TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8-15, April 2017

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

KERAGAAN INFEKSI PARASIT GASTROINTESTINAL PADA SAPI BALI MODEL KANDANG SIMANTRI

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Januari 2015 di Kecamatan

Prevalensi Penyakit Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) dan Sapi Simental di Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan

PREVALENSI DAN JENIS TELUR CACING GASTROINTESTINAL PADA RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DI PENANGKARAN RUSA DESA API-API KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA

SATUAN ACARA PERKULIHAN (SAP)

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SAPI BALI MELALUI PENGENDALIAN PENYAKIT PARASIT DI SEKITAR SENTRA PEMBIBITAN SAPI BALI DI DESA SOBANGAN ABSTRAK

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) Program Studi Kedokteran Hewan

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

BAB 2. TARGET LUARAN BAB 3. METODE PELAKSANAAN

Study Characteristics and Body Size between Goats Males Boerawa G1 and G2 Body in Adulthoodin the Village Distric Campang Gisting Tanggamus

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :41-46 ISSN : Agustus 2009 PREVALENSI INFEKSI CACING TRICHURIS SUIS PADA BABI MUDA DI KOTA DENPASAR

Upaya Peningkatan Kekebalan Broiler terhadap Penyakit Koksidiosis melalui Infeksi Simultan Ookista

Investigasi Keberadaan Cacing Paramphistomum sp. Pada lambung sapi yang berasal dari Tempat Pemotongan Hewan di Kota Gorontalo

Prevalensi Parasit Gastrointestinal Ternak Sapi Berdasarkan Pola Pemeliharaan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar

BAB I PENDAHULUAN. terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di Bali, ternak

Infestasi Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Cacing Lambung (Paramphistomum sp.) pada Sapi Bali Dewasa di Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan industri Olahannya sebagai Pakan Ternak PENGARUH PENYAKIT CACING TERHADAP PRODUKTIVITAS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pengendalian berbasis pada penggunaan obat antelmintik sering gagal untuk

I Putu Agus Kertawirawan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Jl. By Pas Ngurah Rai, Pesanggaran-Denpasar

KECACINGAN TREMATODA Schistosoma spp. PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS

Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p Online at :

INFESTASI PARASIT CACING NEOASCARIS VITULORUM PADA TERNAK SAPI PESISIR DI KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG SKRIPSI. Oleh :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERHADAP KEJADIAN INFEKSI CACING NEMATODA PADA KELOMPOK TERNAK SAPI DI PETANG KECAMATAN PETANG, BADUNG SKRIPSI

Varla Dhewiyanty 1, Tri Rima Setyawati 1, Ari Hepi Yanti 1 1. Protobiont (2015) Vol. 4 (1) :

DERAJAT INFESTASI PARASIT NEMATODA GASTROINTESTINAL PADA SAPI DI ACEH BAGIAN TENGAH Zulfikar 1), Hambal 2) dan Razali 2) ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam

Table of Contents. Articles. Editors. 1. I G. Made Krisna Erawan, Bagian Klinik Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN IMPOR SAPI TERHADAP PERKEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI DI NTB

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP SUSUT BOBOT DALAM PENGANGKUTAN SAPI DARI LAMPUNG KE BENGKULU

PROFIL TITER ANTIBODI Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND) PADA ITIK PEJANTAN DI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU

Identifikasi dan Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Anak Babi di Bali

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Kolokium: Ulil Albab - G

Epidemiologi Helminthiasis pada Ternak Sapi di Provinsi Bali (Epidemiology of Helminthiasis in Cattle in Bali Province )

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN

JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN ANDAM DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

Maulana Aziz a, Muhtarudin b, Yusuf Widodo b ABSTRACT

PARASIT GASTROINTESTINAL PADA SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PROGO YOGYAKARTA. The Gastrointestinal Parasites Cows on Progo Watershed in Yogyakarta

