BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a b c

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

EFISIENSI PEMANFAATAN KUNING TELUR EMBRIO DAN LARVA IKAN MAANVIS (Pterophyllum scalare) PADA SUHU INKUBASI YANG BERBEDA

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

Lampiran 1. Fase Perkembangan Embrio Telur Ikan Nilem

Lampiran 1. Tata Letak Wadah Perlakuan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kelangsungan Hidup

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR)

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

Jatinangor, Juli Eka Hariani Suhardi. vii

HASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. penelitian adalah perubahan cuaca yang signifikan, periode musim kemarau yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :34-45 (2013) ISSN :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor (16680), Indonesia ABSTRACT

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

S. Mulyati, M. Zairin Jr., dan M. M. Raswin

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

PENGARUH SUBTITUSI PARSIAL TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG TULANG TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias gariepinus.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

I. PENDAHULUAN. Lele (Clarias) merupakan salah satu dari berbagai jenis ikan yang sudah banyak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil persilangan antara C. batracus

PENGARUH FOTOPERIODE TERHADAP PERTUMBUHAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) merupakan ikan asli perairan Indonesia. Ikan baung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan

Efektivitas Suplemen Herbal Terhadap Pertumbuhan dan Kululushidupan Benih Ikan Lele (Clarias sp.)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bawal air tawar (Collosoma sp.) dengan laju debit air berbeda pada sistem resirkulasi

Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Saat Pendederan

PERGANTIAN PAKAN TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN PANJANG LARVA IKAN SEPAT COLISA (Trichogaster lalius)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2014 di

II. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Dalam kegiatan budidaya ikan, pakan dibagi menjadi dua jenis, pakan buatan dan

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

PEMANFAATAN KOMPOS KULIT KAKAO (Theobroma cacao) UNTUK BUDIDAYA Daphnia sp. ABSTRAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Prolarva 4.1.1 Laju Penyerapan Kuning Telur Penyerapan kuning telur pada larva lele dumbo diamati selama 72 jam, dengan rentang waktu pengamatan 12 jam. Pengamatan pada awal penelitian menunjukkan bahwa rata-rata volume kuning telur awal adalah 1,98±0,46 mm 3. Dari analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa perlakuan suhu 30 0 C dan 32 0 C memiliki penyerapan kuning telur paling cepat setelah 72 jam pemeliharaan, dengan volume kuning telur akhir rata-rata masing-masing 0,0000023 mm 3 dan 0,0000019 mm 3, sedangkan perlakuan suhu ruang memiliki penyerapan kuning telur paling lambat dengan volume akhir kuning telur akhir rata-rata sebesar 0,1566 mm 3. Semakin rendah suhu media pemeliharaan maka laju penyerapan kuning telur semakin lambat atau sebaliknya (Gambar 4). Volume kuning telur (mm 3 ) 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 asuhu Ruang bsuhu 26 0 C csuhu 28 0 C dsuhu 30 0 C esuhu 32 0 C 0 12 24 36 48 60 72 Jam ke- Gambar 5. Penurunan volume kuning telur (mm 3 ) larva lele dumbo berdasarkan perlakuan selama72 jam 34

