V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
warring blender, dan diuapkan pada suhu 34.5O~ dengan

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di

METODE. Waktu dan Tempat

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015.

BAB III METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) :

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform,

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

BAB III METODE PENELITIAN

1.Penentuan Kadar Air. Cara Pemanasan (Sudarmadji,1984). sebanyak 1-2 g dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya.

METODE. Materi. Rancangan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

EKSTRAKSI MINYAK SEREH DAPUR SEBAGAI BAHAN FLAVOR PANGAN I N T I S A R I

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KAROTENOID PADA DAUN TEH

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

Lapisan n-heksan bebas

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KOMPONEN VOLATIL PEMBENTUK FLAVOR DALAM BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) UNTUK APLIKASI KACANG SALUT SKRIPSI ANDRIYANSYAH F

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik

III. METODE PENELITIAN

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan Universitas Diponegoro, Semarang untuk pembuatan

Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan

METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

PRAKTIKUM ANALISIS KUALITATIF MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS (GLC)

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

Bab III Bahan dan Metode

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

ANALISIS PENAMBAHAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (ALLIUM SATIVUM L.) TERHADAP MUTU PRODUK MIE BASAH MATANG

II. TINJAUAN PUSTAKA Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging

III. BAHAN DAN METODE

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Kuantitatif

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai

: Methanol, DPPH, alumunium foil. antioksidan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

5.1 Total Bakteri Probiotik

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Industri Rumah Tangga Produksi Kelanting MT,

BAB III METODE PENELITIAN

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

Atas kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai

Tabel 9. Rata-rata kadar air mi sagu MOCAL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Penambahan Pasta Tomat Terhadap Daya Ikat Air Naget Ayam. penambahan pasta tomat, disajikan pada Tabel 7.

III. MATERI DAN METODE. dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Riau.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

KUALITAS MIE BASAH DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG BIJI KLUWIH (Artocarpus communis G.Forst)

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dimulai dari bulan April 2010 sampai dengan bulan Januari

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Standardisasi Obat Bahan Alam. Indah Solihah

III. BAHAN DAN METODE

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada proses penggolahan stick singkong, singkong yang digunakan yaitu

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 PENELITIAN PENDAHULUAN 5.1.1 Pembuatan Kacang Salut Proses pembuatan kacang salut diawali dengan mempelajari formulasi standar yang biasa digunakan untuk pembuatan kacang salut, kemudian dilanjutkan dengan mempraktekkannya pada skala lab. Tahap pengaplikasian pada skala lab terdiri dari pemilihan kacang tanah, pembuatan larutan berbumbu (kanji), dan penyalutan sehingga terbentuk kacang salut yang diinginkan. Pemilihan kacang tanah dilakukan agar kacang tanah yang digunakan pada tahap penyalutan adalah kacang tanah yang memang masih bagus, belum terkelupas kulit luarnya (kulit pelindung), sehingga nantinya akan dihasilkan kacang salut yang bagus, baik dari segi bentuk lapisan maupun jumlahnya. Pembuatan larutan berbumbu (kanji) diawali dengan menimbang sejumlah bahan-bahan yang akan digunakan sebagai campuran pembuatan larutan berbumbu. Salah satu bahan yang digunakan untuk campuran pembuatan larutan berbumbu adalah bawang putih dalam bentuk halus. Penggunaan bawang putih disesuaikan jumlahnya dengan formulasi standar yang digunakan. Bawang putih ini nantinya akan berkontribusi terhadap flavor kacang salut yang dihasilkan. Proses pembuatan larutan berbumbu ini dilakukan dengan mencampurkan seluruh bahan yang sudah ditimbang, ditambah sejumlah air, dan dipanaskan hingga larutan menjadi kental. Tahap selanjutnya adalah proses penyalutan kacang tanah dengan larutan berbumbu yang telah dibuat sehingga diperoleh kacang salut yang diinginkan. Selain itu, diperlukan tepung tabur untuk melapisi kacang tanah yang telah dilumuri oleh larutan berbumbu. Proses penyalutan ini dilakukan dalam coating pan dan berlangsung sekitar 45 menit sampai semua larutan berbumbu dan tepung tabur habis. Kacang salut yang dihasilkan digoreng sampai matang pada suhu yang telah ditetapkan. Kacang salut yang dihasilkan nantinya akan digunakan lapisannya saja. Hasil ekstraksi lapisan kacang salut akan digunakan untuk analisis kromatografi gas di SEAMEO Biotrop. 5.1.2 Analisis Kimia 5.1.2.1 Kadar Air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa dari makanan. Bahkan dalam bahan makanan yang kering sekalipun, seperti buah kering, tepung, serta biji-bijian terkandung air dalam jumlah tertentu (Winarno 1992). Bawang putih merupakan bahan pangan yang termasuk dalam anggota bawang-bawangan dengan kadar air tinggi dan mengandung komponen volatil yang mudah menguap. Proses penentuan kadar air tidak dapat ditentukan dengan

