2 PERMASALAHAN RENDEMEN TEBU

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN TEKNIK PENETAPAN RENDEMEN TEBU INDIVIDUAL PETANI DI PABRIK GULA MOJOPANGGUNG TULUNG AGUNG - JAWA TIMUR M U L Y A D I

3 METODOLOGI PENELITIAN

Cara Penentuan Nilai BRIX kadar gula Dalam Tanaman Tebu. Oleh: Khairul Nurcahyono

PENENTUAN RENDEMEN GULA TEBU SECARA CEPAT 1

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccarum officinarum L) termasuk famili rumput-rumputan. Tanaman

Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta November 2008

III. METODOLOGI PENELITIAN

LAPORAN HASIL PRAKTIKUM ANALISA GULA

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu, jika digiling akan menghasilkan air dan ampas dari tebu,

Lampiran 1. Kualitas Bibit yang Digunakan dalam Penelitian

TEBU. (Saccharum officinarum L).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

4 Akar Akar tebu terbagi menjadi dua bagian, yaitu akar tunas dan akar stek. Akar tunas adalah akar yang menggantikan fungsi akar bibit. Akar ini tumb

1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki gugus hemiasetal. Oleh karena itu sukrosa di dalam air tidak berada

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 45 TAHUN 2006 TENTANG PETUNJUK TEKNIS GERAKAN PENINGKATAN RENDEMEN TEBU DI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) adalah satu anggota famili rumputrumputan

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

DESKRIPSI TEBU VARIETAS KIDANG KENCANA (NAMA ASAL PA 198)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP RENDEMEN TEBU STUDI KASUS DI PABRIK GULA TOELANGAN SIDOARJO JAWA TIMUR SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. dalam pemenuhan gizi masyarakat Indonesia. Kebutuhan terhadap gizi ini dapat

BAB I PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum.l) merupakan bahan baku utama dalam. dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGARUH VARIETAS TEBU, POTONGAN DAN PENUNDAAN GILING TERHADAP KUALITAS NIRA TEBU

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENINGKATAN RENDEMEN DAN HABLUR TANAMAN TEBU

BAB I. Indonesia tidak dapat terus menerus mengandalkan diri dari pada tenaga kerja

Lampiran 1 Daftar Wawancara

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 ANALISIS SITUASI

I PENDAHULUAN. tebu, bit, maple, siwalan, bunga dahlia dan memiliki rasa manis. Pohon aren adalah

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Saccharum officinarum

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses mempengaruhi peserta didik agar dapat. menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungannya serta

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Ekologi Tanaman Tebu

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyaringan nira kental pada proses pengkristalan berfungsi untuk

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Pertanaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II PABRIK GULA KWALA MADU (PGKM) SEBELUM TAHUN 1984

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

PEMBAHASAN. Aspek Teknis

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tebu

PENDAHULUAN. telah ditanam di Jepang, India dan China sejak dulu. Ratusan varietas telah

I. PENDAHULUAN. berbagai macam produk baik dari sektor hortikultura maupun perkebunan. Seiring

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pemurnian nira yang ternyata masih mengandung zat zat bukan gula dari proses

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

44 masing 15 %. Untuk petani tebu mandiri pupuk dapat diakses dengan sistem kredit dengan Koperasi Tebu Rakyat Indonesia (KPTRI). PG. Madukismo juga m

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Ratoon

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

METODOLOGI. Waktu dan Tempat. Alat dan Bahan. Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VARIETAS UNGGUL BARU (PSDK 923) UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

BAB I PENDAHULUAN. Gula pasir merupakan kebutuhan pokok strategis yang memegang peran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan penting sebagai

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut USDA (2008), kedudukan sorgum manis (Sorghum bicolor [L.]

BAB I PENDAHULUAN. penting di Indonesia termasuk salah satu jenis tanaman palawija/ kacang-kacangan yang sangat

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

PENDAHULUAN. yang berasal dari bagian biji pada kebanyakan tanaman lebih banyak. diantaranya adalah daun singkong (Manihot utilisima).

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) adalah salah satu komoditas perkebunan

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tebu Botani dan Syarat Tumbuh Tebu

Gambar 1. Mekanisme hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa

Transkripsi:

2 PERMASALAHAN RENDEMEN TEBU 2. 1 Definisi-definisi Berdasarkan modul penentuan rendemen tebu (Harisutji, 2001) dan Cane Sugar Handbook (Meade dan Chen, 1977) dapat didefinisikan istilah-istilah yang lazim digunakan dalam penetapan rendemen tebu sebagai berikut : a. RENDEMEN (Hablur % tebu) Jumlah gula yang dapat dihasilkan setiap 100 bagian berat tebu. Pengertian rendemen disini adalah rendemen sementara, karena masih belum dikoreksi. Untuk menghitung rendemen sementara digunakan rumus Hommes (1932 dalam Meade dan Chen, 1977), yaitu : Rendemen = Nilai Nira perahan pertama (NNPP) x Faktor Rendemen. b. INDIVIDUAL Yang dimaksud dengan individual dalam penelitian ini adalah setiap lori atau truk yang digunakan untuk mengangkut tebu yang akan digiling. c. PETANI Pemilik tebu yang tebunya akan digiling.dan dimuat dalam lori atau truk secara sendiri-sendiri, tidak bercampur dengan tebu orang lain. d. BRIX (derajat brix, o bx) Satuan yang menyatakan persen berat/berat (b/b) zat padat terlarut suatu larutan. Bila larutannya adalah sakarosa murni, maka brix = % sakarosa; tetapi bila tidak murni, maka brix selain terdiri dari sakarosa juga mengandung zat padat terlarut lainnya. e. POL (% pol) Adalah konsentrasi (gram solute/100 gram larutan) larutan sakarosa murni dalam air. Untuk larutan sakarosa murni, maka pol = konsentrasi sakarosa; sedangkan untuk larutan yang terdiri dari sakarosa dan zat-zat optik lain, maka

