yang paling potensial untuk memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dibandingkan kelima daerah lainnya. Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang merupakan daerah yang memiliki pendapatan APBD per kapita terkecil. Tahun 2001 pendapatan APBD per kapita Kabupaten Tangerang sebesar Rp185.611, Kabupaten Serang Rp204.604 dan pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp267.235 (Kabupaten Tangerang), Rp274.668 (Kabupaten Serang). Kecilnya pendapatan APBD per kapita Kabupaten Serang antara lain karena telah berpisahnya wilayah kota Cilegon menjadi daerah otonom dan memiliki APBD sendiri, sehingga pendapatan Kabupaten Serang dari PAD menjadi jauh berkurang. Apabila dilihat dari DAU per kapita, Kabupaten Lebak merupakan daerah yang memperoleh DAU per kapita terbesar pada tahun 2001, yaitu sebesar Rp220.571 per penduduk, sementara Kabupaten Tangerang adalah daerah yang menerima DAU per kapita terkecil, yaitu sebesar Rp102.235 untuk setiap penduduk. Pada tahun 2005 Kota Cilegon menerima DAU per kapita tertinggi (Rp319.376), dan yang terendah Kabupaten Tangerang (Rp139.063). Adapun pendapatan per kapita dan DAU per kapita kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2001-2005 dapat dilihat pada tabel berikut.

74 Tabel 14 Pendapatan APBD dan DAU per kapita di wilayah Provinsi Banten tahun 2000 dan tahun 2001-2005 NO DAERAH 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Y Y DAU Y DAU Y DAU Y DAU Y DAU 1 Kab. Lebak 122.525 247.817 220.571 233.028 200.107 278.800 236.838 277.766 234.257 303.562 254.306 2 Kab. Pandeglang 237.752 237.508 218.639 260.434 233.017 313.987 258.341 322.199 261.373 328.904 272.925 3 Kab. Serang 84.256 204.604 151.593 233.621 159.674 267.203 188.850 278.572 193.312 274.668 202.883 4 Kab. Tangerang 85.341 185.611 102.235 213.462 110.469 263.847 123.018 260.429 125.847 267.235 139.063 5 Kota Cilegon 216.335 436.490 173.501 668.411 284.887 732.947 304.466 711.739 290.701 738.240 319.376 6 Kota Tangerang 164.935 257.444 127.019 278.613 120.534 303.859 131.349 381.484 136.619 326.166 142.748 Sumber : Pemda dan Departemen Keuangan diolah Y = Pendapatan APBD/kapita Selanjutnya dari data pendapatan APBD perkapita, DAU per kapita dan jumlah penduduk tahun 2000-2005 diperoleh hasil perhitungan Indeks Williamson untuk variabel pendapatan perkapita dan DAU per kapita (teknis perhitungan dapat dilihat pada Lampiran).

75 Tabel 15 Indeks Williamson atas Kapasitas Fiskal di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 Tahun Indeks Williamson Pendapatan APBD (Y) DAU 2000 (pra d.f) 0,45-2001 0,23 0,31 2002 0,33 0,32 2003 0,29 0,32 2004 0,29 0,31 2005 0,28 0,30 Sumber : Pemda dan Departemen Keuangan diolah Berdasarkan data-data Indeks Williamson tersebut dapat diperoleh penjelasan sebagai berikut : 1. Indeks Williamson untuk variabel Pendapatan APBD Nilai Indeks Williamson untuk variabel Pendapatan per kapita dalam APBD (PAD+ Bagi Hasil + DAU + DAK + Lain-lain Penerimaan) setelah berlakunya desentralisasi fiskal menjadi lebih kecil dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Pada tahun 2000 (pra desentralisasi fiskal) nilai Indeks Williamson sebesar 0,45 dan selama tahun 2001-2005 (desentralisasi fiskal) turun menjadi sebesar 0,23 0,33. Artinya setelah berlakunya desentralisasi fiskal pemerataan kemampuan keuangan antar daerah di Provinsi Banten semakin membaik. 2. Indeks Williamson untuk variabel DAU Nilai Indeks Williamson untuk variabel DAU selama tahun 2001-2005 relatif stabil berkisar 0,30 0,32. Dengan demikian DAU yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada kabupaten/kota di Provinsi Banten telah terdistribusi secara merata moderat. Artinya DAU per kapita yang dialokasikan kepada daerah di Provinsi

