I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan)

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

HUBUNGAN TIGA PILAR AGAMA HINDU DILIHAT DARI ASPEK EKONOMI 1 I Made Sukarsa 2

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

UPACARA NGEREBEG DI PURA DUUR BINGIN DESA TEGALLALANG, KECAMATAN TEGALLALANG KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD)

RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si. Art Exhibition

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III PENYAJIAN DATA. 1. Sejarah Berdirinya Pura Tirtha Gangga Suraba. dalam Islam disebut dengan musholla. Pada waktu itu dibangunlah Pura yang

Keindahan Desain Tamiang, Menghiasi Hari Raya Kuningan di Desa Penarungan

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB III DESKRIPSI HASIL PENELITIAN. Secara geografis lokasi penelitian ini berada di Jl. Ketintang Wiyata

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

BAB IV ANALISIS DATA. A. Makna Ritual Tilem di Pura Pasraman Saraswati Tiga

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh Pande Wayan Setiawati Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

DUDONAN UPAKARA/UPACARA LAN RERAHINAN SUKA DUKA HINDU DHARMA BANJAR CILEDUG DAN SEKITARNYA TAHUN 2015

PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015

3. Pengertian Hukum Karmaphala dalam Ajaran Agama Hindu adalah

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Sembahyang merupakan semacam wadah bersama masyarakat, yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. dasarkan bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan

MELASTI (Upacara Ritual Masyarakat Hindu) SKRIPSI

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I

TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu)

1. PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang

BAB I GAMBARAN UMUM KELUARGA

Oleh Ni Putu Ayu Putri Suryantari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

(Perspektif Teologi Hindu)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan

BAB I PENDAHULUAN. B. Pokok Permasalahan.

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya memiliki tingkatan yakni, dari masa anak anak,

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM PENEMPATAN PATUNG GANESHA DI DESA MANISTUTU KECAMATAN MELAYA KABUPATEN JEMBRANA

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Bali (2012:10) konsep dan definisi yang

JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU 68

UPACARA BAYUH OTON UDA YADNYA DI DESA PAKRAMAN SIDAKARYA KECAMATAN DENPASAR SELATAN KOTA DENPASAR

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Desa Trimulyo Mataram telah terbentuk sejak tanggal 21 Juni Penduduk

Kata Kunci: Lingga Yoni., Sarana Pemujaan., Dewi Danu

I Ketut Sudarsana. > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari

MIMAMSA DARSANA. Oleh: IGN. Suardeyasa, S.Ag dkk

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENYAJIAN DATA. A. Pelaksanaan Kenduri Arwah sebagai rangkaian dari ritual kematian dalam

TERITORI RUANG RITUAL PADA PURA LUHUR DWIJAWARSA MALANG

Aplikasi Pembelajaran Membuat Ketupat dengan Animasi Model 3D Berbasis Android

Putu Weddha Savitri Jurusan Sastra Inggris Universitas Udayana Abstrak

REALISASI TOLERANSI ANTAR UMAT HINDU DAN BUDDHA DI PURA PUSERING JAGAT PANCA TIRTA DESA PAKARAMAN

BAB I PENDAHULUAN. Negara menjamin setiap warga untuk memeluk agama masing-masing dan

BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA

DESKRIPSI PEMELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU

PEMBANGUNAN APLIKASI MOBILE PEMBELAJARAN MANTRA HARI RAYA HINDU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. hari suci tersebut seperti yang dikemukakan Oka (2009:171), yaitu. Hal ini didukung oleh penjelasan Ghazali (2011:63) bahwa dalam

MAKALAH : MATA KULIAH ACARA AGAMA HINDU JUDUL: ORANG SUCI AGAMA HINDU (PANDHITA DAN PINANDITA) DOSEN PEMBIMBING: DRA. AA OKA PUSPA, M. FIL.

PEMENTASAN WAYANG LEMAH PADA UPACARA CARU BALIK SUMPAH DI DESA PAKRAMAN KENGETAN KECAMATAN UBUD KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

Oleh Ni Komang Sri Adnyani Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

D. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA

TRADISI NYAAGANG DI LEBUH PADA HARI RAYA KUNINGAN DI DESA GUNAKSA KECAMATAN DAWAN KABUPATEN KLUNGKUNG (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

BAB IV ANALISA DATA PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA AJARAN AWATARA DALAM AGAMA HINDU DAN TASHAWUF ISLAM

BAB IV HASIL PENELITIAN. Desa Rotan Mulya. Selatan Desa Mulya Jaya. Desa Balian Makmur. Desa Kemang Indah. (sumber arsip desa Mataram Jaya)