8 pol merupakan jumlah aljabar rotasi zat-zat penyusunnya. Untuk nira yang normal kontribusi sakarosa sangat dominan, sehingga zat optik lainnya dapat diabaikan. Dasar pengukurannya menggunakan satuan derajat gula internasional ( o Z/ o S/ o V). 100 o Z = putaran optik suatu larutan normal sakarosa yang diukur pada 587 nm, 20 o C dan tabung polarisasi 200 mm. Larutan normal sakarosa adalah larutan sakarosa murni 26.000 gram dalam air murni yang dilarutkan pada 20 o C hingga volume 100 ml. f. GULA Produk utama pabrik gula yang merupakan butiran kristal sakarosa yang keluar dari masakan dan mengandung sedikit kotoran (impurities). Kualitas atau jenis gula antara lain dibedakan menurut derajat pol-nya. g. SAKAROSA Gula murni, merupakan senyawa disakarida α- D- glucopyranosyl β- D- fructofuranoside h. HARKAT KEMURNIAN (HK), purity Merupakan perbandingan persentase antara pol (sakarosa) dengan zat padat terlarut total (brix). HK pol = (pol/brix) x 100 % HK sakarosa = (sakarosa/brix) x 100 % i. NILAI NIRA Suatu gambaran teoritis jumlah gula yang dapat dikristalkan dari suatu larutan gula (nira) dengan cara penghabluran/kristalisasi. Karena kristalisasi sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan bukan gula yang terbawa dalam larutan, maka tidak semua gula dalam larutan tersebut dapat dikristalkan. Semakin besar bahan bukan gula semakin kecil gula yang dapat dikristalkan.

9 Untuk menghitung nilai nira digunakan rumus Winter Carp (Meade dan Chen, 1977), yaitu : Nilai Nira (nn) = pol 0,4 (brix pol) j. NILAI NIRA PERAHAN PERTAMA (NNPP) Adalah nira yang keluar dari gilingan pertama, yang belum tercampur air imbibisi atau bahan-bahan lain. k. TEBU (Sugar Cane) Bahan baku dari Saccharum officinarum yang dikirim ke gilingan, termasuk didalamnya tebu bersih, kotoran (trash) dan bahan asing lain yang terbawa. 2.2. Analisis Brix dan Pol Dalam analisis nira tebu dikenal istilah brix, pol, Harkat Kemurnian (HK), nilai nira, rendemen sementara, dan rendemen tebu giling (rendemen nyata, rendemen realisasi atau rendemen efektif). Analisis Brix dan Pol merupakan dasar-dasar perhitungan dan kontrol pabrikasi pabrik gula. Dengan melakukan analisis ini dapat diperkirakan jumlah gula yang akan diperoleh seorang pemilik tebu yang akan menggilingkan tebunya di pabrik gula. 2.2.1. Metode Analisis Brix Analisis brix bisa menggunakan 3 (tiga) cara dengan menggunakan alat yang berbeda, yaitu (Harisutji W., 2001) : (1) Cara refraktometris, dengan menggunakan alat refraktometer. Prinsip kerja: sudut bias suatu sinar radiasi yang melalui larutan gula (nira) tergantung pada konsentrasi dan temperatur dari larutan tersebut. Dengan temperatur konstan, konsentrasi (brix) larutan gula (nira) dapat diketahui dengan mengukur index bias larutan tersebut. Kalibrasi refraktometer brix dengan menggunakan larutan sakarosa murni; (2) Cara timbangan hydrometer (timbangan brix), dengan menggunakan alat timbangan brix/brix weger/brix hydrometer. Prinsip kerja : gaya tekan ke

10 atas suatu benda yang dicelupkan ke dalam cairan (larutan gula/nira) tergantung pada berat jenis larutan tersebut. Brix hydrometer dilengkapi dengan thermometer dan koreksi pengukuran sesuai dengan suhunya. Cara kalibrasinya dengan menggunakan larutan sakarosa murni. (3) Cara piknometris, dengan menggunakan alat piknometer. Prinsip kerja : brix larutan bisa ditemukan dengan mengukur berat jenisnya. Melalui tabel hubungan antara berat jenis dan brix larutan maka dapat dihitung brix larutan. 2.2.2. Metode Analisis Pol Salah satu cara melakukan analisis pol adalah dengan menggunakan alat yang disebut polarimeter/sakarimeter/sakaromat. Prinsip kerja : berdasarkan pengukuran sudut pemutaran bidang polarisasi oleh larutan gula. Besarnya sudut putar tergantung pada konsentrasi larutan, ketebalan larutan yang dilewati sinar (panjang tabung polarisasi), temperatur dan panjang gelombang. Kalibrasinya dengan menggunakan standar tabung kwarsa yang mempunyai nilai putaran optik yang tetap. Perhitungan persen pol menurut Winter Carp (Meade dan Chen, 1977) : % pol = { (26 x o Z) / (100 x BJ) } x (1,1). BJ = berat jenis nira, dihitung dari tabel hubungan antara brix dan BJ o Z = pembacaan derajat polarisasi 2.3. Rendemen dan Produksi Tebu Luas areal tebu dalam negeri cenderung terus menurun rata-rata 1,72 persen per tahun selama tahun 1993-2004 (Sekretariat Dewan Gula, 2004). Penurunan areal tanam yang cukup drastis terjadi pada tahun 1999, yaitu sebesar 9,9 persen, sebagai akibat dari dihapuskannya kebijakan TRI serta adanya konversi lahan. Penurunan areal juga diikuti dengan menurunnya produktivitas tebu dengan laju sebesar 1,42 per tahun (Rusastra, et al. 2000). Pada tahun 1999, penurunan produktivitas mencapai 12,26 persen, yaitu dari 71,8 ton/ha menjadi 62,8 ton/ha. Semakin rendahnya luas areal dan produktivitas tebu menyebabkan produksi tebu

