V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tangerang terletak di bagian timur Provinsi Banten pada koordinat bujur timur dan 6

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

PENDAHULUAN Latar belakang

III. BAHAN DAN METODE

LAHAN PERTANIAN ABADI (LPA) DI KABUPATEN TANGERANG

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN TANGERANG PEMBENTUKAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS DAN BADAN PADA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN TANGERANG. Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Tangerang Tahun 2013 sebanyak 85.

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 72 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

H. Arie Lastario K PENDAPATWN PENDUDUK KABUPATEN TANGERANG (Evaluasi Keadaan Tahun 1976 Sampai dengan 1986) oleh

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011

P U T U S A N. Perkara Nomor 025/PHPU.A-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

09. ACUAN PENETAPAN REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH SPESIFIK LOKASI (PER KECAMATAN) PROVINSI BANTEN

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 115 TAHUN 2016 TENTANG

B I A Y A P E R K A R A P E R D A T A

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

Jasa-jasa : 4,45% Angkutan dan komunikasi : 3,84% Keuangan, persewaan & Jasa perusahaan : 2,68%

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

Lampiran I.36 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

PENDAHULUAN Latar Belakang

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN SERTA HIRARKI WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG

Propinsi BANTEN. Total Kabupaten/Kota

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON)

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 144 TAHUN 2016 TENTANG

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN KECUKUPANNYA DI KOTA DEPOK. An analysis of Greenery Open Space and Its Adequacy in Depok City ABSTRACT ABSTRAK

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

Lampiran I.36 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

: Ir. Mirna Amin. MT (Asisten Deputi Pengembangan Kawasan Skala Besar)

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2008

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan rangkuman dari Indeks Perkembangan dari berbagai sektor ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada umumnya pembangunan ekonomi selalu diartikan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Regional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 95 TAHUN 2015 TENTANG

4 KONDISI UMUM WILAYAH

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Transkripsi:

24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Laju dan Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang 5.1.1. Laju Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang dikelompokkan menjadi lima kelas berdasarkan data citra Landsat TM dan ETM+, yaitu lahan terbangun, tanaman pangan lahan kering (TPLK), tanaman pangan lahan basah (TPLB), badan air, dan tambak. Penggunaan lahan cenderung mengalami perubahan luas setiap tahunnya. Beberapa penggunaan lahan mengalami penurunan luas dan sebaliknya beberapa penggunaan lahan lainnya mengalami peningkatan luas, serta ada juga penggunaan lahan yang cenderung tetap luasnya. Luas tiap penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 dan tahun 2007 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas Setiap Penggunaan Lahan di Kabupaten Tangerang pada Tahun 1997 dan Tahun 2007. Luas (ha) Laju Penggunaan Perubahan Pertumbuhan 1997 2007 Lahan (ha) per tahun Badan air 240,51 240,51 0 0 Lahan terbangun 10.685,34 34.776,60 24.091,26 22,5% Tambak 6.053,03 6.053,03 0 0 TPLB 60.297,66 49.078,91-11.218,75-1,9% TPLK 41.374,11 28.501,60-12.872,51-3,1% Lahan Pertanian (TPLB & TPLK) 101.671,77 77.580,51-24.091,26-2,4% Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 didominasi oleh lahan pertanian. Lahan pertanian terdiri dari tanaman pangan lahan basah (TPLB) seluas 60.297,66 ha dan tanaman pangan lahan kering (TPLK) seluas 41.374,11 ha. Pada tahun 2007, luas lahan pertanian mengalami penurunan sebesar 11.218,75 ha untuk TPLB dan sebesar 12.872,51 ha untuk TPLK. Penurunan luas lahan pertanian tersebut disebabkan oleh adanya konversi lahan pertanian ke penggunaan lahan lainnya.

