BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

bentos (Anwar, dkk., 1980).

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2.2. Struktur Komunitas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki luas wilayah lebih dari 7,2 juta km 2 yang merupakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. kondisi tersebut. Penurunan kualitas air sungai dapat disebabkan oleh masuknya

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh perairan,

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

JURNAL KELIMPAHAN DAN POLA PENYEBARAN BULU BABI (ECHINOIDEA) DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PANTAI PASIR PUTIH, SITUBONDO

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan dengan kedalaman kurang dari 5 meter, dan juga memiliki daerah rataan karang yang cukup luas (reef flat) dan berpasir putih. Menurut TNKpS (2008) pulau-pulau di Kepulauan Seribu umumnya dikelilingi oleh terumbu karang tepian ( fringing reefs) pada kedalaman 0,5-10 meter. Jenis-jenis karang yang dapat ditemukan di sini termasuk ke dalam jenis karang keras (hard coral) dan karang lunak (soft coral). Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Semak Daun pada setiap lokasi pengamatan berbeda dikarenakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi terumbu karang (Gambar 13). Menurut TNKpS (2008) kondisi terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu umumnya berada di wilayah Kepulauan Serbiu Utara di kawasan TNKpS dengan kategori rusak sampai sedang. Presentase penutupan karang hidup di kawasan TNKpS berkisar antara 4,3-50,7% dan dominasi tutupan unsur-unsur abiotik seperti pasir, pecahan karang, serta karang mati umumnya telah melampaui 50%. Kerusakan terumbu karang ini sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan pariwisata bawah air yang tidak menggunakan cara yang benar, pengambilan karang untuk bahan bangunan dan cara pengkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia. Siregar (2008) dan Novianto (2012) didapatkan persentase tutupan karang di Pulau Semak Daun berkisar 11,17-80,24%. Persentase terendah terdapat pada Stasiun 1, dengan komposisi hard coral 11,17%, DCA ( Dead Coral Algae), DC (Dead Coral) 6,33%, abiotik 50,20%, dan ZO (Zoanthid) 0% (Noviyanto, 2012). Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, tutupan terumbu karang pada Stasiun 1 termasuk dalam katagori buruk. Selanjutnya dikemukakan bahwa pada stasiun ini ditemukan data patahan karang atau Rubble (R) yang cukup tinggi sebesar 46,17% pada kedalaman 3 meter dan 48,17% pada kedalaman 7 meter. 47

48 Persentase tutupan karang tertinggi terdapat pada Stasiun 4. Menurut Gambar 13. Persentase Kondisi Tutupan karang di Perairan Semak Daun Sumber : ( Siregar, 2008;Novianto, 2012) (Siregar, 2008) jenis life form pada Stasiun 4 terdapat, 80,24% hard coral, 19,77% DCA, 0% DC, 0% Abiotik 1,70%, dan 0% ZO. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut tutupan karang pada Stasiun 4 termasuk dalam katagori sangat baik. Pada keempat stasiun ini memiliki tingkat persentase yang berbedabeda dengan nilai rata-rata 43,13%, yang berarti tutupan karang di Pulau Semak Daun termasuk dalam katagori sedang (English et al, 1994, dalam Wiryatno, 2010). TERANGI (2007) menyebutkan bahwa kegiatan manusia juga menjadi ancaman serius seperti pengeboman ikan, penggunaan muroami, penambangan karang, sedimentasi akibat pembangunan di Jakarta serta polusi yang mengakibatkan kerusakan serius terumbu karang. 4.2 Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Semak Daun Parameter fisika dan kimia perairan berpengaruh terhadap keberadaan invertebrata bentik. Pengamatan terhadap parameter fisika dan kimia sebagai penunjang dalam mengetahui keterkaitan invertebrata bentik dengan tutupan karang hidup. Hasil yang didapat dari pengamatan parameter fisika dan kimia