Prevalensi Nematoda pada Sapi Bali di Kabupaten Manokwari

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani²

Peternakan sapi perah umumnya tergabung dalam suatu koperasi. Perhatian dan pengetahuan koperasi terhadap penyakit cacing (helminthiasis) saluran cern

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG MIRA RAMALIA RIANTI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Kambing Peranakan Ettawa di Kecamatan Siliragung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 4(3): , Agustus 2016

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

STATUS NUTRISI SAPI PERANAKAN ONGOLR DI KECAMATAN BUMI AGUNG KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

Table of Contents. Articles. Editors. 1. I G. Made Krisna Erawan, Bagian Klinik Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Laju permintaan daging sapi di Indonesia terus meningkat seiring

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PROFIL TITER ANTIBODI Newcastle Disease (ND) dan Avian Influenza (AI) PADA ITIK PETELUR FASE STARTER DI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU

PRODUKSI KAMBING BOERAWA PROVINSI LAMPUNG THE IDENTIFICATION OF BOERAWA GOAT NUTRITION STATUS IN BOERAWA GOAT PRODUCTION CENTER IN LAMPUNG PROVINCE

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

Protozoa Gastrointestinal: Eimeria Auburnensis dan Eimeria Bovis Menginfeksi Sapi Bali Betina Di Nusa Penida

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

PREVALENSI CACING SALURAN PENCERNAAN SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG. (Skripsi) Oleh HINDUN LARASATI

1. BAB I PENDAHULUAN

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVI, No. 85, Desember 2014 ISSN : X

Transkripsi:

TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG Infestation Rate of The Digestive Fluke on Bali Cattle in Sub-district Pringsewu District Lampung Province Putri Handayani a, Purnama Edy Santosa b dan Siswanto b a The Student of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University b The Lecture of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng Bandar Lampung 35145 Telp (0721) 701583. e-mail: kajur-jptfp@unila.ac.id. Fax (0721)770347 ABSTRACT Research on infestation rate of the digestive fluke on Bali cattle in the Sub-district, Pringsewu District, Lampung Province held in December 2014 and January 2015. The purpose of this research was to determine the infestation rate of the digestive fluke in sub-district, Pringsewu District, Lampung Province. The method used is a survey with proportional random sampling, the stool samples obtained 131 Bali cattle. Analysis of the data used in the study is descriptive. The parameters observed were gastrointestinal worm eggs that Paramphistomum sp., Haemonchus sp., Oesophagustomum sp., Mecistocirrus sp., Cooperia sp., Ascaris sp., Trichostrongylus sp., and Nematodirus sp.. The results of this study showed that the prevalence of Bali Cattle that infected Paramphistomum sp. is 74.05%, Haemonchus sp. is 4.58%, Oesophagustomum sp. is 18.32%, Mecistocirrus sp. is 2.29%, Cooperia sp. is 0.76%, Ascaris sp. is 0.76%, Trichostrongylus sp. is 1.53%, and Nematodirus sp. is 0.76%. (Keywords : Infestation rate, Bali cattle, gastrointestinal worm). PENDAHULUAN Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni 9.665.117,07 sedangkan tahun 2013 yakni 9.798.899,43 (BPS a, 2014). Konsumsi protein hewani asal daging tahun 2011 sebesar 2,75gram/kapita, sedangkan tahun 2012 sebesar 3,41gram/kapita (BPS b, 2014). Dalam memenuhi kebutuhan daging pemerintah berupaya meningkatkan produksi daging sapi, salah satunya dengan mengatasi masalah penyakit cacingan pada sapi. Sapi Bali telah tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia dan berkembang cukup pesat di daerah karena memiliki beberapa keunggulan (Guntoro, 2002). Kendala yang banyak dihadapkan oleh peternak dalam pemeliharaan Sapi Bali adalah infeksi penyakit. Kehadiran fauna parasit terutama cacing pada hewan di peternakan merupakan salah satu permasalahan yang sering dihadapi peternak. Pola pemberian pakan, faktor-faktor lingkungan (suhu, kelembaban, dan curah hujan) serta sanitasi yang kurang baik dapat mempengaruhi berkembangnya parasit khususnya cacing gastrointestinal pada hewan ternak (Dwinata, 2004). Saat ini belum diketahui tingkat infestasi cacing saluran pencernaan pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu. Tidak adanya data tersebut menjadi dasar perlu dilakukannya penelitian ini, sehingga dapat dilakukan langkah lebih lanjut untuk mengatasi dan mencegah infestasi cacing saluran pencernaan Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. MATERI DAN METODE Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan sampel ternak dilakukan secara proporsional. Penyamplingan pada ternak dilakukan dengan cara setiap 100 ekor Sapi Bali diwakili oleh satu peternak pada masing-masing desa yang ada di Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. Total seluruh desa terpilih sampel peternak sebanyak 27 orang. Selanjutnya, untuk mengoreksi sampling tahapan berganda baik pada sampel ternak dan peternak maka jumlah peternak dan ternak dilipatkan empat (Martin dkk., 1987), sehingga jumlah sampel ternak sebanyak 131 ekor Sapi Bali dan 108 peternak. Feses yang sudah diperoleh dikirim ke Laboraturium Balai Veteriner Lampung dalam rantai dingin untuk dilakukan pemeriksaan dengan metode Sedimentasi dan Mc. Master. 127

