BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, bahkan kematian. Pada umumnya trauma kepala terjadi akibat kecelakaan lalu lintas dengan kendaraan bermotor, jatuh/tertimpa benda berat (benda tumpul), serangan/kejahatan (benda tajam), pukulan (kekerasan), akibat tembakan, dan pergerakan mendadak sewaktu berolahraga. (Chusid, J.G. 1993). Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian urutan kesebelas di seluruh dunia, menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta manusia setiap tahun.(depkes RI, 2007) Kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan berbagai trauma. Trauma yang paling banyak terjadi pada saat kecelakaan lalu lintas adalah trauma kepala. Trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama disabilitas dan mortalitas di negara berkembang. Keadaan ini umumnya terjadi pada pengemudi motor tanpa helm atau memakai helm yang kurang tepat dan yang tidak memenuhi standar. (Depkes RI, 2009) Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, Case Fatality Rate (CFR) trauma akibat kecelakaan lalu lintas tertinggi dijumpai di beberapa negara Amerika Latin (41,7%), Korea Selatan (21,9%), dan Thailand (21,0%). Menurut Gillian yang dikutip oleh Basuki (2003) di Amerika Serikat terdapat
500.000 kasus cedera kepala setiap tahunnya, kurang lebih 18-30% meninggal dalam 4 jam pertama sebelum sampai ke rumah sakit. (Basuki, 2003) Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang mempengaruhi segala aktivitas manusia, bila terjadi kerusakan akan mengganggu semua sistem tubuh. Penyebab trauma kepala yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%) dan cedera olahraga (10%). Angka kejadian trauma kepala yang dirawat di rumah sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah stroke, dan merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit terbanyak yang dirawat di rumah sakit di Indonesia. (Depkes RI, 2007) Menurut catatan Sistim Administrasi Satu Atap (SAMSAT) Polda Metro Jaya (2006), pada tahun 2002 tercatat 1.220 kejadian kecelakaan, pada tahun 2005 angka kecelakaan mencapai 4.156 kejadian (Insiden Rate Kecelakaan Lalulintas = 1,89 per 100.000 penduduk), dan tahun 2006 tercatat 4.407 kecelakaan, sedangkan menurut catatan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, pada bulan November 2007 terdapat sebanyak 111 kejadian kecelakaan yang mengakibatkan 13 orang meninggal dunia dengan Case Fatality Rate 11,7%. (Depkes RI, 2007) Berdasarkan data Profil Kesehatan Kota Medan penyakit trauma kepala selama kurun waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada peringkat kedua dari 10 penyakit terbesar yang menyebabkan kematian di seluruh rumah sakit kota Medan dengan CFR (4,37%), dan selama kurun waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada peringkat kelima dari 10 penyakit terbesar di seluruh rumah sakit rawat inap kota Medan dengan CFR ( 2,18%) (Depkes RI, 2008) Pada trauma kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi. Sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari dan aphasia disertai gejala mual-muntah. Terdapat ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. Natrium fungsinya sebagai penentu utama osmolaritas dalam darah dan pengaturan volume ekstra sel. Kalium fungsinya mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh. (Usha S et al, 2012) Hipernatremia (kadar natrium darah yang tinggi) adalah suatu keadaan dimana kadar natrium dalam darah lebih dari 145 meq/l darah, akan mengakibatkan kondisi tubuh terganggu seperti kejang akibat dari gangguan listrik di saraf dan otot tubuh. Natrium yang juga berfungsi mengikat air juga mengakibatkan meningkatnya tekanan darah yang akan berbahaya bagi penderita yang sudah menderita tekanan darah tinggi. (Usha S et al, 2012) Penyebab utama dari hipernatremi: trauma kepala atau pembedahan saraf yang melibatkan kelenjar hipofisa, gangguan dari elektrolit lainnya (hiperkalsemia dan hipokalemia), penggunaan obat (lithium, demeclocycline, diuretik), kehilangan cairan yang berlebihan (diare, muntah, demam, keringat berlebihan), anemia, diabetes insipidus. (Usha S et al, 2012) Gejala utama dari hiponatremia merupakan akibat dari kerusakan otak. Hiponatremia yang berat dapat menyebabkan: kebingungan, kejang otot, kejang seluruh tubuh, koma bahkan kematian. (Usha S et al, 2012) Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8 meq/l darah. penderita biasanya mengeluhkan badannya lemas dan tak bertenaga. Hal ini terjadi mengingat fungsi kalium dalam menghantarkan aliran saraf di otot maupun tempat lain. Hipokalemia ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali. Hipokalemia yang lebih berat (kurang dari 3 meq/l darah) bisa menyebabkan kelemahan otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi tidak normal, terutama pada penderita penyakit jantung. (Usha S et al, 2012)