metode oven, karena dikhawatirkan komponen volatilnya ikut menguap bersama-sama dengan air dan mengakibatkan kesalahan perhitungan. Penentuan kadar air dari bahan-bahan yang kadar airnya tinggi dan mengandung senyawasenyawa yang mudah menguap (volatile), menggunakan cara destilasi dengan pelarut tertentu (Winarno 1992). Metode pengukuran kadar air bawang putih yang digunakan adalah metode distilasi azeotropik. Nilai rata-rata hasil analisis kadar air bawang putih varietas Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Kadar air bawang putih varietas Kating dan Shantung Pada Gambar 7, terlihat bahwa bawang putih merupakan bahan pangan yang tinggi kadar airnya. Menurut Syarief dan Halid (1992), kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berat kering dapat lebih dari 100 persen. Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 1a, kadar air bawang putih varietas Kating berdeda dengan varietas Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Kadar air bawang putih varietas Kating lebih kecil dibandingkan varietas Shantung seperti terlihat pada Gambar 7. Pengukuran kadar air dilakukan juga pada lapisan katom. Lapisan katom ini sebelumnya diformulasi dengan penambahan bawang putih dari masing-masing varietas. Metode pengukuran kadar air yang digunakan untuk lapisan katom ini adalah metode oven. Metode ini dipilih karena lapisan katom merupakan bahan pangan kering dan tidak mudah menguap sehingga dibutuhkan proses hidrolisis terlebih dahulu untuk mengukur kadar air di dalamnya. Hasil perhitungan analisis kadar air lapisan katom Kating dan Shantung dapat di lihat pada Gambar 8. Pengukuran nilai kadar air lapisan katom pada masing-masing sampel dilakukan dengan tiga kali ulangan. Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 1b, kadar air lapisan katom Kating berdeda dengan lapisan katom Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Kadar air lapisan katom Kating lebih besar dibandingkan lapisan katom Shantung seperti terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Kadar air lapisan katom Kating dan Shantung Nilai kadar air yang terdapat pada bawang putih tidak berpengaruh pada nilai kadar air lapisan katom. Pada bawang putih, nilai kadar air yang tertinggi terdapat pada bawang putih varietas Shantung sedangkan pada lapisan katom nilai kadar tertinggi pada varietas kating. Hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan katom ada komponen-komponen lain yang menentukan nilai kadar air selain bawang putih. 5.1.2.2 Kadar Lemak Menurut Winarno (1992), kandungan lemak dalam bahan pangan adalah lemak kasar dan merupakan kandungan total lipida dalam jumlah yang sebenarnya. Pengukuran kadar lemak pada bawang putih dilakukan dengan metode Soxhlet dengan menggunakan pelarut heksan. Analisis dilakukan tiga kali ulangan dan nilai kadar lemak dihitung berdasarkan nilai rata-rata kadar lemak dari tiga ulangan pada masing-masing sampel. Nilai kadar lemak bawang putih varietas Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 2a, kadar lemak bawang putih varietas Kating berdeda dengan varietas Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Kadar lemak bawang putih varietas Kating lebih kecil dibandingkan varietas Shantung seperti terlihat pada Gambar 9. Kandungan lemak yang berbeda pada bahan pangan ditentukan oleh varietas, kondisi pertumbuhan, waktu panen, dan cara pengolahannya (Winarno dan Koswara 2002).

Gambar 9. Kadar lemak bawang putih varietas Kating dan Shantung Pengukuran kadar lemak dilakukan juga pada sampel lapisan katom dengan metode yang sama yaitu metode Soxhlet dengan pelarut heksan. Nilai kadar lemak lapisan katom Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Kadar lemak lapisan katom Kating dan Shantung Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 2b, kadar lemak lapisan katom Kating berdeda dengan lapisan katom Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Kadar lemak lapisan katom Kating lebih besar dibandingkan lapisan katom Shantung seperti terlihat pada Gambar 10. Kandungan lemak yang terdapat di dalam lapisan katom tidak sepenuhnya berasal dari bawang putih, masih ada bahan-bahan lain yang berkontribusi menghasilkan lemak dalam formulasi pembuatan adonan lapisan katom. Kandungan lemak bawang putih yang sedikit tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap kandungan lemak yang terdapat di dalam lapisan katom.

5.1.2.3 Kadar Protein Pengukuran kadar protein pada bawang putih dilakukan dengan metode Kjeldahl. Analisis protein dilakukan tiga kali ulangan dari masing-masing sampel. Perhitungan kadar protein didapatkan dari rata-rata tiga ulangan pada masing-masing sampel. Nilai kadar protein pada bawang putih varietas Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Kadar protein bawang putih varietas Kating dan Shantung Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 3a, kadar protein bawang putih varietas Kating berdeda dengan varietas Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Faktor yang menentukan perbedaan kandungan protein dari masing-masing bahan adalah varietas, pengaruh kondisi pertumbuhan, waktu panen, dan cara pengolahannya (Winarno dan Koswara 2002). Gambar 12. Kadar protein lapisan katom Kating dan Shantung

Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 3b, kadar protein lapisan katom Kating berdeda dengan lapisan katom Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Kadar protein lapisan katom Kating lebih besar dibandingkan lapisan katom Shantung seperti terlihat pada Gambar 12. 5.1.3 Kondisi Kromatografi Gas Kromatogafi gas digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif komponenkomponen volatil. Oleh karena itu dibutuhkan optimasi atau pencarian kondisi operasi yang tepat untuk memisahkan komponen-komponen volatil dengan baik, berdasarkan bentuk dan garis dasar puncak kromatogram. Tahap ini bertujuan mencari kondisi kromatogafi gas yang dapat memisahkan masing-masing komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih dengan baik, yaitu dengan cara mencari program operasi kromatogafi gas yang tepat. Untuk mendapatkan program operasi kromatogafi gas yang tepat, dilakukan dengan menginjeksikan standar internal dan eksternal ke dalam kolom kromatogafi gas. Hal ini bertujuan melihat kemampuan kolom dalam melakukan fraksinasi terhadap standar-standar tersebut, terutama standar eksternal. Apabila saat diinjeksikan, standar internal dan eksternal tersebut dapat terfraksinasi dengan baik, berarti kolom tersebut cocok untuk memfraksinasi standar-standar tersebut dan kondisi operasi yang digunakan telah sesuai. Beberapa standar yang digunakan adalah benzyl alcohol (standar internal), dialil monosulfida dan dialil disulfida (standar eksternal), serta diethyl ether (pelarut). Pada Lampiran 4 dapat dilihat kromatogram hasil injeksi pelarut diethyl ether sebesar 0.1 µl. Injeksi ini dilakukan dengan volume yang kecil sebab diethyl ether yang digunakan memiliki kemurnian yang tinggi. Penginjeksian dengan volume yang besar dikhawatirkan akan menghasilkan puncak yang terlalu tinggi sehingga sulit tergambar. Puncak yang terbentuk pada kromatogram yang dihasilkan cukup baik dengan retention time sebesar 2.1 menit dan luas area sebesar 2,788,922. Pada kromatogram ini, terlihat tidak terdapat pengotor dari senyawa lain. Ini menunjukkan bahwa pelarut diethyl ether tersebut masih dalam keadaan baik sebab tidak tercemar oleh senyawa lain. Kemurnian diethyl ether yang terdeteksi pada kromatogram yang dihasilkan sangat tinggi mencapai 100%. Hasil ini menunjukkan bahwa pelarut diethyl ether tersebut layak digunakan dalam penelitian ini. Hasil kromatogram standar internal benzyl alcohol dapat dilihat pada Lampiran 5. Konsentrasi benzyl alcohol yang digunakan sebesar 2% dengan menggunakan pelarut diethyl ether. Standar internal ini diinjeksikan pada kolom kromatogafi gas dengan volume injeksi sebesar 2 µl. Hal ini merupakan volume trial and error yang digunakan untuk melihat kemampuan kolom dalam memfraksinasi standar internal. Puncak yang terbentuk pada kromatogram yang dihasilkan memiliki retention time yang cukup baik yaitu sebesar 26.853 menit, tetapi memiliki luas area yang kurang optimal yaitu sebesar 170,279. Oleh karena itu, solusinya adalah dengan memperbesar volume injeksi dari sebelumnya yaitu sebesar 5 µl. Untuk optimasi penginjeksian standar internal digunakan volume injeksi 5 µl, sebab jika digunakan volume lebih besar dikhawatirkan akan menghasilkan puncak yang terlalu tinggi dan luas area yang terlalu besar. Kromatogram hasil optimasi volume injeksi standar internal (benzyl alcohol 2%) sebesar 5 µl dapat dilihat pada Lampiran 6. Puncak yang terbentuk pada kromatogram cukup baik. Pada kromatogram tersebut terlihat bahwa puncak dari benzyl alcohol muncul

dengan retention time sebesar 26.028 menit dan luas area sebesar 485,194. Data ini selanjutnya akan digunakan untuk analisis kuantitatif pada penelitian utama. Hasil penginjeksian standar eksternal (dialil monosulfida dan dialil disulfida) dapat dilihat pada Lampiran 7, 8, dan 9. Pada Lampiran 7 dapat dilihat kromatogram hasil injeksi standar eksternal dialil monosulfida. Standar ini diinjeksikan sebesar 0.1 µl pada kolom kromatogafi gas. Terlihat bahwa kromatogram yang dihasilkan menghasilkan puncak yang baik dengan kemurnian yang sangat tinggi sebesar 99.08%. Puncak dari standar ini memiliki retention time sebesar 12.967 menit dan luas area sebesar 540,926. Lampiran 8 memperlihatkan kromatogram hasil injeksi standar eksternal dialil disulfida. Sama seperti standar dialil monosulfida, standar ini juga diinjeksikan sebesar 0.1 µl pada kolom kromatogafi gas. Puncak yang terbentuk cukup baik dengan kemurnian yang tinggi sebesar 79.45%. Puncak dari standar ini memiliki retention time sebesar 30.017 menit dan luas area sebesar 427,076. Lampiran 9 memperlihatkan kromatogram hasil injeksi standar campuran dari tiga komponen yaitu dialil monosulfida, dialil disulfida, dan benzyl alcohol 2%. Puncakpuncak yang dihasilkan cukup baik dan memiliki retention time secara berurutan, yaitu 12.933 menit (dialil monosulfida), 26.933 menit (benzyl alcohol), dan 30.025 menit (dialil disulfida). Terlihat retention time dari benzyl alcohol berada di antara retention time kedua standar eksternal dan terpisah dengan baik. Ini memperlihatkan bahwa benzyl alcohol cukup baik digunakan sebagai standar internal dalam fraksinasi komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Retention time dari ketiga komponen standar campuran tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam menentukan retention time pada analisis kualitatif dari kromatogram sampel. Penginjeksian standar-standar di atas dilakukan pada kromatogafi gas dengan kondisi operasi seperti yang tertera pada Tabel 6. Kondisi operasi ini merupakan kondisi yang sudah dioptimasi dan telah sesuai untuk menganalisis komponen-komponen volatil pembentuk flavor pada sampel bawang putih dengan dua varietas yang berbeda yaitu Shantung dan Kating. Kromatogafi gas yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 13. Pada dasarnya suatu kromatogafi gas terdiri dari enam komponen utama, yaitu (1) sistem gas pengembang (carrier gas) termasuk tangki penyuplai gas serta pengatur dan alirannya, (2) sistem penyuntikan sampel, (3) kolom pemisah, (4) sistem pendeteksian (detector), (5) elektrometer dan sistem pencatat (recorder), dan (6) unit termostat untuk mengatur suhu oven (Fardiaz 1989).

