BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pengertian Prestasi Belajar Prestasi belajar adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2006). Pengertian prestasi menurut Djamarah (1994) diartikan sebagai suatu hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun secara kelompok. Sardiman (1987) menjelaskan bahwa prestasi belajar yaitu tingkat pencapaian penguasaan materi pelajaran yang ditempuh dan biasanya diwujudkan dalam indeks prestasi. Prestasi belajar berarti suatu perubahan yang dicapai seseorang setelah melalui proses belajar (Slameto, 2003). Begitu pula yang dikemukan oleh Winkel (2004) mengenai prestasi belajar, suatu bukti yang dicapai oleh seseorang setelah belajar. Prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usahausaha belajar. Tu u (2004) mengatakan prestasi belajar ialah hasil belajar siswa yang diperoleh siswa ketika mengikuti pembelajaran di kelas yang dinilai secara kognitif dan dinyatakan melalui nilai atau angka dari hasil evaluasi yang dilakukan guru terhadap tugas siswa dan ulangan-ulangan atau ujian yang dilaluinya. Berdasarkan pendapat-pendapat tentang prestasi belajar di atas maka penelitian ini mengacu pada teori Tu u (2004) yang menjabarkan bahwa hasil belajar siswa yang diperoleh siswa ketika mengikuti pembelajaran di kelas yang dinilai secara kognitif dan dinyatakan melalui nilai atau angka dari hasil evaluasi yang dilakukan guru terhadap tugas siswa dan ulangan-ulangan atau ujian yang dilaluinya. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, faktorfaktor yang mempengaruhi prestasi belajar menurut pandangan Slameto (2003) yaitu terdiri dari faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang berpengaruh ialah faktor jasmani, faktor psikologi dan faktor kelelahan. Faktor jasmani dibagi menjadi dua yaitu faktor kesehatan dan faktor cacat tubuh. 5
Faktor kesehatan sangat berpengaruh terhadap proses belajar siswa, jika kesehatan seseorang terganggu atau cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, mengantuk, jika keadaan badannya lemah dan kurang darah ataupun ada gangguan kelainan alat inderanya. Selain faktor kesehatan, cacat tubuh juga menyebabkan kurang baik atau kurang sempurnanya mengenai tubuh atau badan. Cacat ini berupa buta, setengah buta, tulis, patah kaki, patah tangan, lumpuh, dan lain-lain. Faktor yang berasal dari luar (faktor ekstern) yang berpengaruh terhadap prestasi belajar dapatlah dikelompokkan menjadi tiga faktor yaitu faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat. Faktor keluarga yang memberi dampak pada prestasi siwa yaitu cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, keadaan keluarga, pengertian orang tua, keadaan ekonomi keluarga, latar belakang kebudayaan dan suasana rumah. Faktor sekolah dapat berupa cara guru mengajar, ala-alat pelajaran, kurikulum, waktu sekolah, interaksi guru dan murid, disiplin sekolah, dan media pendidikan. Faktor lingkungan masyarakat yang mempengaruhi terhadap prestasi belajar siswa antara lain teman bergaul, kegiatan lain di luar sekolah dan cara hidup di lingkungan keluarganya (Slmeto, 2003). Tu u (2004) menguraikan bahwa ada beberapa faktor yang penting dan mendasar yang memberi kontribusi bagi prestasi belajar siswa. Faktor-faktor tersebut ialah kecerdasan, bakat, motif, kesehatan, cara belajar, lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan, sekolah dan sarana pendukung belajar. Kecerdasan berkaitan dengan kemampuan rasional memahami, mengerti, memecahkan masalah, dan kemampuan mengatur perilaku pada lingkungan yang berubah serta kemampuan belajar dari pengalamannya. Faktor bakat, kemampuan yang ada pada seseorang sejak lahir, yang merupakan warisan dari orang tuanya. Motif diartikan sebagai dorongan yang membuat seseorang melakukan sesuatu. Faktor cara belajar diantaranya adalah konsentrasi sebelum dan ketika pembelajaran berlangsung, mempelajari kembali bahan yang telah diterima dengan segera dan menyelesaikan soal-soal yang diberikan (Tu u, 2004). Begitu pula dengan lingkungan keluarga berupa dorongan, bimbingan dan teladan yang diberikan dari orang tua. Lingkungan sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang terstruktur, memiliki sistem dan organisasi yang baik bagi penanaman nilai-nilai etik, moral, mental, spiritual, disiplin, dan ilmu pengetahuan. 6
