BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010


GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada

BERITA RESMI STATISTIK

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada

BERITA RESMI STATISTIK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

Produk Domestik Bruto (PDB)

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

GROWTH (%) SHARE (%) JENIS PENGELUARAN 2011** 2012*** Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

Keterangan * 2011 ** 2012 ***

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

Statistik KATA PENGANTAR

IV. GAMBARAN UMUM. Pulau Jawa merupakan salah satu bagian dari lima pulau besar di

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

(1.42) (1.45) I II III IV I II III IV I II III IV I II * 2012** 2013***

KINERJA PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN II 2014

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007 SEBESAR -0,03 PERSEN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013

Transkripsi:

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT 5.1. Peran Infrastruktur dalam Perekonomian Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk memperlancar hubungan antara wilayah terpencil dengan pusat-pusat pertumbuhan. Kelancaran arus barang dan jasa serta keterbukaan wilayah wilayah potensial dapat digunakan sebagai pendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Dengan infrastruktur transportasi yang baik, sumber daya manusia maupun kapital yang tersebar tersebut juga dapat dimanfaatkan dengan lebih baik. Efektifitas investasi infrastruktur transportasi untuk meningkatkan perekonomian dan memberikan manfaat bagi masyarakat tergantung kepada pemanfaatan sarana transportasi tersebut oleh produsen maupun konsumen serta sektor-sektor unggulan, sehingga mampu memberikan stimulus perekonomian seperti yang diharapkan. Dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah seperti paket infrastruktur yang tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010, serta peningkatan anggaran stimulus fiskal pada bidang infrastruktur menunjukkan perhatian pemerintah yang sangat besar pada pembangunan infrastruktur (termasuk halnya infrastruktur transportasi). Perhatian pemerintah yang besar pada infrastruktur ini sangatlah relevan

115 mengingat beberapa temuan studi mengindikasikan pentingnya infrastruktur terkait dengan dampaknya terhadap perekonomian. Perluasan kewenangan yang diberikan kepada daerah dalam merencanakan dan mengalokasikan dana untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan, memberikan peluang yang lebih besar bagi setiap daerah untuk melaksanakan aktivitas pembangunan sesuai dengan potensi yang dimilikinya serta memilih sektorsektor ekonomi unggulan yang akan dikembangkan dalam rangka untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis potensi sumber daya lokal pada berbagai daerah pada gilirannya akan menghasikan pertumbuhan ekonomi agregat yang tinggi di tingkat nasional. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah ekonomi potensial yang memiliki berbagai keunggulan seperti halnya dari sisi letak geografis. Peningkatan alokasi anggaran untuk belanja infrastruktur transportasi diyakini akan menstimulasi peningkatan investasi baik berskala nasional maupun internasional. Letak geogragis Provinsi Jawa Barat yang berdekatan dengan ibu kota DKI Jakarta yang bertindak sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia serta letak geografis Provinsi Jawa barat di pulau Jawa yang memiliki penduduk terbanyak merupakan potensi ekonomi besar yang dapat dimanfaatkan oleh Provinsi Jawa Barat. Penyediaan infrastruktur transportasi yang baik seperti halnya jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya diyakini dapat memicu limpahan (spill-over) investasi dari wilayah sekitarnya ke wilayah Jawa Barat dan pengembangan wilayah wilayah potensial terutama yang berada di wilayah bagian selatan Jawa Barat. Terkait dengan hal tersebut, pengembangan investasi infrastruktur transportasi harus didasari atas berbagai pertimbangan seperti halnya pertimbangan terhadap sektor ekonomi yang berkembang maupun pertimbangan kewilayahan. Pengembangan dengan

116 mempertimbangkan sektor ekonomi misalkan dengan melihat kepada sektor-sektor unggulan yang berkembang di Jawa Barat seperti halnya sektor industri dan sektor pertanian. Sedangkan dimensi kewilayahan diperhatikan agar pengembangan infrastruktur transportasi dapat menjangkau wilayah atau daerah terpencil (desa) yang potensial secara ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, meningkatkan penyerapan tenaga kerja serta memperbaiki dan meningkatkan pendapatan di wilayah wilayah terpencil sehingga mampu memperbaiki pemerataan pendapatan dari berbagai golongan rumah tangga maupun dari segi kewilayahan. Secara garis besar, stimulus berupa investasi infrastruktur transportasi diharapkan menjadi stimulus pertumbuhan perekonomian daerah Jawa Barat. 5.2. Kondisi Infrastruktur Transportasi Jalan Menimbang pengalaman dari pentingnya pembangunan infrastruktur transportasi dalam peningkatan perekonomian suatu daerah, penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka fungsi infrastruktur transportasi jalan adalah sangat strategis dalam memperbaiki kinerja pembangunan, memperbaiki kesejahteraan masyarakat, mempengaruhi distribusi pendapatan masyarakat, serta mengurangi pengangguran. Keterlambatan dalam pembangunan investasi infrastruktur transportasi tersebut diduga akan sangat berdampak negatif kepada perekonomian, distribusi pendapatan serta penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan data, kondisi infrastruktur transportasi berupa panjang jalan di wilayah Jawa Barat, sampai dengan akhir tahun 2010 adalah 25.803 km (Tabel 5). Jumlah ini meningkat hanya 0.1% dibandingkan dengan panjang jalan Jawa Barat pada tahun 2009 yang berjumlah 25.774 km. Sementara itu dapat diungkapkan pula bahwa panjang jalan pada tahun 2009 tersebut relatif lebih buruk jika dibandingkan