Tabel 6. Kondisi operasi kromatogafi gas untuk analisis komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih Kondisi GC Keterangan Column Detector Carrier gas Capillary column, RTX-5 (5% diphenyl/95% dimethyl polysiloxane), ø 0.53 mm FID Nitrogen Initial temp 40 C Initial time Program rate 1 min 2 C/min Final temp 160 C Final time 1 min Injector temp 225 C Detector temp 225 C Gambar 13. Kromatogafi gas (SHIMADZU, GC 14 B) 5.1.4 Penentuan Metode Ekstraksi Metode ekstraksi yang digunakan pada tahap ini yaitu metode ekstraksi Maserasi (perendaman) dan metode ekstraksi-distilasi Likens-Nickerson. Kedua metode tersebut berbeda dalam penggunaan suhu pada proses ekstraksinya. Tujuannya adalah mendapatkan metode ekstraksi terbaik yang digunakan untuk mengekstraksi komponen volatil pembentuk flavor yaitu dialil sulfida dan dialil disulfida. Tahap ini merupakan tahap penyeleksian metode ekstraksi yang nantinya akan digunakan pada penelitian utama. Penentuan metode ekstraksi ini dilakukan melalui tiga cara. Pertama dengan uji pembedaan (difference from control test), sampel yang diuji adalah aroma distilat dibandingkan dengan aroma bawang putih segar sebagai kontrol, kedua dengan

perbandingan rendemen hasil ekstraksi dari dua metode ekstraksi tersebut, dan ketiga dengan perbandingan kromatogram hasil injeksi GC (gas chromatogaphy). Uji pembedaan (difference from control test) dilakukan terhadap 10 panelis terlatih yang ada di PT. Garudafood Putra Putri Jaya. Para panelis menilai aroma distilat dari bawang putih yang telah diekstrak dengan dua metode (Maserasi dan Likens- Nickerson). Uji pembedaan ini menggunakan nilai tingkatan enam skor penilaian, dilakukan dengan membandingkan aroma distilat dari masing-masing varietas (Kating dan Shantung) terhadap kontrol. Kontrol yang digunakan adalah bawang putih segar dari masing-masing varietas yang telah dihaluskan. Nilai rata-rata skor penilaian hasil uji pembedaan (difference from control) dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Skor penilaian aroma distilat bawang putih varietas Kating dan Shantung Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 10a menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Kating ada yang berdeda dengan kontrol karena nilai Sig. sampel (0.000) < α (0.05). Kemudian dilakukan uji lanjut Dunnett untuk mengetahui sampel mana yang berbeda dengan kontrol. Berdasarkan uji lanjut Dunnett dapat diketahui bahwa aroma distilat bawang putih varietas Kating yang diekstrak dengan metode Maserasi dan Likens-Nickerson berbeda dengan kontrol. Dari hasil uji Dunnett terlihat bahwa perbedaan nilai rata-rata bawang putih varietas Kating yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih kecil dibandingkan metode Maserasi terhadap kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Kating yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih mirip dengan kontrol dibandingkan yang diekstrak dengan metode Maserasi. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 10b menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Shantung ada yang berdeda dengan kontrol karena nilai Sig. sampel (0.001) < α (0.05). Kemudian dilakukan uji lanjut Dunnett untuk mengetahui sampel mana yang berbeda dengan kontrol. Berdasarkan uji lanjut Dunnett dapat diketahui bahwa aroma distilat bawang putih varietas Shantung yang diekstrak dengan metode Maserasi dan Likens-Nickerson berbeda dengan kontrol. Dari hasil uji Dunnett terlihat bahwa perbedaan nilai rata-rata bawang putih varietas Shantung yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih kecil dibandingkan metode Maserasi terhadap

kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Shantung yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih mirip dengan kontrol dibandingkan yang diekstrak dengan metode Maserasi. Selain menggunakan uji pembedaan (difference from control), penentuan metode ekstraksi terbaik juga ditentukan dengan membandingkan besarnya nilai rendemen hasil ekstraksi. Rendemen hasil ekstraksi dihitung berdasarkan bobot sampel setelah diekstrak dibandingkan dengan bobot sampel awal. Nilai rendemen hasil ekstraksi menggunakan dua metode ekstraksi (Maserasi dan L-N) pada sampel bawang putih varietas Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 11a, rendemen bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Maserasi berdeda dengan metode Likens-Nickerson pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Rendemen bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Maserasi lebih besar dibandingkan metode Likens-Nickerson. Ini menunjukkan bahwa jumlah komponen yang terekstrak dengan menggunakan metode Maserasi lebih banyak daripada metode Likens- Nickerson. Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 11b, rendemen bawang putih varietas Shantung yang diekstraksi dengan metode Maserasi tidak berbeda dengan metode Likens-Nickerson pada taraf signifikansi 5% karena nilai P > 0.05. Gambar 15. Rendemen hasil ekstraksi bawang putih var. Kating dan Shantung (per 50 g bawang putih segar) Hasil yang didapatkan pada pemilihan metode ekstraksi terbaik berbeda antara uji pembedaan (difference from control) dan analisis rendemen. Berdasarkan uji pembedaan (difference from control), metode ekstraksi terbaik adalah metode Likens- Nickerson, sedangkan berdasarkan analisis rendemen adalah metode Maserasi. Untuk menentukan metode yang paling tepat digunakan untuk ekstraksi bawang putih varietas Kating dan Shantung diperlukan analisis kromatogafi gas. Hasil injeksi kromatogasi gas dari bawang putih varietas Kating dan Shantung dengan menggunakan dua metode ekstraksi (Maserasi dan Likens-Nickerson) dapat dilihat pada Lampiran 12 ( a,b ), 13 ( a,b ), 14 ( a,b ), dan 15 ( a,b ). Dari hasil injeksi ini, akan

dilihat kromatogram yang didapat untuk menentukan metode ekstraksi yang lebih baik dalam mengekstrak bawang putih dari dua jenis varietas (Kating dan Shantung). Pada Lampiran 12 ( a,b ), dapat dilihat hasil kromatogram bawang putih varietas Shantung yang diekstraksi dengan metode Likens-Nickerson menggunakan pelarut diethyl ether sebanyak 50 ml. Pada kromatogram ini, teridentifikasi adanya puncak-puncak yang menunjukan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida secara kualitatif. Penentuan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida yang terdapat pada sampel, secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan standar eksternal. Pada penelitian ini, tidak digunakan dialil trisulfida sebagai standar eksternal sebab sulit diperoleh dari supplier. Oleh karena itu diputuskan hanya menggunakan dua standar eksternal, yaitu dialil monosulfida dan dialil disulfida. Dialil trisufida juga merupakan salah satu komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih, tetapi persentasenya paling kecil pada bawang putih jika dibandingkan dua komponen lainnya (dialil monosulfida dan dialil disulfida), seperti terlihat pada Gambar 3. Secara kuantitatif, dialil monosulfida dan dialil disulfida yang terdapat pada sampel ditentukan dengan menggunakan standar internal benzyl alcohol yang diinjeksikan bersama sampel. Konsentrasi benzyl alcohol yang digunakan sebesar 2% (Kurniawan 1994). Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida dapat dilihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7 terlihat bahwa jumlah komponen dialil disulfida lebih besar jumlahnya dibandingkan komponen dialil monosulfida. Hasil ini sesuai dengan diagram alir pada Gambar 3, dimana persentase jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dari dialil monosulfida (Block 1992). Tabel 7. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dengan metode Likens-Nickerson Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel Bawang putih 0.413 69.796 var. Shantung L-N Pada Lampiran 13 ( a,b ), terlihat hasil kromatogram bawang putih varietas Shantung yang diekstraksi dengan metode Maserasi menggunakan pelarut diethyl ether sebanyak 50 ml. Secara kualitatif, tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen dialil monosulfida, sedangkan komponen dialil disulfida dapat teridentifikasi. Komponen dialil monosulfida tidak teridentifikasi pada kromatogram yang dihasilkan, sebab tidak muncul puncak dengan retention time yang berada pada kisaran retention time standar eksternal dialil monosulfida. Pada kromatogram ini, tidak dapat dihitung jumlah komponen dialil monosulfida secara kuantitatif. Hanya komponen dialil disulfida yang dapat dianalisis secara kuantitatif. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung yang ekstraksi dengan metode Maserasi dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dengan metode Maserasi Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel Bawang putih 1.144 var. Shantung Maserasi Jika dibandingkan hasil kromatogram pada Tabel 7 dan 8, terlihat bahwa metode Likens-Nickerson lebih baik dibandingkan metode Maserasi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, dengan metode Likens-Nickerson dapat teridentifikasi komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida dengan baik, sedangkan metode Maserasi tidak. Secara kuantitatif, metode Likens-Nickerson menghasilkan jumlah komponen dialil disulfida yang lebih besar dibandingkan metode Maserasi untuk sampel bawang putih varietas Shantung. Komponen dialil monosulfida tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif, sebab pada kromatogram dari metode Maserasi tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen tersebut. Pada Lampiran 14 ( a,b ), terlihat hasil kromatogram bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Likens-Nickerson menggunakan pelarut diethyl ether sebanyak 50 ml. Secara kualitatif, teridentifikasi dengan baik puncak-puncak yang menunjukkan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Hasil analisis kuantitatif tertera pada Tabel 9. Terlihat bahwa jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dibandingkan dialil monosulfida. Tabel 9. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dengan metode Likens-Nickerson Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel Bawang putih 1.719 52.541 var. Kating L-N Pada Lampiran 15 ( a,b ), terlihat hasil kromatogram bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Maserasi menggunakan pelarut diethyl ether sebanyak 50 ml. Secara kualitatif, tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen dialil monosulfida, sedangkan komponen dialil disulfida dapat teridentifikasi. Pada kromatogram ini, tidak dapat dihitung jumlah komponen dialil monosulfida secara kuantitatif sebab komponen tersebut tidak teridentifikasi puncaknya. Hanya komponen dialil disulfida yang dapat dianalisis secara kuantitatif. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil disulfida dapat dilihat pada Tabel 10. Secara kualitatif dan kuantitatif, hasil yang didapatkan dengan menggunakan metode Maserasi memiliki kemiripan, yaitu tidak teridentifikasi komponen dialil monosulfida sehingga jumlahnya tidak dapat ditentukan.

