BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG World Organization Health (WHO) sejak tahun 1993 mencanangkan bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global emergency). Hal ini dikarenakan tuberkulosis merupakan penyakit yang tergolong ke dalam penyakit yang mudah menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 2012 Indonesia berada di peringkat keempat jumlah kasus tuberkulosis terbesar di dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan. Permasalahan dalam pengendalian tuberkulosis masih sangat besar dan Indonesia masih berkontribusi sebesar 5,8% dari kasus tuberkulosis yang ada di dunia. Tuberkulosis terjadi pada lebih dari 75% usia produktif (15-54 tahun), dalam hal ini kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tuberkulosis cukup besar (WHO, 2013). Sejak tahun 1995 dibuat suatu program nasional untuk menanggulangi kejadian tuberkulosis paru yang disebut strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short Course). Pada tahun 2000 program tersebut diterapkan di seluruh sarana pelayanan kesehatan khususnya Puskesmas dengan tujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian, memutuskan mata rantai penularan, serta mencegah terjadinya multy drug resisten (MDR) (Depkes, 2011). 1
2 Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru yaitu dengan melihat kejadian konversi basil tahan asam (BTA) pada pasien tuberkulosis paru. Kejadian konversi merupakan perubahan yang terjadi pada penderita tuberkulosis paru BTA positif menjadi BTA negatif setelah dua bulan pengobatan. Rendahnya angka konversi pada pasien tuberkulosis merupakan masalah yang sangat perlu diperhatikan, karena menyangkut tentang proses penyembuhan pasien (Senewe, 2002) Keberhasilan pengobatan dapat tercapai bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pasien, namun harus dilihat bagaimana faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku kepatuhan dalam pengobatan. Banyak faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap terapi tuberkulosis paru, termasuk karakteristik pasien, hubungan antara petugas pelayanan dengan pasien, regimen terapi dan sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan (Depkes, 2011). Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Kota Surakarta. Faktor-faktor yang diteliti meliputi sosiodemografis (jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan), efek samping OAT, riwayat penyakit lain, riwayat obat lain, status merokok dan pengawas minum obat (PMO).
3 B. PERUMUSAN MASALAH Faktor-faktor keberhasilan terapi obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru yang akan diteliti meliputi sosiodemografis (jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan), efek samping OAT, riwayat penyakit lain, riwayat obat lain, status merokok dan pengawas minum obat (PMO). Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor - faktor apa sajakah yang mempengaruhi keberhasilan terapi obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Kota Surakarta? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah sosiodemografis (jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan), efek samping OAT, riwayat penyakit lain, riwayat obat lain, status merokok dan pengawas minum obat (PMO) merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Kota Surakarta.
4 D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan : 1. Memberikan pemahaman dan pengertian bagi peneliti tentang pentingnya terapi obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru. 2. Memberikan informasi tentang terapi obat anti tuberkulosis (OAT) di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Kota Surakarta. 3. Dapat memberikan informasi kepada profesional kesehatan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru, sehingga dapat menjadi dasar acuan bagi klinisi dalam pelayanan kesehatan. E. KEASLIAN PENELITIAN Keaslian penelitian terkait faktor-faktor keberhasilan terapi obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru. Tabel 1. Keaslian penelitian terkait keberhasilan terapi OAT Data Penelitian (Senewe, 2002) Cross sectional 215 pasien Hasil Faktor yang mempunyai hubungan bermakna dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di puskesmas adalah penyuluhan kesehatan (p = 0,0000), kunjungan rumah (p = 0,0399), ketersediaan sarana transportasi (nilai p = 0,0000), dan ketersediaan obat tidak ada hubungan bermakna dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di puskesmas (p = 0,6941).
5 (Chung dkk., 2007) Cohort retrospective, 399 pasien (Erawatyningsih dkk., 2012) Case control 21 pasien (Natalia dkk., 2012) Cross sectional 76 pasien (Kwon dkk., 2013) Case control 470 pasien (Yulianto, 2013) Cross sectional retrospective. 100 pasien (Rohmana dan Suhartini, 2014) Case Control 102 pasien (Kwon dkk., 2014) Cohort retrospective, 2.481 pasien (Haris dkk., 2014) Case Control 90 pasien DOT dan pelatihan profesional untuk perawat rumah sakit khusus paru merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan terapi tuberkulosis paru. Umur, jenis kelamin, pendidikan, pelayanan kesehatan, PMO dan jarak rumah dengan rumah sakit mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada pasien tuberkulosis paru. Pasien yang patuh terhadap pengobatan tuberkulosis paru adalah 43 %, ada hubungan antara jarak dan peran keluarga atau PMO dengan kepatuhan berobat, tidak ada hubungan antara faktor sosiodemografis dengan kepatuhan berobat pasien tuberkulosis paru. Pasien tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan OAT mengalami efek samping obat OAT, 21% pada pasien usia tua dan 24% pada pasien usia muda. Pasien laki-laki (57%) dan perempuan (43%), usia >51 tahun yang paling banyak mengalami tuberkulosis (38%). Hasil analisis kepatuhan ditemukan 94% patuh menjalani pengobatan, keberhasilan dicapai sebesar 81% pasien. Variabel tingkat pengetahuan PMO dan penyuluhan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru. Jenis kelamin laki-laki, anemia, dispepnea, penyakit jantung kronis, keganasan, dan unit perawatan intensif (ICU) merupakan faktor prognosis dasar untuk kematian selama pengobatan pasien dewasa tuberkulosis paru di Korea. Pasien yang sedang menjalani pengobatan tuberkulosis paru disarankan untuk tidak merokok.
6 Tabel 1 menunjukkan beberapa penelitian terkait dengan faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat dan keberhasilan terapi pada pasien tuberkulosis paru yang menjalani terapi OAT. Penelitian oleh Yulianto (2013) yang dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta meneliti keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru dengan faktor yang diamati adalah tingkat kepatuhan minum obat pasien, hal tersebut masih terbatas dalam faktor tertentu saja sehingga peneliti ingin melakukan penelitian yang mengamati beberapa faktor yang berkaitan keberhasilan terapi obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis paru di Balai Besar Kesehatan Paru Kota Surakarta. Faktor- faktor yang diteliti meliputi faktor sosiodemografis (jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan), efek samping OAT, riwayat penyakit lain, riwayat obat lain, status merokok dan pengawas minum obat (PMO).