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Peternak dan Sapi Bali di Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 7 desa yang ada di wilayah Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung pada 108 peternak dengan jumlah Sapi Bali sebanyak 131 ekor, diperoleh hasil sistem pemeliharaan dikandangkan dipilih oleh 47 peternak (43,52%), sedangkan pemeliharaan dikandangkan dan digembalakan dipilh 61 peternak (56,48%). Menurut pendapat peternak bahwa ciri-ciri Sapi Bali yang terinfeksi cacing yakni mencret, mengeluarkan air mata, dan bulu dibagian punggung rontok. Sapi Bali yang terinfestasi penyakit cacingan menurut pendapat peternak yaitu 49 ekor (37,40%), sedangkan Sapi Bali yang tidak/tidak diketahui terserang cacingan 82 ekor (63,60%). Pengobatan obat cacing pernah dilakukan pada 98 ekor (74,81%), sedangkan 33 ekor (25,19%) tidak. B. Hasil Uji Sedimentasi terhadap telur Paramphistomum sp. pada feses Sapi Bali di Hasil uji sedimentasi telur Paramphistomum sp. pada feses Sapi Bali di menunjukkan semua desa terpilih di positif terinfestasi Paramphistomum sp. seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sapi Bali yang positif terinfestasi Paramphistomum sp. di I 5 4 80,00 II 45 29 64,44 IV 5 4 80,00 P. Sari Selatan 12 11 91,67 Keputran 6 1 16,67 P. Rejo 54 46 85,19 P. Rejo Utara 4 2 50,00 131 97 74,05 Tabel 1 dapat diketahui bahwa Sapi Bali yang positif terinfestasi Paramphistomum sp. yakni 97 dari 131 ekor yang diteliti. Sapi Baliyang positif terinfestasi Paramphistomum sp. di sebesar 74,05% dan Sapi Bali yang negatif terinfestasi Paramphistomum sp. sebesar 25,95%. Tingginya infestasi Paramphistomum sp. pada Desa Pandan Sari Selatan kemungkinan dikarenakan pemberian obat cacing yang kurang baik. Dari seluruh sampel, 75% Sapi Bali dari desa tersebut diberikan obat cacing 2 tahun yang lalu. Menurut Anonim (2004), program pemberian anthelminthika sebaiknya dilakukan sejak sapi baru berumur 7 hari dan diulang secara berkala setiap 3 4 bulan sekali guna membasmi cacing secara tuntas. Infestasi terendah terdapat di Desa Keputran diduga karena keadaan desa ini yang tidak banyak area persawahan dan populasi Sapi Bali. Desa Keputran cenderung sedikit dibandingkan desa lainnya di. Minimnya area persawahan dapat mengurangi peluang berkembangnya siput Planarbis sebagai inang perantara sehingga menekan siklus hidup Paramphistomum sp. yang memerlukan inang perantara. Menurut Sugama dan Suyasa (2011), Infestasi Paramphistomum sp. disebabkan oleh pengambilan sampling yang dilakukan pada daerah basah atau pakan yang berasal dari lahan persawahan sehingga memungkinkan perkembangan cacing ini yang memerlukan hospes perantara (siput air). C. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur Haemonchus sp. pada feses Sapi Bali di Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa 3 desa terinfestasi Haemonchus sp. yakni Desa II, Pandan Sari Selatan, dan Panggung Rejo. Desa yang tidak terinfestasi Haemonchus sp. yakni I, IV, Keputran, dan Panggung Rejo Utara. Tabel 2. Sapi Bali yang positif terinfestasi Haemonchus sp. pada setiap desa terpilih di II 45 2 4,44 P. Sari Selatan 12 1 8,33 P. Rejo 54 3 5,56 131 6 4,58 Infestasi Haemonchus sp. tertinggi terdapat pada Desa Pandan Sari Selatan. Hal ini diduga karena 75% dari sampel Sapi Bali yang diambil fesesnya, diberikan obat cacing 2 tahun 128