Tabel 10. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dengan metode Maserasi Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel Bawang putih 0.613 var. Kating Maserasi Jika dibandingkan hasil kromatogram pada Tabel 9 dan 10, terlihat metode ekstraksi Likens-Nickerson lebih baik dibandingkan metode ekstraksi Maserasi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, metode Likens-Nickerson dapat mengidentifikasi komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida dengan baik, sedangkan metode Maserasi tidak. Secara kuantitatif, metode Likens-Nickerson menghasilkan jumlah komponen dialil disulfida yang lebih besar dibandingkan metode Maserasi untuk sampel bawang putih varietas Kating. Komponen dialil monosulfida tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif sebab pada kromatogram dari metode Maserasi tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen tersebut. Berdasarkan hasil perbandingan kromatogram di atas, terlihat bahwa metode ekstraksi Likens-Nickerson lebih baik dari metode ekstraksi Maserasi, baik untuk sampel bawang putih varietas Shantung maupun Kating. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap kromatogram yang dihasilkan. Kromatogram dari sampel yang diekstraksi dengan metode Likens-Nickerson menghasilkan puncak-puncak yang lebih baik secara kualitatif maupun kuantitatif dibandingkan metode Maserasi. Berdasarkan hasil uji pembedaan (difference from control) dan analisis kromatografi gas, terlihat bahwa metode Likens-Nickerson lebih baik dari metode Maserasi, baik pada bawang putih varietas Kating maupun Shantung. Sedangkan berdasarkan analisis rendemen, metode Maserasi lebih baik dari metode Likens- Nickerson. Analisis rendemen tidak sepenuhnya menggambarkan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih, sebab rendemen dipengaruhi oleh perbedaan varietas. Oleh karena itu, diputuskan bahwa metode Likens-Nickerson merupakan metode terpilih dan akan digunakan pada tahap ekstraksi selanjutnya. Menurut Block (1992), metode Likens-Nickerson merupakan metode ekstraksi yang lebih sederhana dan praktis daripada metode ekstraksi lainnya, ini disebabkan hasil ekstrak yang diperoleh berupa minyak distilat yang bebas dari senyawa organik seperti karbohidrat dan lilin. Selain itu, Block (1992) menyatakan bahwa komponen volatil aktif yang terdapat pada bentuk distilat adalah komponen sekunder yang merupakan hasil degradasi senyawa alisin. 5.1.5 Kondisi Ekstraksi Tahap ini bertujuan mencari kondisi ekstraksi optimum dari metode ekstraksi terbaik. Pada penelitian ini, kondisi ekstraksi dilakukan berdasarkan kandungan tiga komponen aktif pada bawang putih, yaitu dialil sulfida, dialil disulfida, dan dialil trisulfida. Ketiga komponen tersebut digunakan sebagai indikator karena merupakan komponen utama turunan alisin, penentu cita rasa, mempunyai aktivitas bioaktif, dan terdapat pada bawang putih segar dan olahannya (Morton dan MacLoad 1982).