117 dengan panjang jalan pada tahun 2008 yang berjumlah 25.857 km. Gambaran lengkap perubahan panjang jalan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Panjang Jalan Menurut Tingkat Kewenangan Pemerintah, Tahun 2008-2010 Panjang Jalan (km) Tingkat Kewenangan 2008 2009 2010 No. Pemerintah 1 Jalan Negara 1.141 1.351 1.351 (18.4) (0) 2 Jalan Provinsi 2.141 2.199 2.199 (2.7) (0) 3 Jalan Kabupaten 22.575 22.224 22.253 (-1.6) (0.1) Jumlah 25.857 25.774 25.803 (-0.3) (0.1) Sumber: BPS Jawa Barat, 2011 Keterangan: angka ( ) menunjukkan pertumbuhan dalam persen Secara umum kondisi infrastruktur yang tidak baik di Provinsi Jawa Barat terutama terjadi pada jalan kabupaten yang merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Dari Tabel 5 juga dapat dilihat terjadi penurunan panjang jalan yang berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten sebesar minus 1.6% pada tahun 2009 dan terjadi peningkatan hanya 0.1% pada kategori jalan yang sama pada tahun 2010. Sementara itu perkembangan panjang jalan yang merupakan kewenangan pemerintah provinsi juga mengalami perubahan yang kurang menggembirakan. Setelah mengalami perkembangan pada tahun 2009 sebesar 2.7%, justru sama sekali tidak mengalami pertumbuhan pada tahun 2010. Kondisi ini diperparah dengan kondisi jalan yang semakin buruk, dimana kerusakan jalan tidak hanya terjadi diperkotaan (kotamadya) namun juga di pedesaan (kabupaten). Sebagai tambahan, berdasarkan data, kondisi jalan yang masih dalam keadaan baik di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 adalah 8.895 km, dan angka ini berkurang

118 menjadi hanya 7.980 km pada tahun 2010 (Tabel 6). Di sisi lain dapat dipaparkan bahwa kondisi jalan yang rusak di Provinsi Jawa barat meningkat dari 5.199 km pada tahun 2009, menjadi 5.694 km pada akhir tahun 2010. Selain perkembangan panjang jalan yang tidak memadai dalam mendukung perekonomian Jawa Barat, kondisi ini diperburuk dengan kualitas jalan yang semakin memburuk sampai dengan tahun 2010. Kualitas jalan di Jawa Barat yang masih baik tahun 2009 sepanjang 8.895,5 km dan semakin sedikit menjadi 7.980,1 km pada tahun 2010. Sementara kondisi jalan dengan kualitas sedang pada tahun 2009 sebesar 55.030,1 km menurun menjadi 5.342,8 km pada tahun 2010. Demikian pula kondisi jalan rusak meningkat dari 5.199 km pada tahun 2009 menjadi 5.694,0 km pada tahun 2010. Tabel 6. Perkembangan Kondisi Jalan Menurut Kualitas dan Jenis Permukaan Jalan di Jawa Barat Tahun 2009-2010 (km) Panjang Jalan (km) Kondisi Jalan 2009 2010 (1) (2) (3) Panjang Jalan 22.006,4 21.760,8 A. Kualitas jalan a.1. Baik 8.895,5 7.980,1 a.2. Sedang 5.507,1 5.342,8 a.3. Rusak 5.199,2 5.694,0 a.4. Rusak berat 2.404,5 2.819,6 B. Jenis permukaan Jalan b.1. Aspal 18.419,8 18.275,3 b.2. Kerikil 2.722,2 2.512,0 b.3. Tanah 809,7 605,6 b.4. Tidak dirinci 50,7 328,03 Sumber: BPS Jawa Barat, 2011 Bahkan, panjang jalan yang mengalami rusak parah pada tahun 2009 yang tadinya adalah 2.404 km, pada tahun 2010 menjadi lebih buruk lagi yaitu menjadi 2.819,6 km.

119 Kondisi jalan yang beraspal maupun jalan kerikil juga menunjukkan kondisi semakin buruk. Kondisi jalan beraspal pada tahun 2009 adalah sebesar 18.419,8 km menjadi 18.275,3 km dan kondisi jalan kerikil juga semakin menyusut dari tahun 2009 yang sebesar 2.722,2 km berkurang menjadi 2.512,0 km 5.3. Struktur dan Kinerja Perekonomian Ekonomi Jawa Barat merupakan kekuatan ketiga terbesar setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Sesuai dengan data statistik, peranan Provinsi Jawa Barat dalam penciptaan nilai tambah nasional adalah sebesar 14.7% dibawah DKI Jakarta (16.4%) dan Jawa Timur (14.8%). Keuntungan berupa lokasi yang terletak dekat dengan pusat perekonomian dan pemerintahan (DKI Jakarta) serta letak Provinsi Jawa Barat di pulau Jawa yang sangat padat penduduknya menjadikan Jawa Barat sebagai bagian penting bagi pusat pertumbuhan nasional. Dari segi struktur perekonomian, seperti terlihat pada Tabel 7, provinsi Jawa Barat dicirikan oleh tiga sektor utama sebagai mesin penggerak (engine power) roda perekonomian yakni masing masing sektor Industri, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran serta Sektor Pertanian. Dari ketiga sektor tersebut tercatat hingga tahun 2010, sektor Industri memberikan kontribusi sebesar 37.7% dimana terutama berasal dari industri alat angkutan, mesin dan peralatannya serta industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Sementara itu, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran mempunyai kontribusi sebesar 22.4% dan kontribusi Sektor Pertanian adalah sebesar 12.6%. Dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, kontribusi sektor Industri selama tahun 2007-2010 terhadap total PDRB Jawa Barat berdasarkan harga berlaku memiliki persentase nilai yang terbesar yaitu 45% pada tahun 2007, namun kemudian turun