25 Laju konversi lahan pertanian (TPLB dan TPLK) di Kabupaten Tangerang secara keseluruhan sebesar 2,4 persen per tahun dengan penurunan luas sebesar 2.409,13 ha per tahun. Konversi lahan TPLB terjadi sebesar 1.121,88 ha per tahunnya dengan laju konversi sebesar 1,9 persen per tahun. Lahan TPLK mengalami penurunan luas sebesar 1.287,25 ha per tahun dengan laju konversi sebesar 3,1 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan terjadi lebih besar pada lahan TPLK bila dibandingkan dengan lahan TPLB. Penggunaan lahan terbangun di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 seluas 10.685,34 ha. Lahan terbangun meliputi kawasan pemukiman, kawasan industri dan kawasan perkotaan. Lahan terbangun mengalami penambahan luas sebesar 24.091,26 ha pada tahun 2007 dengan laju sebesar 22,5 persen per tahun. Penambahan luas lahan terbangun di Kabupaten Tangerang diikuti dengan adanya penurunan luas lahan pertanian. Hal ini menunjukkan adanya konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang cenderung tidak mengalami perubahan adalah badan air dan tambak. Luas badan air dan tambak tidak mengalami perubahan pada tahun 1997 dan tahun 2007. Pengecekan lapang dilakukan untuk mengetahui suatu penggunaan lahan yang sebenarnya di lapang. Titik-titik hasil pengecekan lapang disajikan pada Tabel Lampiran 1. Contoh penggunaan lahan untuk lahan pertanian berupa TPLB di Kabupaten Tangerang disajikan pada Gambar 3. TPLB yang ditemui di Kecamatan Kresek ditampilkan pada Gambar 3a, sedangkan TPLB di daerah Pakuhaji disajikan pada Gambar 3b. a. Kresek (106,38;-6,13) b. Pakuhaji (106,62;-6,06) Gambar 3. Penggunaan Lahan TPLB di Kecamatan Kresek dan Pakuhaji.

26 Tanaman Pangan Lahan Kering (TPLK) merupakan salah satu penggunaan lahan yang mendominasi di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997. Contoh foto hasil pengecekkan lapang yang menunjukkan penggunaan lahan TPLK disajikan pada Gambar 4. Gambar 4a menyajikan contoh penggunaan lahan sebagai TPLK di Kecamatan Tigaraksa, sedangkan Gambar 4b merupakan TPLK di daerah Pondok Aren. a. Tigaraksa (106,48;-6,27) b. Pondok Aren (106,69;-6,28) Gambar 4. Penggunaan Lahan TPLK di Kecamatan Tigaraksa dan Pondok Aren. Gambar 5 menyajikan contoh penggunaan lahan sebagai lahan terbangun yang diperoleh dari hasil pengecekan lapang. Gambar 5a merupakan gambar kawasan industri dan pergudangan Cikupamas yang terletak di Kecamatan Cikupa, sedangkan kawasan industri Pasar Kemis disajikan pada gambar 5b. a. Cikupa (106,50;-6,22) b. Pasar Kemis (106,53;-6,18) Gambar 5. Penggunaan Lahan untuk Lahan Terbangun di Kawasan Industri Cikupa dan Kawasan Industri Pasar Kemis.

27 Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang cenderung tidak mengalami perubahan, yaitu badan air dan tambak. Contoh kedua penggunaan lahan tersebut disajikan pada Gambar 6. Gambar 6a menunjukkan contoh badan air berupa sungai di Kecamatan Serpong, sedangkan Gambar 6b menunjukkan contoh penggunaan lahan tambak yang terdapat di Kecamatan Kronjo. a. Serpong (106,65;-6,35) b. Kronjo (106,43;-6,05) Gambar 6. Penggunaan Lahan Badan Air di Kecamatan Serpong dan Tambak di Kecamatan Kronjo. Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang dikelompokkan ke dalam lima kelas (TPLB, TPLK, lahan terbangun, badan air, dan tambak) dapat dilihat secara visual pada Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 dan tahun 2007 (Gambar 7). Pada Gambar 7 terlihat adanya perubahan penggunaan lahan antara tahun 1997 dan 2007. Perubahan penggunaan lahan terlihat nyata dengan adanya penambahan warna merah (lahan terbangun) pada tahun 2007.