76 Banten belum merata sempurna, masih terdapat ketimpangan dengan ukuran sedang. Dari Tabel 14 terlihat bahwa ketimpangan terjadi karena Kota Cilegon mendapat DAU per kapita dua kali lebih besar dari Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. 3. Celah Fiskal Dari angka Indeks Williamson di atas dapat disimpulkan bahwa celah fiskal per kapita (kebutuhan fiskal - kapasitas fiskal) antardaerah di Provinsi Banten relatif sama. Dari gambaran umum wilayah Banten diketahui bahwa wilayah Banten tidak memiliki kegiatan penambangan Minyak Bumi dan Gas Alam, sehingga tidak ada daerah yang menerima pendapatan dari pos ini. Umumnya penerimaan dari sektor Migas relatif tinggi (seperti daerah Riau dan Kalimantan Timur), sehingga apabila dalam suatu provinsi hanya terdapat satu atau dua daerah yang memiliki penambangan Migas sedang aktifitas sektor ekonomi lainnya relatif sama, maka dapat dipastikan ketimpangan celah fiskal di provinsi itu akan tinggi. Secara grafis perkembangan Indeks Williamson Kabupaten/Kota di Provinsi Banten 2001-2005 dapat dilihat pada Gambar 15. 0,5 0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Pendapatan 0,448957049 0,225392607 0,333125375 0,293131866 0,287568073 0,283717769 DAU 0,307623766 0,323531655 0,324779323 0,308845053 0,301564925 Gambar 15 Perkembangan Indeks Williamson di wilayah Provinsi Banten tahun 2000-2005

77 Analisis Kinerja Pembangunan Daerah Pengertian pembangunan daerah di masa lalu adalah kemampuan ekonomi daerah untuk menaikkan dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi antara 5 sampai 7 persen atau lebih per tahun. Namun demikian, pengertian pembangunan mengalami perubahan karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa pembangunan yang berorientasikan pada pertumbuhan ekonomi saja tidak bisa memecahkan permasalahan pembangunan secara mendasar. Hal ini tampak pada taraf dan kualitas hidup sebagian besar masyarakat tidak mengalami perbaikan kendatipun target pertumbuhan ekonomi per tahun telah tercapai. Oleh karena itu, Todaro (2000) menyatakan bahwa pembangunan daerah merupakan suatu proses multidimensi yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, kelembagaan dan juga terjadinya percepatan pertumbuhan ekonomi, membaiknya distribusi pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Mengingat tujuan lain dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemerataan pembangunan antardaerah, maka pada bagian ini akan dilakukan analisis mengenai pembangunan daerah. Variabel-variabel pembangunan daerah yang akan dianalisis adalah variabel yang terkait dengan indikator ekonomi dan indikator sosial. Variabel indikator ekonomi terdiri atas PDRB dan APBD, sedangkan variabel sosial terdiri atas variabel kependudukan, ketenagakerjaan, dan kesejahteraan masyarakat. Analisis Kinerja Perekonomian Daerah Indikator dasar dalam menghitung pembangunan daerah yang telah banyak digunakan para ekonom adalah dengan menganalisis kinerja perekonomian daerah yang bersangkutan. Suatu daerah yang berkembang pasti akan diikuti dengan perkembangan aktifitas produksi barang dan jasa yang dilakukan oleh penduduknya. Aktifitas perekonomian suatu daerah dalam satu tahun dicatat dalam suatu rekening yang disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dikatakan bruto karena pencatatannya belum memperhitungan unsur depresiasi dari alat-alat produksi (barang modal) yang dipergunakan untuk menghasilkan barang atau jasa. PDRB dicatat berdasarkan harga pasar (harga nominal), tetapi dalam upaya menghindari bias nilai PDRB dari unsur inflasi, maka dalam menghitung pertumbuhan ekonomi suatu daerah digunakan PDRB