Pada saat persiapan sampel, bobot bawang putih yang digunakan hanya 50 g. Hal ini digunakan untuk mempercepat waktu persiapan sampel. Selain itu, Kurniawan (1994) menyatakan bahwa dengan menggunakan jumlah sampel minimal sebanyak 50 g sudah dapat mendeteksi adanya komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada kromatogram. Berat bawang putih 50 g digunakan sebagai dasar ekstraksi pada penelitian selanjutnya dengan penambahan air sebanyak 200 ml (Kurniawan 1994). Penghancuran sampel bawang putih dilakukan dengan menggunakan alat penghancur secara manual. Alat penghancur sampel bawang putih ini dapat dilihat pada Gambar 16. Penghancuran bawang putih tidak menggunakan warring blender sebab sampel menjadi lengket dan menempel di bagian dalam warring blender sehingga sampel sulit diambil. Selain itu, penggunaaan warring blender dalam waktu cukup lama dapat memicu kenaikan suhu. Oleh karena itu digunakan alat penghancur manual untuk mengurangi kelemahan pada warring blender. Penghancuran bawang putih sebaiknya dilakukan dalam waktu singkat untuk mencegah kenaikan suhu yang dapat mengurangi keaktifan enzim-enzim pada bawang putih. Block (1992) menyatakan bahwa enzim alinase aktif pada suhu 23 C. Gambar 16. Alat penghancur bawang putih Sebelum digunakan untuk mengekstrak sampel pada penelitian utama, perlu dilakukan optimasi pada metode Likens-Nickerson. Menurut Kurniawan (1994), optimasi didapatkan pada kombinasi jumlah pelarut diethy ether sebanyak 80 ml dan lamanya waktu ekstraksi 2 jam. Penelitian ini langsung melakukan optimasi pada kombinasi tersebut. Pada saat ekstraksi digunakan MgSO 4 anhidrat untuk menghambat pengembangan sampel dan mencegah terbentuknya busa selama distilasi berlangsung. Setelah dilakukan ekstraksi, hasil ekstraksi dipekatkan dengan menggunakan gas N 2. Proses pemekatan pernah dicoba menggunakan kolom vigreux tetapi hasil injeksinya kurang baik pada kromatogafi gas. Hal ini dikarenakan kolom vigreux menggunakan panas untuk menguapkan sisa pelarut yang masih bercampur dengan distilat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penguapan pada distilat yang dipekatkan dan juga degadasi dari komponen volatil pembentuk flavor yang terekstrak.

5.2 PENELITIAN UTAMA Setelah dilakukan penelitian pendahuluan melalui beberapa tahap seperti dijabarkan sebelumnya, tahap selanjutnya dilanjutkan ke penelitian utama. Sampel yang digunakan adalah bawang putih (Shantung dan Kating) dan lapisan katom (Shantung dan Kating). Tujuannya untuk melihat perubahan yang terjadi pada jumlah komponen volatil pembentuk flavor (dialil monosulfida dan dialil disulfida) dalam lapisan katom (Shantung dan Kating) dibandingkan bawang putih (Shantung dan Kating). Hasil injeksi pada kromatografi gas menghasilkan kromatogram untuk tiap-tiap sampel yang diinjeksikan. Kromatogram tersebut terdiri dari puncak-puncak dengan luas area tertentu. Pada masing-masing kromatogram dari sampel yang diinjeksi dilakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif untuk komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Kedua komponen ini merupakan komponen volatil pembentuk flavor yang terdapat pada bawang putih. Menurut Morton dan MacLoad (1982), dialil monosulfida dan dialil disulfida merupakan komponen utama turunan alisin yang bertindak sebagai penentu cita rasa, mempunyai aktivitas bioaktif, dan terdapat pada bawang putih segar dan olahannya. Kromatogram bawang putih varietas Shantung dapat dilihat pada Lampiran 16 ( a,b ). Pada kromatogram ini, puncak-puncak yang terbentuk cukup baik. Secara kualitatif, teridentifikasi adanya komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Puncak komponen dialil monosulfida muncul dengan retention time sebesar 12.555 menit dan luas area sebesar 6,595, sedangkan puncak komponen dialil disulfida muncul dengan retention time sebesar 29.228 menit dan luas area sebesar 650,123. Untuk mengetahui jumlah komponen yang telah diidentifikasi, dilakukan analisis secara kuantitatif menggunakan standar internal benzyl alcohol 2%. Setelah melihat semua kromatogram yang didapatkan pada penelitian utama, terlihat retention time dari benzyl alcohol 2% yang diperoleh memiliki luas area yang sangat beragram walaupun diinjeksikan dengan volume injeksi yang sama. Hal ini menyebabkan data luas area benzyl alcohol 2% pada masingmasing kromatogram sampel tidak dapat dipakai untuk analisis kuantitatif. Oleh karena itu, digunakan data benzyl alcohol 2% yang diinjeksikan secara tersendiri dengan volume injeksi sebesar 5 µl. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dapat dilihat pada Tabel 11. Terlihat jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dari dialil monosulfida. Hasil ini sesuai dengan Gambar 3, dimana persentase jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dari dialil monosulfida (Block 1992). Kromatogram bawang putih varietas Kating dapat dilihat pada Lampiran 17 ( a,b ). Puncak-puncak yang terbentuk cukup baik pada kromatogram ini. Secara kualitatif, teridentifikasi adanya komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Puncak komponen dialil monosulfida muncul dengan retention time sebesar 11.958 menit dan luas area sebesar 20,950, sedangkan puncak komponen dialil disulfida muncul dengan retention time sebesar 28.817 menit dan luas area sebesar 454,417. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dapat dilihat pada Tabel 11. Perbandingan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dan Kating dapat dilihat pada Tabel 11. Jumlah komponen dialil monosulfida pada bawang putih varietas Shantung lebih kecil dari varietas Kating, sedangkan jumlah komponen dialil disulfida sebaliknya. Dari hasil yang didapatkan terlihat adanya peningkatan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida, baik pada bawang putih varietas Shantung maupun varietas Kating antara sebelum dan sesudah dioptimasi.