35 Berdasarkan Gambar 5. menunjukkan bahwa laju penyerapan kuning telur rata-rata tertinggi terdapat pada suhu 30 0 C dan 32 0 C masing-masing sebesar 0,1895 mm 3 /jam dan 0,1923 mm 3 /jam, sedangkan laju penyerapan kuning telur terendah terdapat pada perlakuan suhu ruang yaitu 0,0352 mm 3 /jam. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa suhu ruang, berbeda nyata (p<0,05) dengan suhu 26 0 C, suhu 28 0 C, suhu 30 0 C dan suhu 32 0 C, namun suhu 26 0 C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 28 0 C. Suhu 30 0 C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan suhu 32 0 C. Hal ini diduga pada suhu ruang mempunyai kisaran suhu terendah (22-25 0 C) dengan rentang fluktuasi suhu media pemeliharaan yang cukup tinggi daripada perlakuan lain yaitu 22,3-24,6 0 C sehingga menyebabkan menurunnya laju metabolisme larva. Fluktuasi suhu media pemeliharaan yang cukup tinggi diduga mengganggu laju metabolisme larva lele dumbo sehingga laju penyerapan kuning telur lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan suhu yang konstan. Ivlevas s dalam Kamler (1992) mengatakan bahwa suhu berpengaruh terhadap laju metabolisme hewan akuatik. Aktivitas metabolisme yang tinggi akan mempercepat laju penyerapan kuning telur. Pada suhu yang lebih rendah aktivitas metabolik berjalan lebih lambat sehingga laju penyerapan kuning telurnya lebih kecil. Hal ini terbukti dengan laju penyerapan kuning telur larva lele dumbo terbesar yang dicapai oleh perlakuan suhu 30 0 C dan 32 0 C masing-masing sebesar 0,151 dan 0,157 mm 3 /jam. Kuning telur merupakan cadangan pakan serta sebagai nutrien dan energi untuk tumbuh dan berkembang. Laju penyerapan kuning telur yang lebih tinggi memungkinkan tersedianya energi yang lebih tinggi (Woynarovich dan Horvath 1980 dalam Ardimas 2012). Berdasarkan Gambar 5 menunjukkan bahwa penyusutan kuning telur relatif lebih cepat pada awal penyerapan sampai dengan jam ke-24, kemudian penyerapan mulai melambat sampai kuning telur habis. Hal ini berkaitan dengan mulai terjadinya pembentukan organ-organ tubuh larva yang nantinya berguna untuk pemangsaan (organogenesis) tubuh larva. Pramono dan Marnani (2006) menyatakan bahwa laju penyerapan kuning telur yang relatif cepat erat kaitannya dengan pertumbuhan larva, pemeliharaan kondisi tubuh dan pembentukan organ. Secara umum kuning telur

36 merupakan sumber energi utama bagi larva sebelum memperoleh makan dari luar guna proses perkembangan dan pertumbuhannya. Energi yang berasal dari kuning telur digunakan pertama kali untuk proses perkembangannya. Apabila masih terdapat sisa energi kemudian digunakan untuk pertumbuhan larva lebih lanjut, sedangkan bila energi dari kuning telur habis, maka larva ikan akan memanfaatkan energi dari luar (exogenous energy) yaitu berupa pakan (Pramono dan Marnani 2006). 4.1.2 Laju Pertumbuhan Panjang Pertumbuhan panjang larva lele dumbo pada fase endogenous feeding yang dipelihara selama 72 jam berkisar antara 6,618-7,933 mm (Gambar 6). Dari analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa perlakuan suhu 30 0 C memiliki pertumbuhan panjang paling cepat dengan panjang akhir rata-rata 7,933±0,042 mm sedangkan perlakuan suhu ruang memiliki pertumbuhan panjang paling lambat dengan panjang akhir ratarata sebesar 6,618±0,052 mm. Panjang larva (mm) Gambar 6. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Suhu ruang 26 28 30 32 (A) a (B) b (C) c (D) d (E) e Suhu media pemeliharaan ( 0 C) Rata-rata pertumbuhan panjang akhir larva lele dumbo setelah 72 jam pemeliharaan. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Berdasarkan hasil uji Tukey menunjukkan bahwa suhu 30 0 C berbeda nyata (p<0,05) dengan suhu ruang, suhu 26 0 C, suhu 28 0 C dan suhu 32 0 C. Suhu 28 0 C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 32 0 C. Hal ini diduga pada suhu 30 0 C berlangsung laju metabolisme cukup tinggi yang erat kaitannya dengan laju penyerapan kuning telur larva lele dumbo sebagai sumber energi metabolisme larva.

