BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ini juga harus disertai

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional. Pembangunan. secara material dan spiritual (Todaro dan Smith, 2012: 16).

BAB I PENDAHULUAN. dokumen RPJP Provinsi Riau tahun , Mewujudkan keseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

PENDAHULUAN. 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian yang secara terus menerus tumbuh akan menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Perdebatan tentang indikator pembangunan sosial-ekonomi sudah sejak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah itu sendiri maupun pemerintah pusat. Setiap Negara akan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Setiap wilayah umumnya mempunyai masalah di dalam proses. pembangunannya, masalah yang paling sering muncul di dalam wilayah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat kemiskinan ekstrem yang mencolok (Todaro dan Smith, 2011:

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan daerah adalah meningkatkan. pertumbuhan sektor ekonomi, dengan pendapatan sektor ekonomi yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

BAB I PENDAHULUAN. selalu mengalami kenaikan dalam jumlah maupun kualitas barang dan jasa

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

pendapatan yang semakin merata. Jadi salah satu indikator berhasilnya pembangunan adalah ditunjukkan oleh indikator kemiskinan.

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. setelah Provinsi DKI Jakarta. Luas wilayah administrasi DIY mencapai 3.185,80

BAB I PENDAHULUAN. nasional dan internasional dengan pemerataan dan pertumbuhan yang diinginkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah bertujuan dalam peningkatan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Kabupaten Wonogiri di bagian tenggara, Kabupaten Klaten di bagian timur laut,

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan oleh masyarakat luas (Lincolin Arsyad, 1999).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan adalah hal yang sangat penting. Pada tahun 1950an, orientasi

BAB III METODE PENELITIAN. struktur dan pertumbuhan ekonomi, tingkat ketimpangan pendapatan regional,

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah. Sumber daya alam nantinya dapat digunakan sebagai pendukung

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB III METODE PENELITIAN. data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang meliputi Produk Domestik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rangka pembangunan nasional di Indonesia, pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nasional dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat berkaitan erat dengan peningkatan kualitas dan. buatan serta sumberdaya sosial (Maulidyah, 2014).

I. PENDAHULUAN. dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan pelayanan publik yang lebih efisien, efektif, dan merata serta

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional merupakan upaya dari pemerintah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. (Adrimas,1993). Tujuannya untuk mencapai ekonomi yang cukup tinggi, menjaga

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

4.3 Pengaruh Ketimpangan Wilayah Terhadap Kondisi Hunian BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran...

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan, dan tingkat pengangguran (Todaro, 2000:93). Maka dari itu

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENDAHULUAN. yang dilaksanakan oleh sejumlah negara miskin dan negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator keberhasilan kinerja

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses yang terintgrasi dan komprehensif

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Hasil dari pembangunan ekonomi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. riil atau pendapatan riil per kapita yang terjadi secara terus menerus (steady growth).

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai

BAB I PENDAHULUAN. mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang

INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON)

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan. Perkembangan pembangunan secara tidak langsung merubah struktur

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan angka kemiskinan. Berdasarkan tujuan pembangunan Millennium

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. utama pembangunan. Salah satu target dari Millenium Development Goals

BAB IV GAMBARAN UMUM

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai

I. PENDAHULUAN. Tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. dan perkembangan suatu perekonomian dalam satu periode ke periode

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Salah satu indikator yang biasa digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi memegang peranan penting karena dapat dipakai untuk menilai kinerja perkembangan perekonomian suatu negara atau daerah. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi merefleksikan perkembangan tingkat kegiatan ekonomi secara dinamis dari tahun ke tahun (Arsyad, 2005: 7-8). Namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu mencerminkan kesejahteraan masyarakat yang merata, sehingga keberhasilan pembangunan tidak hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga diikuti dengan distribusi hasil pembangunan secara merata. Pengertian pembangunan sebelumnya bersifat ekonomis, yaitu didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi suatu negara untuk meningkatkan dan mempertahankan PDRB secara terus menerus dalam jangka panjang. Selanjutnya definisi pembangunan ekonomi menjadi lebih luas dan menekankan pada peningkatan pendapatan per kapita dalam jangka panjang yang disertai perbaikan sistem kelembagaan. Pengertian baru ini melihat pembangunan sebagai suatu proses yang multidimensional dan menganjurkan agar tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi, namun juga suatu proses yang saling 1