120 menjadi 37.7% pada tahun 2010. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran kontribusinya tidak mencapai 20% pada tahun 2007, namun meningkat pada tahun 2010 menjadi 22.4%. Sebagai tambahan, kontribusi sektor pertanian berkisar 11% 12%. Meskipun Sektor Industri merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Jawa Barat, namun peranannya didalam pembentukan nilai tambah menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Peranan sektor industri Jawa Barat tahun 2007 sebesar 45.0% dan menurun menjadi hanya sebesar 37.7% pada tahun 2010 (Tabel 7). Penurunan tersebut terjadi pada seluruh jenis industri termasuk industri utama Jawa Barat yaitu industri alat angkutan, mesin dan peralatan serta industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Apabila deindustrialisasi dilihat hanya sebagai penurunan peranan sektor Industri dalam perekonomian, maka bisa dikatakan bahwa telah terjadi deindustrialisasi di Provinsi Jawa Barat seperti halnya gejala deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia yang banyak diperkirakan para ahli (Priyarsono, 2010). Bertolak belakang dengan sektor industri, sektor yang menunjukkan peranan yang meningkat adalah sektor jasa jasa terutama sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pasar retail terutama yang menjual produk dari industri tekstil dan pakaian jadi serta alas kaki mengalami perkembangan cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian patut disayangkan bahwa pertumbuhan sektor perdagangan tersebut banyak didominasi oleh produkproduk perdagangan impor, khususnya pakaian jadi dan alas kaki dari Cina. Sementara itu produk tekstil, pakaian jadi dan alas kaki di Jawa Barat menunjukkan peranan yang menurun dibandingkan dengan sektor lain.

121 Tabel 7. Perkembangan Pangsa PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor Tahun 2007-2010 Lapangan Usaha Pangsa (%) 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) 1. Pertanian 12.0 11.5 12.3 12.6 2. Pertambangan & Penggalian 2.4 2.4 1.9 2.0 3. Industri Pengolahan 45.0 43.7 40.8 37.7 a. Industri Migas 2.6 3.7 3.0 2.6 b. Industri Tanpa Migas **) 42.4 40.0 37.8 35.1 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 4.6 4.2 4.4 4.0 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 12.1 10.1 9.5 8.2 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 0.5 0.4 0.5 0.4 4. Kertas dan Barang Cetakan 0.8 0.7 0.7 0.8 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 4.4 3.3 3.3 2.7 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 0.9 0.9 0.9 0.9 7. Logam Dasar Besi & Baja 0.3 0.2 0.2 0.2 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 18.0 19.6 17.7 17.5 9. Barang lainnya 0.8 0.7 0.7 0.5 4. Listrik, Gas & Air Bersih 2.9 2.7 2.8 2.8 5. Bangunan 3.0 3.4 3.5 3.8 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 19.1 20.5 21.6 22.4 7. Pengangkutan & Komunikasi 5.9 5.7 6.1 7.1 8. Keuangan, Persewaan, & Js. Prsh. 2.9 2.7 2.7 2.7 9. Jasa-Jasa 6.8 7.4 8.2 8.9 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Sumber: BPS Jawa Barat, 2011 100.0 100.0 100.0 100.0 Peranan sektor industri yang terus menunjukkan penurunan didukung oleh tren dari peran masing masing sektor dari tahun 2007 s/d tahun 2010. Gambaran pertumbuhan PDRB sektor atas dasar harga berlaku mengindikasikan bahwa semakin rendah pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku suatu sektor dibandingkan dengan pertumbuhan sektor lainnya maka peranan sektor tersebut juga akan semakin

122 berkurang dalam perekonomian suatu daerah. Dengan demikian maka akan terjadi pergeseran peran sektor dan perubahan struktur ekonomi di daerah tersebut. Indikasi adanya perubahan peran sektor dan struktur ekonomi di Jawa Barat juga terlihat dalam beberapa tahun terakhir seperti yang terlihat pada Tabel 8. Sektor industri di Jawa Barat mengalami pertumbuhan dengan rata rata pertumbuhan hanya sekitar 5% dari tahun 2007 s/d tahun 2010 dibawah pertumbuhan perekonomian secara total (10.2%). Kinerja sub-sektor industri tekstil, pakaian jadi barang dari kulit dan alas kaki lebih buruk lagi dengan rata rata pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku terkontraksi sebesar minus 0.1%. Gambaran perubahan tren peran sektoral di Jawa Barat juga mengindikasikan bahwa peran sektor jasa jasa menunjukkan peran yang semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sektor jasa jasa seperti perdagangan, hotel dan restoran tumbuh sangat signifikan di atas pertumbuhan rata-rata Jawa Barat yaitu sebesar 14.9%. Sektor jasa lainnya seperti jasa sosial, jasa perorangan, jasa kemasyarakatan menunjukkan trend rata rata pertumbuhan tertinggi dengan pertumbuhan sebesar 17.9%. Sementara sektor pertanian juga menunjukkan pertumbuhan yang berada diatas rata rata pertumbuhan Jawa Barat yaitu tumbuh rata rata sebesar 11.7%. Penurunan peranan sektor industri tentunya menjadi kekhawatiran bagi pemerintah di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Sektor industri yang diharapkan dapat memberikan lapangan kerja bagi penduduk Jawa Barat justru mengalami kemunduran baik dalam peranannya dalam perekonomian maupun kinerja yang semakin menurun. Penurunan peranan yang terjadi dan berlangsung terus menerus dalam beberapa tahun terakhir ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku sektor Industri yang sebesar 7.47% (rata-rata 2007-2010) hanya menempatkan sektor Industri diatas