37 Nugraha et al. (2012) menyatakan suhu berpengaruh terhadap laju metabolisme hewan akuatik yang bersifat poikilotermal, aktivitas metabolisme yang tinggi memerlukan energi yang besar sehingga laju penyerapan kuning telur menjadi lebih cepat. Ditegaskan pula oleh Morgan 1997 dalam Soraya et al. bahwa poikiloterm merupakan sifat ikan yang suhu tubuhnya sesuai dengan suhu lingkungan, dimana ketika peningkatan suhu akan berbanding lurus dengan peningkatan laju metabolisme pada tubuh ikan. Kamler (1992) menambahkan bahwa suhu merupakan salah satu faktor penting sebagai controlling factor yang mempengaruhi laju perkembangan dan laju pertumbuhan larva selama periode endogenus feeding. Diantara suhu 30 0 C dengan 32 0 C meski kedua perlakuan tersebut memiliki laju penyerapan kuning telur yang hampir sama, namun pada perlakuan suhu 32 0 C mempunyai laju pertumbuhan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan suhu 30 0 C. Hal ini diduga pada suhu 32 0 C energi yang dihasilkan dari proses metabolisme lebih banyak digunakan untuk aktivitas gerak larva yang meningkat seiring dengan semakin meningkatnya suhu. Berbeda dengan suhu 28 0 C dan suhu 30 0 C yang lebih banyak menggunakan energi yang dihasilkan dari proses metabolisme sebagai pembentukan jaringan baru (pertumbuhan). Menurut Landsman et al. (2011) dalam Nugraha et al. (2012), laju metabolisme yang tinggi menyebabkan konsumsi energi (kuning telur) cepat diserap. Dengan demikian pertumbuhan yang berkembang pada stadia tertentu hingga stadia kuning telur habis sangat dipengaruhi oleh besarnya energi yang hilang selama masa perkembangan tersebut. Aktivitas ini dalam metabolisme dipengaruhi suhu (Fry 1971 dalam Nugraha et al. 2012). Ditegaskan oleh hukum Van t Hoff dalam Kelabora (2010) yang menyatakan bahwa untuk setiap perubahan kimiawi, kecepatan reaksinya naik 2-3 kali lipat setiap kenaikan suhu sebesar 10 0 C. Namun untuk pertumbuhan larva kenaikan suhu tersebut malah menurunkan pertumbuhan, dikarenakan larva ikan mempunyai batas toleransi suhu.

38 8 Pertumbuhan panjang (mm) 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 0 12 24 36 48 60 72 asuhu Ruang bsuhu 26 o C csuhu 28 o C dsuhu 30 o C esuhu 32 o C Jam ke- Gambar 7. Pertumbuhan panjang larva lele dumbo pada setiap perlakuan selama 72 jam pemeliharaan Menurut Effendie (1997) hubungan pertambahan ukuran dengan waktu jika digambarkan dalam suatu sistem koordinat menghasilkan suatu diagram yang disebut kurva pertumbuhan. Pertumbuhan ikan yang diplotkan selama masa hidupnya akan mendapatkan kurva sigmoid. Bentuk kurva demikian disebabkan alamiah pertumbuhan autokatalitik dari ikan dimana pertumbuhan pada fase awal dari hidupnya mula-mula lambat kemudian cepat dan lambat lagi pada umur tua. Kamler (1992) Tinca tinca mengkonversi lebih banyak kuning telur untuk jaringan tubuh seiring dengan meningkatnya suhu inkubasi. Berbeda halnya dengan Tautoga onitis, Salmo salar, Ctenopharyngdon idella menunjukkan korelasi yang negatif antara berat dengan suhu inkubasi. 4.1.3 Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Efisiensi pemanfaatan kuning telur merupakan banyaknya atau besarnya jaringan tubuh yang terbentuk dari penyerapan kuning telur. Besarnya efisiensi penyerapan kuning telur dengan rata-rata akhir berkisar antara 3,853-15,920%. Nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu ruang sebesar 15,920% dan nilai terendah diperoleh pada perlakuan suhu 32 0 C sebesar 3,853% (Gambar 7).