49 perairan di Semak Daun secara umum tidak jauh berbeda, rata-rata dari hasil yang didapat bisa digunakan langsung dalam kajian fisika-kimia perairan. 4.2.1 Suhu Hasil pengamatan selama penelitian diperoleh suhu perairan berkisar antara 26,1-30,67 0 C (Gambar 14). Nilai ini tidak berbeda jauh dari hasil penelitian Dinas Tata Kota DKI Jakarta (2003), yang menyatakan bahwa suhu permukaan laut Semak Daun antara 23,4-32,5 0 C. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken, 1982). Disebutkan oleh Nybakken (1982) bahwa perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-25 0 C, terumbu karang dapat mentoleransi suhu hingga 36-40 0 C. Berdasarkan uraian tersebut, maka lokasi penelitian masih sesuai untuk pertumbuhan terumbu karang, baik berdasarkan suhu perairan selama pengamatan maupun sepanjang tahun. Suhu terendah berada di stasiun 3 dan tertinggi di stasiun 1. Rendahnya suhu pada stasiun 3 dikarenakan pengambilan data dilakukan pada sore hari (Lampiran 10). Gambar 14. Rata-Rata Suhu di Setiap Stasiun 4.2.2 Kecepatan Arus Kecepatan arus yang terukur pada setiap stasiun berkisar antara 0,0058-0,06 m/s (Gambar 15). Kecepatan arus tertinggi terdapat pada Stasiun 2 dan arus terendah terdapat pada stasiun 1. Rendahnya kecepatan arus di stasiun 1 disebabkan lokasi berada didekat dermaga. Hal ini berpengaruh terhadap tutupan karang hidup sehingga kondisi karang pada stasiun 1 termasuk dalam katagori

50 buruk (nilai tutupan karang hidup 11,17%). Arus merupakan sarana transportasi baku untuk makanan maupun oksigen bagi suatu organisme air. Disebutkan oleh Sanusi (1994) dalam Asmara (2005), keberadaan unsur hara di suatu lokasi perairan merupakan kontribusi kompleks yang bersumber dari proses upwelling, transportasi horizontal massa air (arus permukaan), suplai dari sistem sungai (daratan) dan proses kehidupan dalam perairan tersebut. Romimohtarto dan Juwana (2005) menyatakan bahwa gerakan-gerakan air laut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti angin yang menghembus di atas permukaan laut, pengadukan yang terjadi karena perbedaan suhu air dari dua lapisan, perbedaan tinggi permukaan laut, pasang-surut dan lain-lain. Gambar 15. Rata-Rata Kecepatan Arus di Setiap Stasiun 4.2.3 Kecerahan Kecerahan yang terukur pada saat penelitian berkisar 75-00%, dengan kecerahan terendah di stasiun 2 pada kedalaman 10 m, sedangkan stasiun lainnya memiliki kecerahan yang sama yaitu 100 % (Gambar 16). Kecerahan air berhubungan erat dengan intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dalam perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus (Sumich, 1992 dalam Asmara, 2005). Bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh terbesar secara tidak langsung, yakni sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuhtumbuhan yang menjadi tumpuan hidup mereka karena menjadi sumber makanan (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Kep.MENHL No.51 Tahun (2004), dalam

51 Asmara ( 2005) menetapkan batas kecerahan untuk perairan dengan ekosistem terumbu karang adalah >5 meter. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asmara (2005) yang menyatakan kedalaman perairan di stasiun pengamatan di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang berkisar antara 1 sampai 23 meter dengan tingkat kecerahan 1-12,5 meter (25%-100%). Sementara hasil penelitian sebelumnya menunjukkan kisaran nilai kecerahan antara 3,25-16,15 meter (Dinas Pertenakan Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta, 2002 dalam Asmara, 2005). Tingkat kecerahan di Pulau Semak Daun dengan penelitian tersebut tidak jauh berbeda, karena lokasi penelitian (Pulau Semak Daun) merupakan pulau yang berdekatan dengan Pulau Pramuka dan Pulau Panggang. Gambar 16. Rata-Rata Kecerahan di Setiap Stasiun 4.2.4 Salinitas Salinitas yang terukur pada penelitian di Pulau Semak Daun berkisar 31-33, 33 0 / 00 (Gambar 17). Salinitas terendah berada pada stasiun 1 dan tertinggi berada pada stasiun 4. Nilai salinitas pada saat penelitian lebih rendah dibandingkan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Asmara (2005), yang menyatakan bahwa salinitas perairan di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang pada bulan Oktober, November, dan Desember 2004 adalah 32,5-35 0 / 00. Hal ini mengindikasikan bahwa lebih rendahnya salinitas pada saat penelitian, dikarenakan tingginya curah hujan pada saat penelitian. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pola sirkulasi, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Curah hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya pengenceran cairan di laut, sehingga mengakibatkan menurunnya nilai salinitas pada suatu perairan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kisaran salinitas