123 pertumbuhan sektor Pertambangan. Namun sembilan sektor lainnya tumbuh lebih tinggi dibandingkan sektor Industri, terutama sektor jasa-jasa seperti halnya Jasa Angkutan dan Komunikasi serta Jasa Lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja pertumbuhan sektor industri masih lebih rendah dibandingkan dengan kinerja sektor jasa-jasa maupun sektor pertanian dalam kurun waktu tahun 2007-2010. Tabel 8. PDRB Harga Berlaku dan Rata-Rata Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor Tahun 2007-2010 Jumlah (Milyar Rupiah) Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010 pertum buhan (%) (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Pertanian 62.894,90 72.517,61 85.149,26 97.194,39 11.7 2. Pertambangan & Penggalian 12.621,31 14.904,13 13.278,19 15.546,26 6.1 3. Industri Pengolahan 236.628,97 276.714,35 281.275,08 290.754,72 5.5 a. Industri Migas 13.426,61 23.274,95 20.824,13 19.934,07 14.6 b. Industri Tanpa Migas **) 223.202,36 253.439,40 260.450,95 270.820,66 5.1 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 24.013,59 26.349,97 30.251,88 31.166,27 6.9 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 63.551,78 64.043,30 65.340,91 63.250,05-0.1 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 2.664,30 2.702,43 3.260,14 3.178,66 4.9 4. Kertas dan Barang Cetakan 4,277.09 4.213,11 4.560,00 5.861,65 8.8 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 23.296,72 20.733,77 22.959,64 20.696,98-2.5 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 4.792,83 5.502,08 6.016,82 6.564,96 8.3 7. Logam Dasar Besi & Baja 1.596,81 1.513,72 1.571,91 1.558,64-0.6 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9,858,10 124.181,43 121.767,54 134.569,01 9.9 9. Barang lainnya 4.151,15 4.199,59 4.722,11 3.974,45-0.6 4. Listrik, Gas & Air Bersih 15.414,04 16.913,62 19.549,19 21.294,46 8.6 5. Bangunan 15.906,66 21.596,58 24.223,19 29.047,79 17.0 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 100.691,12 129.912,05 149.056,00 172.713,20 14.9 7. Pengangkutan & Komunikasi 30.787,32 36.401,48 41.820,99 54.635,68 15.9 8. Keuangan, Persewaan, & Js. Prsh. 15.248,88 17.228,06 18.802,86 21.155,31 8.7 9. Jasa-Jasa 36.027,03 47.095,62 56.686,56 68.318,69 17.9 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Sumber: BPS Jawa Barat, 2011, diolah 526.220,23 633.283,48 689.841,31 770.660,51 10.2

124 5.4. Ketenagakerjaan Kondisi ketenagakerjaan di Jawa Barat pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 9. Dari keseluruhan angkatan kerja di Jawa Barat pada tahun 2010, yang berjumlah sekitar 18.89 juta orang terdapat angkatan kerja yang bekerja sebesar 16.94 orang dan sisanya termasuk ke dalam kategori penganggur berjumlah 1.95 juta orang (10.33%). Jumlah penganggur pada tahun 2010 tersebut lebih rendah dari jumlah penganggur pada tahun 2009 atau menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 2.08 juta orang (10.96%) seperti terlihat pada Tabel 9. Secara ekonomis, upaya untuk menurunkan jumlah pengangguran terbuka melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat masih belum mampu mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Secara umum kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat masih terbatas. Sebagai tambahan, kemampuan menciptakan lapangan kerja di Provinsi Jawa Barat juga relatif kecil dan bahkan terdapat kecenderungan mengalami penurunan. Tabel 9. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama, TPAK dan Tingkat Pengangguran di Provinsi Jawa Barat Jenis Kegiatan Utama 2008 2009 2010 I. Angkatan Kerja (orang) 18.743.979 18.981.260 18.893.835 1. Bekerja 16.480.395 16.901.430 16.942.444 2. Penganggur 2.263.584 2.079.830 1.951.391 II. Bukan Angkatan Kerja 10.966.139 11.200.929 11.394.174 Jumlah 29.710.118 30.182.189 30.288.009 I. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja/TPAK (%) 87.92 89.04 89.67 II. Tingkat Pengangguran (%) 12.08 10.96 10.33 Sumber: BPS Jawa Barat, 2011 Secara teoritis, meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dengan asumsi terjadi peningkatan investasi. Sementara itu di dalam prakteknya dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa

125 Barat dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung didorong oleh peningkatan permintaan domestik, khususnya pada konsumsi akhir. Investasi sendiri cenderung tidak meningkat dan bahkan dalam beberapa tahun sebelumnya mengalami penurunan. Dengan demikian, meskipun perekonomian telah meningkat namun penciptaan lapangan kerja dapat dikatakan masih sangat lambat. Gambaran persentase pertumbuhan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja Jawa Barat, tahun 2009-2010 dapat diihat pada tabel 10. Tabel 10. Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja Jawa Barat, Tahun 2009 2010 Pertumbuhan (%) Jenis Kegiatan Utama 2009 2010 I. Angkatan Kerja 1.27-0.46 1. Bekerja 2.55 0.24 2. Penganggur -8.12-6.16 II. Bukan Angkatan Kerja 2.14 1.73 Jumlah 1.59 0.35 Sumber: BPS Jawa Barat, 2011, diolah Berdasarkan pada hasil analisis, selama tahun 2010, penyerapan tenaga kerja di provinsi Jawa Barat adalah 16.94 juta orang, dimana diserap oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran 24.83%; sektor pertanian sebesar 23.4%; sektor industri sebesar 20.00% dan sektor jasa lainnya 15.68%. Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa sektor listrik, gas dan air menyerap tenaga kerja dalam persentase terkecil (0.35%). Perkembangan pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian selama periode 2007-2010 menunjukkan penurunan, sementara itu pada periode yang sama