39 Gambar 8. Efisiensi pemanfaatan kuning telur (%) 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 15.920 12.413 11.907 4.288 3.853 Suhu ruang 26 28 30 32 (A) 1 (B) 2 (C) 3 (D) 4 (E) 5 Suhu media pemeliharaan ( 0 C) Efisiensi pemanfaatan kuning telur larva lele dumbo pada setiap perlakuan selama pemeliharaan. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Berdasarkan hasil uji Tukey menunjukkan bahwa suhu 30 0 C dan 32 0 C berbeda nyata (p<0,05) dengan suhu ruang, 26 0 C dan suhu 28 0 C, namun suhu 30 0 C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 32 0 C. Suhu ruang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 26 0 C dan 28 0 C. Pada perlakuan suhu ruang memiliki nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur tertinggi, tingginya efisiensi pemanfaatan kuning telur pada suhu ruang tidak diikuti oleh tingginya laju pertumbuhan (Gambar 7), hal ini diduga dengan rendahnya suhu maka aktivitas gerak yang dilakukan oleh larva lebih rendah dibandingkan dengan suhu lainnya, sehingga jumlah energi yang dihasilkan dari penyerapan kuning telur lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan. Sebaliknya pada suhu 30 0 C dan 32 0 C, selain digunakan untuk pertumbuhan, energi yang dihasilkan juga digunakan untuk aktivitas larva yang lebih aktif bergerak daripada perlakuan suhu lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Shukla (2009) bahwa nilai efisiensi tinggi dihasilkan dari aktvitas yang rendah. Pada perlakuan suhu 32 0 C mempunyai efisieinsi pemanfaatan kuning telur terendah, hal ini diduga energi yang dihasilkan dari metabolisme kuning telur selain digunakan untuk pertumbuhan dan aktivitas larva, juga digunakan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dijelaskan oleh Budiardi et al. (2005), bahwa ketika larva dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya maka

40 jumlah energi yang didapatkan dari proses penyerapan kuning telur lebih tinggi digunakan untuk pertumbuhan dibandingkan untuk aktivitas dan pemeliharaan larva. 4.1.4 Derajat Kelangsungan Hidup (Prolarva) Derajat kelangsungan hidup (survival rate) adalah perbandingan ikan yang hidup hingga akhir pemeliharaan dengan jumlah ikan pada awal pemeliharaan. Derajat kelangsungan hidup larva lele dumbo yang dipelihara selama 72 jam berkisar antara 72,78-88,33% (Gambar 9). Nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu media pemeliharaan 30 0 C sebesar 88,33±3,33% dan nilai terendah pada perlakuan suhu ruang sebesar 72,78±8,55%. Gambar 9. Survival Rate (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Suhu ruang (A) 26 (B) 28 (C) 30 (D) Suhu media pemeliharaan ( 0 C) Kelangsungan hidup larva lele dumbo pada setiap perlakuan selama pemeliharaan. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Berdasarkan hasil uji Tukey menunjukkan bahwa suhu 30 0 C berbeda nyata (p<0,05) dengan suhu ruang. Sedangkan suhu 30 0 C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 26 0 C, suhu 28 0 C, dan suhu 32 0 C. Suhu ruang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan suhu 26 0 C, 28 0 C dan suhu 32 0 C. Pada fase ini ketersediaan energi (pakan) tersedia didalam tubuh larva, sehingga derajat kelangsungan hidup diantara perlakuan suhu ruang, 26 0 C, 28 0 C, 30 0 C dan 32 0 C tidak terdapat perbedaan nilai yang tinggi. Kematian larva pada fase endogenous feeding diduga karena ketidakmampuan larva lele dumbo beradaptasi dengan suhu air yang berbeda (suhu media penetasan berbeda dengan media perlakuan). Vladimirov (1975) dalam Ardimas (2012) 32 (E)