yang lalu. Pemberian obat cacing yang kurang rutin ini dapat mengakibatkan adanya infestasi Haemonchus sp. Infestasi Haemonchus sp. terendah terdapat pada Desa I, IV, Keputran, dan Panggung Rejo Utara. Hal ini diduga karena populasi di desa tersebut yang cenderung rendah, yang memungkinkan rendahnya populasi di area penggembalaan. Pernyataan tersebut berkaitan dengan populasi sapi Bali di area penggembalaan, semakin tinggi populasi di area penggembalaan maka semakin tinggi peluang untuk terinfestasi cacing saluran pencernaan. Seperti yang dikatakan oleh Purwanta (2012), salah satu hal yang dapat memungkinkan Sapi Bali terserang cacing saluran pencernaan adalah populasi Sapi Bali meningkat dalam satu area penggembalaan. D. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur Oesophagustomum sp. pada feses Sapi Bali di Sapi Bali yang terinfestasi Oesophagustomum sp. hampir terdapat pada semua desa di, terkecuali pada Desa I. Sapi Bali yang positif terinfestasi Oesophagustomum sp. 24 ekor dari 131 ekor yang diteliti seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Sapi Bali yang positif terinfestasi Oesophagustomum sp. pada setiap desa terpilih di II 45 9 20,00 IV 5 1 20,00 P. Sari Selatan 12 1 8,33 Keputran 6 1 16,67 P. Rejo 54 10 18,52 P. Rejo Utara 4 2 50,00 131 24 18,32 Tingginya infestasi di Desa Panggung Rejo Utara kemungkinan karena Sapi Bali di desa tersebut tidak pernah diberikan obat cacing. Pemberiaan obat cacing berguna sebagai pemberantasan cacing tidak dilakukan, ditunjang dengan tidak adanya tindakan pencegahan (Mustika dan Riza, 2004). Rendahnya prevalensi terdapat pada Desa I diduga karena Sapi Bali di desa ini telah diberikan obat cacing 3 bulan yang lalu sebagai tindakan pengendalian. Seperti yang dikemukakan Larsen (2000), program pencegahan dan pengendalian nematodiasis pada ternak perlu dilakukan demi meningkatkan kesehatan dan produktivitas ternak, salah cara dengan pemberian obat cacing/anthelmethika. Obat cacing digunakan untuk membasmi atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. E. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur Mecistocirrus sp. pada feses Sapi Bali di Hasil uji Mc. Master menunjukkan hanya 3 desa di yang positif terinfestasi telur Mecistocirrus sp. yakni I, Pandan Sari Selatan, dan Panggung Rejo. Desa yang tidak terinfestasi cacing Mecistocirrus sp. yaitu I, IV, Keputran, dan Panggung Rejo Utara Tabel 4. Sapi Bali yang positif terinfestasi Mecistocirrus sp. pada setiap desa terpilih di II 45 1 2,22 P. Sari Selatan 12 1 8,33 P. Rejo 54 1 1,85 131 3 2,29 Infestasi Mecistocirrus sp. pada Sapi Bali tertinggi terdapat pada Desa Pandan Sari Selatan. Hal ini diduga karena tindakan pemberantasan penyakit cacingan yang kurang baik di Desa Pandan Sari Selatan. Sapi Bal Infestasi Mecistocirrus sp. pada Sapi Bali tertinggi terdapat pada Desa Pandan Sari Selatan. Hal ini diduga karena tindakan pemberantasan penyakit cacingan yang kurang baik di Desa Pandan Sari Selatan. Sapi Bali yang berada pada Desa Pandan Sari Selatan 75% diberikan obat cacing 2 tahun yang lalu. Infestasi terendah terdapat pada Desa I, IV, Keputran, dan Panggung Rejo Utara yakni dengan tidak adanya Sapi Bali yang terinfestasi Mecistocirrus sp. Hal ini diduga karena populasi di desa tersebut yang cenderung rendah, yang memungkinkan rendahnya populasi di area penggembalaan. Pernyataan tersebut berkaitan dengan populasi Sapi Bali di area penggembalaan, semakin tinggi populasi di area penggembalaan maka semakin 129