126 pangsa penyerapan tenaga kerja sektor industri justru mengalami kenaikan. Kenaikan pangsa penyerapan tenaga kerja yang mengalami kenaikan sangat signifikan juga terjadi pada sektor jasa lainnya, yaitu sebesar 9.11% pada tahun 2007 menjadi 15.68% pada tahun 2010. Temuan lain menunjukkan adanya penurunan pangsa penyerapan tenaga kerja sektor perdagangan, hotel dan restoran selama kurun waktu 2007-2010. Dengan perbaikan infrastruktur transportasi diharapkan sektor Industri dan sektor-sektor unggulan lainnya dapat berperan kembali sebagai engine of growth perekonomian Jawa Barat, terutama bagi industri kecil dan menengah yang mengandalkan keunggulan komparatif yang berbasiskan sumberdaya domestik. Namun demikian fakta yang terjadi beberapa tahun terakhir di Provinsi Jawa Barat adalah bahwa investasi infrastruktur transportasi, khususnya investasi infrastruktur jalan justru semakin memburuk. Padahal infrastruktur jalan merupakan unsur penting yang digunakan untuk memacu pertumbuhan sektor-sektor. Tabel 11. Perkembangan Pangsa penyerapan tenaga Kerja Menurut Sektor Pangsa (%) No. Sektor 2007 2008 2009 2010 1 Pertanian 30.38 25.56 25.18 23.40 2 Pertambangan 0.83 0.59 0.58 0.67 3 Industri 17.53 17.81 18.18 20.00 4 Listrik, Gas dan Air 0.39 0.23 0.26 0.35 5 Bangunan 5.25 6.20 5.73 5.94 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 27.42 25.37 25.46 24.83 7 Angkutan dan Komunikasi 7.46 8.48 8.50 7.13 8 Keuangan, Real Estate, Jasa Perusahaan 1.65 1.62 1.58 1.99 9 Jasa Lainnya 9.11 14.14 14.54 15.68 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber: BPS (berbagai tahun terbitan) Pembangunan ekonomi pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya tersebut dapat dicapai antara lain dengan

127 memberikan lapangan kerja yang cukup bagi masyarakat. Pembangunan sektor-sektor unggulan yang berkembang di Jawa Barat merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Sementara itu, investasi infrastruktur transportasi berdasarkan pengalaman empiris dapat menjadi salahsatu pemicu untuk mendukung perkembangan ekonomi. Investasi melalui pembentukan modal akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi suatu bangsa. Lebih jauh lagi, investasi dalam bentuk infrastruktur transportasi jalan sangat diperlukan untuk memperlancar proses distribusi barang dan jasa serta mendukung proses produksi seperti halnya memperlancar arus bahan baku dari sumbernya ke pabrik-pabrik pengolahnya. Melalui penyediaan infrastruktur transportasi yang memadai, kelancaran distribusi barang yang diproduksi dan output barang dan jasa di suatu wilayah dapat ditingkatkan dan kemudian dapat menjadi sumber pendapatan bagi tenaga kerja yang bekerja pada sektor-sektor ekonomi. Untuk menghasilkan output yang lebih besar, dapat dilakukan dengan peningkatan jumlah faktor produksi (tenaga kerja dan non tenaga kerja). Kebutuhan akan faktor produksi tenaga kerja atau non tenaga kerja bergantung pada jenis investasi yang akan dilakukan, apakah investasi yang bersifat labour intensive atau capital intensive. Dengan demikian investasi tidak hanya dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi, melainkan juga dimanfaatkan untuk memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat. Dalam kerangka SNSE, balas jasa terhadap tenaga kerja dan non tenaga kerja berupa upah/gaji dan keuntungan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Adanya kesempatan kerja akan membuka peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya. Dalam perhitungan elastisitas kesempatan kerja (E) terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), persentase laju pertumbuhan PDRB (r) merupakan variabel

128 bebas dan persentase perubahan kesempatan kerja (l) merupakan variabel tak bebas, atau dapat dirumuskan bahwa elastisitas kesempatan kerja (E) adalah laju pertumbuhan kesempatan kerja (l) dibagi dengan laju pertumbuhan PDRB (r) (Simanjuntak,1998). Selanjutnya, untuk memperkirakan tambahan tenaga kerja yang tercipta berdasarkan kenaikan pertumbuhan ekonomi digunakan rumus: l = E x r dimana: l tk = laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja r ntb = laju pertumbuhan PDRB Tabel 12 menunjukkan gambaran tentang elastisitas tenaga kerja terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing sektor di Provinsi Jawa Barat selama periode tahun 2007-2008. Tingkat elastisitas kesempatan kerja dapat dilihat dari perbandingan antara persentase perubahan penyerapan tenaga kerja dengan persentase perubahan Produk Domestik Regional Bruto. Pada Periode 2007-2010, nilai elastisitas tenaga kerja Provinsi Jawa Barat adalah sebesar 0.85, yang berarti bahwa setiap peningkatan 1% pertumbuhan ekonomi (PDRB) Jawa Barat membutuhkan tambahan tenaga kerja sebesar 0.85%. Penurunan kesempatan kerja di sektor pertanian dan pertambangan menyebabkan elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap kenaikan PDRB sektor pertanian dan pertambangan tersebut negatif. Elastisitas tenaga kerja sektor pertanian dan pertambangan pada tahun 2007-2010 masing masing sebesar minus 1.17 dan minus 0.81. Elastisitas tenaga kerja sebesar minus 0.81 bermakna bahwa meskipun nilai tambah sektor pertambangan meningkat 2.99%, namun akan menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja sebesar 2.34%.