52 pada setiap stasiun menunjukkan kondisi salinitas yang masih baik bagi pertumbuhan karang. Menurut Nybakken (19 92) salinitas yang baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 32-35 0 / 00. Gambar 17. Rata-Rata Salinitas di Setiap Stasiun 4.2.5 Derajat Keasaman (ph) Nilai derajat keasaman (ph) memperlihatkan apakah perairan bersifat basa, asam dan termasuk normal. Kisaran nilai derajat keasaman (ph) di lokasi penelitian antara 8,62-9,26 (Gambar 1 8). Menurut Nybakken (1992) perairan dengan nilai ph yang bervariasi antara 7-8 masih dapat ditoleransi sebagian besar biota perairan. Selanjutnya Mukhtasor (2007) menyebutkan bahwa perubahaan kondisi dari asam ke basa di air laut akan berpengaruh pada pertumbuhan, aktivitas biologi, dan reaksi kimia yang mungkin terjadi. Berdasarkan pengamatan stasiun 1, 2, dan 3 memiliki derajat keasaman (ph) yang lebih tinggi, dibandingkan stasiun 4. Hal ini dikarenakan lokasi berada disekitar dermaga yang sering menjadi jalur transportasi kapal, menyebabkan tingkat pencemaran tinggi sehingga derajat keasaman (ph) menjadi tinggi. Menurut Mukhtasor (2007) sumber pencemaran laut dari media transportasi laut dapat berupa pneggunaan bahan antifouling beracun yang terkandung pada bahan cat kapal, pencemaran dari operasional kapal seperti sampah limbah padat, limbah plastik bekas tempat makanan, atau minuman, limbah cair, dan air ballast. Rendahnya nilai derajat keasaman (ph) pada stasiun 4 didukung dengan tingginya kondisi tutupan karang

53 hidup pada stasiun tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pencemaran pada stasiun 4 rendah, sehingga baik untuk pertumbuhan karang. Gambar 18. Rata-Rata ph di Setiap Stasiun 4.3 dan Komposisi Invertebrata Bentik di Pulau Semak Daun Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Pulau Semak Daun pada 4 (empat) stasiun berbeda, ditemukan 9 (Sembilan) kelas. individu invertebrata bentik di keempat stasiun berkisar 4, 111-8, 000 ind/m 2 (Tabel 2 dan Lampiran 5). Nilai kepadatan individu tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan yang terendah ditemukan pada stasiun 4. Tingginya kepadatan pada stasiun 1, dikarenakan kondisi tutupan karangnya berada pada katagori buruk dan banyak ditemukan kelas Echinoidea dari spesies Diadema setosum (Gambar 19). Hal ini diperkuat dengan penelitian mengenai kepadatan invertebrata bentik di Pulau Pramuka, Pulau Sekati, Pulau Panggang bahwa Kelas Echinoidea dari famili Diadematidae lebih mendominansi dibandingkan famili lainnya di tiap stasiun pengamatannya (Iqbal dkk, 2009). Menurut Vimono (2007), Diadema setosum sering dijumpai pada dasar perairan baik, di daerah berpasir, daerah padang lamun, daerah pertumbuhan algae, maupun di daerah terumbu karang dan karangkarang mati. BIRKELAND ( dalam Vimono, 2007) menyatakan bahwa marga Diadema memakan daun lamun dan dianggap sebagai herbivora, namun pada lingkungan yang berbeda dapat beradaptasi dengan memakan krustasea, foraminifera, polip karang dan algae.

54 Tabel 2. Invertebrata Bentik Berdasarkan Kelas No Kelas Individu (ind/m2) Stasiun 1 Stasiun 2 Individu Relatif (%) (ind/m2) Relatif (%) 1 Anemon 0,1111 1,389 0,1111 2 2 Ascidian - - - - 3 Asteriudea - - 0,1111 2 4 Clams 0,889 11,111 0,556 10 5 Crinoidea 0,556 6,944 0,889 16 6 Echinoidea 4,222 52,778 1,222 22 7 Nudibranchia - - - - 8 Sponge 2,111 26,389 2,444 44 9 Soft Coral 0,111 1,389 0,222 4 Total 8 100 5,556 100 Stasiun 3 Stasiun 4 No Kelas Gambar 19. Diadema Setosum Individu (ind/m2) Relatif (%) Individu (ind/m2) Relatif (%) 1 Anemon 0,1111 1,471 - - 2 Ascidian 0,1111 1,471 - - 3 Asteriudea 1 13, 235 - - 4 Clams 0,333 4,412 1,889 45,946 5 Crinoidea 1 13,235 0,778 18,919 6 Echinoidea 2,889 38,235 0,889 21,622 7 Nudibranchia 0,222 2,941 - - 8 Sponge 1,778 23,529 0,556 13,514 9 Soft Coral 0,111 1,471 - - Total 7,556 100 4,111 100