28 Gambar 7. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang Tahun 1997 dan 2007

29 5.1.2 Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang mengalami perubahan luas selama kurun waktu 1997 hingga 2007. Perubahan luas penggunaan lahan tersebut disebabkan oleh konversi dari penggunaan lahan yang satu ke penggunaan lahan yang lainnya. Konversi ini mengakibatkan terjadinya penambahan luas pada suatu penggunaan lahan dan penurunan luas untuk penggunaan lainnya. Konversi lahan yang terjadi di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 sampai tahun 2007 memiliki pola seperti disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Pola Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang Penggunaan Penggunaan lahan 2007 (ha) lahan 1997 Badan Lahan JUMLAH (ha) air terbangun Tambak TPLB TPLK Badan air 240,51 240,51 Lahan terbangun 10.685,34 10.685,34 Tambak 6.053,03 6.053,03 TPLB 10.880,10 49.078,91 338,65 60.297,66 TPLK 13.211,16 28.162,95 41.374,11 JUMLAH 240,51 34.776,60 6.053,03 49.078,91 28.501,60 118.650,65 Konversi penggunaan lahan terbesar terdapat pada lahan pertanian yang meliputi tanaman pangan lahan basah (TPLB) dan tanaman pangan lahan kering (TPLK). Dalam kurun waktu 1997 sampai 2007, TPLB terkonversi menjadi lahan terbangun seluas 10.880,10 ha dan menjadi TPLK seluas 338,65 ha. Lahan TPLK mengalami penurunan luas karena terkonversi menjadi lahan terbangun sebesar 13.211,16 ha. Selain terkonversi menjadi penggunaan lahan yang lain, TPLK juga mengalami penambahan luas yang berasal dari penggunaan lahan lain yang menjadi TPLK, yaitu dari konversi lahan TPLB sebesar 338,65 ha. Hasil penelitian Sitorus, Sehani, dan Panuju (2007) menunjukkan bahwa nilai land rent sebanding dengan kecenderungan perubahan penggunaan lahan. Diduga bahwa rendahnya nilai land rent padi (TPLB) dibandingkan nilai land rent lahan palawija (TPLK) di Kabupaten Tangerang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari TPLB ke TPLK. Lahan pertanian di Kabupaten Tangerang secara keseluruhan mengalami penurunan luas dari tahun 1997 sampai 2007. Penurunan luas lahan

30 pertanian diikuti dengan dengan peningkatan luas lahan terbangun. Hal ini menunjukkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun (kawasan permukiman dan kawasan industri) terjadi karena lahan pertanian memiliki nilai land rent yang lebih rendah bila dibandingkan dengan lahan terbangun. Menurut Rustiadi dan Wafda (2007b) konversi lahan pertanian merupakan konsekuensi perluasan kota yang membutuhkan lahan untuk pertumbuhan kota. Lahan pertanian meskipun lebih lestari kemampuannya dalam menjamin kehidupan petani, tetapi hanya dapat memberikan sedikit keuntungan material atau finansial dibandingkan sektor industri. Pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan yang berbasis sektor bukan-pertanian jauh melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah perdesaan yang berbasis pada sektor pertanian. Akibatnya pada wilayah perkotaan terjadi peningkatan permintaan terhadap lahan untuk keperluan sarana permukiman, industri maupun infrastruktur lainnya, yang membutuhkan lahan dalam jumlah tidak sedikit, sehingga konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya di perkotaan semakin luas. Perubahan penggunaan lahan per kecamatan pada tahun 1997 dan 2007 di Kabupaten Tangerang disajikan pada Tabel 10. Dari tabel tersebut terlihat bahwa perubahan penggunaan lahan yang terbesar terjadi pada penggunaan lahan pertanian (TPLB dan TPLK) yang menjadi lahan terbangun. Kecamatan yang mengalami konversi lahan TPLB terbesar yaitu Kecamatan Pasar Kemis, yang diikuti oleh Kecamatan Kosambi, Sepatan, Rajeg dan Curug, sedangkan konversi lahan TPLK terbesar dijumpai berturut-turut di Kecamatan Serpong, Cikupa, Pondok Aren, Ciputat dan Pamulang. Kecamatan-kecamatan tersebut sebagian berbatasan dengan Kota Tangerang, sedangkan sisanya berbatasan dengan Kota Jakarta. Berdasarkan lokasi tersebut, konversi lahan yang terjadi diduga merupakan pengaruh perluasan kegiatan ekonomi Kota Tangerang dan Kota Jakarta.