KOMUNIKASI SIMBOLIK DALAM TRADISI CARU PALGUNA DI DESA PAKRAMAN KUBU KECAMATAN BANGLI KABUPATEN BANGLI

Jadi keenam unsur kepercayaan (keimanan) tersebut di atas merupakan kerangka isi Dharma (kerangka isi Agama Hindu). Bab 4 Dasar Kepercayaan Hindu

PEMENTASAN TARI RATU BAKSAN DI PURATAMPURYANG DESA PAKRAMAN SONGAN KECAMATAN KINTAMANI KABUPATEN BANGLI (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

SKRIP KARYA SENI GENITRI OLEH: I PUTU GEDE WAHYU KUMARA PUTRA NIM: PROGRAM STUDI S-1 SENI KARAWITAN JURUSAN SENI KARAWITAN

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG, RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, MANFAAT PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam kehidupan didasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya.

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E)

JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU 89

BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT Nomor: 05/Bhisama/Sabha Pandita PHDI/VIII/2005 Tentang

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku, ras, budaya, dan agama. Salah satu di antaranya adalah suku Bali yang memiliki beragam wujud kegiatan keagamaan, kebudayaan, serta tradisi. Suku Bali tersebar hampir di setiap pulau yang ada di Indonesia, dan pulau Bali merupakan tempat populasi suku Bali terbanyak di Indonesia, hal ini disebabkan karena pulau Bali merupakan daerah asal suku Bali. Suku Bali merupakan suku yang sangat identik dengan upacara adat dan kegiatan persembahyangan, hal ini sesuai dengan pernyataan dari Van Den Breg (dalam Komang Pujiana 2012:1), bahwa hukum adat masyarakat, golongan, atau bangsa adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan, masyarakat, atau bangsa tersebut. Dengan kata lain, hukum (adat) suatu golongan, masyarakat, atau bangsa adalah hasil penerimaan bulat-bulat dari hukum (agama) yang dianut oleh golongan masyarakat yang bersangkutan, termasuk penganut agama Hindu bagi masyarakat Bali, dan hukum agama selalu akan menjadi pengikat bagi masyarakat yang melanggar ajaran agama pada setiap kegiatan persembahyangan yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali.

2 Di dalam berbagai kegiatan keagamaan, diperlukan rasa kebersamaan di internal suku Bali itu sendiri. Hal ini disebabkan karena setiap kegiatan persembahyangan yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali tidak hanya cukup dengan beribadah saja, namun harus menyiapkan bebantenan atau sesajen. Selain itu, kegiatan persembahyangan tersebut juga terkait dengan berbagai kegiatan, ataupun nilai sakral dan religius dari pelaksanaan kegiatannya, sehingga tidak mengherankan jika banyak masyarakat yang berpendapat bahwa kegiatan persembahyangan yang dilakukan oleh masyarakat Bali dilaksanakan secara begitu sakral dan hikmat, serta menyita banyak waktu dan mempengaruhi tingkat kehadiran mereka. Masyarakat Bali sendiri memiliki berbagai kegiatan keagamaan yang merupakan simbolisasi ketaatan masyarakat Bali kepada Tuhan yang diyakininya sebagai pemberi hidup dan kekuatan. Salah satu momentum yang rutin dilakukan ialah kegiatan persembahyangan Purnama dan Tilem. Upacara persembahyangan ini oleh masyarakat Hindu dipandang sebagai simbolisasi kepada Tuhan yang memberikan peringatan kepada segenap manusia akan adanya Rwa Binneda atau dua sisi yang saling bertentangan dalam kehidupan. Dalam setahun terdapat 12 kali bulan purnama dan 12 kali bulan baru (tilem). Sebanyak itu pula, umat Hindu melaksanakan puja persembahyangan kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Di saat Purnama dan Tilem, masyarakat Bali mempersembahkan sajen utama berupa canang sari, cemper, pesucian, dan daksina di pelinggih utama. Canang sari adalah simbol dari ketiga lapis badan manusia yang disebut Tri Sarira, yakni badan kasar, badan halus, dan Atman (Jiwa Suci), yang berisi plawa,