tinggi peluang untuk terinfestasi cacing saluran pencernaan. F. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur Cooperia sp. pada feses Sapi Bali di Sapi Bali yang terinfestasi Cooperia sp. di yakni 1 ekor dari 131 ekor yang diuji. Desa II merupakan desa yang terinfestasi Cooperia sp. seperti yang terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Sapi Bali yang positif terinfestasi Cooperia sp. pada setiap desa terpilih di II 45 1 2,22 P. Rejo 54 0 0,00 131 1 0,76 Sapi Bali yang terinfestasi Cooperia sp. memiliki umur 8 bulan yang dapat diartikan bahwa sapi belum mencapai dewasa tubuh sehingga rentan terhadap larva Cooperia sp. yang masuk ke dalam tubuh sapi. Hal ini sesuai yang diungkapkan Soulsby (1986), pedet akan lebih rentan terhadap infestasi cacing dibanding dengan sapi dewasa hal ini berkaitan dengan belum meningkatnya sel - sel goblet dalam usus yang menghambat pertumbuhan larva inektif parasit nematoda. G. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur Ascaris sp. pada feses Sapi Bali di Desa II merupakan desa yang terinfestasi Ascaris sp. seperti yang terlihat pada Tabel 6. Telur Ascaris sp. sanggup hidup di luar sampai 5 tahun, namun hanya 1 Sapi Bali yang terinfestasi telur cacing ini. Hal ini diduga karena Sapi Bali yang terinfestasi merupakan pedet yang masih berumur 3 bulan sehingga daya tahan tubuh yang dimiliki belum kuat untuk melawan telur Ascaris sp. yang masuk ke dalam tubuh pedet. Levine (1990) menjelaskan anak sapi lebih peka terhadap infeksi parasit dari pada sapi dewasa Tabel 6. Sapi Bali yang positif terinfestasi Ascaris sp. pada setiap desa terpilih di II 45 1 2,22 P. Rejo 54 0 0,00 131 1 0,76 H. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur Trichostrongylus sp. pada feses Sapi Bali di Sapi Bali di yang positif terinfestasi Trichotrongylus sp. serbanyak 2 ekor dari 131 ekor yang diteliti yang terdapat di Desa II dan Panggung Rejo seperti yang terlihat pada Tabel 7. Tabel 7. Sapi Bali yang positif terinfestasi Trichotrongylus sp. pada setiap desa terpilih di II 45 1 2,22 P. Rejo 54 1 1,85 131 2 1,53 Infestasi Trichotrongylus sp. tertinggi terdapat pada Desa II sebanyak 1 ekor dari 45 ekor yang diteliti. Trichostrongylus sp. tergolong cacing gilig atau nematoda sehingga disebut nematoda gastrointestinal (Anon, 1990). Lebih spesifik lagi cacing ini digolongkan cacing rambut karena ukurannya yang kecil. Patogenitas pada hewan muda lebih hebat dari pada hewan dewasa (Noble dan Noble,1989). Hal ini diduga menjadi penyebab adanya infestasi di desa II. Seperti yang dibuktikan dengan kuisioner bahwa Sapi Bali yang terinfeksi 130