129 Tabel 12. Elastisitas Tenaga Kerja Jawa Barat l tk r ntb Elastisitas 2007-2010(E tk ) 1 Pertanian -5.07 4.35-1.17 2 Pertambangan -2.34 2.88-0.81 3 Industri 8.14 2.54 3,20 4 Listrik, Gas dan Air 4.79 6.33 0,76 5 Bangunan 8.65 7.38 1,17 6 Perdagangan 0.10 6.45 0,02 7 Angkutan 3.12 5.97 0,52 8 Keuangan 10.74 5.20 2,07 9 Jasa Lainnya 26.93 4.03 6.68 Jumlah 3.49 4.12 0.85 Sumber: BPS Jawa Barat, 2011 Selain itu, pertumbuhan sektor pertambangan yang semakin menurun dapat diakibatkan karena pertambangan merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui sehingga hasilnya semakin menurun walaupun ada peningkatan investasi. Penurunan hasil mengakibatkan sumbangannya terhadap pendapatan nasional dan juga terhadap penghasilan masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan semakin menurun, dan lebih jauh lagi mendorong pekerja untuk bermigrasi ke sektor lain yang dianggap lebih baik. Demikian pula yang terjadi di sektor pertanian. Sektor yang menarik pencari kerja jika dilihat dari penyerapan tenaga kerjanya adalah sektor jasa lainnya dan industri. Sektor industri meskipun mengalami perlambatan dalam penciptaan nilai tambah namun mengalami peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja pada kurun waktu 2007-2010.

130 5.5. Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga 5.5.1. Penduduk Miskin Ekonomi Jawa Barat memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Namun demikian, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat masih relatif besar jika dibandingkan dengan provinsi provinsi lain di Indonesia. Menurut data (BPS Jawa Barat, 2011), jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa barat pada tahun 2010 adalah sebesar 4.716.000 jiwa (Tabel 13). Jumlah tersebut menempatkan Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi urutan ketiga di Indonesia yang memiliki tingkat kemiskinan terbesar, setelah Provinsi Jawa Timur (5.529.300 jiwa) dan Provinsi Jawa Tengah (5.369.200 jiwa). Kondisi laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan tidak diikuti dengan penyediaan lapangan kerja menyebabkan tingkat kemiskinan bertambah dan menciptakan paradoks antara pertumbuhan dan kemiskinan. Padahal secara teoritis laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan semakin banyaknya output yang di hasilkan dan tentunya ini mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja, sehingga meningkatkan kemakmuran masyarakat. Dengan demikian laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya juga akan mengurangi kemiskinan. Tabel 13. Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat, 2009-2010 Tahun Jumlah (orang) Persentase (%) (1) (2) (3) 2009 4.852.520 11.58 2010 4.716.000 10.93 Sumber: BPS Jawa Barat, 2011 Ada beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan permasalahan kemiskinan ini. Pertama, terdapat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Provinsi Jawa Barat belum ditopang dengan sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja

131 yang tinggi sehingga berdampak kepada pengangguran dan akhirnya akan menimbulkan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya memberikan pemihakan pada sektor-sektor tertentu sehingga mempersempit peluang berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya jenis lapangan kerja yang tersedia. Kedua, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi dengan tersedianya sarana dan prasarana infrastruktur transportasi yang mendukung kegiatan produksi dan kelancaran arus distribusi barang dan jasa dari produsen ke konsumen, sehingga pembangunan di Provinsi Jawa Barat hanya berkonsentrasi pada beberapa wilayah, terutama wilayah yang berbatasan dengan DKI Jakarta. Kondisi ini mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah terpencil. Padahal melalui laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu mengurangi kemiskinan. Paradoks antara pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan kemiskinan di atas mencerminkan bahwa tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi masih bersifat semu (belum berkualitas). Padahal laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Disamping itu masih terdapat syarat lain yang belum dipenuhi di dalam pertumbuhan ekonomi ini yakni syarat kecukupan (sufficient condition). Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi mestinya menjadi modal untuk mengurangi kemiskinan. Untuk itu kebijakan pemerintah ke depan harus diarahkan agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus merata di setiap daerah dan dapat dinikmati oleh setiap golongan rumah tangga, termasuk golongan rumah tangga miskin (growth with equity). Salah satu cara untuk mencapai kondisi diatas adalah melalui perbaikan dan pemerataan infrastruktur transportasi di seluruh wilayah di Jawa Barat.

132 5.5.2 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga. Penggolongan rumah tangga dalam penelitian ini dibedakan atas rumah tangga pertanian, rumah tangga industri dan rumah tangga selain pertanian dan industri yaitu mereka yang bekerja di sektor pertambangan, listrik, gas dan air minum, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa jasa lainnya. Sementara itu, rumah tangga pertanian dibedakan atas buruh tani dan petani yang memiliki tanah pertanian. Sedangkan rumah tangga industri dan rumah tangga non pertanian dan industri dikelompokkan lagi menjadi rumah tangga golongan rendah di desa dan kota, rumah tangga bukan angkatan kerja di desa dan di kota serta rumah tangga golongan atas di desa dan di kota. Sebagai tambahan, yang dimaksud dengan rumah tangga golongan rendah adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja sebagai buruh, pekerja kasar atau pekerja manual. Sementara itu, rumah tangga bukan angkatan kerja adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga penerima pendapatan seperti pensiunan, pemilik modal (tabungan, deposito, saham dsb). Sebagai tambahan, rumah tangga golongan atas adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga sebagai manajer, pekerja professional, ketatalaksanaan (supervisor) dan pekerjaan sejenis. Karakteristik rumah tangga di Jawa Barat berdasarkan data jumlah penduduk dan rumah tangga yang merupakan tabel satelit dari SNSE Jawa Barat, merupakan rumah tangga non-pertanian. Sektor Pertanian yang berkontribusi sebesar 12% pada tahun 2010, dan merupakan sektor dimana bergantung sekitar 8.43 juta penduduk dari total penduduk Jawa Barat yang sebesar 43.02 juta atau sebanyak 2.18 juta rumah tangga. Sementara rumah tangga yang bergantung kepada sektor non pertanian seperti industri sebesar 9.83 juta penduduk atau 2.01 juta rumah tangga dan rumah tangga yang bergantung kepada sektor jasa jasa (selain pertanian dan industri)