31 Tabel 10. Perubahan Penggunaan Lahan per Kecamatan tahun 1997 dan 2007 di Kabupaten Tangerang Perubahan Penggunaan Lahan (ha) Kecamatan TPLB TPLB TPLK - - - Lahan terbangun TPLK Lahan terbangun Cisoka 233,41-239,91 Tigaraksa 535,04-277,10 Cikupa 616,34-2.093,83 Legok 536,56 78,07 868,51 Serpong 244,33 113,48 4.318,12 Ciputat 140,68 74,73 1.277,48 Pondok Aren 20,07 13,73 1.409,35 Curug 1.051,47 19,50 761,49 Pasar Kemis 1.632,13 38,48 62,84 Balaraja 692,54-798,09 Kresek 87,35 - - Kronjo 72,15 - - Mauk 522,90 - - Rajeg 1.151,61 - - Sepatan 1.225,67 - - Teluknaga 423,60 - - Pamulang 29,26 0,66 1.104,44 Pakuhaji 421,24 - - Kosambi 1.243,76 - - Kabupaten Tangerang 10.880,10 338,65 13.211,16 Perubahan penggunaan lahan pada tahun 1997 dan 2007 di Kabupaten Tangerang secara visual disajikan pada Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang 1997-2007 (Gambar 8). Gambar 8 menunjukkan sebaran perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang didominasi oleh konversi lahan pertanian (TPLB dan TPLK) menjadi lahan terbangun. Gambar 8 menunjukkan adanya pola konsentris pada perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang. Pola tersebut dipengaruhi oleh jarak terhadap pusat kegiatan, yaitu DKI Jakarta dan Kota Tangerang. Selain jarak terhadap pusat kegiatan, jaringan jalan diduga juga mempengaruhi pola perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang. Hal ini terlihat pada pola memanjang

32 perubahan penggunaan lahan dari arah timur ke barat di bagian tengah Kabupaten Tangerang yang dilalui Jalan Tol Nasonal Jakarta Merak. Gambar 8. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang Tahun 1997-2007 5.2. Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk, Laju Pertumbuhan Ekonomi, dan Perkembangan Wilayah Kabupaten Tangerang 5.2.1 Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyebab peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang adalah banyaknya penduduk yang mulai beralih dari Jakarta ke daerah sekitar Jakarta, termasuk Kabupaten Tangerang. Perpindahan penduduk ini disebabkan oleh Kota Jakarta yang tidak mampu lagi menampung peningkatan jumlah penduduk. Penduduk tersebut ada yang bermukim (tinggal tetap) di Kabupaten Tangerang atau menjadi penglaju (commuter) untuk bekerja di kota Jakarta. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun 1997 sampai 2007 disajikan pada Gambar 9.

Jumlah Penduduk 33 Model Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Kabupaten Tangerang y=23582e2+exp(12.4535+(.135879)*x); R 2 = 0.992 3.8E6 3.6E6 3.4E6 3.2E6 3E6 2.8E6 2.6E6 2.4E6 0 2 4 6 8 10 12 Tahun (1=1997) Gambar 9. Grafik Jumlah Penduduk dan Model Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kabupaten Tangerang Tahun 1997-2007 Grafik tersebut menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Tangerang yang terus meningkat dari tahun 1997 sampai tahun 2007. Data jumlah penduduk diperoleh dari data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang. Jumlah penduduk tahun 1998 dan tahun 1999 tidak dapat disajikan karena tidak tersedianya data. Peningkatan jumlah penduduk terlihat sangat jelas dari tahun 1997 yang semula berjumlah 2.680.100 jiwa menjadi 3.473.271 pada tahun 2007 dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 3 persen per tahun. Pola pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Tangerang mendekati model eksponensial dengan asumsi persen laju pertumbuhan berubah-ubah. Model eksponensial pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Tangerang tersebut memiliki nilai R-square sebesar 0,992. Nilai R-square yang semakin mendekati 1 menunjukkan model tersebut relatif menggambarkan kondisi sebenarnya dari pertumbuhan jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang. Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang secara langsung mempengaruhi peningkatan kepadatan penduduk. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk yang tidak disertai dengan penambahan luas wilayah Kabupaten Tangerang. Gambar 10 menyajikan kepadatan penduduk