3 porosan, bunga, borat wangi, dan beras kuning, sedangkan cemper adalah alas canang sari yang berisi pisang mas, rengginang, opak, tebu, nasi, saur, beras kuning, geti-geti, dan lenga wangi yang menyimbulkan elemen-elemen badan kasar manusia yang berasal dari Panca Maha Butha dalam beragam wujud. Selanjutnya duras bundar adalah simbul badan halus kita, kesadaran bawah sadar, mental dan pikiran, sedangkan bunga-bunga harum yang disusun di atas duras menyimbulkan keindahan Jiwa Atman. Ketiga lapis badan manusia inilah yang disebut Bhuwana Alit. Pesucian adalah sarana yang digunakan sebagai simbol pembersihan untuk menyucikan badan, pikiran, dan jiwa manusia, sedangkan daksina adalah simbul alam semesta atau Bhuwana Agung serta tempat melinggihnya dan juga simbul kebesaran Hyang Widhi (Titib, 2003 :2). Hari Purnama, sesuai dengan namanya, jatuh pada setiap bulan penuh (sukla paksa), sedangkan hari Tilem dirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (krsna paksa). Pada hari Purnama dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Chandra, sedangkan pada hari Tilem dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Surya. Keduanya merupakan manifestasi dari Hyang Widhi yang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (mala). Pada kedua momen ini, umat Hindu wajib mengadakan upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya. Kombinasi Purnama dan Tilem ini merupakan penyucian terhadap Sang Hyang Rwa Bhinneda, yaitu Sang Hyang Surya dan Chandra. Pada waktu gerhana bulan, Beliau dipuja dengan Candrastawa (Somastawa), dan pada waktu gerhana matahari Beliau dipuja sebagai Suryacakra Bhuwanasthawa. Pada hari suci

4 Purnama dan Tilem ini biasanya umat Hindu menghaturkan daksina dan canang sari pada setiap Pelinggih Utama (Pura Merajan atau Sanggah) dan Pelangkiran yang ada di setiap rumah. Untuk Purnama atau Tilem yang mempunyai makna khusus, biasanya ditambahkan dengan Banten Sesayut (Niken Tambang 2004:10). Pada umumnya umat Hindu sangat yakin akan kesucian yang tinggi dari hari Purnama sehingga hari itu disebut dengan kata devasa ayu. Oleh karena itu, setiap datangnya hari-hari suci yang bertepatan dengan hari Purnama maka pelaksanaan upacaranya disebut nadi. Tetapi sesungguhnya tidak setiap hari Purnama disebut devasa ayu, tergantung juga dari patemon dina dalam perhitungan wariga. Contohnya seperti hari Kajeng Kliwon (yang jatuh pada hari Sabtu), nemu (bertemu) Purnama, maka hari itu disebut, hari berek tawukan. Di dalam lontar Purwana Tattwa Wariga diungkapkan antara lain: Risada kala patemon Sang Hyang Gumawang kelawan Sang Hyang Maceling, mijil ikang prewateking devata muang asparasi, saking swarga loka, purna masa ngaran, yang artinya, Sang Hyang Siva Nirmala (Sang Hyang Gumawang) yang beryoga pada hari purnama, menganugrahkan kesucian dan kerahayuan (Sang Hyang Maceling) terhadap seisi alam, sehingga Hyang Siva mengutus para deva beserta para apsari turun ke dunia untuk menyaksikan persembahan umat manusia (umat Hindu) kehadapan Sang Hyang Siva. Oleh karena itulah ada hari-hari suci tertentu yang kemudian disebut piodalan nadi, Galungan Nadi, dan lain-lain. Pada momen seperti ini, biasanya ada penambahan terhadap volume upakaranya, disamping itu karena Hyang Siva merupakan devanya sorga, maka umat Hindu selalu tekun menghaturkan

5 persembahan serta memuja Hyang Siva setiap datangnya hari Purnama, dengan harapan agar nantinya setelah ia meninggal, rohnya bisa diberikan tempat di Sorga, atau kembali ke alam mokshah. Sedangkan persembahan pada hari Tilem dimaksudkan agar umat Hindu yang tekun melaksanakan persembahan dan pemujaan, maka ketika meninggal rohnya tidak diberikan jalan yang sesat (neraka), namun sebaliknya akan diberikan jalan ke swarga loka oleh Sang Hyang Yamadipati jika selalu menjalankan kesucian diri dengan tulus ikhlas (Lontar Purwana Tattwa Wariga). Menurut sastra Hindu yang tertuang dalam Lontar Purwa Gama, umat Hindu diharapkan selalu ingat melaksanakan suci laksana, khususnya pada hari Purnama dan hari Tilem, dengan maksud untuk mempertahankan serta meningkatkan kesucian diri, terutama para Wiku, untuk mensejahterakan alam beserta isinya karena semua mahluk akan kembali ke hadapan yang Maha Suci, tergantung dari tingkat kesucian dan juga keikhlasan diri masing-masing (Dewi 2008:15). Ada hari-hari utama dalam penyelenggaraan upacara persembahyangan (sejak dulu hingga sekarang) yang sama nilai keutamaanya, yaitu hari Purnama dan Tilem. Pada hari Purnama, bertepatan dengan Sang Hyang Candra beryoga, dan pada hari Tilem bertepatan dengan Sang Hyang Surya beryoga, maka dimohonkan keselamatan kepada Hyang Widhi. Keduanya merupakan manifestasi dari Hyang Widhi yang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (mala). Karena itu, pada hari purnama dan tilem diadakan upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya. Pada hari suci demikian itu, rohaniawan dan semua umat Hindu menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan upacara persembahyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Hyang Widhi. Pada hari