terkait dan mempengaruhi antarfaktor-faktor pembangunan ekonomi (Arsyad, 2005: 5-6). Widodo (2006: 6) juga berpendapat bahwa salah satu penyebab hasil pembangunan sering tidak sesuai dengan target yang diharapkan adalah adanya kesalahan persepsi tentang arti pembangunan yang hanya berusaha mencapai produk domestik bruto yang tinggi tanpa memperhatikan faktor lain. Kondisi tersebut dapat menimbulkan masalah sosial yang pada akhirnya berdampak pada tingginya kesenjangan sosial dan ekonomi. Selanjutnya Todaro dan Smith (2011: 25) menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari tiga nilai inti pembangunan. 1. Kecukupan, yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar baik barang maupun layanan dasar yang diperlukan untuk mendukung kehidupan manusia pada tingkat paling minimum. 2. Harga diri sebagai syarat untuk menjadi manusia seutuhnya, yaitu perasaan berharga yang dinikmati suatu masyarakat jika sistem dan lembaga sosial, politik dan ekonominya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti kehormatan, integritas dan kemandirian. 3. Kebebasan dari sikap menghamba sehingga memiliki kemampuan untuk memilih. Masyarakat memiliki berbagai alternatif untuk memuaskan keinginannya dan setiap orang dapat mengambil pilihan sesuai keinginannya. Pembangunan adalah proses perubahan secara terus menerus ke arah yang lebih baik, namun seringkali hasil dan dampak pembangunan tersebut belum dapat dirasakan secara merata antarwilayah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan 2

antarwilayah. Ketimpangan ini pada dasarnya tidak dapat dihindari karena masing-masing daerah memiliki karakteristik dan permasalahan yang berbeda, diantaranya potensi wilayah, pertumbuhan ekonomi, investasi, infrastruktur, pendidikan dan masalah sosial budaya lainnya. Perbedaan ini mengakibatkan berbedanya aktivitas ekonomi yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan ekonomi. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, memberikan kewenangan yang semakin luas kepada daerah untuk memberdayakan potensi daerahnya. Hal itu juga berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sejak otonomi daerah memiliki kewenangan yang lebih besar untuk menggunakan segala potensi yang ada untuk kesejahteraan warganya. Selain itu, dengan disahkannya UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadikan Pemerintah Daerah DIY berbeda dengan pemerintah daerah lain. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan keistimewaan terhadap Pemda DIY yang penyelenggaraannya didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. Kewenangan istimewa itu meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan, kebudayaan, pertanahan dan tata ruang. Daerah Istimewa Yogyakarta terletak dibagian tengah Pulau Jawa bagian selatan dan berbatasan dengan beberapa kabupaten di Jawa Tengah dengan luas 3.185,80 km 2 atau 0,17 persen dari luas Indonesia. Secara administratif DIY terdiri dari 5 kabupaten/kota dengan luas wilayah terbesar Kabupaten 3

Gunungkidul sebesar 46,63 persen dan wilayah terkecil adalah Kota Yogyakarta dengan luas 1,02 persen. Meskipun secara geografis memiliki wilayah yang relatif kecil, bukan berarti Daerah Istimewa Yogyakarta terlepas dari masalah sosial dan ekonomi. Dari tahun 2010-2012, PDRB ADHK 2000 dan pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta relatif meningkat tetapi jika dilihat dari Indeks Gini yang menggambarkan ketimpangan pendapatan warganya juga cenderung meningkat. Pada tahun 2012 dan 2013 Indeks Gini DIY sebesar 0,43 dan 0,44 yang merupakan Indeks Gini tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa dan diatas angka nasional yang sebesar 0,41. Tabel 1.1 PDRB ADHK 2000 dan Pertumbuhan Ekonomi Menurut Provinsi di Pulau Jawa dan Nasional, 2010-2012 Provinsi PDRB ADHK 2000 (Miliar Rupiah) Pertumbuhan Ekonomi (%) 2010 2011 2012 2010 2011 2012 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) DKI Jakarta 395.622 442.237 449.821 6,50 6,73 6,53 Jawa Timur 342.281 366.983 393.666 6,68 7,22 7,27 Jawa Barat 322.224 343.111 364.405 6.20 6,48 6,21 Jawa Tengah 186.993 198.270 210.848 5,84 6,03 6,34 Banten 88.552 94.207 100.000 6,11 6,39 6,15 DIY 21.044 22.132 23.309 4,88 5,17 5,32 Nasional 2.222.987 2.364.065 2.512.992 6,14 6,35 6,30 Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan, diolah Selama kurun waktu 2010-2012 terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan PDRB ADHK 2000 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tetapi angka tersebut bila dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa menduduki peringkat terbawah. Salah satu penyebabnya adalah wilayah DIY yang relatif kecil sehingga sumber daya alam yang dimiliki terbatas dan skala pengembangan industri 4