34 (jiwa/km 2 ) per kecamatan di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 dan tahun 2007. Kepadatan Penduduk 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1997 2007 Pondok Aren Kosambi Ciputat Pamulang Teluknaga Serpong Sepatan Curug Pakuhaji Legok Pasar Kemis Rajeg Cikupa Mauk Tigaraksa Balaraja Cisoka Kresek Kronjo Kecamatan Gambar 10. Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km 2 ) per Kecamatan di Kabupaten Tangerang pada Tahun 1997 dan Tahun 2007 (Tangerang dalam Angka 1997). Gambar 10 menunjukkan grafik kepadatan penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Tangerang mulai dari yang terdekat sampai yang terjauh dari DKI Jakarta. Pada grafik tersebut secara umum terlihat adanya pola keterkaitan yang terbentuk antara kepadatan penduduk dengan jarak ke DKI Jakarta. Semakin dekat dengan DKI Jakarta, kepadatan penduduk suatu kecamatan cenderung lebih tinggi. Kepadatan penduduk tertinggi pada tahun 1997 dan tahun 2007 terdapat di Kecamatan Ciputat, diikuti berturut-turut oleh Kecamatan Pamulang dan Pondok Aren. Perluasan kegiatan-kegiatan ekonomi di Kota Jakarta menyebabkan banyak penduduk mulai beralih ke daerah sekitar Jakarta, termasuk ke Kecamatan Ciputat, Pamulang dan Pondok Aren. Kecamatan Kosambi merupakan salah satu wilayah yang letaknya dekat dengan DKI Jakarta tetapi memiliki kepadatan penduduk yang relatif rendah. Hal ini diduga disebabkan karena Kecamatan Kosambi yang merupakan kawasan pergudangan sehingga kurang memiliki daya tarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi ke kecamatan ini. Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk terendah pada tahun 1997 adalah Kecamatan Pakuhaji yaitu sebesar 1.104 Jiwa/Km 2. Kecamatan Kronjo dengan kepadatan

35 penduduk sebesar 1.374 Jiwa/Km 2 merupakan kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk terendah pada tahun 2007. Kepadatan penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Tangerang memiliki laju pertumbuhan per tahun yang berbeda-beda. Gambar 11 menyajikan laju pertumbuhan kepadatan penduduk per tahun setiap kecamatan di Kabupaten Tangerang mulai dari yang terdekat sampai yang terjauh dari DKI Jakarta. Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk 25 20 15 10 5 0 PONDOK AREN KOSAMBI CIPUTAT PAMULANG TELUKNAGA SERPONG SEPATAN CURUG PAKUHAJI LEGOK PASARKEMIS RAJEG CIKUPA MAUK TIGARAKSA BALARAJA CISOKA KRESEK KRONJO Kecamatan Gambar 11. Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk per Tahun di Setiap Kecamatan di Kabupaten Tangerang. Gambar 11 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan kepadatan penduduk di Kabupaten Tangerang tidak memiliki pola keterkaitan dengan jarak ke DKI Jakarta. Berdasarkan Gambar 11, laju pertumbuhan kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Pasar Kamis sebesar 19 persen per tahun. Kecamatan Pasar Kemis yang berkembang menjadi kawasan industri di Kabupaten Tangerang merupakan faktor penarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi ke kecamatan ini. Kawasan industri pasti membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Kemungkinan tenaga kerja yang berasal dari luar kawasan ini memilih untuk bermukim (tinggal tetap) di Kecamatan Pasar Kemis, walaupun ada sebagian yang memilih menjadi penglaju (commuter). Laju pertumbuhan kepadatan yang tinggi juga terjadi di Kecamatan Sepatan, Curug, dan Pakuhaji yang juga merupakan kawasan industri di Kabupaten Tangerang. Adapun laju pertumbuhan kepadatan terendah terjadi di Kecamatan Kronjo, yaitu sebesar 0,2 persen per tahun.

36 5.2.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tangerang Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tangerang pada tahun 1997-2007 dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Tangerang. Untuk melihat pertumbuhan ekonomi, PDRB dikelompokkan menjadi empat sektor, yaitu: (1) sektor pertanian, (2) sektor pertambangan, (3) sektor industri pengolahan dan (4) sektor jasa yang meliputi (a) sektor listrik, gas, dan air bersih, (b) sektor bangunan, (c) sektor perdagangan, (d) sektor pengangkutan dan komunikasi, (e) sektor keuangan, dan (f) sektor jasa-jasa. Keempat sektor usaha tersebut memberikan kontribusi yang berbeda-beda bagi perekonomian Kabupaten Tangerang. Gambar 12 menyajikan grafik proporsi (%) yang menunjukkan besarnya dari kontribusi masing-masing sektor usaha. 60 50 Proporsi (%) 40 30 20 1997 2007 10 0 Pertanian PertambanganIndustri Sektor Usaha Pengolahan Jasa Gambar 12. Proporsi Sektor Usaha dalam PDRB Tahun 1997 dan Tahun 2007 Kontribusi terbesar untuk PDRB pada tahun 1997 dan tahun 2007 diberikan oleh sektor industri pengolahan, yaitu sebesar 56,4 % dan 48,23 %. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Tangerang tumbuh menjadi kawasan industri sehingga sebagian besar pendapatan daerahnya disumbangkan oleh sektor industri. Walaupun tetap sebagai sektor yang memberikan kontribusi terbesar untuk PDRB Kabupaten Tangerang, proporsi sektor industri mengalami penurunan sebesar 8,18 % dari tahun 1997 ke tahun 2007. Penurunan proporsi sektor industri sejalan dengan peningkatan proporsi sektor jasa dalam PDRB Kabupaten Tangerang, yaitu dari 33,60 % menjadi 42,96 %.