6 Purnama dan Tilem ini umat Hindu akan melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, disamping mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-nya, juga dilakukan pembersihan badan dengan air. Kondisi bersih secara lahir dan batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran, perkataan, dan perbuatan (Tri Kaya Parisudha) yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungannya dengan pemujaan kepada Hyang Widhi (Putu Sri Artati, 2011). Mengenai sembahyang Purnama dan Tilem, ada teks dalam Upanisad yang menyatakan sebagai berikut: Bulan sesungguhnya adalah tuan dari penciptaan. Dari padanya bagian yang gelap sesungguhnya materi, dan bagian yang terang adalah kehidupan. Oleh karena itu para Rsi melaksanakan ritual mereka pada waktu terang (Purnama), dan dalam waktu gelap (Tilem) (Prasna Upanisad I.12). Pada hakekatnya persembahyangan Purnama dan Tilem adalah hari penyucian jiwa, raga, dan juga alam semesta. Penyuciannya disimbolkan dengan banten pesucian dan banten-banten yang menyertainya. Pesucian adalah sarana yang digunakan sebagai simbol pembersihan untuk menyucikan badan, pikiran, dan jiwa manusia. Kegiatan persembahyangan Purnama dan Tilem ini sangatlah penting dalam membentuk rasa syukur dan religius masyarakat Hindu, dan merupakan penyucian diri terhadap Sang Hyang Widhi Wasa. Persembahyangan Purnama dan Tilem ini pun merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh umat Hindu di seluruh

7 dunia. Akan tetapi pada kenyataannya di Di Desa Trimulyo Mataram Dusun Tirtayoga tidaklah demikian, dimana tingkat kehadiran/keikutsertaan masyarakat Dusun Tirtayoga di dalam kegiatan persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Puseh dan Pura Dalem sangatlah minim/rendah. Desa Trimulyo Mataram merupakan salah satu desa di Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah. Desa Trimulyo Mataram telah terbentuk sejak tanggal 21 Juni 1962 dengan komposisi penduduk bersuku Jawa dan Bali, namun lebih didominasi oleh suku Bali. Seharusnya pada kegiatan persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Puseh dan Pura Dalem, seluruh masyarakat Hindu mengikuti kegiatan tersebut, namun pada kenyataannya tingkat kehadiran/keikutsertaan masyarakat Dusun Tirtayoga rendah dengan jumlah kehadiran masyarakatnya kurang lebih hanya 40 jiwa (hasil pra surevei), sedangkan jumlah masyarakat Hindu di Dusun Tirtayoga yaitu 453 jiwa. Selain itu, acara ini juga lebih didominasi oleh kaum laki-laki, serta kurangnya kesadaran mereka untuk membawa bebanten (sesajen) yang merupakan salah satu sarana dalam melaksanakan kegiatan persembahyangan. Berdasarkan pemaparan di atas peneliti tertarik untuk mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kehadiran/keikutsertaan masyarakat Dusun Titayoga dalam melaksanakan kegiatan persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Puseh dan Pura Dalem.

8 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa makna sembahyang ke Pura pada saat Purnama dan Tilem bagi masyarakat Dusun Tirtayoga? 2. Mengapa masyarakat enggan berkunjung ke Pura pada saat Purnama dan Tilem? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk memahami makna persembahyangan ke Pura pada saat Purnama dan Tilem yang ada pada masyarakat Bali. 2. Mengkaji dan menganalisis keengganan masyarakat Dusun Tirtayoga dalam melaksanakan persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Puseh dan Pura Dalem. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Diharapkan karya ilmiah ini dapat memberikan pengetahuan terkait konsep sembahyang dan teori-teori yang dijelaskan dalam beberapa dari para ahli yang memahami tentang Bali. 2. Kegunaan Praktis Diharapkan karya ilmiah ini dapat mengkaji terkait makna persembahyangan dan dapat menjelaskan alasan-alasan masyarakat yang tidak melaksanakan persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Puseh dan Pura Dalem.