3. Model Pembelajaran Kooperatif a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang terdiri dari 4-6 siswa dengan struktur kelompok heterogen (Slavin dalam Isjoni 2009). Kelompok heterogen artinya kelompok yang setiap anggota kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah) dan jika memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran (Lie, 2002). Slavin (dalam Sanjaya, 2006) meracang pembelajaran kooperatif dengan dua alasan. Alasan pertama karena dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua, dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar bepikir memecahkan masalah dan mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan. Semua model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan (Nur dkk, 2000). Struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan pada model pembelajaran kooperatif berbeda dengan struktur tugas, struktur tujuan serta struktur penghargaan model pembelajaran yang lain. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif, siswa didorong untuk bekerja sama pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Pembelajaran kooperatif juga mengembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemampuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain. Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta pengembangan keterampilan sosial (Nur,dkk. 2000). 7
b. Prinsip Dasar Pembelajaran Kooperatif Menurut Nur, dkk (2000), prinsip dasar pembelajaran kooperatif adalah setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya. Setiap anggota kelompok harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama, harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya kemudian siswa akan dikenai evaluasi, berbagi kepemimpinan, membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya, dan siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. c. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah belajar bersama dengan teman, selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman, saling mendengarkan pendapat di antara anggota kelompok, belajar dari teman sendiri dalam kelompok, belajar dalam kelompok kecil, produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat, keputusan tergantung pada siswa sendiri, siswa aktif (Stahl dalam Wahyudi, 2010). Senada dengan ciri-ciri tersebut, Johnson dan Johnson (dalam Sanjaya, 2006) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah terdapat saling ketergantungan yang positif antar anggota kelompok, dapat dipertanggungjawabkan secara individu, heterogen, berbagi kepemimpinan, berbagi tanggung jawab, menekankan pada tugas dan kebersamaan, membentuk keterampilan sosial, peran guru mengamati proses belajar mahasiswa, efektivitas belajar tergantung pada kelompok. Proses belajar terjadi dalam kelompok-kelompok kecil (3-4 orang anggota), bersifat heterogen tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan akademik, jender, suku, maupun lainnya. 8
d. Pengelolaan Kelas Model Pembelajaran Kooperatif Ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu pengelompokan, semangat gotong royong dan penataan ruang kelas. Pengelolaan kelas ini bertujuan untuk membina pembelajaran dalam mengembangkan niat dan kiat kerja sama dan berinteraksi dengan siswa lainnya. Pengelompokan heterogen lebih disukai para guru karena memiliki beberapa keuntungan antara lain memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajar (peer tutoring), menumbuhkan semangat gotong royong dan memudahkan pengelolaan kelas. Semangat gotong royong diperlukan agar setiap anggota kelompok dapat bekerja secara efektif dalam proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Semangat ini dapat dibina ketika siswa berinteraksi dalam kelompok masingmasing. Siswa dapat berinteraksi dengan maksimal, dibutuhkan penataan ruang kelas. Bangku ditata sedemikian rupa sehingga semua siswa dapat melihat guru dan papan tulis dengan jelas, serta dapat melihat rekan-rekan kelompoknya dengan baik (Lie, 2002). e. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Terdapat 6 langkah utama atau tahapan di dalam kegiatan pembelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif (Trianto, 2007). Langkah pertama, guru menyampaikan tujuan pelajaran dan memotivaasi siswa belajar pada awal pelajaran. Fase ini kemudian dilanjutkan dengan penyajian informasi, selanjutnya siswa dikelompokkan dalam tim-tim atau kelompok-kelompok belajar. Pada tahap ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentasi hasil kerja kelompok atau mengevaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Berikut tabel fase-fase pembelajaran kooperatif: Tabel 1.1 Fase-fase Model Pembelajaran Kooperatif Fase Tingkah Laku Guru Fase-1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai serta memotivasi siswa. 9