37 Sektor usaha yang kontribusinya menurun untuk PDRB adalah sektor pertanian, yaitu dari 9,82 % menjadi 8,73 %. Penurunan kontribusi sektor pertanian untuk PDRB disebabkan oleh adanya penurunan luas lahan pertanian di Kabupaten Tangerang antara tahun 1997 dan tahun 2007, yaitu dengan laju penurunan sebesar 2,4 % per tahun. Sektor pertambangan merupakan sektor usaha yang memberikan kontribusi terkecil untuk PDRB Kabupaten Tangerang, yaitu kurang dari 1 % baik untuk tahun 1997 maupun tahun 2007. Gambar 13 menyajikan grafik yang menggambarkan laju pertumbuhan sektor-sektor usaha PDRB Kabupaten Tangerang per tahun. Gambar 12 menunjukkan bahwa sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor jasa mengalami pertumbuhan. Sektor jasa merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 3,9 % per tahunnya. Laju pertumbuhan per tahun sektor pertanian dan sektor industri secara berturut-turut, sebesar 0,6 % dan 0,9 % per tahun, sedangkan sektor pertambangan laju pertumbuhannya sebesar - 4,1 % per tahun atau mengalami penurunan. 0.050 0.040 0.030 Laju Pertumbuhan 0.020 0.010 0.000-0.010-0.020-0.030 Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Jasa -0.040-0.050 Sektor Usaha Gambar 13. Laju Pertumbuhan Sektor Usaha per Tahun di Kabupaten Tangerang. 5.2.3 Perkembangan Wilayah Kabupaten Tangerang Tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Tangerang dapat diketahui dari hasil analisis skalogram. Tingkat perkembangan wilayah dinyatakan dalam bentuk Hirarki, yaitu Hirarki I, Hirarki II, dan Hirarki III. Hirarki I merupakan daerah yang paling berkembang, sedangkan Hirarki III menunjukkan daerah yang kurang berkembang. Untuk melakukan analisis

38 skalogram, digunakan 31 variabel yang dikelompokkan ke dalam 8 indeks, yaitu indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas sosial, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, dan indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan. Hirarki suatu wilayah dipengaruhi oleh besarnya indeks perkembangan wilayah tersebut. Semakin besar nilai indeks perkembangan suatu wilayah, maka semakin berkembang pula suatu wilayah. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah nilai indeks perkembangan suatu wilayah, maka wilayah tersebut memiliki tingkat perkembangan yang rendah. Untuk mengelompokkan suatu wilayah ke dalam hirarki tertentu, diperlukan suatu kriteria. Kriteria pengelompokkan suatu wilayah kedalam hirarki berdasarkan indeks perkembangannya disajikan pada Tabel 11. Nilai indeks perkembangan setiap desa tahun 2003 dan 2006 secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran 2 dan 3. Tabel 11. Kriteria Pengelompokkan Hirarki Desa Tahun 2003 dan Tahun 2006. Hirarki Kriteria Tahun 2003 Tahun 2006 I IP > rataan + 1.5 standar deviasi IP > 37,62 IP > 39,65 II IP rataan IP 20,02 IP 22,41 III IP < rataan IP < 20,02 IP < 22,41 Analisis skalogram dilakukan pada 328 desa di Kabupaten Tangerang. Data yang dianalisis berupa data PODES 2003 dan 2006 karena tidak tersedianya data PODES 1996. Pengelompokkan hirarki dilakukan berdasarkan kriteria yang tercantum pada Tabel 11. Hasil analisis skalogram Kabupaten Tangerang pada tahun 2003 dan tahun 2006 disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Analisis Skalogram Desa-desa di Kabupaten Tangerang Tahun 2003 dan 2006 Kecamatan Hirarki 2003 (%) Hirarki 2006 (%) I II III I II III Cisoka 5,88 29,41 64,71 5,88 35,29 58,82 Tigaraksa 4,17 41,67 54,17 8,33 29,17 62,50 Cikupa 9,09 36,36 54,55 4,55 31,82 63,64 Legok 4,17 20,83 75,00 4,17 29,17 66,67 Serpong 10,71 50,00 39,29 14,29 46,43 39,29 Ciputat 38,46 46,15 15,38 15,38 69,23 15,38