berumur 6 bulan, dalam hal ini sapi tergolong ternak muda. Menurut Kadarsih dan Sawitri (2004), proses nematodiasis gastrointestinal juga sangat dipengaruhi oleh faktor umur terutama pada ternak lebih muda. Pedet lebih rentan terhadap nematodiasis dibanding dengan sapi dewasa hal ini berkaitan dengan belum meningkatnya sel-sel goblet dalam usus yang menghambat pertumbuhan larva infektif parasit nematoda. I. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur Nematodirus sp. pada feses Sapi Bali di terdapat infestasi Nematodirus sp. sebanyak 1 ekor dari 131 ekor yang diteliti seperti yang terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Sapi Bali yang positif terinfestasi Nematodirus sp. pada setiap desa terpilih di II 45 0 0,00 P. Rejo 54 1 1,85 131 1 0,76 Desa Panggung Rejo positif terinfestasi Nematodirus sp. (Tabel 8) sebanyak 1 ekor Sapi Bali. Adanya infestasi di desa Panggung Rejo diduga dikarenakan terdapat banyak tempat penggembalaan mengakibatkan berkembangnya telur Nematodirus sp. Sesuai dengan pernyataan Williamson dan Payne (1993) bahwa vegetasi yang menjadi makanan dan tempat berlindung induk semang, baik efinitive atau intermediet berpengaruh besar pada populasi parasit, termasuk air. Jenis-jenis telur cacing yang ditemukan (Tabel 9) prevalensi yang tertinggi yakni Paramphistomum sp. (74,05%) sesuai dengan pendapat Widjajanti (2004) Paramphistomum sp. adalah spesies trematoda yang umum ditemukan di Indonesia. Banyaknya cacing nematoda yang ditemukan dikarenakan siklus hidup nematoda pada ruminansia bersifat langsung tanpa membutuhkan hospes intermediet sehingga intensitas nematoda pada sapi cukup tinggi (Bowman dan Georgi, 2009). J. Kondisi Umum Tingkat Infestasi Cacing Saluran Pencernaan di Hijauan yang diberikan pada pemeliharaan secara dikandangkan maupun dikandangkan dan digembalakan berasal dari kebun maupun areal sekitar sawah. Sapi Bali sebagian besar digembalakan di sawah, namun dikarenakan saat pengambilan data sedang musim hujan dan musim tanam menyebabkan sapi dipelihara secara dikandangkan dan hanya beberapa sapi yang digembalakan di kebun dan lapangan. Penggembalaan di sawah, kebun, dan lapangan sangatlah rentan terjadinya infeksi. Jika diantara sapi yang digembalakan ada yang positif terinfeksi cacing, maka keadaan lahan penggembalaan tersebut akan menjadi tempat yang baik bagi berkembangnya berbagai jenis cacing. Keadaan yang demikian dimanfaatkan oleh telur-telur cacing untuk tumbuh menjadi metasercaria dan akhirnya menjadi larva yang infektif. Levine (1990) menjelaskan bahwa populasi nematoda pada ternak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kelembaban dan vegetasi. Hijauan yang diberikan pada Sapi Bali 100% adalah hijauan segar tanpa proses pelayuan. Hijauan segar yang diberikan menjadi salah satu faktor penyebab tingginya infestasi cacing saluran pencernaan pada Sapi Bali akibat pencemaran larva pada hijauan. Hal ini sesuai dengan pendapat Subronto dan Tjahajati (2001) menyebutkan bahwa kebanyakan jenis parasit gastrointestinal masuk ke dalam tubuh hospes definitif melalui mulut dari pakan yang tercemar larva. Musim hujan juga diduga menjadi penyebab infestasi cacing saluran pencernaan pada Sapi Bali dikarenakan keadaan lingkungan yang semakin lembab sehingga menunjang perkembangan cacing saluran pencernan di. Hal ini sesuai dengan pendapat Jumaldi dan Wijayanti (2010), bahwa musim hujan, kelembaban udara yang tinggi, dan temperatur yang rendah adalah kondisi yang disukai oleh cacing parasit untuk berkembang. Menurut Egido dkk. (2001) dan Levine (1990) prevalensi parasit pada ternak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain letak geografis, kondisi lingkungan, kualitas kandang, sanitasi dan higiene, kepadatan kandang, temperatur, humiditas, dan vegetasi. Sanitasi yang dilakukan peternak di 95,37% dilakukan satu kali sehari, sedangkan 3,7% dilakukan satu kali seminggu, dan 0,93% tidak pernah melakukan sanitasi kandang. Sebagian besar sanitasi yang dilakukan peternak di kurang baik dikarenakan feses yang dibersihkan dari kandang dibuang di area sekitar kandang sehingga menyebabkan keadaan kandang menjadi lembab. Ditunjang 131