11 nasional juga semakin rendah, menurun hingga 3,01 persen per tahun. Penghapusan TRI pada tahun 1999, menyebabkan produksi tebu menurun drastis sebesar 1,25 persen (Tabel 1). Rendahnya produksi gula nasional antara lain juga disebabkan tidak efisiennya pabrik-pabrik gula (PG) yang ada (Husodo, 2000; Murdiyatmo, 2000; Woeryanto, 2000). Pada masa kejayaan industri gula di tahun 1930, Indonesia memiliki 179 Pabrik Gula (PG). Jumlah PG semakin menurun karena secara ekonomis tidak menguntungkan. Jumlah PG per September 2003 tercatat sebanyak 58 unit PG milik BUMN dan 6 PG milik swasta (Sekretariat Dewan Gula, 2004). Dari 58 PG tersebut, 46 PG berada di Jawa dan 12 PG berada di luar Jawa. Pada umumnya PG-PG beroperasi jauh dibawah kapasitas giling. Sebagian besar PG mempunyai kapasitas giling yang kecil (<3.000 TCD) karena mesin yang telah berumur lebih dari 75 tahun serta tidak mendapat perawatan yang memadai, sehingga menyebabkan biaya produksi per kg gula tinggi (Arifin, 2000). Tabel 1. Areal Tanam, Produktivitas dan Produksi Tebu Tahun Areal (ha) Produktivitas(ton/ha) Produksi Tebu (ribu ton) 1993 420.687 89,4 37.593.146 1994 428.726 71,2 30.545.070 1995 420.630 71,5 30.096.060 1996 403.266 70,9 28.603.531 1997 385.669 72,5 27.953.841 1998 378.293 71,8 27.177.766 1999 340.800 62,8 21.401.834 2000 340.660 70,5 24.031.355 2001 344.441 73,1 25.186.254 2002 350.723 72,8 25.533.431 2003 335.725 67,4 22.631.109 2004 344.852 73,0 25.172.380 Sumber : Sekretariat Dewan Gula, 2004. Rendemen yang dihasilkan PG-PG juga sangat menurun dan selama 10 tahun terakhir (1993-2004) relatif berfluktuasi dengan rata-rata mencapai 7,24 %, jauh

12 lebih rendah dibandingkan 10 tahun sebelumnya (1983-1992) yang dapat mencapai 9,8 %. Produktivitas gula yang dihasilkan PG-PG nasional selama 10 tahun terakhir (1993-2004) juga relatif rendah dengan rata-rata 5,12 ton/ha. Demikian juga produksi gula yang dihasilkan PG-PG tersebut relatif rendah dan cenderung menurun dengan rata-rata 3,3 persen per tahun (Sekretariat Dewan Gula, 2004). Dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti Thailand, Cina, India, Jepang dan Philipina, rata-rata produktivitas tebu Indonesia sebenarnya relatif tinggi dan mendekati produktivitas Amerika Serikat. Namun dalam hal rata-rata rendemen dan rata-rata produktivitas gula, Indonesia menempati posisi terendah (Tabel 2). Tabel 2. Rata-Rata Rendemen dan Produktivitas Gula Antar Beberapa Negara Produsen Negara Rata-rata Produktivitas tebu (ton/ha) Rata-rata Rendemen (%) Rata-rata Produktivitas Gula (ton/ha) Jepang 64,09 11,53 7,41 Thailand 56,76 10,97 6,24 Cina 59,16 11,84 7,00 India 69,33 10,90 7,56 Philipina 60,70 8,26 5,00 Indonesia 70,13 7,06 4,95 USA 78,44 11,61 9,11 Sumber : Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2003 2.4. Proses Pengolahan Tebu Menjadi Gula Angka rendemen yang digunakan untuk menghitung hasil di pabrik gula adalah rasio antara hasil gula kristal (hablur) dengan bobot tebu yang digiling disebut rendemen nyata (Anonim, 1984; LP IPB, 2002; Purwono, 2002). Jika dihitung dalam persentase, maka rendemen adalah kristal nyata diperoleh % tebu digiling atau lebih dikenal dengan kristal nyata % tebu (Harisutji, 2001; Santoso dan

13 Martoyo, 2000). Dengan demikian perhitungan rendemen nyata yang diperoleh dapat dilakukan dengan rumus: Bobot hablur Rendemen nyata = ------------------- x 100 Bobot tebu Dari perhitungan ini berarti gula yang diperoleh adalah hanya gula yang dihasilkan dalam bentuk kristal selama satu periode proses. Kenyataannya, selama proses terjadi kehilangan gula yang sangat dipengaruhi oleh efisiensi pabrik gula. Kehilangan gula selama proses kemungkinan terbawa dalam bagase (ampas), filter cake (blotong) atau molases (tetes) (LP IPB, 2002). Gula yang dapat dikristalkan merupakan bagian dari total padatan terlarut yang terkandung dalam tebu. Total padatan terlarut tersebut terdiri dari gula dan bukan gula (Winter Carp dalam Meade dan Chen, 1977). Komposisi tebu secara umum dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :

14 Tabel 3. Komposisi Tebu Komponen Air Zat padat : Sabut Zat padat terlarut Komposisi Nira : Gula Sakarosa Glukosa Fruktosa Garam-garam : Garam asam anorganik Garam asam organik Asam-asam organik bebas : Asam karboksilat Asam-asam amino Zat-zat organik non gula lain : Protein Amilum Gum Lilin, lemak Lainnya Sumber : Meade dan Chen (1977) % tebu 73 76 24 27 11 16 10 16 % padat zat terlarut : 75 92 70 88 2 4 2 4 3,0 7,5 1,5 4,5 1,0 3,0 0,5 2,5 0,1 0,5 0,5 2,0 0,5 0,6 0,001 0,050 0,3 0,60 0,05 0,15 3,0 5,0 Penggilingan yang kurang baik menyebabkan sebagian gula masih terbawa dalam bagase. Pada saat proses pemurnian nira kotor menjadi nira jernih dapat terjadi kehilangan gula bersama dengan filter cake (blotong). Kehilangan gula lainnya adalah pada saat pemisahan antara kristal gula dengan tetes (Santoso, 1998). Kehilangan gula biasanya dinyatakan dalam pol % tebu, pada pabrik-pabrik gula di Jawa Timur berkisar antara 1,5 hingga 2,5% (Dinas Perkebunan Jawa Timur, 2005). Pada Gambar 1 disajikan secara ringkas alur pengolahan gula dan kemungkinan terjadinya kehilangan gula.

15 Tebu Penggilingan Nira kotor Bagase (ampas) Pemurnian Nira bersih Pemasakan Filter cake (blotong) Nira kental Kristalisasi Kehilangan gula (1,5-2,5%) Gula pasir Molases (tetes) Gambar 1. Alur Pengolahan Tebu Menjadi Gula Kristal 2.5. Cara Penetapan Rendemen Tebu di Indonesia Saat ini Rendemen merupakan tolok ukur perolehan gula, ditentukan setiap periode berdasarkan kristal nyata yang dihasilkan dari tebu yang digiling. Sebagai contoh, bila dinyatakan rendemen 10% maka untuk setiap 1000 kg tebu giling diperoleh sukrosa 100 kg. Tampaknya sederhana, namun dalam prakteknya pengukuran rendemen tidak mudah. Angka perbandingan sukrosa terhadap tebu yang benar baru bisa diperoleh jika pabrik gula (PG) berhenti beroperasi. Semua bahan baku digiling dan semua gula ditampung, kemudian keduanya dihitung dan dibandingkan (Ananta, 1984). Dalam kenyataannya, tebu yang masuk ke PG dimiliki oleh ratusan bahkan ribuan petani. Tebu masuk secara kontinyu dan menghasilkan gula kristal yang kontinyu pula. Dalam kondisi seperti itu, rendemen tebu petani yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dibedakan (Partowinoto, 1996). PG tidak bisa dihentikan sementara hanya untuk menghitung rendemen masing-masing petani.

16 Untuk mengatasi hal tersebut, maka penetapan rendemen di Indonesia dilakukan dengan menggunakan pendekatan rumus Hommes (Ananta, 1975). Hommes menyatakan bahwa rendemen merupakan suatu besaran yang ditentukan oleh faktor luar pabrik dan faktor dalam pabrik (Hommes, 1932 dalam Ananta, 1984). Yang dimaksud dengan faktor luar pabrik adalah nilai nira perahan pertama (NNPP), sedangkan faktor pabrik tercakup dalam Faktor Rendemen (FR). Nilai nira perahan pertama sepenuhnya tergantung kepada kualitas tebu yang digiling (Santoso, 1998). Secara matematis rumus penentuan rendemen dinyatakan sebagai berikut : Rendemen = Nilai Nira Perahan Pertama x Faktor Rendemen... (1) Awalnya, usahatani tebu berada di bawah satu manajemen pabrik gula (Ananta, 1975). Angka rendemen hanya dibutuhkan oleh PG guna keperluan intern mereka, terutama untuk mengukur kinerja proses. Sejak diberlakukannya program Tebu Rakyat Intensifikasi tahun 1975 (Inpres No. 9/1975) tebu ditanam dan dikelola oleh petani tebu rakyat (PTR), pabrik gula hanya menggiling tebu PTR dengan sistem bagi hasil berdasarkan rendemen tebu. Berdasarkan kondisi tersebut maka penentuan rendemen sebagaimana rumus Hommes di atas ditetapkan dengan SK Menteri Pertanian No. 013/SK/MENTAN/BPB/3/76 tanggal 5 Maret 1976 tentang Pedoman Penentuan Rendemen Tebu Rakyat Yang Diolah Pabrik Gula. Berdasarkan SK Mentan di atas, nilai nira perahan pertama diambil dari setiap contoh tebu yang minimal bisa memenuhi waktu giling 30 menit (Ananta, 1984).. Pada PG berkapasitas 2000 3000 TCD dalam waktu giling 30 menit diperlukan sekitar 60 ton tebu. Oleh karena itu, analisis nira perahan pertama dilakukan untuk setiap 60 ton tebu (Santoso, 1998). Dalam konteks tersebut, jumlah tebu yang dimiliki petani secara individu tidak dapat memenuhi kebutuhan analisis. Terkait dengan faktor rendemen di atas, dikenal istilah Winter Rendemen (WR) yang merupakan perbandingan sukrosa dalam gula hasil dengan sukrosa yang terdapat dalam nira mentah (Meade dan Chen, 1977). Winter Rendemen merupakan persentase jumlah hablur (sukrosa) akhir yang efektif dihasilkan