41 menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang tidak menunjang (diluar kisaran normal) seperti terlalu tinggi suhu, adanya cahaya langsung dan lainnya dapat mengakibatkan kematian terutama pada masa transisi atau kritis. 4.2 Postlarva 4.2.1 Pertumbuhan Panjang Mutlak Pertumbuhan panjang larva lele dumbo setelah fase endogenous feeding, yang dipelihara selama 14 hari berkisar antara 4,82-10,59 mm (Gambar 10). Dari analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa perlakuan suhu 30 0 C memiliki pertumbuhan panjang paling cepat dengan panjang akhir rata-rata 10,59±0,09 mm sedangkan perlakuan suhu ruang memiliki pertumbuhan panjang paling lambat dengan panjang akhir akhir ratarata sebesar 4,82±0,13 mm. 12 10 Panjang (mm) 8 6 4 2 0 Suhu ruang 26 28 30 32 (A) 1 (B) 2 (C) 3 (D) 4 (E) 5 Suhu media pemeliharaan ( 0 C) Gambar 10. Pertumbuhan panjang mutlak larva lele dumbo pada setiap perlakuan selama 14 hari pemeliharaan. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Dari hasil uji Tukey menunjukkan bahwa diperoleh antar perlakuan suhu media pemeliharaan terdapat beda nyata (p<0,05). Hal ini karena pada setiap perlakuan suhu memiliki laju metabolisme yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi pertumbuhan panjang larva. Laju metabolisme yang cukup tinggi yang memungkinkan larva untuk aktif mencari makan sehingga energi yang diperoleh dapat dimanfaatkan dengan lebih baik untuk pertumbuhan (Nugraha et al. 2012). Pertumbuhan panjang larva lele dumbo juga berkaitan dengan proses organogenesis

42 terutama perkembangan mulut larva pada fase endogenous feeding. Dengan proses organogenesis larva yang lebih sempurna terbentuk ketika memasuki fase exogenous feeding, larva pada perlakuan suhu 28 0 C, suhu 30 0 C dan suhu 32 0 C dibandingkan dengan suhu ruang dan suhu sehingga memungkinkan larva pada perlakuan suhu 28 0 C, suhu 30 0 C dan suhu 32 0 C sudah dapat makan terlebih dahulu dibandingkan pada perlakuan suhu ruang dan suhu 26 0 C. Menurut Shirota (1970) dalam Ardimas (2012) larva dengan mulut yang lebih kecil tumbuh lebih lambat daripada larva dengan mulut yang lebih besar. Hyatt (1979) menambahkan bahwa ukuran mulut menjadi faktor pembatas untuk memakan pakan alami maupun pakan buatan. 4.2.2 Derajat Kelangsungan Hidup (Postlarva) Derajat kelangsungan hidup (survival rate) larva lele dumbo yang dipelihara selama 14 hari berkisar antara 60,96-95,74% (Gambar 11). Nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu media pemeliharaan suhu 32 0 C dengan nilai masing-masing sebesar 95,74±3,70% sedangkan nilai terendah pada perlakuan suhu suhu ruang sebesar 60,96±9,69%. Survival Rate (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Suhu ruang (A) 26 (B) Suhu media pemeliharaan ( 0 C) Gambar 11. Kelangsungan hidup larva lele dumbo pada setiap perlakuan selama 14 hari pemeliharaan. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). 28 (C) 30 (D) 32 (E)