Kadar natrium dan kalium pada 25 orang pasien trauma kepala dalam kelompok usia 18-45 tahun, ditemukan bahwa 4% dari pasien mengalami hipernatremia, 64% subjek penelitian menderita hiponatremia, 4% memiliki hiperkalemia dan 4% dari pasien memiliki hipokalemia. Pasien yang menderita gangguan elektrolit hiponatremia adalah yang paling umum dan paling berbahaya yang harus didiagnosis dan dikoreksi di awal. (Usha S et al, 2012) Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kepala, tetapi dengan berbagai pertimbangan dari berbagai aspek, maka bagian neurologi menganut pembagian sebagai berikut : a. Trauma kepala yang tidak membutuhkan tindakan operatif (95%) terdiri atas : 1. Komosio serebri 2. Kontusio serebri 3. impressi fraktur tanpa gejala neurologis (< 1 cm) 4. Fraktur basis kranii 5. Fraktur kranii tertutup b. Trauma kepala yang memerlukan tindakan operatif (1-5%) 1. Hematoma intra kranial yang lebih besar dari 75 cc Epidural Subdural Intraserebral 2. Fraktur kranii terbuka ( + laserasio serebri) 3. Impressi fraktur dengan gejala neurologis ( > 1 cm) 4. Likuorrhoe yang tidak berhenti dengan pengobatan konservatif Dari beberapa klasifikasi trauma kepala, yang paling banyak terjadi adalah kontusio serebri karena kontusio serebri dapat terjadi karena benturan benda tumpul yang mengakibatkan terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. (Indharty S, 2013)
Secara umum, cedera otak dapat dibagi menjadi cedera fokal dan difus. Klasifikasi sederhana ini memiliki keterbatasan dalam menentukan prognosis pasien dalam kedua kelompok besar tersebut. Walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa angka kematian akibat diffuse brain injury (kontusio serebri) lebih rendah dibandingkan dengan angka kematian akibat cedera otak fokal, akan tetapi dalam kelompok pasien dengan diffuse brain injury (kontusio serebri) sendiri terdapat beberapa pasien yang berisiko tinggi untuk terjadinya tekanan tinggi intrakranial (TTIK) dan angka kematian pada kelompok pasien ini jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok pasien lainnya. ( Indharty S, 2013) Faktor usia merupakan salah satu faktor prognostik yang reliabel untuk meramalkan mortalitas dan morbiditas kontusio serebri. Semakin meningkat usia, semakin besar angka kematian. Risiko keluaran yang buruk paska trauma kepala semakin meningkat mulai usia 45 tahun, dan meningkat tajam setelah usia >55 tahun. Pada usia > 65 tahun, angka kematian meningkat lebih dari dua kali dibandingkan dengan usia < 65 tahun. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa faktor usia memiliki kaitan langsung dengan keluaran paska cedera kepala, dan dengan demikian merupakan faktor prognostik yang bersifat independen (tidak terkait dengan faktor-faktor lainnya). Diduga terdapat suatu karakteristik intrinsik pada otak yang telah mengalami penuaan yang menyebabkan timbulnya fenomena tersebut, walaupun patofisiologinya belum diketahui secara pasti. (Indharty S, 2013) Berdasarkan latar belakang di atas terlihat bahwa trauma kepala, terutama kuntusio serebri perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius, mengingat jumlah kasus yang semakin meningkat. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penelitian tentang kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri di IGD RSUP H. Adam Malik tahun 2012 untuk bisa menentukan penanganan pertama yang harus dilakukan pada penderita kontusio serebri yang berhubungan dengan elektrolitnya.
1.2 Rumusan Masalah Belum diketahuinya gambaran keseluruhan kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri di RSUP H. Adam Malik, Medan tahun 2012. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri di IGD RSUP H. Adam Malik, Medan tahun 2012. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui jumlah penderita kontusio serebri di RSUP H. Adam Malik, Medan 2. Untuk mengetahui jumlah penderita kontusio serebri berdasarkan penyebabnya di RSUP H. Adam Malik, Medan 3. Untuk mengetahui gambaran kadar natrium dan kalium kontusio serebri berdasarkan jenis kelamin di RSUP H. Adam malik, Medan 4. Untuk mengetahui gambaran kadar natrium dan kalium kontusio serebri berdasarkan umur di RSUP H. Adam Malik, Medan 1.4 Manfaat penelitian 1.4.1. Sebagai bahan masukan bagi pihak RSUP H.Adam Malik dalam mengelola penanganan dan perawatan penderita kontusio serebri. 1.4.2. Sebagai bahan untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan kontusio serebri.