78 yang dihitung berdasarkan harga konstan (saat ini BPS menggunakan tahun 2000 sebagai tahun dasar). Secara umum struktur perekonomian Banten selama tahun 2001-2005 didominasi oleh 3 lapangan usaha, yaitu (1) industri (lebih dari 50 persen), (2) Perdagangan, Hotel, Restoran (sekitar 18 persen), dan (3) pertanian (sekitar 9 persen). Lebih dari 77 persen perekonomian Banten berasal dari kontribusi ketiga sektor itu, sisanya sebesar 23 persen berasal dari aktifitas 6 sektor lainnya. Apabila dikelompokkan menurut letak geografinya, wilayah Banten terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Banten Utara dan Banten Selatan. Banten Utara terdiri atas Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang, sedangkan Banten Selatan terdiri atas Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Kota Tangerang 23% Lebak 4% Pandeglang 5% Serang 20% Serang, 14,77% Tangerang, 9,87% Kota Cilegon, 3,03% Kota Tangerang, 0,21% Lebak, 39,74% Kota Cilegon 25% Kab. Tangerang 23% Sektor Industri Pandeglang, 38,39 % Sektor Pertanian Tangerang 11% Kota Cilegon 3% Kota Tangerang 5% Lebak 33% Kota Tangerang 24% Lebak 22% Serang 18% Sektor Jasa-jasa Pandeglang 30% Kota Cilegon 10% Tangerang 12% Serang 10% Sektor Perdag, Hotel, Restoran Pandeglang 22% Gambar 16 Empat lapangan usaha tertinggi di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 Sumber : BPS

79 Struktur perekonomian di Daerah Banten Selatan lebih dominan berasal dari sektor primer. Potensi kesuburan tanah pertanian, kekayaan tambang, dan keindahan wisata alam pantai menjadi tulang punggung perekonomian Lebak dan Pandeglang. Lebih dari 75 persen perekonomian kedua daerah itu berasal dari sektor pertanian (38 persen), sektor perdagangan, hotel dan restoran (23 persen), dan jasa-jasa terutama pariwista (12 persen). Sementara struktur perekonomian Banten Utara didominasi sektor industri (sekitar 60 persen) kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran (sekitar 11 persen). Tabel 16 Proporsi rata-rata lapangan usaha di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 LAPANGAN USAHA Banten Selatan Lebak % Pandeglang % Serang % Banten Utara Tangerang % Kota Cilegon % Kota Tangerang % Pertanian 39,74 38,39 14,77 9,87 3,03 0,21 Pertambangan, Penggalian 1,16 0,11 0,06 0,08 0,09 0,00 Industri 9,43 11,80 50,33 56,05 63,28 56,04 Listrik, Gas, Air 0,34 0,73 4,12 6,19 10,10 1,41 Bangunan 3,89 4,15 6,47 1,86 0,45 1,66 Perdag, Hotel, restoran 22,95 23,16 10,76 12,33 11,05 25,88 Pengangkutan, Komunikasi 5,45 5,34 3,13 6,96 8,65 11,01 Keu, Persewaan, Jasa Perusahaan 4,55 4,32 3,09 2,45 2,05 1,72 Jasa-jasa 12,50 11,99 7,28 4,21 1,31 2,07 PDRB 100 100 100 100 100 100 Sumber : BPS diolah Potensi sektor pertanian yang merupakan kegiatan utama bagi sebagian besar penduduk Banten terbagi dalam dua kawasan, yaitu pertanian lahan basah (padi sawah) dan lahan kering (padi ladang, palawija, sayuran, dan buah-buahan). Berdasarkan Renstra Banten 2002-2006, diketahui bahwa komoditas unggulan untuk Provinsi Banten adalah padi sawah, padi ladang, dan ubi jalar. Komoditas ini diproduksi di hampir seluruh wilayah Banten. Sedangkan komoditas sayuran unggulan adalah kacang panjang dan ketimun dengan sentra produksi di Kabupaten Serang dan Kabupaten Lebak. Komoditas buah-buahan yang menjadi unggulan adalah pisang, durian, dan mangga dengan sentra produksi di Kabupaten Serang dan Lebak. Sementara potensi industri di Propinsi Banten mencakup industri mesin, elektronik, tekstil, baja dan lainnya. Khusus untuk industri kecil, Banten memiliki potensi industri pangan, barang dari logam, kayu, genteng/batu