dengan lingkungan kandang yang sebagian besar terletak di dekat sawah maupun kebun sehingga mempercepat perkembangan cacing saluran pencernaan. Tabel 9. Sapi Bali yang positif terinfestasi cacing saluran pencernaan di PRM OPG COO TCT HMC MEC ASS NMT I 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 II 20,00 2,22 2,22 4,44 2,22 2,22 0,00 20,00 IV 20,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 20,00 Pandan Sari Selatan 8,33 0,00 0,00 8,33 8,33 0,00 0,00 8,33 Keputran 16,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 16,67 Panggung Rejo 18,52 0,00 1,85 5,56 1,85 0,00 1,85 18,52 Panggung Rejo Utara 50,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 50,00 74,05 18,32 0,76 1,53 4,58 2,29 0,76 0,76 Keterangan : PRPS: Paramphistomum sp. HMC : Haemunchus sp. OPG : Oesophagustomum sp. MEC : Mecistocirrus sp. COO : Cooperia sp. ASS : Ascaris sp. TCT : Trichostrongylus sp. NMT : Nematodirus sp. Sapi Bali yang berada di yang mengikuti pengobatan yang diadakan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Pringsewu sebesar 74,81%, sedangkan 25,19% tidak mengikuti. Waktu pengobatan yang dilakukan berbeda-beda pada setiap desa yakni 2 tahun yang lalu, 6 bulan yang lalu dan 4 bulan yang lalu. Pengobatan yang dilakukan tidaklah rutin sehingga pengendalian infeksi cacingan pada Sapi Bali kurang efektif. Menurut Anonim (2004), pemberantasan cacingan dapat dilakukan dengan menggunakan anthelminthika, program pemberian anthelminthika sebaiknya dilakukan sejak sapi baru berumur 7 hari dan diulang secara berkala setiap 3 4 bulan sekali guna membasmi cacing secara tuntas. Pendidikan peternak di sebagian besar berijazah SMP 56,48%. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab tingginya infestasi di. Pendidikan mempengaruhi pemahaman dalam menerima informasi dalam beternak sapi yang baik. Seperti yang dikatakan oleh SDKI (1997), tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi seseorang untuk menerima ide dan teknologi baru. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Sapi Bali di yang terinfestasi cacing saluran pencernaan baik tunggal maupun campuran sebesar 83,97%, sedangkan yang tidak terinfestasi sebesar 16,03%. Infestasi tertinggi terdapat di Desa Pandan Sari Selatan dengan prevalensi 100%. SARAN Saran yang ingin disampaikan peneliti kepada peternak adalah untuk melakukan pemberian obat cacing secara rutin sesuai dengan petunjuk dokter hewan; dan kepada pihak yang berwenang (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu) diharapkan dapat melakukan penyuluhan tentang cara pemeliharaan sapi yang baik. DAFTAR PUSTAKA Ahmad R.Z. 2008. Beberapa Penyakit Parasitik dan Mikotik pada Sapi Perah yang Harus Diwaspadai. Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Balai Besar Penelitian Veteriner. Bogor Anon. 1990. Beberapa Penyakit Penting Pada ternak. Seri Peternakan.Proyek Pengembangan Penyuluhan Pertanian Pusat / NAEP. Balai Informasi Pertanian Daerah Istimewa Aceh. Departemen Pertanian Anonim, 2013.Penyakit Cacingan pada Sapi. http:info//medion.co.id/index.php/artik el/hewan-besar/penyakit/cacingan-pada sapi. Diakses 24 Januari 2015 Anonim. 2004. Ivermectin.http://cal.vet.upenn. ed u/dxendopar/drug%20pages/fenben dazole.htm. Diakses 24 Januari 2015 Badan Pusat Statistika a. 2014. Produk Domestik 132