Fase-2 Menyajikan informasi. Fase-3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompokkelompok belajar. Fase-4 Membimbing kelompok belajar. Fase-5 Evaluasi. Fase-6 Memberikan penghargaan. Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan cara demonstrasi atau lewat bahan bacaan. Guru menginformasikan kepada siswa cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masingmasing kelompok mempresentasikan hasil belajarnya. Guru memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok. f. Model Evaluasi Model Pembelajaran Kooperatif Penilaian model pembelajaran kooperatif yang dijelaskan oleh Lie (2002), siswa mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok. Siswa bekerja sama dengan metode gotong royong. Mereka saling membantu dalam mengerjakan tes sendiri dan menerima nilai pribadi. Nilai kelompok dapat diperoleh dengan beberapa cara yaitu dengan mengambil dari nilai terendah yang didapat oleh siswa dalam kelompok, atau dari nilai rata-rata nilai semua anggota kelompok. Kelebihan cara tersebut adalah semangat gotong royong yang ditanamkan. Kekurangan menggunakan cara ini ialah dapat menimbulkan perasaan negatif dan tidak adil. Siswa yang mampu akan merasa rugi oleh nilai rekannya yang rendah. Siswa yang rendah mungkin merasa bersalah karena memberi sumbangan yang rendah. Cara lain yang bisa dipilih untuk menjaga rasa keadilan. Setiap anggota memberikan nilai di atas nilai rata-rata mereka sendiri. Hal ini berati setiap siswa pandai ataupun kurang pandai mempunyai kesempatan untuk berkontribusi. Siswa yang kurang pandai tidak akan merasa minder terhadap rekan-rekan mereka karena mereka juga memberikan nilai yang sama pada kelompok mereka. g. Beberapa Tipe Model Pembelajaran Kooperatif Beberapa tipe model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain Slavin (1985), Lazarowitz (1988) atau Sharan (1990) dalam Suyatno (2009) adalah jigsaw, Number Head Together (NHT), STAD 10
(Student Teams Achievement Divisions), TAI (Team Assited Individualization atau Team Accelarated Instruction), kancing gemerincing, dan lain-lain. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pertama kali dikembangkan oleh Aronson dkk (Nur, dkk. 2000). Langkah-langkah dalam penerapan jigsaw adalah sebagai berikut: guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4-6 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah serta jika mungkin anggota. Kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tipe jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Kelompok ahli siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok jigsaw (gigi gergaji). Siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan. Guru lalu memberikan kuis untuk siswa secara individual, guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini). Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran. Jika menggunakan jigsaw yang perlu diperhatikan ialah untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993). Pada umumnya NHT digunakan untuk melibatkan siswa dalam penguatan pemahaman pembelajaran atau mengecek pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Langkah-langkah penerapan NHT yaitu guru menyampaikan materi pembelajaran atau permasalahan kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai, guru memberikan kuis secara individual 11
kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau awal, guru membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4 5 siswa, setiap anggota kelompok diberi nomor atau nama. Kemudian guru mengajukan permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok, guru mengecek pemahaman siswa dengan menyebut salah satu nomor (nama) anggota kelompok untuk menjawab dan guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada akhir pembelajaran. Guru kemudian memberikan tes/kuis kepada siswa secara individual, dan memberi penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (Nur, dkk. 2000). Pembelajaran kooperatif tipe STAD diuraikan oleh Slavin. Langkah model pembelajaran ini dimulai dengan pembagian siswa dalam beberapa tim yang terdiri atas empat orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan materi pelajaran, kemudian siswa berdiskusi dengan kelompoknya masing-masing dengan tujuan agar setiap anggota kelompok dapat menguasai materi yang diajarkan. Langkah selanjutnya, semua siswa diminta mengerjakan kuis secara individu. Skor kuis para siswa dibandingkan dengan rata-rata pencapaian mereka sebelumnya, dan kepada masing-masing kelompok diberikan poin berdasarkan tingkat kemajuan yang diraih siswa dibandingkan hasil yang mereka capai sebelumnya. Poin ini kemudian dijumlahkan untuk memperoleh skor tim, dan tim yang berhasil memenuhi kriteria tertentu akan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lainnya. Penghargaan kelompok didapat dari nilai seluruh rangkaian kegiatan, termasuk presentasi kelompok, praktik kelompok, dan kuis individu. 4. Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Indivudualization) a. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Indivudualization) Pembelajaran kooperatif tipe TAI ini dikembangkan oleh Slavin (dalam Syarif, 2011). Pada penelitian yang akan dilaksanakan ini mengacu pada model pembelajaran kooperatif tipe TAI yang dijabarkan oleh Slavin (1995). TAI adalah salah satu model pembelajaran dimana para siswa dengan kemampuannya masing-masing bekerja sama di dalam kelompok kecil dengan kemampuan yang berbeda. Slavin membuat model ini berdasarkan beberapa alasan. Pertama, model ini mengkombinasikan 12