80 bata, gula aren, emping, kerupuk, bordir, dan aneka industri kerajinan rumah tangga lainnya. Gambar 17 Lokasi lapangan usaha yang paling dominan di wilayah Provinsi Banten Dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi, semua daerah di Banten senantiasa mengalami pertumbuhan. Secara rata-rata angka pertumbuhan ekonomi di wilayah Banten sama dengan laju pertumbuhan nasional yang tingginya sekitar 4%-5%. Ini adalah indikator bahwa prospek perekonomian di wilayah Banten masih dapat berkembang dengan baik. Apabila diamati pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun pada setiap daerah, nampak pertumbuhan ekonomi daerah Banten bagian Utara (kecuali Serang) lebih baik dari Banten Selatan. Kota Cilegon adalah daerah yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya (7,23%), disusul Kota Tangerang (5,81%), Kabupaten Tangerang (5,69%), Pandeglang (4,91%), Serang (4,13%) dan terakhir Lebak (3,66%).

81 % 8 7 7.23 6 5.69 5.81 5 4 3.66 4.91 4.13 3 2 1 0 Lebak Pandeglang Serang Tangerang Kota Cilegon Kota Tangerang Gambar 18 Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 Sumber : BPS diolah Sektor yang paling tinggi pertumbuhannya di Kota Cilegon dan Kota Tangerang adalah sektor Keuangan, sedangkan sektor Pertanian dan sektor Pertambangan dan Penggalian merupakan sektor yang paling rendah pertumbuhannya. Ini dapat dimengerti karena kedua daerah itu merupakan daerah perkotaan di wilayah Banten. Salah satu ciri daerah perkotaan adalah rendahnya aktifitas pertanian dan tingginya aktifitas sektor keuangan dan jasa. Meskipun empat daerah lain merupakan daerah rural, yaitu Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang, dan Kabupaten Tangerang tetapi pertumbuhan sektor Pertanian di daerah itu bukan merupakan sektor dengan pertumbuhan tertinggi, bahkan yang terendah (berkisar antara 2% - 4%). Dapat disimpulkan bahwa perkembangan aktifitas sektor Pertanian di keempat daerah itu sudah mencapai titik jenuh. Dengan demikian perlu ada kebijakan dari pemerintah daerah yang dapat meningkatkan produktifitas para petani, antara lain melalui kegiatan penyuluhan pertanian yang dapat meningkatkan pengetahuan para petani untuk bercocok tanam lebih efektif, bantuan kredit lunak, peraturan yang lebih ketat mengenai konversi lahan pertanian.

82 Tabel 17 Pertumbuhan rata-rata PDRB atas harga konstan 2000 di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 LAPANGAN USAHA Lebak (%) Pandeglang (%) Serang (%) Tangerang (%) Kota Cilegon (%) Kota Tangerang (%) 1. Pertanian 2,74 3,72 2,91 4,31 1,37 3,07 2. Pertambangan dan Penggalian 7,33 4,56 3,41 4,36 5,46-3. Industri Pengolahan 4,81 3,84 3,38 4,97 7,34 3,97 4. Listrik, Gas, Air Bersih 8,86 5,80 4,19 5,73 6,57 4,14 5. Bangunan 3,62 7,00 5,58 6,79 3,54 4,76 6. Perdagangan, Hotel, Restoran 3,48 6,44 5,57 6,68 7,77 5,82 7. Pengangkutan dan Komunikasi 5,49 5,73 5,84 8,43 4,79 9,26 8. Keu, Persewaan, Jasa Perusahaan 8,66 5,68 11,74 10,01 27,34 115,93 9. Jasa-jasa 3,18 5,46 4,44 8,34 7,18 5,27 Pertumbuhan ekonomi 3,66 4,91 4,13 5,69 7,23 5,81 Sumber : BPS diolah Metoda lain yang dapat dipergunakan untuk mengetahui perkembangan daerah adalah dengan menganalisis sektor yang menjadi unggulan suatu daerah. Dengan diketahui sektor unggulan, sebaiknya pemerintah daerah mengembangkan sektor tersebut melalui kebijakan daerah seperti dukungan dana APBD atau kemudahan perizinan kepada investor. Sektor yang menjadi unggulan suatu daerah dapat dihitung dengan Location Quotient (LQ). Apabila LQ > 1 berarti sektor tersebut dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan. Hasil perhitungan nilai LQ dengan data dasar PDRB Atas Harga Konstan 2000 Tahun 2001-2005 tampak pada Tabel 18.