17 terhadap jumlah hablur yang terdapat dalam nira mentah yang diolah. Hablur yang dimaksud dihitung sebagai standar gula pasir (equivalent sugar granulated) yakni kristal 100% murni atau gula kristal putih. Karena winter rendemen menunjukkan kemampuan stasiun pengolahan dalam mengambil sukrosa dari nira mentah, maka nilai WR sebenarnya menggambarkan efisiensi stasiun pengolahan. Nilai WR biasanya kurang dari 100%, karena beberapa bagian sukrosa akan hilang selama proses pengolahan. Kehilangan tersebut bisa karena sukrosa terbawa ke dalam blotong setelah proses klarifikasi, terangkut ke dalam tetes, atau secara kimia sukrosa berubah menjadi senyawa lain (Santoso, 1998). Menurut Winter Carp dalam Meade dan Chen (1977), Faktor rendemen = KNT x HPB x PSHK x WR x 10-8... (2) dimana KNT : hasil kali kadar nira tebu, HPB : hasil pemerahan brix, perbandingan setara harkat kemurnian nira mentah/nira perahan pertama (PSHK) dan Winter Rendemen (WR). Dengan demikian persamaan (1) dapat diturunkan menjadi : Rendemen = NNPP x KNT x HPB x PSHK x WR x 10-8... (3) Menurut Santoso dan Bahri (2004), rumus ini biasa digunakan di Indonesia. Dalam rumus ini kualitas tebu didekati dengan NNPP x KNT x 10-2 dan efisiensi pabrik didekati dengan HPB x PSHK x WR x 10-4 (Anonim, 1984; LRPI, 2004; Santoso dan Bahri, 2004). Sehingga : Rendemen = NNPP x KNT x efisiensi pabrik x 10-2... (4). Jika mengacu kepada penentuan rendemen yang digunakan di Indonesia saat ini {persamaan (1)} dan membandingkannya dengan persamaan (4), maka seharusnya pendekatan yang terjadi adalah : Faktor Rendemen = KNT x efisiensi pabrik x 10-2.... (5)

18 Persamaan (5) diatas menunjukkan hasil penetapan rendemen berdasarkan analisis nilai nira perahan pertama kurang menghargai prestasi individu, karena kualitas tebu yang seharusnya didekati dengan NNPP dan KNT hanya didekati dengan NNPP saja, KNT untuk semua tebu dianggap sama. 2.6. Metode Penetapan Rendemen Tebu Alternatif 2.6.1. Metode Penetapan Rendemen Dengan Krepyak Mini Sampler (KMS) Pada musim giling 2003, PG Mojopanggung dengan kapasitas giling ± 2400 TCD telah mengupayakan proyek percontohan penentuan rendemen individu yang menghargai prestasi individu dengan model sampling krepyak mini sampler (KMS) (Martoyo dan Santoso, 2003). Krepyak mini sampler ditujukan untuk menetapkan titik sampel individu, sedangkan ultrasonic flowmeter untuk menetapkan kadar nira perahan pertama (KNPP), sehingga rendemen ditetapkan berdasarkan formula : Rendemen = NNPP x KNPP x Faktor Kristal. Upaya untuk mengukur langsung NNPP dan KNPP untuk menilai kualitas tebu secara lebih tegas merupakan langkah yang baik dalam rangka penyempurnaan penetapan rendemen yang lebih berkeadilan. Namun demikian, hasil kajian Martoyo dan Santoso (2004) menemukan lori dengan berat tebu tinggi dan diperkirakan niranya tinggi namun kenyataannya berat niranya rendah, begitu pula sebaliknya, sehingga menyebabkan rentang nilai KNPP yang cukup besar, berkisar antara 20 85 %. Hal tersebut diduga karena kesalahan sistem yang hanya mengukur jumlah NNPP berdasarkan jarak (waktu) yang sama. Padahal, kenyataannya terjadi perbedaan jarak (waktu) untuk tebu lonjoran di krepyak tebu I (krepyak mini I sampler) dengan jarak (waktu) untuk tebu cacah di krepyak tebu II (krepyak mini II sampler), serta jarak (waktu) nira mengalir di talang NNPP. Dengan kondisi demikian, pada skala komersial untuk musim giling 2004 metode ini masih mempunyai kendala dalam pelaksanaannya, khususnya pengukuran KNPP dengan ultrasonic flowmeter. Untuk PG yang berkapasitas giling > 3000