133 merupakan yang terbesar yaitu sebanyak 24.77 juta penduduk atau sebanyak 5.41 juta rumah tangga (Tabel 14). Tabel 14. Struktur Rumah tangga Jawa Barat, Tahun 2010 Kelompok RT Jumlah Penduduk (juta orang) Jumlah Rumah tangga (juta RT) RT pertanian 8.43 2.18 Buruh pertanian 5.48 1.48 Pengusaha Pertanian 2.95 0.70 RT industri 9.83 2.01 RT Golongan Bawah 2.17 0.38 Desa Bukan Angkatan Kerja 1.28 0.28 Kota RT Golongan Atas 0.64 0.15 RT Golongan Bawah 3.00 0.53 Bukan Angkatan Kerja 1.95 0.45 RT Golongan Atas 0.80 0.23 Rt selain pertanian dan industri 24.77 5.41 RT Golongan Bawah 7.28 1.41 Desa Bukan Angkatan Kerja 4.98 1.08 Kota RT Golongan Atas 3.29 0.88 RT Golongan Bawah 4.95 1.01 Bukan Angkatan Kerja 2.68 0.63 RT Golongan Atas 1.60 0.40 JUMLAH 43.02 9.61 Sumber: BPS Jawa Barat, 2011 Daya tarik ekonomis dari sektor non pertanian mendorong penduduk beralih dari sektor pertanian kepada sektor non pertanian. Pendapatan berupa upah dan gaji sektor non pertanian yang lebih besar mendorong mereka untuk beralih profesi dari petani menjadi pekerja pabrik, pedagang atau pekerja sektor restoran, jasa keuangan dan sebagainya.

134 5.5.2.1. Sumber Pendapatan Rumah tangga Pendapatan rumah tangga bersumber dari pendapatan faktorial dan transfer. Pendapatan faktorial (factorial income) terdiri dari; (1) pendapatan yang bersumber dari balas jasa faktor produksi tenaga kerja, (2) pendapatan yang bersumber dari balas jasa bukan tenaga kerja (modal) termasuk imputasi sewa rumah yang ditempati sendiri, pendapatan dari usaha setelah dikurangi dengan biaya tenaga kerja dsb. Sedangkan pendapatan transfer meliputi; (1) tansfer yang bersumber dari rumah tangga lain, (2) transfer dari perusahaan berupa bantuan sosial, tansfer dari pemerintah seperti bantuan sosial termasuk bantuan operasional sekolah (BOS) bantuan kesehatan (Jamkesmas, dsb) serta (3) transfer/bantuan dari luar negeri termasuk halnya yang berasal dari luar wilayah Jawa Barat. Hasil estimasi dari SNSE Jawa Barat diketahui bahwa rata-rata pendapatan per kapita penduduk Jawa Barat adalah sebesar Rp 13.34 juta pertahun per orang. Sebagian besar dari total pendapatan tersebut berasal dari kegiatan bekerja sebagai buruh, karyawan atau pekerja keluarga sehingga menghasilkan pendapatan berupa upah dan gaji sebesar rata rata Rp 10.01 juta per penduduk. Pendapatan terbesar adalah rumah tangga golongan atas di sektor industri dengan pendapatan rata-rata 95.00 juta per orang per tahun. Rumah tangga golongan rendah di kota yang bekerja di sektor selain pertanian dan selain industri menerima pendapatan per kapita terendah dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain dalam kerangka SNSE Jawa Barat yaitu sebesar Rp 3.98 juta perkapita. Secara rata-rata penduduk yang bekerja di sektor industri memperoleh pendapatan paling besar dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain. Penerima pendapatan terendah di sektor industri adalah rumah tangga golongan rendah dengan rata-rata pendapatan per kapita sebesar Rp 3.63 juta

135 sementara penerima pendapatan tertinggi di sektor industri adalah rumah tangga golongan atas yaitu sebesar Rp 95.01 juta (Tabel 15). Sebagian besar pendapatan rumah tangga di Jawa barat adalah pendapatan dari upah dan gaji yaitu secara rata-rata sebesar 75.0% dari total pendapatan, pendapatan dari kapital (bunga, deviden, sewa dsb) sebesar 24.1% dan sisanya merupakan pendapatan dari transfer baik dari rumah tangga, pemerintah, perusahaan maupun dari transfer luar negeri yaitu 0.9% (Tabel 15). Pendapatan rumah tangga industri juga memiliki ketergantungan pendapatan yang berasal upah dan gaji sebagai kompensasi jasa tenaga kerja yang bekerja di sektor industri dengan persentase sebesar 75% sampai dengan 90.5% (bagi rumah tangga BAK) dari total pendapatan rumah tangga. Rumah tangga pertanian tidak terlalu berharap dari upah pertanian mengingat tingkat upah di sektor pertanian relatif lebih rendah dibandingkan dengan tingkat upah di sektor lainnya seperti halnya upah pada sektor industri. Sekitar 85% pendapatan rumah tangga pertanian berasal dari upah dan gaji. 5.5.2.2. Struktur Pengeluaran Rumah tangga. Struktur pengeluaran rumah tangga dapat menggambarkan kemampuan rumah tangga dalam meningkatkan pendapatannya. Semakin rendah persentase konsumsi akhir semakin besar tabungan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan kapital dari tabungan. Dari data Tabel 16 dapat diketahui bahwa rata rata lebih dari 80% pendapatan digunakan untuk konsumsi akhir. Bahkan untuk rumah tangga golongan rendah baik yang bekerja di sektor industri maupun diluar sektor industri dan pertanian mengkonsumsi lebih dari 90% dari total pendapatannya terutama buruh tani yang mengkonsumsi 96.5% dari total pendapatannya. Sulit bagi rumah tangga dengan struktur pendapatan seperti buruh tani tersebut atau rumah tangga golongan rendah di