83 Tabel 18 LQ kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 LAPANGAN USAHA Lebak Pandeglang Serang Tangerang Kota Cilegon Kota Tangerang 2001 2005 2001 2005 2001 2005 2001 2005 2001 2005 2001 2005 1. Pertanian 4,14 4,36 4,01 4,18 1,53 1,59 1,01 1,05 0,35 0,30 0,02 0,02 2.Pertambangan dan Penggalian 9,63 10,85 1,01 0,98 0,54 0,52 0,74 0,69 0,80 0,74 0,00 0,00 3. Industri 0,18 0,19 0,23 0,23 0,98 0,98 1,09 1,10 1,21 1,25 1,11 1,07 4. Listrik, Gas, Air Bersih 0,07 0,09 0,17 0,18 0,97 0,97 1,47 1,47 2,39 2,32 0,34 0,32 5. Bangunan 1,59 1,59 1,64 1,78 2,56 2,72 0,74 0,77 0,20 0,18 0,71 0,68 6.Perdagangan, Hotel, Restoran 1,31 1,28 1,28 1,33 0,59 0,62 0,68 0,70 0,63 0,63 1,47 1,45 7.Pengangkutan dan Komunikasi 0,70 0,69 0,70 0,66 0,40 0,39 0,87 0,89 1,19 1,00 1,36 1,42 8. Keu, Persewaan, Jasa Perusahaan 2,35 1,54 2,31 1,30 1,68 1,21 1,34 0,86 0,80 0,87 0,10 0,96 9. Jasa-jasa 2,89 2,84 2,73 2,79 1,67 1,68 0,92 1,02 0,30 0,30 0,48 0,47 Sumber : BPS diolah Dari tabel di atas dapat diperoleh penjelasan mengenai sektor-sektor yang memiliki keunggulan komparatif di masing-masing daerah sebagai berikut: 1. Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang memiliki enam sektor yang sama, yaitu (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan Penggalian, (3) Bangunan, (4) Perdagangan, Hotel, Restoran, (5) Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan, (6) Jasa-jasa. Dari enam sektor unggulan itu yang menjadi sektor unggulan utama Kabupaten Lebak adalah adalah sektor Pertanian, dan sektor Pertambangan dan Penggalian, sedangkan Kabupaten Pandeglang adalah sektor Pertanian karena LQ dari sektor ini sangat tinggi. 2. Kabupaten Serang : Memiliki empat sektor, yaitu (1) Pertanian, (2) Bangunan, (3) Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan, (4) Jasa-jasa. Dari empat sektor unggulan itu yang nilai LQ tertinggi (LQ 2,72) adalah sektor Bangunan.