19 TCD, dimana umpan tebu ke krepyak lebih dari 2 meja tebu, perlu dikaji tingkat kevalidan sampel kaitannya dengan tercampurnya nira tebu antar individu (Martoyo dan Santoso, 2004). 2.6.2. Metode Penetapan Rendemen Dengan Refraktometer Alat yang digunakan dalam metode ini adalah refraktometer presisi yang sudah dikalibrasi. Prinsip yang diterapkan adalah index bias larutan gula mempunyai korelasi dengan konsentrasi larutan tersebut ((Harisutji, 2001). Metode ini bisa digunakan untuk analisis macam-macam nira (npp, nira mentah, nira encer) atau nira kental dan tetes dengan mengencerkannya terlebih dahulu setara dengan nira encer. Prosedur analisisnya sederhana, yaitu meneteskan larutan contoh kedalam prisma refraktometer dan dibaca skala brix yang tertera serta suhunya. Skala yang ditunjukkan dalam alat sudah langsung menunjukkan brix, kemudian dikoreksi sesuai dengan suhu pengukuran. Brix terkoreksi = brix terbaca + koreksi brix. Menurut Purwono (2002), diketahui bahwa terdapat korelasi yang nyata antara nilai brix (B) yang diukur dengan rendemen (R) dengan r 2 = 0.82 dan persamaan regresinya adalah : R = - 0.0254 + 0.4746 B. Dengan demikian, cukup dengan memasukkan hasil pengukuran brix, maka dapat langsung diketahui nilai rendemen suatu contoh tebu. Hasil penelitian Santoso dan Martoyo (1994) di tiga pabrik gula menunjukkan bahwa hasil pengukuran brix refraktometer dan hydrometer tidak berbeda untuk contoh nira mentah dan nira encer. Semakin rendah kemurnian contoh, perbedaan hasil pengukuran semakin besar. Walaupun terdapat perbedaan hasil pengukuran, penggunaan refraktometer untuk pengawasan pabrikasi tidak menimbulkan masalah berarti, bahkan menguntungkan. Cara pemakaian refraktometer lebih

20 mudah dan cepat, hanya memerlukan contoh yang sedikit dibandingkan menggunakan hydrometer. Perbandingan hasil pengukuran refraktometer brix dan kadar bahan kering sesungguhnya dalam contoh nira mentah, nira encer, nira kental dan tetes juga dilaporkan oleh Mellet (1986) dalam Santoso dan Martoyo (1994). Pada contoh nira mentah, nira encer dan nira kental, cara refraktometer memberikan perbedaan 0,05 0,13 angka lebih tinggi dari kadar bahan kering sesungguhnya. Sedangkan pada contoh tetes, perbedaan itu menjadi 3,2 4,4 angka lebih tinggi. Hasil kajian Ekosoni, Hendroko dan Praptiningsih (1996), menunjukkan pengamatan brix dengan refraktometer-tangan pada rumpun tebu contoh telah mampu mendekati rerata brix kebun dengan simpangan hanya sebesar ± 5%. Kajian ini menyarankan mengambil 3 (tiga) rumpun contoh yang terletak pada tiga juring berhimpitan, masing-masing berturutan searah kemiringan lahan. Disarankan pula untuk tidak mengambil rumpun pada jarak minimal 10 meter dari pinggir kebun. Refraktometer tangan mampu mengatasi permasalahan-permasalahan di atas karena hanya membutuhkan setetes nira, yang dapat diambil tanpa merusak batang-batang tebu dan tidak menggunakan logam berat (Pb) seperti pada prosedur analisis pendahuluan. 2.6.3. Metode Penetapan Rendemen dengan Pendekatan Core Sampler (PCS) Dalam makalahnya, Partowinoto (1996) menyebutkan bahwa metode Core Sampler telah diperkenalkan sejak tahun 1975 untuk mengatasi permasalahan antara petani dengan pabrik gula, pertama kali digunakan di pabrik St. Martin di Lousiana (USA). Sistem kerja core sampler : sebuah pipa dengan diameter 8 10 dm, panjang ± 6m diujungnya dilengkapi semacam gergaji diputar dengan 550 sampai 1250 rpm

21 dimasukan ke tumpukan tebu di dalam truk/kontainer dengan arah datar atau menukik dengan sudut 45 o. Sampel yang diambil dipotong-potong dan kemudian dicacah. Selanjutnya 1 kg cacahan tebu dipress dengan tekanan 3000 psi hingga menghasilkan nira kurang lebih 60% tebu, selanjutnya nira tersebut dianalisis pol dan brixnya. Core sampler hanya mampu membedakan mutu tebu (nilai nira) dari masing-masing truk/lori dengan pendekatan perhitungan NNPP dan KNT, sedangkan untuk menentukan besarnya rendemen perlu adanya rumus rendemen atau Faktor Rendemen (Santoso dan Bahri, 2004). Pendekatan Core Sampler (PCS) adalah metode penetapan rendemen dengan cara mengambil sampel dengan pendekatan seperti pengambilan sampel dengan menggunakan alat Core Sampler. 2.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendemen 2.7.1. Varietas Teknik bercocok tanam, meliputi pengolahan tanah, pemilihan varietas, jenis bibit, pemupukan dan waktu tanam yang tepat serta pemeliharaan yang baik, akan mendorong dihasilkannya rendemen serta bobot tebu yang tinggi, sehingga berpengaruh pada tingginya hasil gula per satuan luas kebun. Menurut Darmodjo (1995) kontribusi varietas terhadap produksi mencapai 60%. Potensi varietas tebu yang belum diintensifkannya program pemberdayaan varietas-varietas unggul baru merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas hasil gula di Indonesia (Lestari, H. 2000; Mirzawan, et al., 2001) Upaya peningkatan produktivitas dengan menggunakan varietas unggul merupakan cara termurah dibandingkan cara lain, walaupun hal ini tidak dapat menyelesaikan keseluruhan masalah yang telah terjadi. Menurut Mirzawan, et al. (2001), penanaman varietas unggul baru yang lebih baik dari varietas yang telah ada dapat meningkatkan produktivitas jika kondisi lingkungan sesuai untuk varietas unggul tersebut dan varietas tersebut diperlakukan sesuai kebutuhannya.