pengolahan tidak sebesar provinsi lain di Jawa. Nilai PDRB ADHK 2000 dan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat ternyata belum bisa dinikmati oleh warga DIY secara merata yang terbukti dengan tingginya Indeks Gini, sehingga DIY bisa dibilang sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa dengan ketimpangan pendapatan yang tertinggi. 0.5 0.48 0.46 0.44 0.42 0.4 0.38 0.36 0.34 0.32 0.3 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Nasional DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten Gambar 1.1 Indeks Gini Menurut Provinsi di Pulau Jawa dan Nasional, 2008-2013 Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan, diolah Jika dilihat dari skala kabupaten/kota, selama kurun waktu 2010-2012 terdapat 2 kabupaten/kota yang rata-rata pertumbuhan ekonominya melampaui rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebesar 5,12 persen, yaitu Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta. Wilayah dengan ratarata pertumbuhan ekonomi terendah adalah Kabupaten Kulon Progo (4,35 persen) diikuti oleh Kabupaten Gunungkidul (4,44 persen), sehingga dari 5 kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kurun waktu yang sama, 5

rata-rata pertumbuhan ekonominya tidak ada yang melebihi rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,30 persen. Tabel 1.2 PDRB ADHK 2000 dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di DIY, 2010-2012 Kabupaten/Kota PDRB ADHK 2000 (Miliar Rupiah) Pertumbuhan Ekonomi (%) 2010 2011 2012 2010 2011 2012 Rata-rata (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Kab. Kulon Progo 1.781 1.869 1.963 3,06 4,95 5,03 4,35 Kab. Gunungkidul 3.330 3.474 3.642 4,15 4,33 4,84 4,44 Kab. Bantul 3.967 4.177 4.400 4,97 5,27 5,34 5,19 Kota Yogyakarta 5.505 5.816 6.151 4,98 5,64 5,76 5,46 Kab. Sleman 6.373 6.704 7.069 4,49 5,19 5,44 5,04 Provinsi 21.044 22.132 23.309 4,88 5,17 5,32 5,12 Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan, diolah Kondisi PDRB per kapita ADHK 2000 kabupaten/kota juga tidak jauh berbeda meskipun selama tahun 2010-2012 cenderung meningkat. Kota Yogyakarta meskipun di periode yang sama memiliki PDRB dibawah Kabupaten Sleman tetapi PDRB per kapitanya jauh lebih tinggi dibanding Kabupaten Sleman maupun wilayah lainnya, hal ini disebabkan karena jumlah penduduk di Kota Yogyakarta relatif lebih sedikit dibandingkan wilayah lain. Pada tahun 2012 PDRB per kapita Kota Yogyakarta sebesar Rp15.610.926 dan terendah adalah Kabupaten Bantul dengan PDRB per kapita sebesar Rp4.730.116. Ketidakmerataan PDRB per kapita ini ditunjukkan oleh Gambar 1.2, terlihat bahwa Kabupaten Bantul, Gunungkidul dan Kulon Progo sebagai daerah berpendapatan rendah dengan PDRB per kapita di bawah angka provinsi, sedangkan Kabupaten Sleman memiliki PDRB per kapita relatif sama dengan angka provinsi berkisar pada angka Rp6.000.000. 6