39 Tabel 12. (Lanjutan) Kecamatan Hirarki 2003 (%) Hirarki 2006 (%) I II III I II III Pondok Aren 27,27 54,55 18,18 27,27 63,64 9,09 Curug 36,36 54,55 9,09 36,36 54,55 9,09 Pasar Kemis 0 40,00 60,00 0 60,00 40,00 Balaraja 12,00 24,00 64,00 12,00 36,00 52,00 Kresek 5,56 16,67 77,78 5,56 22,22 72,22 Kronjo 0 22,22 77,78 5,56 33,33 61,11 Mauk 3,70 14,81 81,48 3,70 14,81 81,48 Rajeg 0 14,29 85,71 7,14 7,14 85,71 Sepatan 6,25 18,75 75,00 6,25 18,75 75,00 Teluknaga 7,69 15,38 76,92 7,69 15,38 76,92 Pamulang 25,00 37,50 37,50 12,50 50,00 37,50 Pakuhaji 0 21,43 78,57 7,14 7,14 85,71 Kosambi 0 30,00 70,00 0 30,00 70,00 Kabupaten Tangerang 8,84 30,18 60,98 8,84 32,93 58,23 Berdasarkan Tabel 12, pada tahun 2003 sebagian besar desa (60,98%) di Kabupaten Tangerang berhirarki III, sedangkan sisanya berhirarki II (30,18%) dan berhirarki I (8,84%). Pada tahun 2006, terjadi peningkatan jumlah desa berhirarki II dibandingkan tahun 2003. Sementara itu, presentase jumlah desa di Kabupaten Tangerang yang berhirarki III berkurang dari 60,98 persen menjadi 58,23 persen dari periode 2003 ke 2006. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan di desa-desa tersebut. Adapun jumlah desa di Kabupaten Tangerang yang berhirarki I secara keseluruhan tidak mengalami perubahan (8,84%). Penyebaran desa-desa berhirarki I, II, dan III di Kabupaten Tangerang pada tahun 2003 dan 2006 secara spasial disajikan pada Gambar 13.

40 Gambar 13. Peta Hirarki Wilayah Desa-desa di Kabupaten Tangerang tahun 2003 dan 2006

41 Perkembangan suatu wilayah ditandai dengan adanya penambahan jumlah fasilitas-fasilitas atau semakin lengkapnya fasilitas di suatu wilayah. Selain itu, kemudahan mencapai suatu fasilitas (aksesibilitas) yang dicirikan dengan perkembangan jaringan jalan juga menggambarkan perkembangan suatu wilayah. Pembangunan fasilitas dan jaringan jalan membutuhkan lahan. Jumlah lahan yang terbatas menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan lahan tersebut. Adanya perkembangan wilayah di Kabupaten Tangerang diduga terkait dengan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan bukan-pertanian di kabupaten tersebut. 5.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian Konversi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 sampai tahun 2007 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Analisis penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kabupaten Tangerang dilakukan dengan menggunakan teknik regresi bertatar (stepwise regression). Variabel yang digunakan dalam stepwise regression berjumlah 14 (empat belas variabel), yaitu satu variabel sebagai variabel tujuan (Y) dan 13 (tiga belas) variabel sebagai variabel penduga (X) yang mempengaruhi variabel tujuan. Nilai yang digunakan pada setiap variabel merupakan nilai laju pertumbuhan per tahun dari setiap variabel. Hasil analisis regresi disajikan pada Tabel 13 (hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4). Tabel 13. Hasil Analisis Regresi Variabel Koefisien t p-level Aksesibilitas pendidikan 0,24 1,94 0,08164 Aksesibilitas pemerintahan 0,23 2,66 0,02376 Aksesibilitas kesehatan -0,62-5,64 0,00021 Fasilitas pendidikan 0,89 6,99 0,00004 Fasilitas ekonomi 0,26 3,37 0,00711 PDRB Sektor Pertanian 0,24 3,46 0,00613 PDRB Sektor Industri Pengolahan -0,41-3,96 0,00270 PDRB Sektor Jasa -0,30-4,12 0,00207 R-square (R 2 ) 0,96