136 sektor industri dan di kota dengan konsumsi sebesar 92.1% untuk meningkatkan pendapatannya kecuali ada campur tangan langsung pemerintah melalui bantuan pendidikan, kesehatan atau program cash transfer seperti halnya bantuan langsung tunai (BLT).

137 Besarnya konsumsi rumah tangga berhubungan linear dengan tingkat tabungan rumah tangga. Semakin besar konsumsi akhir semakin rendah tabungan rumah tangga. Rumah tangga golongan atas baik di sektor industri dan sektor jasa-jasa mempunyai tingkat tabungan (saving rate) relatif tinggi dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain. Rumah tangga golongan atas di sektor jasa-jasa mempunyai tabungan sebesar 27.7% baik di desa maupun di kota. Sementara tabungan rumah tangga golongan atas di sektor industri di kota sebesar 20.7% dan di desa 18.8% (Tabel 16).

Tabel 16. Pangsa Pendapatan dan Pengeluaran Terhadap Total Pendapa Jawa Barat, 2010 (persen Jumlah Pertanian Buruh Pengus aha Pertani an RT Golonga n Bawah Bukan Angkata n Kerja RT Golonga n Atas RT Golong an Bawah Bukan Angkatan Kerja Jumlah Penduduk (juta orang) 43,02 5,48 2,95 2,17 1,28 0,64 3,00 1,95 Jumlah Rumah tangga (juta rt) 9,61 1,48 0,70 0,38 0,28 0,15 0,53 0,45 Desa Industri Kota 1. Upah dan gaji 75,0 85,6 86,2 85,9 75,2 86,6 89,7 90,5 2. Pendapatan kapital 24,1 12,2 13,1 12,2 23,7 13,1 10,0 9,3 3. Penerimaan transfer dari : 0,9 2,2 0,7 1,9 1,1 0,3 0,3 0,1 - RT 0,7 2,1 0,6 1,7 0,5 0,0 0,2 0,0 - Perusahaan 0,1 0,0 0,1 0,1 0,2 0,0 0,0 0,1 - Pemerintah 0,1 0,0 0,0 0,0 0,4 0,2 0,1 0,0 - Luar Negeri 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 4. Jumlah pendapatan 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 5. Pembayaran pajak langsung 0,1 0,0 0,1 0,1 0,2 0,0 0,0 0,1 6. Pendapatan RT setelah pajak 99,9 100,0 99,9 99,9 99,8 100,0 100,0 99,9 7. Pembayaran transfer ke : 0,7 0,7 0,4 0,5 1,0 0,4 0,6 0,5 - RT 0,7 0,7 0,4 0,5 0,9 0,4 0,6 0,5 - Perusahaan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 - Luar Negeri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 8. Pendapatan Disposabel 99,2 99,2 99,5 99,4 98,8 99,5 99,4 99,5 9. Pengeluaran konsumsi 81,6 96,5 84,6 91,3 91,2 80,8 92,1 90,4 10. Tabungan 17,6 2,7 14,9 8,1 7,6 18,8 7,3 9,1 Sumber: SNSE Jawa barat 2010 diolah

atan Menurut Golongan Rumah Tangga n) Pangsa (%) Bukan Pertanian Desa Bukan Industri Kota RT Golongan Atas RT Golongan Bawah Bukan Angkatan Kerja RT Golongan Atas RT Golongan Bawah Bukan Angkatan Kerja RT Golongan Atas 0,80 7,28 4,98 3,29 4.95 2.68 1.6 0,23 1,41 1,08 0,88 1.01 0.63 0.4 90,3 45,4 27,2 55,4 70.9 63.1 78.9 8,1 54,0 68,0 44,0 28.6 36.6 20.8 1,6 0,6 4,8 0,6 0.5 0.4 0.3 1,5 0,1 4,3 0,1 0.3 0 0 0,1 0,2 0,2 0,2 0.2 0.1 0 0,0 0,2 0,2 0,3 0 0.2 0.1 0,0 0,0 0,1 0,1 0 0.1 0.1 100,0 100,0 100,0 100,0 100 100 100 0,1 0,2 0,2 0,2 0.2 0.1 0 99,9 99,8 99,8 99,8 99.8 99.9 100 0,3 1,2 1,1 0,6 0.9 1.2 1.1 0,3 1,1 1,1 0,5 0.8 1.1 1 0,0 0,0 0,0 0,0 0 0 0 0,0 0,0 0,0 0,0 0 0 0.1 99,6 98,6 98,7 99,3 99 98.7 98.8 78,9 82,4 90,0 71,5 93.5 92.5 71.1 20,7 16,2 8,7 27,8 5.4 6.2 27.7