keunggulan pembelajaran kooperatif dan individu. Kedua, TAI melatih siswa untuk peduli dengan orang lain yaitu temannya. Model pembelajaran ini disusun untuk memecahkan masalah kesulitan belajar secara individu. Terjemahan bebas dari TAI adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karaktristik bahwa tanggung jawab belajar adalah pada siswa sehingga siswa harus membangun pengetahuan dan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru adalah negoisasi dan bukan imposisi-intruksi. Sintaks BidaK menurut Slavin (dalam Suyatno, 2009) adalah membuat kelompok heterogen dan memberikan bahan ajar berupa modul, siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif. Pembelajaran kooperatif tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual yang dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas pada tipe TAI ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama (Suyatno, 2009). 13
b. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Indivudualization) Ciri khas dari pembelajaran model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Nur, dkk. 2000) ialah siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbedabeda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah atau jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok dari pada masing-masing individu. Pembelajaran kooperatif dikembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemampuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain. c. Prosedur Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Indivudualization) Komponen-komponen pembelajaran kooperatif tipe TAI yang dikemukakan oleh Nur (2005) meliputi student creative (siswa kreatif), placement test (tes penempatan), team (kelompok), team study (belajar kelompok), whole class (unit-unit kelas keseluruhan kelompok), fact test (tes fakta) dan team scores and team recognition (skor kelompok dan pengakuan kelompok). Student creative yang dimaksud Nur (2005) adalah guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru. Kedua placement test, guru memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau skor awal atau dengan melihat hasil ulangan sebelumnya. Ketiga team, guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 5 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang dan rendah). Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender. Team study, hasil belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi kelompok, setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok. Whole class unit, guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan 14
memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari. Fact test, guru memberikan kuis kepada siswa secara individual. Team score and recognition, guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini). Prosedur model pembelajaran kooperatif tipe TAI yang dijabarkan oleh Slavin (1995) tersebut adalah teams yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri dari 4 sampai 5 siswa. Placement test, pemberian pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu. Curriculum materials, materi yang dikerjakan oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang ada. Teaching Group, pemberian materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok. Team Study, tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan secara individual kepada siswa yang membutuhkan. siswa diberikan untuk mengerjakan soal secara individu terlebih dahulu kemudian setelah itu mendiskusikan hasilnya dengan kelompok masing masing. Team Score and Team Recognition, pemberian skore terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang dan kelompok yang dipandang kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas. Fact test, pelaksanaan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh siswa. Dan Whole-Class Units, pemberian materi oleh guru kembali diakhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah. Penelitian ini menggunakan prosedur pembelajaran kooperatif tipe TAI yang dikemukakan oleh Slavin (1995). Diawali dengan teams, placement test, curriculum materials, teaching group, team study, team scores and team recognition, fact test dan whole class. 15