84 3. Kabupaten Tangerang : Memiliki empat sektor, yaitu (1) Pertanian, (2) Industri Pengolahan, (3) Listrik, Gas, Air Bersih (4) Jasa-jasa. Dari empat sektor unggulan itu yang nilai LQ tertinggi (LQ 2,72) adalah sektor Listrik, Gas, Air Bersih. 4. Kota Cilegon : Memiliki dua sektor, yaitu (1) Industri Pengolahan, (2) Listrik, Gas, Air Bersih. Sebagai daerah perkotaan aktifitas masyarakatnya cenderung bekerja di sektor manufaktur dan energi sehingga kedua sektor ini menjadi andalan perekonomian Kota Cilegon. 5. Kota Tangerang : Memiliki tiga sektor, yaitu (1) Industri Pengolahan, (2) Perdagangan, Hotel, Restoran, (3) Pengangkutan dan Komunikasi. Bandara internasional Soekarno-Hatta terletak di Kota Tangerang maka kontribusi langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan aktifitas perekonomian di Kota Tangerang cukup nyata, terlihat dari nilai PDRB Kota Tangerang yang tertinggi di wilayah Banten. Selanjutnya, untuk melihat perkembangan perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Banten digunakan analisis dengan menggunakan indeks entropy. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang merupakan daerah yang paling beragam kegiatan sektor usahanya (indeks entropy 0,70-0,80). Artinya sebagian besar sektor usaha di dua daerah itu dapat berkembang dengan baik. Sedangkan Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang adalah daerah yang kurang baik perkembangan perekonomiannya (indeks entropy 0,25-0,26). 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 Lebak Pandeglang Serang Tangerang Kota Cilegon Kota Tangerang 2001 0.26 0.26 0.49 0.73 0.46 0.75 2002 0.26 0.26 0.48 0.73 0.47 0.76 2003 0.25 0.25 0.48 0.73 0.47 0.79 2004 0.25 0.25 0.48 0.74 0.48 0.79 2005 0.25 0.25 0.47 0.74 0.48 0.80 Gambar 19 Perkembangan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 Sumber : BPS diolah

85 Teknik analisis lain untuk menilai pengembangan daerah adalah dengan Shift Share Analysis (SSA). Berbeda dengan LQ yang menganalisis aktifitas perekonomian pada satu titik tahun tertentu, dalam SSA dianalisis aktifitas perekenomian pada dua titik tahun. Selain itu, hasil analisis SSA lebih komprehensif karena dapat menjelaskan kinerja aktifitas perekonomian suatu daerah terhadap kinerja wilayah secara keseluruhan. Tabel berikut merupakan hasil SSA kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005. Tabel 19 SSA kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 LAPANGAN USAHA Share Propors. Shift Lebak Pan deglang Differential Shift Serang Tangerang Kota Cilegon Kota Tangerang 1. Pertanian 0,24-0,10-0,03 0,02-0,02 0,04-0,09-0,01 2. Pertambangan dan Penggalian 0,24 0,02 0,06-0,07-0,12-0,08-0,03-3. Industri Pengolahan 0,24-0,04 0,00-0,04-0,06 0,01 0,12-0,04 4. Listrik, Gas, Air Bersih 0,24 0,00 0,16 0,01-0,07 0,00 0,04-0,07 5. Bangunan 0,24 0,00-0,09 0,07 0,00 0,06-0,09-0,04 6. Perdagangan, Hotel, Restoran 0,24 0,02-0,12 0,02-0,02 0,03 0,09-0,01 7. Pengangkutan dan Komunikasi 0,24 0,11-0,12-0,10-0,10 0,03-0,15 0,07 8. Keu, Persewaan, Jasa Perusahaan 0,24 1,04-0,89-1,03-0,72-0,82 0,35 19,46 9. Jasa-jasa 0,24 0,00-0,11-0,01-0,06 0,13 0,07-0,02 Sumber : BPS diolah Dari hasil analisis SSA sebagaimana pada tabel di atas dapat diperoleh penjelasan sebagai berikut: 1. Laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2001-2005 adalah sebesar 24 persen atau rata-rata 4,8 persen per tahun..

