BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya tentu saja memerlukan suatu alat untuk berkomunikasi kepada orang lain. Bahasa merupakan alat yang sangat tepat untuk dipakai dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa juga digunakan sebagai alat penghubung antara satu individu dengan individu lain, baik dalam keluarga, masyarakat maupun hubungan sosial lainnya. Menurut Gorys Keraf (1980:53), bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud dan tujuan kepada orang lain. Lebih lanjut Sutedi (2003:2) mengungkapkan bahwa ketika kita menyampaikan ide, pikiran, hasrat dan keinginan kepada seseorang baik secara lisan maupun secara tertulis, orang tersebut bisa menangkap apa yang kita maksud, tiada lain karena ia memahami makna yang dituangkan dalam bahasa tersebut. Namun, sering pula terjadi penafsiran makna yang diakibatkan karena seseorang kurang dapat menangkap ataupun salah tangkap dari maksud yang ingin disampaikan. Hal ini dapat mengakibatkan tidak lancarnya hubungan komunikasi.
Keanekaragaman bahasa yang terdapat di dunia ini menyebabkan manusia dapat mengenal banyak bahasa-bahasa yang ada. Dalam mempelajari bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing diperlukan pemahaman tentang aturan dan kaidah-kaidah yang terdapat pada bahasa tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan suatu bahasa yang komunikatif. Bahasa tidak terlepas dari kalimat yang mengandung makna dan akan lebih jelas apabila tersusun menurut pola dan bentuk kalimatnya. Bentuk kalimat tertentu akan melahirkan makna tersendiri. Demikian halnya dengan bahasa Jepang, kalimat pengandaian yang menggunakan bentuk to, ba, tara dan nara juga memilki makna tersendiri. Hal ini akan menyulitkan pembelajar bahasa Jepang yang berasal dari Indonesia karena jika hanya memahami makna leksikal yang terdapat di dalam kamus, ini akan sangat membingungkan, karena semua bentuk tersebut memiliki kesamaan arti dalam bahasa Indonesia yaitu kalau. Untuk itu, diperlukan pemahaman makna agar tidak terjadinya salah penafsiran yang dapat mengakibatkan tidak efektifnya suatu komunikasi. Contoh: (1) このボタンを押すと お釣りが出ます Kono botan wo osuto, otsuri ga demasu. (Kalau tombol ini ditekan, uang kembaliannya akan keluar.) (Minna no Nihongo, 1998:190) (2) よろしければ どうぞお使いください Yoroshikereba, douzo otssukai kudasai. Kalau kamu senang, silahkan pakai. (Japanese Language Pattern, 1974:674) (3) あおうめを食べたら おなかが痛くなった Ao-ume wo tabetara, onaka ga itakunatta. Kalau makan ao ume, perut saya menjadi sakit.
(Suzuki, 1972: 112) (4) 北海道旅行なら 6 月がいいです Hokkaidoryoko nara, roku gatsu ga ii desu. (Kalau perjalanan ke Hokkaido, sebaiknya bulan Juni.) (Minna no Nihongo, 1998: 76) Dari keempat contoh di atas dapat kita lihat bahwa semua bentuk kalimat pengandaian yang terdapat dalam bahasa Jepang memiliki arti yang sama dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, terdapat perbedaan makna yang terdapat pada kalimat-kalimat tersebut.. Pada contoh (1), to menunjukkan makna syarat yang harus dipenuhi untuk membentuk suatu keadaan. Jika syarat yang terdapat pada klausa pertama telah terpenuhi maka akan muncul suatu perubahan seperti yang terdapat pada klausa kedua. Pada contoh (2), ba menunjukkan makna pengantar (maeoki), acuan kalimat tersebut terletak pada klausa kedua. Sedangkan klausa pertama hanya sebagai pengantar saja. Pada contoh (3), tara menunjukkan makna alasan. Biasanya subjek pada klausa pertama dan kedua sama. Pada contoh (4), nara menunjukkan makna topik/tema. Pada klausa kedua terdapat saran yang diberikan kepada lawan bicara. Dari uraian di atas, apabila kita telaah lebih jauh lagi, akan terdapat perbedaan makna antar kalimat tersebut. Hal ini lah yang mendasari ketertarikan penulis untuk mengambil pokok bahasan mengenai Analisis Makna kalimat Pengandaian Bahasa Jepang dalam Novel Noruwei No Mori. Novel ini terdiri