d. Penghargaan Kelompok pada Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization) Menurut Slavin (dalam Nur, 2000) guru memberikan penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar dari nilai dasar (awal) ke nilai kuis/tes setelah siswa bekerja dalam kelompok. Cara-cara penentuan nilai penghargaan kepada kelompok yaitu dengan menentukan nilai dasar (awal) masing-masing siswa. Nilai dasar (awal) dapat berupa nilai tes/kuis awal atau menggunakan nilai ulangan sebelumnya. Menentukan nilai tes/kuis yang telah dilaksanakan setelah siswa bekerja dalam kelompok, misal nilai kuis I, nilai kuis II, atau rata-rata nilai kuis I dan kuis II kepada setiap siswa yang kita sebut nilai kuis terkini. Langkah terakhir dengan menentukan nilai peningkatan hasil belajar yang besarnya ditentukan berdasarkan selisih nilai kuis terkini dan nilai dasar (awal) masing-masing siswa dengan menggunakan kriteria berikut ini. Penghargaan kelompok diberikan berdasarkan rata-rata nilai peningkatan yang diperoleh masing-masing kelompok dengan memberikan predikat cukup, baik, sangat baik, dan sempurna. Berikut ini tabel predikat kelompok (Slavin, 1995): Tabel 1.2 Predikat Kelompok Interval Rata-rata Nilai Peningkatan Predikat Rata-rata nilai peningkatan kelompok < 15 CUKUP 15 rata-rata nilai peningkatan kelompok < 20 BAIK 20 rata-rata nilai peningkatan kelompok < 25 SANGAT BAIK Rata-rata nilai peningkatan kelompok 25 SEMPURNA 16
e. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Indivudualization) Model pembelajaran kooperatif tipe TAI memiliki kekurangan dan kelebihan. Adapun kelebihannya antara lain siswa yang lemah dapat terbantu dalam menyelesaikan masalah, siswa berlatih bekerjasama dalam suatu kelompok, siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan ketarmpilannya, adanya rasa tanggung jawab dalam kelompok dalam menyelesaikan masalah. Selain mempunyai kelebihan, model ini juga mempunyai kekurangan. Kekurangan dari pembelajaran kooperatif tipe TAI adalah siswa yang kurang pandai secara tidak langsung akan menggantungkan pada siswa yang pandai, dibutuhkan waktu yang lama untuk membuat dan mengembangkan perangkat belajar, dan guru dapat mengalami kesulitan jika jumlah siswa terlalu banyak (Syariffudin, 2011). 5. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Kemmis (dalam Wiriaatmadja, 2005), penelitian tindakan ialah sebuah bentuk inkuiri relatif yang dilakukan secara kemitraan mengenai situasi sosial tertentu meningkatkan rasionalitas dan keadilan dari kegiatan praktik sosial pendidikan mereka dan pemahaman mereka mengenai kegiatan-kegiatan praktik pendidikan ini dan situasi yang memungkinkan terlaksananya kegiatan praktik ini. PTK merupakan paparan gabungan definisi dari tiga kata penelitian, tindakan, dan kelas. Penelitian adalah kegiatan mencermati suatu objek, menggunakan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat bagi peneliti atau orang-orang yang berkepentingan dalam rangka peningkatan kualitas diberbagai bidang. Tindakan adalah suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu yang dalam pelaksanaannya berbentuk rangkaian periode/siklus kegiatan. Kelas adalah sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama dan tempat yang sama menerima pelajaran yang sama dari seorang guru yang sama. Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan terjemahan dari classroom action research yaitu suatu action research (penelitian tindakan) yang dilakukan di kelas (Arikunto, 2007). Definisi-definisi PTK yang telah diuraikan maka penelitian yang berjudul Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization) untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika pada Siswa 17
Kelas VIIIA SMP Negeri 1 Gemawang Semester II Tahun Ajaran 2011/2012 mengacu pada definisi PTK yang dikemukakan Arikunto. Penelitian tindakan kelas mempunyai beberapa model diantaranya model Kurt Lewin, model Kemmis Mc Taggart, model John Elliot, model Hopkins, dan model Mc Kernan (Sutama, 2011). Model-model tersebut bertujuan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam kelas. Model Kurt Lewin merupakan dasar atau acuan pokok dari adanya berbagai model penelitian tindakan lainnya, khususnya PTK. Kurt Lewin adalah orang yang pertama kali memperkenalkan AR. Konsep pokok penelitiannya terdiri dari empat komponen, yaitu: perencanaan/planning, tindakan/acting, pengamatan/observing, dan refleksi/reflecting. Hubungan keempat komponen tersebut merupakan suatu siklus. Berikut ini design PTK model Kurt Lewin: 18
Gambar 1.1 Design PTK Model Lewin Model PTK yang dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart adalah merupakan model pengembangan dari model Kurt Lewin. Dikatakan demikian, karena di dalam suatu siklus terdiri atas empat komponen, keempat komponen tersebut, meliputi: perencanaan, aksi/tindakan, observasi, dan refleksi. Suatu siklus selesai diimplementasikan sesudah adanya refleksi, kemudian diikuti dengan adanya perencanaan ulang yang dilaksanakan dalam bentuk siklus tersendiri. Demikian seterusnya, atau dengan beberapa kali siklus. Model PTK Kemmis dan Mc Taggart dapat digambarkan sebagai berikut: 19
