BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya penanggulangan tuberkulosis dimulai pada awal tahun 1990-an Word Health Organization (WHO) dan International Union Against TB and Lung Diseases (IUALTD) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Short-cource (DOTS). Tahun 1993 WHO menyatakan bahwa tuberkulosis merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan tuberkulosis sejak tahun Bank dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Kemenkes RI, 2014). Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan tuberkulosis akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun. Sekitar 75% pasien tuberkulosis adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15 50 tahun), diperkirakan seorang pasien tuberkulosis dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya %. Jika meninggal akibat tuberkulosis, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, tuberkulosis juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes RI, 2014). Fokus utama strategi DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien tuberkulosis tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan tuberkulosis sehingga dapat menurunkan insidens tuberkulosis di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan tuberkulosis. Pada tahun 2013

2 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan adanya strategi baru untuk mengendalikan tuberkulosis yang mampu menahan laju infeksi baru, mencegah kematian akibat tuberkulosis, mengurangi dampak ekonomi akibat tuberkulosis dan mampu meletakkan landasan ke arah eliminasi tuberkolosis. Eliminasi tuberkulosis akan tercapai bila angka insidensi tuberkulosis berhasil diturunkan mencapai 1 kasus per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi tuberkulsis (pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per penduduk. Insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per penduduk dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka tuberkulosis akan memasuki kondisi pra eliminasi pada tahun Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif bagi pengendalian tuberkulosis secara global (Kemenkes RI, 2014). Pada tahun 2013 sekitar 9 juta orang telah terkena tuberkulosis, sementara 1,5 juta orang meninggal dunia. Angka kematian akibat tuberkulosis terus menurun dan telah menurun sebesar 45 persen sejak tahun 1990, untuk mencapai tujuan pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) untuk pengendalian tuberkulosis pencapaian tersebut harus dipertahankan untuk target pencapaian pengurangan sebesar 50 persen dari angka kematian pada tahun Pada saat yang sama, jumlah orang yang terserang penyakit tuberkulosis menurun dengan rata-rata 1,5 persen per tahun, sementara sekitar 37 juta jiwa telah diselamatkan oleh diagnosis dan pengobatan tuberkulosis yang efektif sejak tahun Menurut WHO 10 negara dengan jumlah penemuan kasus baru dan kasus kambuh terbanyak adalah India, Nigeria, Pakistan, Bangladesh, Afrika Selatan, Indonesia, China, Republik Kongo, Ethiopia dan Mozambique (WHO, 2014). Di Indonesia, penyakit tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2013 merupakan ke-6 terbanyak di dunia setelah India, Nigeria, Pakistan, Bangladesh dan Afrika Selatan dengan jumlah pasien sekitar 4% dari jumlah total jumlah pasien tuberkulosis di dunia yaitu 74%. Pada tahun 2013 ditemukan jumlah kasus baru Basil Tahan Asam (BTA) positif sebanyak kasus, menurun bila

3 dibandingkan kasus baru BTA positif yang ditemukan tahun 2012 yang sebesar kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus baru BTA positif di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Menurut jenis kelamin, kasus tuberkulosis paru BTA positif pada laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan yaitu hampir 1,5 kali dibandingkan kasus tuberkulosis paru BTA positif pada perempuan. Pada masing-masing provinsi di seluruh Indonesia kasus BTA positif lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Disparitas paling tinggi antara laki-laki dan perempuan terjadi di Sumatera Utara, kasus pada laki-laki dua kali lipat dari kasus pada perempuan (Kemenkes RI, 2014). Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun. Pada RPJMN maka diharapkan penurunan jumlah kasus tuberkulosis per penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru tuberkulosis paru BTA positif yang ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru BTA positif yang disembuhkan dari 85% menjadi 88%. Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya. Pada tahun target program pengendalian tuberkulosis akan disesuaikan dengan target pada RPJMN II dan harus di sesuaikan dengan target Global tuberkulosis Strategi pasca 2015 dan target Sustainable Development Goals (SDGs). Target utama pengendalian tuberkulosis pada tahun adalah penurunan insidensi tuberkulosis yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2% per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas kurang dari 4-5% pertahun. Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015 (Kemenkes RI, 2014). Kota Semarang dalam melaksanakan program tuberkulosis sudah sesuai dengan program yang sudah di tentukan yaitu program DOTS dan sudah dilaksanakan di semua puskesmas. Kota Semarang terdiri dari 16 kecamatan dan 37 puskesmas dengan kriteria Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) 9 (24,3%)