PDRB Per Kapita ADHK 2000 (Rp) 16000000 14000000 12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 2010 2011 2012 Tahun DIY Kulon Progo Bantul Gunungkidul Sleman Yogyakarta Gambar 1.2 PDRB Per Kapita ADHK 2000 Menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2010-2012 (Rupiah) Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan, diolah Dilihat dari indikator kemiskinan, selama periode 2010-2012 persentase jumlah penduduk miskin cenderung menurun tetapi angka tersebut masih di atas angka nasional. Persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Kabupaten Kulon Progo dan Gunungkidul dengan nilai diatas 20 persen. Tetapi bila dilihat dari garis kemiskinan, nilainya diatas nilai nasional kecuali Kabupaten Gunungkidul. Kabupaten/Kota Tabel 1.3 Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten/Kota di DIY, 2010-2012 Garis Kemiskinan Penduduk Miskin (Rupiah) ( %) 2010 2011 2012 2010 2011 2012 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Kab. Kulon Progo 225.059 240.301 250.854 23,15 23,62 23,32 Kab. Gunungkidul 203.873 220.479 228.745 22,05 23,03 22,72 Kab. Bantul 245.626 264.546 277.792 16,09 17,28 16,97 Kab. Sleman 247.688 267.107 281.644 10,70 10,61 10,44 Kota Yogyakarta 290.286 314.311 333.232 9,75 9,62 9,38 Provinsi 224.258 249.629 270.11 16,83 16,14 15,88 Nasional 211.726 233.740 259.520 13,33 12,36 11,66 Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan, diolah 7

Secara umum sudah diketahui bahwa Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah yang tertinggal dibandingkan dengan tiga daerah lainnya. Meskipun demikian perlu dikaji lebih dalam lagi sejauhmana tingkat ketimpangan antar dan dalam wilayah kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta serta menganalisis faktor-faktor dominan yang mempengaruhi ketimpangan antarwilayah tersebut, sehingga dapat sebagai bahan perumus kebijakan agar ketimpangan tidak semakin melebar dan menghambat pembangunan. 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pertumbuhan dan ketimpangan antardaerah sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Sebagai bahan acuan dan pembanding beberapa uraian singkat penelitian tersebut diuraikan dalam Tabel 1.4. Tabel 1.4 Hasil Berbagai Penelitian Sebelumnya Mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan No. Peneliti Tahun Metoda analisis Hasil Penelitian 1. Mahakso 2013 Indeks Williamson 1. Ketimpangan antarwilayah di dan regresi data Provinsi Jambi relatif sedang. panel metoda FEM 2. Ketimpangan secara signifikan dipengaruhi oleh belanja modal (+), angka partisipasi sekolah (+), dan panjang jalan (-). 3. Pertumbuhan secara signifikan tidak mempengaruhi ketimpangan. 2. Yeniwati 2013 Indeks Williamson dan regresi OLS metoda REM 1. Sebanyak 5 provinsi dari 10 provinsi di Sumatera memiliki indeks ketimpangan lebih besar dari rata-rata. 2. Ketimpangan di Sumatera secara signifikan dipengaruhi oleh variabel investasi (-), aglomerasi (+) dan sumber daya alam (-). 8

Tabel 1.4 lanjutan No. Peneliti Tahun Metoda analisis Hasil Penelitian 3. Kurniawan dan Sugianto 2013 Regresi data panel 1. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap ketimpangan tetapi tidak signifikan. 2. Konsentrasi sektor industri dan pertanian berpengaruh positif siginfikan terhadap ketimpangan. 3. Jumlah orang yang bekerja berpengaruh negatif terhadap ketimpangan tetapi tidak signifikan. 4. Cheong dan Wu 5. Mapa dkk, 2013 Indeks Gini dan regresi data panel 2013 Spatial dependence, Indeks Moran dan intra-country growth model 1. FDI berkorelasi negatif terhadap ketimpangan regional intra-provinsi. 2. Tingkat industrialisasi, perkembangan sektor jasa, dan infrastruktur mempunyai korelasi positif terhadap ketimpangan. 3. Perdagangan internasional tidak berpengaruh terhadap ketimpangan secara signifikan sedangkan perdagangan domestik mempunyai korelasi negatif terhadap ketimpangan. 4. Ketimpangan makin tinggi saat kinerja sektor primer (pertanian) menurun. 1. Dimensi geografis berpengaruh terhadap pertumbuhan pendapatan provinsi. 2. Adanya ketergantungan ekonomi secara spasial yang positif antarprovinsi di Filipina. 6. Nistor 2012 Regresi data panel 1. FDI memperparah tingkat ketimpangan. 2. FDI memberikan dampak positif terhadap perekonomian Rumania, tetapi efeknya bagi perekonomian regional tidak selalu positif. 3. FDI harus disertai dengan perencanaan dan kebijakan yang tepat mengenai lokasi FDI, tidak berpusat di wilayah tertentu. 7. Ramly 2012 Regresi data panel 8. Sutherland dan Yao 1. Belanja modal dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan. 2. PMDN, PMA, tingkat pendidikan dan belanja barang berpengaruh negatif terhadap ketimpangan tetapi tidak signifikan. 3. Ekspor berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap ketimpangan. 2011 Indeks Gini Pertumbuhan ekonomi selama 30 tahun (1978-2007) meningkatkan kesenjangan pendapatan secara signifikan. 9