55 relatif invertebrata bentik di setiap stasiun memiliki nilai ratarata 0,163-0,317% (Lampiran 6). Nilai kepadatan relatif tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan nilai kepadatan relatif terendah terdapat pada stasiun 4. Tingginya nilai kepadatan relatif pada stasiun 1, dikarenakan kepadatan individu yang tinggi, terutama kelas Echinoidea pada spesies Diadema setosum. Banyaknya jumlah individu kelas Echinoidea yang ditemukan bisa dikarenakan tingginya kelimpahan alga bentik yang merupakan makanan bagi famili Diadematidae (TERANGI, 2007). Menurut Iqbal dkk (2009) sebagian besar invertebrata bentik yang ditemukan di perairan Pulau Pramuka, Pulau Sekati dan Pulau Panggang sebagian besar merupakan invertebrata bentik bioindikator, seperti (Echinometridae, Diadematidae, Comasteridae, dan Acantharteridae). Menurut Gosling (2003 ) dalam Depik (2012) selain faktor fisik, faktor biologi juga berperan dalam pembatasan kepadatan benthos. Maka predator, penyakit, dan kompetisi antar makhluk hidup dapat juga membatasi penyebaran organisme di sebuah kawasan. Rata-rata persentase invertebrata bentik 9 ( sembilan) kelas yang ditemukan adalah antara 0-36% pada keseluruhan stasiun (Gambar 20). Persentase tertinggi terdapat pada kelas Echinoidea dan yang terendah adalah kelas Ascidian. Tingginya kelas Echinoidea dari spesies Diadema setosum bisa disebabkan karena hewan ini menyukai karang yang rusak atau mati dan batuan. Hal ini juga didukung dari kepadatan individu dan kepadatan relatif, bahwa kelas Echinoidea banyak ditemukan di Stasiun 1 yang memiliki kondisi tutupan karang hidup sebesar 11,17%. Menurut Vimono (2007) Diadema setosum dapat ditemukan pada hampir semua daerah mulai rataan pasir, padang lamun, hingga pada daerah berbatuan. Gambar 20. Rata-Rata Persentase Per Kelas

56 4.4 Struktur Komunitas Invertebrata Bentik Struktur Komunitas Invertebrata Bentik di Pulau Semak Daun yang dihitung terdiri atas indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi invertebrata bentik. 1. Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman invertebrata bentik di Pulau Semak Daun pada keseluruhan stasiun penelitian termasuk dalam katagori sedang, hal ini dapat dilihat dari nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 1,4-2,1 (Gambar 21 dan Lampiran 7). Nilai keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 1 dan tertinggi pada stasiun 2. Rendahnya indeks keanekaragaman pada stasiun 1 disebabkan tutupan karang hidup pada stasiun 1 sebesar 11,17%, menyebabkan hanya beberapa invertebrata bentik saja yang dapat hidup. Menurut TERANGI (2007) melimpahnya suatu jenis biota dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan serta sifat biologi masing-masing. Selanjutnya TERANGI (2007) menyatakan bahwa indeks keanekaragaman bentik yang sangat rendah dengan nilai 0,5. Berdasarkan hasil penelitian TERANGI (2007) indeks Keanekaragaman di Pulau Pari (2,2), Pulau Panggang (0,2), dan Pulau Pramuka (0,1), hal ini menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman invertebrata bentik di Pulau Semak Daun lebih tinggi dari Pulau Panggang dan Pulau Pramuka dengan rata-rata nilai indeks keanekaragaman di Pulau Semak Daun1,8. Gambar 21. Indeks Keanekaragaman di Setiap Stasiun

57 2. Indeks Keseragaman Indeks keseragaman invertebrata bentik pada keseluruhan stasiun berkisar antara 0,34-0,547 dengan nilai indeks keseragaman rata-rata 0,45 sehingga dikatagorikan sedang (Gambar 2 2 dan Lampiran 8). Nilai keseragaman pada stasiun 2 dan 3 lebih tinggi dibandingkan stasiun 1, hal ini sesuai dengan tingginya nilai indeks keanekaragaman stasiun 2 dan 3 dibandingkan dengan stasiun 1. Gambar 22. Indeks Keseragaman di Setiap Stasiun 3. Indeks Dominansi Indeks dominansi invertebrata bentik di Pulau Semak Daun pada keseluruhan stasiun berkisar antara 0,165-0,336 dengan rata-rata 0,239 (Gambar 23 dan Lampiran 9). Stasiun 1 memiliki nilai indeks dominansi yang tertinggi dan stasiun 2 memiliki indeks dominansi yang terendah. Tingginya indeks dominansi di stasiun 1 mengindikasikan bahwa adanya spesies yang dominan yaitu Diadema setosum dengan kepadatan tertinggi pada stasiun ini. Tingginya indeks dominansi di Stasiun 1 juga didukung oleh rendahnya nilai indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman di stasiun ini. Stasiun 2 memiliki nilai indeks dominansi terendah, hal ini sesuai dengan tingginya nilai indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman di stasiun tersebut. Menurut kriteria indeks Shannon-Wiener, indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman invertebrata bentik di stasiun 2 termasuk katagori sedang dan tidak terdapat spesies dominan di stasiun ini.