22 Pemilihan suatu varietas tebu didasarkan kepada pertimbangan sifat kemasakan, tingkat kemantapan produksi, bakat rendemen tinggi, dan faktor-faktor lainnya (Sastrowijono dkk, 1984). Menurut Saputro (1998), varietas tebu yang baik dan diminati para praktisi mempunyai ciri-ciri antara lain : (1) Berdiameter besar, minimum 28 mm, karena dapat meningkatkan kapasitas tebang; (2) Tahan kepras, sekurang-kurangnya sampai 4 kali panen tebu kepras; (3) Tidak roboh; (4) Kanopi lebar, karena dapat menutup permukaan tanah sehingga menekan pertumbuhan gulma; dan (5) Ciri-ciri lain yang umum, yaitu rendemen tinggi, anakan cukup 3-4 batang, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, tidak berbunga serta daun tua mudah terkelupas. 2.7.2. Tingkat Keprasan Tanaman tebu yang berasal dari kebun bibit datar (KBD) disebut dengan plant cane (PC). Tanaman ini langsung ditanam dari kebun pembibitan (Hendroko, et al. 1987). Setelah panen, umumnya petani tidak lagi menanam bibit tebu baru, melainkan dikepras dan ditumbuhkan kembali dari tunas-tunas yang masih ada. Tanaman seperti ini disebut dengan ratoon atau tanaman keprasan. Menurut survai yang dilakukan Ditjen BP Perkebunan Departemen Pertanian (2004), petani menanam tanaman keprasan (ratoon) sampai lebih dari 15 kali. Tingginya tingkat keprasan tersebut menurut Arsana, et al. (1997), disebabkan petani lebih suka memelihara tanaman keprasan karena biaya tanaman (bibit dan pemeliharaan awal) lebih murah meskipun produksinya relatif rendah yang antara lain disebabkan oleh potensi varietas keprasan yang rendah. Hasil penelitian Rasyid (1992) melaporkan bahwa rendahnya produksi disebabkan oleh jumlah tunas keprasan yang gagal menjadi batang tebu layak giling hingga mencapai 51%. Persaingan tunas yang tumbuh pada tunas keprasan merupakan penyebab kematian tunas, akibatnya jumlah batang tebu produktif pada tanaman keprasan menjadi rendah. Pada akhirnya akan menurunkan tingkat rendemen yang dihasilkan.

23 2.7.3. Pemupukan Unsur-unsur esensial seperti Nitrogen (N), Fosfat (P) dan Kalium (K) dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan ketersediaan yang terbatas di dalam tanah, maka unsur-unsur tersebut perlu ditambahkan melalui pemupukan. Oleh Dharmawan (1982) penggunaan pupuk dipandang sebagai cara yang paling mudah dan terpercaya untuk meningkatkan hasil pertanian. Tanaman tebu memerlukan ketersediaan hara untuk perkembangannya sejak satu hingga tigaenam bulan pertama masa pertumbuhannya (Pawirosemadi, 1996), pada periode tersebut hara N, P dan K yang diperlukan sekitar 80 85% dari total kebutuhannya. Pada tebu, unsur N dibutuhkan dalam jumlah tertentu tergantung varietas dan lokasi tempat tumbuhnya (Sahadi, 1997). Hasil penelitian Isro Ismail, Nugraharsi dan Kunhartono (1996), menyebutkan bahwa pemberian unsur N secara berlebihan dapat menghambat proses penimbunan gula dalam batang. Hal tersebut berakibat pada rendahnya kadar gula, menurunnya kualitas nira dan rendemen akan menurun. Menurut Geus (1973), kekurangan hara K pada tanaman tebu menyebabkan penurunan produk hablur sebagai akibat dari terhambatnya proses fotosintesis dan penurunan kualitas nira. Fosfat memegang peranan dalam metabolisme pertumbuhan tebu dan pembentukan gula. Hasil penelitian Saputro dan Isro Ismail (1993) di PG Bungamayang, menyatakan bahwa pemberian pupuk TSP sebesar 7 kuintal per ha pada tanaman pertama (PC) akan meningkatkan jumlah batang, rendemen dan hasil kristal gula. Soeparmono dan Ekosoni (1995) melaporkan hasil percobaan pupuk AS tablet di PG Rejoagung. Percobaan dilakukan di lahan sawah tetapi tidak berpengairan teknis, sehingga persediaan air relatif kurang. Pupuk yang digunakan adalah pupuk AS yang ada di pasaran kemudian ditabletkan dengan alat pembuat tablet.

24 Pengaruh pemupukan AS tablet tampak pada rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman umur 9 bulan dan bobot tebu per hektar. Pada dosis 6 ku AS per hektar, beda tinggi rata-rata 3,1%, sedangkan untuk bobot tebu per hektar saat panen perbedaannya rata-rata 3,48%. Hal ini memberikan informasi bahwa bentuk tablet memberikan efek penyerapan N lebih lama bagi tanaman tebu dibandingkan pupuk AS tabur. 2.7.4. Tingkat Kemasakan (Umur Tanaman) Daur kehidupan tanaman tebu dimulai sejak stadia perkecambahan, pertunasan, perpanjangan batang, kemasakan dan akhirnya stadia kematian (Hendroko, et al. 1987). Kemasakan merupakan stadia yang terpenting, karena pada stadia ini terjadi pembentukan sukrosa, sebagai tujuan utama budidaya tebu. Menurut Tjokrodirdjo (1992), proses kemasakan tebu dimanifestasikan dalam rendemen berjalan dari ruas ke ruas dan terus meningkat dengan bertambahnya umur tanaman sampai dicapai suatu titik maksimal. Setelah itu, tergantung antara lain pada varietas tebu dan kondisi tanaman, rendemen akan menurun (Sunantyo, 1992). Oleh karena itu, tebu seharusnya dipanen pada kemasakan optimal agar diperoleh hasil gula yang optimal pula. Pemanenan tebu sebelum atau kelewat masak akan menghasilkan tebu yang kadar gulanya tidak optimal karena mengandung bukan-gula yang lebih banyak. 2.7.5. Kewayuan ( Penundaan Giling ) Tebu wayu selain kehilangan berat karena penguapan juga kehilangan kadar gula karena inversi, yaitu sukrosa diubah oleh enzim menjadi gula reduksi (Martoyo, 2000). Salah satu indikator tinggi-rendahnya rendemen tebu dan faktor terpenting dari beberapa faktor penentu kualitas nira adalah nilai nira dan kadar gula reduksi (Anonim, 1984). Pol merupakan resultan dari keberadaan sukrosa dan gula

25 reduksi dalam nira serta mempunyai hubungan langsung yang negatif dengan gula reduksi (Meade dan Chen, 1977). Hal tersebut menunjukkan bahwa jika kadar gula reduksi semakin tinggi maka pol semakin rendah. Hasil penelitian Santoso, et al. (1996) menunjukkan bahwa kenaikan kadar gula reduksi sangat dipengaruhi oleh tebu yang tertunda giling. Setiap hari penundaan giling dapat meningkatkan kadar gula reduksi sebesar 0,35 poin dan 98,6% dari kenaikan kadar gula reduksi tersebut adalah kontribusi dari penundaan giling. Akibatnya, setiap hari penundaan giling akan memberikan kerugian penurunan rendemen sebesar 0,53 poin. 2.7.6. Kotoran ( Trash ) Kotoran tebu terdiri dari antara lain klaras, pucukan, sogolan, akar dan tanah. Klaras atau daun kering tidak mengandung nira sehingga bila terikut dalam jumlah yang banyak akan menyumbangkan sabut sehingga jumlah sabut atau ampas per satuan tebu meningkat. Peningkatan kadar sabut akan mengurangi ekstraksi nira dan mengurangi kapasitas stasiun gilingan, berarti juga mengurangi gula yang diperoleh atau menurunkan rendemen (Martoyo, 2000). Pucukan atau sogolan mengandung hanya sedikit gula tetapi banyak mengandung bukan-gula, jika terikut dalam tebu giling akan berdampak mengurangi perolehan gula karena penambahan bukan-gula akan menyebabkan gula terbawa ke dalam tetes. Tanah yang terbawa ke dalam ampas akan menyebabkan ampas sulit terbakar dan kapasitas stasiun ketel menurun, sedangkan jika tanah tersebut terbawa ke stasiun proses akan mempengaruhi proses pengendapan pada pemurnian nira karena bak pengendap (clarifier) penuh dengan lumpur sehingga hasil nira jernih mutunya rendah. Hasil penelitian Yates (1996, dalam Martoyo, 2000) kotoran tebu akan menurunkan rendemen dengan kecepatan 0,125-0,25 poin per satuan (%) kotoran. Penelitian terakhir di beberapa pabrik gula di Australia oleh Kent (1999, dalam

26 Martoyo, 2000) dilaporkan bahwa kotoran tebu menyebabkan kapasitas giling turun 8 % dan rendemen turun 6,8 % untuk setiap 5 % kadar kotoran. 2.7.7. Brix dan Efisiensi Pabrik Rendemen adalah perbandingan antara kristal nyata yang diperoleh dengan tebu digiling atau lebih dikenal dengan kristal nyata % tebu. Kristal nyata yang dimaksud disini adalah gula dalam nira tebu yang dapat dikristalkan menjadi gula kristal putih (GKP). Total gula dan kandungan bukan gula tersebut dikenal sebagai brix, yaitu satuan yang biasa digunakan dalam industri gula yang menyatakan persen berat/berat (b/b) zat padat terlarut suatu larutan (gula). Brix selain terdiri dari gula juga mengandung zat padat terlarut lainnya (Harisutji, 2001). Hommes (1932 dalam Meade dan Chen, 1977) menyatakan tidak semua gula dalam nira tebu dapat dikristalkan, karena pengkristalan gula dipengaruhi oleh kandungan bukan gula yang ada dalam nira tebu, dengan rumus : Kadar kristal = kadar gula 0,4 x kadar bukan gula. Dilain pihak, pabrik mempunyai kontribusi terhadap upaya penyelamatan kristal. Usaha untuk menyelamatkan kristal ini disebut dengan efisiensi pabrik. Dalam kenyataannya, salah satu faktor yang mempengaruhi petani tebu menggilingkan tebunya ke suatu pabrik adalah tinggi-rendahnya efisiensi tersebut. Banyak petani yang lebih memilih suatu pabrik tertentu karena pabrik tersebut memiliki tingkat efisiensi yang relatif lebih tinggi dari pabrik lainnya, dengan harapan akan memperoleh rendemen yang lebih tinggi, karena rendemen adalah hal yang penting yang menyangkut hasil bagi antara petani dan pabrik gula.