Gambar 1.2. Model PTK Kemmis dan Mc Taggart Model PTK dari John Elliot ini lebih rinci jika dibandingkan dengan model Kurt Lewin dan model Kemmis-Mc Taggart. Dikatakan demikian, karena di dalam setiap siklus terdiri dari beberapa aksi, yaitu antara tiga sampai lima aksi (tindakan). Sementara itu, setiap tindakan kemungkinan terdiri dari beberapa langkah yang terrealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar. 20
Gambar 1.3 PTK Model Elliot 21
PTK model Dave Ebbutt secara skematis yaitu: Gambar 1.4 Model PTK Dave Ebbutt Model PTK yang dikemukakan oleh Mc Kernan lebih menekankan pada proses waktu, dalam arti bahwa dalam PTK yang penting bukanlah dengan mengatur waktu secara kaku akan tetapi harus dapat mencakup penentuan fokus permasalahan, penyelesaian permasalahan yang rasional dan kepemilikan penelitian yang demokratis (Sutama, 2011). Penelitian yang akan dilaksanakan ini termasuk dalam jenis penelitian tindakan kelas (PTK) dan menggunakan PTK model Kemmis & Mc Taggart. Penelitian tindakan kelas memiliki empat tahap yang dirumuskan oleh Lewin (Kemmis dan Mc Taggar, 1992) yaitu planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan) dan reflection (refleksi). 22
B. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian (Aminoto, 2008) di SMP Negeri 2 Bulu yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TAI melalui kegiatan problem solving menunjukkan bahwa nilai rata-rata data awal dengan jumlah siswa sebanyak 26 siswa yaitu 59,2. Pada siklus I, nilai rata-rata ulangan harian siswa adalah 64,2 dengan nilai diatas KKM (60) ialah 16 siswa meningkat menjadi 68,3 dan nilai di atas KKM sebanyak 25 siswa. Data yang diperoleh dari penelitian yang dilaksanakan oleh Tiliyani (2007) dengan menggunakan pembelajaran cooperative learning tipe Team Assisted Individualization (TAI) di kelas IXB SMP Negeri I Adiwerna kabupaten Tegal dalam pokok bahasan Pangkat Tak Sebenarnya, hasil tes akhir siklus I, II, dan III persentasi ketuntasan belajar siswa menjadi meningkat. Siklus I siswa yang tuntas belajar 58,97 %, siklus I sebesar 76,92 %, dan siklus III sebesar 89,74 %. Penelitian yang sejalan dengan Tiliyani (2007), penelitian Undari (2011) di SMA Negeri 2 Malang yang menerapkan pembelajaran kooperatif TAI dan TPS dapat meningkatkan prestasi belajar siswa yang diiukur dari skor rata-rata yaitu skor awal rata-rata sebelum perlakuan sebesar 75,7, skor rata-rata siklus I sebesar 80, dan skor rata-rata siklus II 83,1 dan diukur dengan persentase ketuntasan belajar secara klasikal SKM (Standart Ketuntasan Minimum) sebelum perlakuan sebesar 36,8%, pada siklus I sebesar 78,9%, dan siklus II sebesar 94,7%. C. Kerangka Berpikir Pada kondisi awal siswa kelas VIIIA SMP N 1 Gemawang mempunyai prestasi belajar matematika yang rendah. Hal ini dikarenakan guru masih kurang optimal dalam memanfaatkan strategi pembelajaran yang tepat dalam meningkatkan prestasi belajar belajar siswa yaitu dengan menggunakan metode konvensional. Salah satu pembelajaran aktif yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pembelajaran matematika adalah pendekatan pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization). Penerapan model pembelajaran tipe TAI (Team Assisted Individualization) pada siklus I membahas materi menghitung panjang garis singgung lingkaran dan menghitung panjang garis singgung persekutuan luar dan dalam lingkaran. Pelaksanaan model tersebut masih secaa abstrak yang artinya masih belum sepenuhnya. Guru masih membantu siswa dalam memahami materi. Pelaksanaan siklus I belum dapat mencapai indikator kinerja. Siklus II pada materi menghitung panjang lilitan minimum pada lingkaran dan menghitung jarijari lingkaran dalam dan luar segitiga, model pembelajaran tipe TAI dijalankan 23
dengan sepenuhnya dan prestasi belajar matematika meningkat. Berdasarkan uraian di atas maka kerangka berpikir dapat diilustrasikan pada diagram berikut ini: Guru menggunakan metode yang konvensional ndahnya prestasi belajar siswa Siklus I Penerapan model pembelajaran tipe TAI Prestasi belajar matematika meningkat Siklus II Penerapan model pembelajaran tipe TAI ndikator kinerja belum tercapai Gambar 1.5 Kerangka Berpikir D. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas maka hipotesis tindakan pada penelitian ini adalah melalui penerapan pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa di kelas VIIIA semester II SMP Negeri 1 Gemawang pada pokok bahasan Garis Singggung Lingkaran dengan indikator keberhasilan yaitu bila 80% jumlah siswa sudah mencapai nilai ketuntasan 72. 24