58 4.5 Hubungan Antara Invertebrata Bentik Dengan Tutupan Karang Hubungan antara kepadatan invertebrata bentik dengan tutupan karang digunakan analisis ragam (Anova) dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda (Duncan). Nilai analisis ragam invertebrata bentik pada ke empat stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis Ragam Invertebrata Bentik Per Kelas Sumber Keragaman Gambar 23. Indeks Dominansi di Setiap Stasiun Derajat Bebas (db) Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F stasiun F tabel Stasiun 3 272,667 90,889 9,402 4,07 Kesalahan 8 77,333 9,667 Jumlah 11 350 Tabel 4. Hasil Uji Jarak Berganda (Duncan) Invertebrata Bentik Stasiun Rata-rata Hasil 1 24 d 2 16,667 ab 3 23 cd 4 12,33 a (Keterangan: Stasiun yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pengaruhnya) Berdasarkan analisis di atas didapat, bahwa nilai F stasiun lebih besar dibandingkan dengan nilai F tabel. Hal ini dapat diartikan bahwa kepadatan invertebrata bentik berdasarkan kelas di tiap stasiun berbeda nyata. Analisis

59 dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan untuk melihat stasiun yang berbeda nyata ( Tabel 4). Hasilnya menunjukkan bahwa stasiun 1 dan 3 memiliki kepadatan invertebrata bentik yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan stasiun 2 dan 4. Tingginya kepadatan invertebrata bentikdi stasiun 1 dan 3 diduga karena tutupan karang hidup pada stasiun 1 dan stasiun 3 yang termasuk dalam katagori buruk hingga sedang (masing -masing 11,17% dan 30,17%). Hal ini didukung hasil perhintungan kepadatan yang menunjukkan dominasi dari Kelas Echinoidea di stasiun 1 dan 3, sementara di stasiun 2 dan 4 tidak ada dominasi. Hasil perhitungan indeks keragaman dan dominasi juga mendukung hasil tersebut, yaitu nilai indeks keanekaragaman di Stasiun 1 dan 3 lebih rendah daripada stasiun 2 dan 4, serta nilai indeks dominasi Stasiun 1 dan 3 lebih tinggi dibandingkan stasiun 2 dan 4. Menurut TERANGI (2007) melimpahnya suatu jenis biota dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan serta sifat biologi masing-masing. Selanjutnya Bell dan Galzin (1984) menyatakan dalam penelitiannya bahwa, terdapat hubungan langsung antara tutupan karang hidup dan keanekaragaman spesies organisme bentik. Hasil analisis ragam berdasarkan spesies invertebrata bentik dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Analisis Ragam Invertebrata Bentik Per Spesies Sumber Keragaman Derajat bebas (db) Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) Fstasiun Stasiun (S) 6 89,8056 44,9028 4,568 5,384 Bentik (B) 16 157,667 29,5625 0,428 8,294 Replikasi (R) 4 SR 48 SB 12 552,667 138,167 BR 32 SBR 96 Kesalahan 208 1363,07 19,6597 Jumlah 214 1452,88 Ftabel

60 Hasil analisis ragam di atas, bahwa nilai F stasiun yang muncul lebih kecil dibandingkan dengan nilai F tabel, atau dapat diartikan bahwa keanekaragaman invertebrata bentik berdasarkan spesies antar stasiun tidak berbeda nyata. Hasil analisis ragam, baik analisis ragam berdasarkan kelas maupun berdasarkan spesies, membuktikan bahwa kondisi tutupan karang hidup berpengaruh terhadap kepadatan invertebrata bentik berdasarkan kelas, namun tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies dari setiap kelasnya. Keanekaragaman jenis dipengaruhi tidak hanya oleh kekayaan jenis namun juga oleh populasi dari setiap jenis biota (TERANGI, 2007). Menurut Takarina dan Adiwibowo (2011) dalam Fadli dkk (2005), keragaman bentik yang rendah di Perairan Teluk Jakarta terutama di kawasan yang tingkat pencemarannya tinggi.