Bruto. http://bps.go.id. Diakses pada 28 Oktober 2014 Badan Pusat Statistik b. 2014. Rata-rata Konsumsi Protein (gram) per Kapita. http://www.bps.go.id/. Diakses pada 23 Desember 2014 Bowman, D.D. and J.R. Georgi. 2009. Georgi s Parasitology for Veterinarians. Elsevier Health Sciences. United Kingdom Dwinata, M.I. 2004. Cacing Nematoda pada Rusa yang Ditangkarkan. Jurnal Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Bali Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta Jumaldi dan A. Wijayanti. 2010. dan Jenis Telur Cacing Gastrointertinal pada Rusa Sambar di Penangkaran Rusa Desa Api-Api Kabupaten Penajam Paser Utara. Jurusan Biologi FMIPA. Universitas Mulawarman Kadarsih dan Siwitri. 2004. Performans Sapi Bali berdasarkan ketinggian tempat di daerah transmigrasi Bengkulu: Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia vol. 6 Larsen, M. 2000. Prospect for controlling animal parasitic nematodes by predacious micro fungi. Parasitology. 120: S121-S131 Levine, N.D. 1990. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Mustika, I dan Z. A. Riza. 2004. Peluang pemanfaatan jamur Nematofagus untuk mengendalikan Nematoda parasit pada tanaman dan ternak. Jurnal Litbang Pertanian, 23(4): 115 Noble, E.R. and G.A. Noble. 1989. Parasitology Biology Parasit Hewan Edisi Kelima, Terjemahan Parasitology The Biology Of Animal Parasites Second Edition Oleh Wardianto. Gadjah Mada Universitas Press. Yogyakarta Purwanta. 2012. Penyakit Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Bali. Unit Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (UPPM). Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STTP). Gowa, 5(1):1858:4330 SDKI. 1997. Pengaruh Kondisi Lingkungan terhadap Kematian Anak. Tesis : Program Studi Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Program Pascasarjana Universitas Indonesia Soulsby, E.J.L. 1986. Helminths, Arthopods and Protozoa of Domesticated Animal. Ed ke-7. Bailliere Tidall. London Subronto dan I. Tjahajati, 2004. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) II, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Sugama, I. N. dan I.N. Suyasa. 2011. Keragaan Infeksi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Bali Model Kandang Simantri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Urquhart, G.M., J. Armour, J.L. Duncan, A.M. Dunn, and F. W. Jennings 1996. Veterinary Parasitology 2nd Edition. ELBS. England Widjajanti, S. 2004. Fasciolosis pada manusia: mungkinkah terjadi di Indonesia. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia. 14(2): 65-72 Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press (diterjemahkan oleh Darmadja SGND). Yogyakarta 133