43 Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa pada suhu ruang berbeda nyata (p<0,05) dengan suhu 26 0 C, suhu 28 0 C, 30 0 C dan suhu 32 0 C. Untuk suhu 26 0 C tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan suhu 28 0 C, suhu 30 0 C dan suhu 32 0 C. Hal ini diduga ketika memasuki fase exogenous feeding larva lele dumbo pada perlakuan suhu ruang proses organogenesis masih terus berlangsung dan berkembang, hal ini erat kaitannya dengan laju penyerapan kuning telur yang rendah pada fase endogenous feeding, dengan terganggunya proses organogenesis maka organ-organ pemangsaan (bintik mata, bukaan mulut dan lain-lainya) larva belum terbentuk secara sempurna sehingga ketika memasuki fase exogenous feeding, larva tidak mampu mendapatkan dan memanfaatkan energi dari luar berupa pakan. Meskipun nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur larva suhu ruang ketika fase endogenous feeding tinggi tidak menjamin larva tersebut memiliki organ-organ yang telah mendukung kelangsungan hidupnya ketika memasuki fase exogenous feeding. Dijelaskan sebelumnya oleh Shukla (2009) bahwa nilai efisiensi tinggi dihasilkan dari aktvitas yang rendah. Larva dengan aktifitas rendah diduga memiliki kelainan karena larva yang berkualitas baik adalah larva yang berenang aktif. Aktifitas renang tersebut merupakan upaya untuk pembentukan gelembung udara pada tubuh larva. Jadi, dapat dipastikan bahwa dalam kasus ini efisiensi pemanfaatan kuning telur berkorelasi negatif dengan keberlangsungan proses organogenesis larva lele dumbo. Menurut Effendi (2004) kematian larva yang tinggi dikarenakan pada fase stadia larva terjadi peralihan makanan dari kuning telur (endogenous feeding) ke pemanfaatan pakan dari luar (exogenous feeding). Apabila terjadi kesenjangan energi dari endogenous feeding ke exogenous feeding maka akan menyebabkan kematian larva. Kesenjangan diartikan pada saat kuning telur larva habis, larva belum melakukan proses organogenesis secara sempurna seperti pembentukan bintik mata, bukaan mulut, dan lainnya. Ketidaksempurnaan dalam proses organogenesis dengan memanfaatkan energi dari kuning telur (endogenous feeding) akan mengakibatkan ketidakmampuan larva dalam memanfaatkan pakan dari luar (exogenous feeding). Hal lain yang diduga menyebabkan kematian adalah ketidakmampuan larva beradaptasi dengan baik terhadap fluktuatif suhu air. Fluktuatif suhu air dapat

44 mengakibatkan ikan stress dan mengakibatkan kematian bagi ikan. Disamping itu, penyerapan kuning telur yang terjadi pada perlakuan suhu ruang tidak optimal sehingga menyebabkan perkembangan organ tubuh tidak berjalan dengan baik. Sembiring (2011) mengatakan bahwa salah satu konsekuensi dari hal tersebut adalah keterlambatan pembentukan organ-organ pemangsaan salah satunya keterlambatan perkembangan bukaan mulut larva sehingga pada saat kuning telur larva telah habis selanjutnya larva memerlukan pakan dari luar namun larva tidak dapat memanfaatkan pakan tersebut dengan baik. 4.3 Pengukuran Kualitas Air Parameter kualitas air yang diamati meliputi Suhu, DO (Dissolved Oxygen), ph, TAN (Total Ammonia Nitrogen) pada media pemeliharaan larva lele dumbo selama pemeliharaan (Tabel 3). Parameter kualitas air Tabel 3. Data kisaran nilai parameter kualitas air selama masa pemeliharaan larva lele dumbo pada media pemeliharaan Perlakuan Pustaka A B C D E Suhu ( 0 C) 22,3-24,6 26-27,2 27,5-28,7 29,5-30,4 30,9-31,6 DO (mg/l) 8,0-9,4 6,5-8,8 6,1-7,9 5,3-6,9 5,5-6,3 >5 a ph 7,42-7,7 7,48-7,78 7,34-7,4 7,38-7,55 7,34-7,4 6,5-8,5 a TAN (mg/l) 0,25-0,31 0,25-0,41 0,25-0,42 0,25-0,71 0,25-0,77 <1 a Keterangan: a ) Effendi (2003) Berdasarkan hasil analisis kualitas air (Tabel 3) yang dilakukan pada awal, tengah, dan akhir pemeliharaan didapat hasil parameter kualitas air yaitu Suhu, ph, DO, dan TAN masih berada pada kisaran normal. Nilai dari masing-masing parameter kualitas air diatas menunjukkan bahwa kualitas air pada media pemeliharaan tidak berpengaruh negatif terhadap parameter-parameter uji. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kematian larva terjadi bukan disebabkan oleh kualitas air yang buruk.