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Cheong dan Wu (2013), Kurniawan dan Sugiyanto (2013) serta Ramly (2012). Perbedaan dari penelitian sebelumnya adalah penggunaan Indeks Entropi Theil sebagai variabel terikat, Cheong dan Wu menggunakan Indeks Gini, Kurniawan dan Sugianto menggunakan PDRB per kapita relatif sedangkan Ramly menggunakan Indeks Williamson. Perbedaan lainnya adalah penggunaan variabel bebas belanja modal, investasi, konsentrasi sektor jasa dan konsentrasi pertanian serta menggunakan data panel dalam jangka waktu 10 tahun yaitu tahun 2003-2012. 1.3 Rumusan Masalah Dari berbagai penelitian yang sudah ada, ketimpangan dalam pembanguan ekonomi terjadi baik antarnegara, antarprovinsi di Indonesia maupun antarkabupaten/kota di Indonesia. Ketimpangan dalam pembangunan pada dasarnya tidak bisa dihindari karena perbedaan potensi dan karakter antarwilayah, yang menjadi masalah adalah ketika ketimpangan tersebut terus meningkat selama beberapa periode yang mengakibatkan tidak meratanya distribusi hasil pembangunan yang dinikmati oleh warga di daerah yang bersangkutan. Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu provinsi yang relatif kecil di Indonesia dengan dengan tren peningkatan PDRB maupun PDRB per kapita dengan diiringi penurunan jumlah penduduk miskin. Kondisi ini tidak sejalan dengan tren kenaikan nilai Indeks Gini yang bahkan selama tahun 2012-2013 merupakan tertinggi di Indonesia, sehingga perlu untuk dilakukan identifikasi tingkat ketimpangan pembangunan antarwilayah melalui penentuan tipologi wilayah dan pengukuran ketimpangan pembangunan antarwilayah serta 10

mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketimpangan pembangunan antarwilayah di DIY. 1.4 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana tipologi wilayah kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 2003-2012? 2. Bagaimana perkembangan tingkat ketimpangan kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 2003-2012? 3. Bagaimana pengaruh realisasi belanja modal, realisasi investasi, konsentrasi sektor jasa dan konsentrasi sektor pertanian terhadap ketimpangan antarkabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta? 1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang sudah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut. 1. Menganalisis tipologi wilayah kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Menganalisis ketimpangan PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Menganalisis pengaruh realisasi belanja modal, realisasi investasi, konsentrasi sektor jasa dan konsentrasi pertanian terhadap ketimpangan antarkabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. 11

1.6 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran, yaitu: 1. memberikan bahan masukan dan informasi bagi perencana dan pengambil kebijakan khususnya di lingkup Pemerintah Daerah DIY, sehingga dapat merumuskan kebijakan pembangunan yang terarah dan sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah, serta mengoptimalkan peran provinsi sebagai koordinasi kebijakan kabupaten/kota; 2. menjadi sumber referensi dan informasi bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait masalah pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antarwilayah. 1.7 Sistematika Pembahasan Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II Kajian Pustaka, menjelaskan teori yang menjadi acuan dalam penelitian, kajian terhadap penelitian terdahulu, formulasi hipotesis, dan model penelitian. Bab III Metoda Penelitian, menjelaskan desain penelitian, metoda pengumpulan data, definisi operasional, instrumen penelitian dan metoda analisis data. Bab IV Analisis, menjelaskan deskripsi data yang diperoleh, uji hipotesis, dan pembahasan. Bab V Simpulan dan Saran, memuat simpulan sesuai dengan rumusan dan pertanyaan penelitian, implikasi, keterbatasan penelitian dan saran. 12