86 2. Sektor Pertanian, dan sektor Industri Pengolahan mempunyai laju pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di wilayah Banten. Laju pertumbuhan sektor Pertanian 10 persen lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di wilayah Banten sementara sektor Industri Pengolahan lebih rendah 4 persen. Sektor-sektor (1) Pertambangan dan Penggalian, (2) Perdagangan, Hotel, Restoran, (3) Pengangkutan dan Komunikasi, (4) Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan mempunyai laju pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di wilayah Banten. Dalam hal ini, laju pertumbuhan sektor Pertambangan dan Penggalian 2 persen lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan total dan seterusnya. Sektor-sektor Gas, Listrik, dan Air Bersih, (2) Bangunan, (3) Jasa-jasa mempunyai laju pertumbuhan yang sama dengan laju pertumbuhan total. 3. Laju pertumbuhan sektor-sektor (1) Pertanian, (2) Bangunan (3) Perdagangan, Hotel, Restoran, (4) Pengangkutan dan Komunikasi, (5) Keuangan, Persewaan, Jasa (6) Jasa-jasa di Kabupaten Lebak mempunyai tingkat kompetitif lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Oleh karena itu pengembangan sektor tersebut kurang menguntungkan. Dalam hal ini tingkat pertumbuhan tenaga kerja sektor Pertanian 3 persen lebih rendah dibandingkan tingkat pertumbuhan sektor Pertanian secara umum di wilayah Banten. Sebaliknya sektor Pertambangan dan Penggalian, dan sektor Listrik, Gas, Air Bersih mempunyai keunggulan kompetitif yang relatif lebih besar. Dalam hal ini tingkat pertumbuhan tenaga kerja sektor Pertambangan dan Penggalian 6 persen lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan sektor Pertambangan dan Penggalian secara umum di wilayah Banten dan seterusnya.

87 Dari hasil analisis SSA diperoleh informasi sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif (Differential Shift > 0) sehingga sektor-sektor tersebut dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah, adalah sebagai berikut: Tabel 20 Sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 LAPANGAN USAHA Daerah Lebak Pandeglang Serang Tangerang Kota Cilegon Kota Tangerang 1.Pertanian - V - V - - 2. Pertambangan dan Penggalian V - - - - - 3. Industri Pengolahan - - - V V - 4. Listrik, Gas, Air Bersih V V - - V - 5. Bangunan - V - V - - 6. Perdagangan, Hotel, Restoran - V - V V - 7. Pengangkutan dan Komunikasi - - - V - V 8. Keu, Persewaan, Jasa Perusahaan - - - - V V 9. Jasa-jasa - - - V V - Sumber : BPS diolah

88 Analisis Kinerja Keuangan Daerah Analisis kinerja keuangan daerah (APBD) pada prinsipnya adalah pengukuran terhadap (1) derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, (2) derajat kemandirian suatu daerah. Musgrave (1984), menyatakan dalam mengukur derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah digunakan (1) rasio PAD terhadap total pendapatan daerah, (2) rasio Penerimaan Daerah Sendiri (PDS, yaitu PAD + bagi hasil pajak dan bukan pajak) terhadap total pendapatan daerah, dan (3) rasio antara sumbangan pemerintah pusat terhadap total pendapatan daerah. Nilai rasio variabel (1) dan (2) yang tinggi, dan rasio variabel (3) yang rendah mencerminkan kecilnya tingkat kebergantungan daerah terhadap transfer pusat dan sebaliknya. Sementara derajat kemandirian suatu daerah dilakukan dengan melakukan penghitungan terhadap: (1) rasio antara PAD terhadap total belanja, (2) rasio antara PAD terhadap belanja pegawai, (3) rasio antara PDS terhadap total belanja, serta (4) rasio antara PDS terhadap belanja pegawai (Halim, 2001). Jika nilai rasio keempat variabel tersebut rendah berarti tingkat kemandirian daerah tinggi, dan sebaliknya Selain kedua indikator itu, akan dianalisis pula rasio belanja pegawai terhadap total belanja, rasio ini menggambarkan tingkat efisiensi kinerja pemerintah daerah. Suatu daerah yang efisien dicerminkan dari rendahnya nilai rasio tersebut. PDS yang terdiri dari PAD ditambah Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA termasuk variabel kemandirian daerah, karena Bagi Hasil merupakan pungutan yang ditarik oleh Pusat kemudian dibagikan kembali kepada daerah berdasarkan potensi daerah masing-masing (by origin). Pos Bagi Hasil terdiri atas PBB, PPh Orang Pribadi, BPHTB dan Bagi Hasil SDA. PDS termasuk dalam kelompok block grants karena penggunaan dana PDS sepenuhnya menjadi kewenangan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD atau PDS terhadap terhadap total belanja menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut. Adapun rasio-rasio indikator derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, serta indikator derajat kemandirian suatu daerah di wilayah Banten selama tahun 2001-2005 adalah sebagai berikut: