BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu adalah kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada BT, hingga BT dan LS hingga LS (TERANGI, 2007). Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang terletak di Gugusan Kepulauan Seribu. Secara administratif pulau ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta, dengan kontur yang landai, dan berpasir putih. Perairan Semak Daun juga memiliki potensi keanekaragaman hayati sangat besar, salah satunya yaitu ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun yang berada di sekeliling pulau tersebut. Dengan kondisi ini Pulau Semak Daun menimbulkan daya tarik berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi yaitu perikanan dan pariwisata. Ekosistem terumbu karang adalah satu ekosistem khas pesisir tropis yang memiliki berbagai fungsi penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Pada ekosistem terumbu karang bisa hidup lebih dari 300 jenis karang, sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis moluska, crustacean, sponge, alga, lamun dan biota lainnya (Dahuri, dalam COREMAP, 2010). Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku subtansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran (Kordi, 2010). Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi. Komunitas invertebrata bentik di terumbu karang yang berfungsi mendukung keseimbangan ekosistem terumbu karang, diantaranya adalah kima (Tridacna, Hippopus), kerang (Saccostrea, Ostrea), kerang mutiara (Pinctada, Pteria), susu bundar (Trochus), teripang (Holothuria, Stichopus, Muelleria), bulu 1

2 2 babi (Diadema, Tripneustes), lobster (Panulirus), sotong (Sepia, Sepioteuthis), dan sebagainya (Kordi, 2010). Keberadaan invertebrata bentik pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentik dan interaksi spesies serta pola siklus hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar perairan. Beberapa hewan yang tergolong hewan bentik yaitu Cnidaria, Porifera, Mollusca dan Echinodermata. Hewan bentik ini memiliki peran, baik bagi lingkungan maupun manusia. Peran bagi lingkungan ditunjukkan dengan peran anggota Porifera dan Mollusca sebagai rumah bagi berbagai biota lainnya, dan mengandung berbagai zat kimia yang bermanfaat sebagai bahan obat (Collin and Arnesson, 1995 dalam Terangi, 2007). Hewan dari filum Mollusca berperan sebagai sumber nutrisi bagi karang dan beberapa jenis diolah sebagai hiasan, cinderamata bahkan sebagai bahan bangunan (Sprung, 2001 dalam Terangi, 2007). Di Kepulauan Seribu, hewan bahari banyak dikonsumsi, terutama cumicumi, teripang dan udang (Napitupulu dkk., 2006 dalam TERANGI, 2007), disamping itu juga digunakan sebagai ornamental seperti karang, spons, bintang laut dan jenis-jenis kima. Pemanfaatan hewan bentik non karang ini telah lama dilakukan namun tidak banyak penelitian yang mengkaji tentang struktur komunitasnya. Hal ini sangat ironis, karena untuk pengelolaannya diperlukan informasi yang memadai, tidak hanya terumbu karang dan komunitas ikannya tetapi termasuk hewan bentik didalamnya. Mengingat pentingnya peran hewan bentik tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang struktur komunitas invertebrata bentik pada berbagai karakteristik tutupan karang, karena penelitian ini di Kepulauan Seribu jarang dilakukan.

3 3 1.2 Identifikasi Masalah Masalah yang diidentifikasi adalah bagaimana struktur komunitas invertebrata bentik dan keterkaitannya dengan kondisi karang di Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, Jakarta, dilihat dari persentase tutupan karang, kepadatan individu, kepadatan relatif, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kepadatan dan keanekaragaman invertebrata bentik serta keterkaitannya dengan terumbu karang yang terdapat pada kawasan Pulau Semak Daun, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil dari kegiatan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan informasi mengenai keterkaitan invertebrata bentik dengan tutupan terumbu karang di Pulau Semak Daun sehingga dapat digunakan dalam pengelolaan serta pemanfaatan potensi dari ekosistem terumbu karang tersebut. 1.5 Pendekatan Masalah Struktur yang diakibatkan oleh penyebaran organisme di dalam, dan interaksinya dengan lingkungannya dapat disebut pola (Hutchinson, 1953 dalam Odum, 1993). Banyak macam pengaturan yang berbeda-beda dalam standing crop dari organisme yang memberikan sumbangan kepada keanekaragaman pola di dalam komunitas, seperti : (1) pola stratifikasi (pelapisan tegak); (2) pola -pola zonasi (pemisahan ke arah mendatar); (3) pola -pola kegiatan (periodisitas); (4) pola-pola jaring-jaring (organisasi jaringan kerja di dalam rantai pangan); (5) pola reproduktif (asosiasi -asosiasi orang anak-anak, klone-klone tanaman dan sebagainya); (6) pola -pola sosial (kelompok -kelompok dan kawanan-kawanan); (7) pola-pola ko-aktif (diakibatkan oleh persaingan, ; (8) pola -pola stochastic (diakibatkan oleh tenaga atau kakas acak) (Odum, 1993).

4 4 Struktur komunitas invertebrata bentik dipengaruhi oleh kualitas air dan tutupan karang hidup, faktor ini dapat dilihat melalui kelompok Zoanthidae. Collin & Arneson (1995) dalam TERANGI (2007) menyatakan, ketika suatu area terumbu yang sangat luas ditutupi oleh Zoanthidae, hal tersebut menjadi suatu tanda yang bisa menunjukkan bahwa kualitas perairan telah menurun. Faktor substrat juga dapat mempengaruhi pertumbuhan invertebrata bentik, salah satunya subfilum Urochordata yang tumbuh cepat pada substrat karang mati dan Sabellastarte indica dan Spirobranchus giganteus (Serpulidae) yang berasosiasi dengan karang keras. Nutrisi merupakan faktor yang dapat menyebabkan tingginya kelimpahan alga planktonik maupun bentik, sementara alga bentik adalah makanan utama bagi berbagai bintang laut dan bulu babi (Collin & Arnesson, 1995 dalam TERANGI, 2007). Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tingginya kelimpahan bulu babi merupakan faktor dalam mengidentifikasi kelimpahan nutrisi di perairan tersebut. Kedalaman juga berpengaruh pada invertebrata bentik, dapat dilihat pada distribusi Petrosia nigricans yang melimpah pada kedalaman 4-15 meter (Van Soest, 1990 dalam TERANGI, 2007). Aktivitas manusia juga dapat memberikan tekanan pada pertumbuhan invertebrata bentik. Invertebrata bentik dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit. Invertebrata bentik yang memiliki toleran lebih tinggi maka tingkat kelangsungan hidupnya akan semakin tinggi (Tingkat pencemaran terhadap perairan dapat dilihat dengan identifikasi invertebrata bentik yang terdapat di wilayah tersebut). Atas dasar pemikiran tersebut, maka penelitian ini dibuat dalam rangka ingin mengetahui bagaimana komunitas invertebrata bentik dan keterkaitannya dengan tutupan karang di Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, Jakarta. Selengkapnya kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan sebagai berikut (Gambar 1):

5 5 KOMUNITAS KARANG KOMUNITAS INVERTEBRATA BENTIK KUALITAS AIR JENIS KEPADATAN KEANEKARAGAM KESERAGAMAN DOMINANSI STRUKTUR KOMUNITAS Gambar 1. Diagram Alir Penelitian