42 Persamaan regresi yang terdapat pada Tabel 13 memiliki nilai R-square (R 2 ) sebesar 0,96. Nilai R-square (R 2 ) mendekati 1 menunjukkan bahwa pemilihan variabel penduga sebagai variabel yang mempengaruhi variabel tujuan relatif tepat. Faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kabupaten Tangerang dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu (1) aksesibilitas ke suatu fasilitas, (2) jumlah fasilitas, dan (3) PDRB. Berdasarkan Tabel 13, variabel penduga yang berpengaruh sangat nyata (p-level < 0,05) yaitu aksesibilitas ke pusat pemerintahan, PDRB sektor jasa, fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, PDRB sektor pertanian, PDRB sektor industri pengolahan, dan fasilitas ekonomi. Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan merupakan variabel yang berpengaruh nyata (p-level < 0,1). Seluruh variabel yang berperan nyata terhadap konversi lahan pertanian secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok variabel, yaitu variabel yang meningkatkan peluang terjadinya konversi lahan pertanian dan variabel yang menurunkan peluang terjadinya konversi lahan pertanian. Variabel yang berperan meningkatkan peluang konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya adalah aksesibilitas ke pusat pemerintahan, fasilitas pendidikan, PDRB sektor pertanian, fasilitas ekonomi, dan aksesibilitas ke fasilitas pendidikan. PDRB sektor jasa, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, dan PDRB sektor industri pengolahan merupakan variabel yang menurunkan peluang terjadinya konversi lahan pertanian. PDRB sektor jasa dan sektor industri pengolahan memiliki koefisien negatif pada persamaan regresi. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan laju pertumbuhan dari PDRB sektor jasa dan sektor industri pengolahan, maka laju pertumbuhan lahan pertanian akan menurun atau jumlah konversi lahan pertanian di Kabupaten Tangerang akan semakin meningkat. Lahan pertanian akan dikonversi menjadi lahan bukan-pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan permintaan lahan untuk industri dan pemukiman. Laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian Kabupaten Tangerang mempengaruhi laju pertumbuhan lahan pertanian di Kabupaten Tangerang. Jika PDRB sektor pertanian mengalami petumbuhan maka lahan pertanian kemungkinan tidak akan mengalami perubahan penggunaan lahan.

43 Konversi lahan pertanian juga dipengaruhi oleh fasilitas ekonomi, fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dan aksesibilitas ke pusat pemerintahan. Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan memiliki koefisien negatif. Hal tersebut menunjukkan indikasi jika aksesibilitas ke fasilitas kesehatan semakin mudah, maka jumlah lahan pertanian akan semakin berkurang karena lahan pertanian tersebut memiliki kemungkinan dikonversikan untuk keperluan pembangunan jalan. Fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dan aksesibilitas ke pusat pemerintahan berperan positif. Peningkatan jumlah fasilitas pendidikan dan fasililitas ekonomi mempengaruhi terjadinya konversi lahan. Akan tetapi, peningkatan jumlah fasilitas pendidikan dan fasilitas ekonomi ini tidak mengurangi luas lahan pertanian di Kabupaten Tangerang. Hal tersebut bisa terjadi karena kemungkinan fasilitas pendidikan dan fasilitas ekonomi dibangun di area yang memang bukan lahan pertanian atau dengan kata lain fasilitas-fasilitas tersebut dibangun di area lahan terbangun, misalnya di kawasan perkotaan atau kawasan pemukiman. Sama halnya seperti fasilitas pendidikan dan fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dan aksesibilitas ke pusat pemerintahan juga berperan positif. Kemudahan mencapai suatu fasilitas pendidikan atau pusat pemerintahan mempengaruhi konversi lahan. Tetapi, tidak terjadi pengurangan luas penggunaan lahan pertanian akibat semakin mudahnya fasilitas pendidikan dan pusat pemerintahan dicapai. Hal ini mungkin disebabkan pembangunan infrastruktur jalan menuju fasilitas pendidikan dilakukan area lahan yang sudah terbangun sama seperti pembangunan fasilitas-fasilitas pendidikan. Pusat pemerintahan umumnya terletak di tengah-tengah kota, jadi diduga pembangunan infrastruktur jalan menuju pusat pemerintahan hanya dilakukan di area lahan yang sudah terbangun tanpa harus mengkonversi lahan pertanian. Hal ini mungkin saja terjadi di Kabupaten Tangerang, melihat kondisi infrastruktur jalan di kawasan perkotaan yang sudah cukup baik. Sementara itu, di daerah pedesaan, kondisi jalannya belum begitu baik.