Tabel 11. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dan Shantung Sampel Dialil monosulfida Dialil disulfida Bawang putih var. Shantung 1.087 107.174 Bawang putih var. Kating 3.454 74.916 Kromatogram lapisan katom Shantung dapat dilihat pada Lampiran 18 ( a,b ). Pada kromatogram ini, puncak-puncak yang terbentuk cukup baik. Secara kualitatif, teridentifikasi adanya komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Puncak komponen dialil monosulfida muncul dengan retention time sebesar 12.475 menit dan luas area sebesar 116,404, sedangkan puncak komponen dialil disulfida muncul dengan retention time sebesar 30.242 menit dan luas area sebesar 25,817. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada lapisan katom Shantung dapat dilihat pada Tabel 12. Terlihat jumlah komponen dialil monosulfida lebih besar dari dialil disulfida. Hal ini bisa terjadi karena proses pengolahan pada katom menggunakan panas (suhu tinggi) sehingga mempengaruhi jumlah komponen-komponen tersebut. Selain itu, dapat juga dikarenakan komposisi lapisan katom terdiri dari campuran beberapa bahan yang berbeda yang memungkinkan adanya komponen lain yang mirip dengan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida sehingga mempengaruhi jumlah komponenkomponen ini pada saat dianalisis. Kromatogram lapisan katom Kating dapat dilihat pada Lampiran 19 ( a,b ). Puncakpuncak yang terbentuk terlihat cukup baik pada kromatogram ini. Secara kualitatif, teridentifikasi adanya komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Puncak komponen dialil monosulfida muncul dengan retention time sebesar 12.967 menit dan luas area sebesar 2,450, sedangkan puncak komponen dialil disulfida muncul dengan retention time sebesar 29.45 menit dan luas area sebesar 14,329. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada lapisan katom Kating dapat dilihat pada Tabel 12. Terlihat bahwa jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dari komponen dialil monosulfida. Terlihat bahwa pengaruh pengolahan (suhu tinggi) dan komposisi bahan pada lapisan katom Kating tidak terlalu besar terhadap perubahan jumlah komponen-komponen tersebut. Tetapi faktor-faktor tersebut tetap berpengaruh terhadap pengurangan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada sampel lapisan katom Kating. Perbandingan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada lapisan katom Shantung dan Kating dapat dilihat pada Tabel 12. Pada perbandingan hasil analisis bawang putih (Kating dan Shantung), jumlah komponen dialil monosulfida pada bawang putih varietas Shantung selalu lebih kecil dari varietas Kating baik sebelum maupun setelah dilakukan optimasi, sedangkan jumlah komponen dialil disulfida memiliki perbandingan sebaliknya. Jumlah komponen dialil monosulfida pada lapisan katom Shantung lebih besar dibandingkan pada lapisan katom Kating, begitu pula dengan jumlah komponen dialil disulfida. Terlihat adanya perbedaan perbandingan jumlah dialil monosulfida pada bawang putih (Kating dan Shantung) dan lapisan katom (Kating dan Shantung). Hal ini menunjukkan bahwa adanya

pengaruh proses pengolahan (suhu tinggi) dan komposisi bahan pada lapisan katom terhadap perubahan jumlah komponen-komponen tersebut. Tabel 12. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada lapisan katom Kating dan Shantung Sampel Dialil monosulfida Dialil disulfida Lapisan katom Shantung 19.192 4.257 Lapisan katom Kating 0.404 2.362 Perbandingan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dan lapisan katom Shantung dapat dilihat pada Tabel 13. Jumlah komponen dialil monosulfida pada sampel bawang putih varietas Shantung lebih kecil dari lapisan katom Shantung, sedangkan jumlah komponen dialil disulfida sebaliknya. Jumlah komponen dialil monosulfida mengalami peningkatan sedangkan jumlah komponen dialil disulfida mengalami penurunan. Peningkatan mungkin disebabkan karena pengaruh campuran bahan yang berbeda pada saat pembuatan lapisan yaitu campuran larutan bumbu dan tepung tapioka, sehingga pada saat dianalisis terjadi reaksi antara berbagai bahan yang memungkinkan terbentuknya komponen yang sama dengan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan seperti hasil analisis tersebut, walaupun pengaruh proses pengolahan (suhu tinggi) cukup mengurangi jumlah komponen-komponen tersebut. Tabel 13. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dan lapisan katom Shantung Sampel Dialil monosulfida Dialil disulfida Bawang putih var. Shantung 1.087 107.174 Lapisan katom Shantung 19.192 4.257 Perbandingan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dan lapisan katom Kating dapat dilihat pada Tabel 14. Jumlah komponen dialil monosulfida mengalami penurunan pada sampel lapisan katom varietas Kating, begitu pula dengan jumlah komponen dialil disulfida. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang cukup besar dari proses pengolahan (suhu tinggi) terhadap pengurangan jumlah komponen-komponen tersebut di dalam lapisan katom varietas Kating. Menurut Mazza (1998), tipe dan konsentrasi dari senyawa sulfur yang diekstrak dari bawang putih dipengaruhi oleh ketuaan umbi, praktek produksi yang dilakukan, varietas, lokasi penanaman, dan kondisi proses yang dilakukan.

Tabel 14. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dan lapisan katom Kating Sampel Dialil monosulfida Dialil disulfida Bawang putih var. Kating 3.454 74.916 Lapisan katom Kating 0.404 2.362