4 puskesmas, Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) 18 (48,6%) puskesmas dan Puskesmas Satelit (PS) 10 (27,1%) puskesmas. Hasil program tuberkulosis Paru di Kota Semarang dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 1. Pencapaian program tuberkulosis paru Kota Semarang tahun Tahun BTA positif Konversi Tidak Konversi (%) (%) ,0 30, ,0 14, ,0 25, ,0 28, ,7 43, ,0 37,0 Sumber : Seksi P2ML Bidang P2P Dinkes Kota Semarang Berdasarkan tabel 1 di atas angka konversi tuberkulosis paru kasus baru pada tahun 2014 di Kota Semarang adalah sebesar 73,0 % sedangkan target pencapaian angka konversi nasional adalah 80%. Hal ini dimungkinkan disebabkan oleh umur, jenis kelamin, kepatuhan minum obat, efek samping obat, jenis pengawas menelan obat, gradasi hasil pemeriksaan BTA dan penyakit penyerta. Menurut penelitian Gust et.al. (2011), Mota et.al. (2012), Santos et.al. (2014) umur, jenis kelamin dan gradasi hasil pemeriksaan BTA berhubungan dengan gagalnya konversi BTA pada pengobatan tuberkulosis paru setelah pengobatan fase intensif. Menurut penelitian Yao et.al. (2011) kepatuhan minum obat berhubungan dengan gagalnya konversi BTA pada pengobatan tuberkulosis paru setelah pengobatan fase intensif. Efek samping obat berhubungan dengan gagalnya konversi BTA pada pengobatan tuberkulosis paru setelah pengobatan fase intensif (Depkes, 2007). Menurut penelitian Ong ang o et.al. (2014) jenis pengawas menelan obat (PMO) berhubungan dengan gagalnya konversi BTA pada pengobatan tuberkulosis paru setelah pengobatan fase intensif dan menururt penelitian Jepsen et.al. (2013), Kayigamba et.al. (2013) dan Mi et.al. (2013) penyakit penyerta berhubungan dengan gagalnya konversi BTA pada pengobatan tuberkulosis paru setelah pengobatan fase intensif.

5 Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kegagalan konversi basil tahan asam pada pengobatan kasus baru tuberkulosis paru di Kota Semarang. Studi ini diharapkan dapat memberikan gambaran untuk menentukan kebijakan dalam program penanggulangan tuberkulosis paru khususnya di Kota Semarang. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah faktor umur, jenis kelamin, efek samping obat, penyakit penyerta, gradasi hasil BTA, status PMO dan kepatuhan minum obat berhubungan dengan kegagalan konversi basil tahan asam pada pengobatan kasus baru tuberkulosis paru di Kota Semarang? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kegagalan konversi basil tahan asam pada pengobatan kasus baru tuberkulosis paru di Kota Semarang. 2. Tujuan Khusus Mengetahui hubungan faktor umur, jenis kelamin, efek samping obat, penyakit penyerta, gradasi hasil BTA, status PMO dan kepatuhan minum obat berhubungan dengan kegagalan konversi basil tahan asam pada pengobatan kasus baru tuberkulosis paru di Kota Semarang. D. Manfaat Penelitian 1. Untuk perbaikan dalam penatalaksanaan pengobatan tuberkulosis dalam pelaksanaan program tuberkulosis di Kota Semarang 2. Sebagai bahan informasi dalam memberikan informasi ke masyarakat tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kegagalan konversi basil tahan asam

6 pada pengobatan kasus baru tuberkulosis paru dan sebagai acuan memotivasi pasien dalam penyelesaian pengobatan. 3. Bagi penelitian untuk menambah wawasan serta pengetahuan penulis dalam mengimplementasikan teori-teori yang ada pada masa perkuliahan dan untuk dijadikan dasar pengembangan penanggulangan program tuberkulosis paru di tempat kerja.

7 Kayigamba et.al. (2013). E. Keaslian Penelitian Tabel 2. Keaslian penelitian faktor risiko yang berhubungan dengan kegagalan konversi basil tahan asam pada pengobatan kasus baru tuberkulosis paru di Kota Semarang Penulis Judul Metode Persamaan Perbedaan Adherence to tuberculosis Retrospektif treatment, sputum smear cohort study conversion and mortality Mota et.al. (2011). Ong ang o et.al. (2014). Amaliah (2010) Predictor of delayed sputum smear and culture conversion among a portugese population with pulmonary tuberculosis The effects on tuberculosis treatment adherence from utilising community health worker Faktor-faktor yang berhubungan dengan kegagalan konversi penderita TB Paru BTA positif pengobatan fase intensif di Kabupaten Bekasi tahun Retrospektif cohort Retrospektif cohort study Retrospektif Variabel independent: umur, jenis kelamin, gradasi hasil BTA. Retrospektif cohort study Variabel independent; umur, jenis kelamin, gradasi hasil BTA. Retrospektif cohort study Variabel independent: umur, jenis kelamin, jenis PMO Retrospektif cohort study Variabel independent: umur, jenis kelamin, keteraturan minum obat, efek samping obat. Retrospektif cohort (case contol) Variabel independent: efek samping obat, penyakit penyerta, status PMO, kepatuhan menelan obat dan metode case control Variabel independent: penyakit penyerta, efek samping obat, status PMO, kepatuhan menelan obat dan metode case control Variabel independent: efek samping obat, penyakit penyerta, gradasi hasil BTA, kepatuhan menelan obat dan metode case control Variabel independent: gradasi hasil BTA, jenis PMO