dari 2 jilid. Jilid 1 berjumlah 297 halaman. Jilid 2 berjumlah 299 halaman. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Jonjon Johana, kedua jilid tersebut dijadikan 1jilid dan berjumlah 550 halaman. Dalam penulisan ini, Penulis hanya akan membahas kalimat pengandaian yang terdapat pada novel jilid 1 saja, atau hanya pada bab1-5 pada buku terjemahannya. 1.2 Perumusan Masalah Menurut Shigeyuki Suzuki dalam bukunya yang berjudul Nihongo Bunpo Keitairon, bentuk pengandaian adalah bentuk yang dipakai sebagai predikat dari anak kalimat dalam suatu kalimat majemuk, dimana anak kalimat itu merupakan sebuah frase keterangan atau juga frase sambung. Bentuk pengandaian adalah bentuk yang menunjukkan hal penting untuk membentuk suatu keadaan yang ditunjukkan pada akhir kalimat dari frase utama sekaligus frase penutup (1972:349). Beragamnya bentuk kalimat pengandaian yang terdapat dalam bahasa Jepang, menyulitkan pembelajar bahasa Jepang yang berasal dari Indonesia mengingat dalam bahasa Indonesia kalimat pengandaian yang menggunakan bentuk to, ba, tara dan nara mempunyai arti yang sama dalam bahasa Indonesia yaitu kalau. Walaupun begitu, kata kalau mempunyai makna yang berbeda jika terdapat dalam kalimat. Berdasarkan hal di atas, Penulis akan membahas mengenai makna kalimat pengandaian bahasa Jepang yang terdapat di dalam kalimat. Bila diuraikan dalam bentuk pertanyaan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana makna kalimat pengandaian to, ba, tara dan nara dalam bahasa Jepang?
2. Kalimat pengandaian yang mana yang paling banyak dipergunakan dalam novel Noruwei no Mori serta makna apa yang terkandung di dalamnya? 1.3 Ruang Lingkup Pembahasan Sesuai dengan permasalahan yang ada, Penulis menganggap perlu adanya ruang lingkup pembahasan permasalahan agar masalah penelitian tidak terlalu luas dan berkembang jauh serta terjadinya tumpang tindih yang mengakibatkan penulisan ini tidak optimal. Dalam penulisan ini, makna kalimat pengandaian bahasa Jepang hanya akan dikaji dalam novel karangan Murakami Haruki, yaitu Noruwei No Mori jilid 1. Pengkajian yang akan penulis tampilkan bukan pengkajian terhadap semua bentuk kalimat pengandaian serta makna-makna apa saja yang ditimbulkan, namun dari keempat kalimat pengandaian tersebut hanya akan dikaji bentuk kalimat pengandaian yang paling banyak digunakan, serta menganalisis makna yang ditimbulkan. 1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka Menurut Nita dalam Dedi Sutedi(1997:18) pada buku Dasar Dasar Linguistik Bahasa Jepang bahwa dalam bahasa Jepang jenis kalimat dapat digolongkan dua macam, yaitu berdasarkan pada struktur 構造上 kouzou dan berdasarkan pada makna 意味上 imi jou. Penggolongan kalimat berdasarkan pada struktur, mengarah pada peranan setiap bagian (unsur pembentuk kalimat) dalam kalimat secara keseluruhan. Sedangkan penggolongan
kalimat berdasarkan pada makna, mengarah pada bagaimana makna dan fungsi dari kalimat tersebut. Menurut Chafe dalam Chaer (1994:21) menyatakan bahwa dalam analisa bahasa, komponen semantiklah yang menjadi pusat. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa. Lebih lanjut Samsuri ( 1994:350) mengungkapkan bahwa berpikir tentang bahasa, sebenarnya sekaligus juga telah melibatkan makna. Bolinger dalam Aminuddin (2001:52) menyatakan bahwa makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1993:548) kata makna diartikan sebagai (1) arti, maksud, (2) maksud pembicaraan dan penulis, pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Dalam buku Semantik I, Djajasudarma mengungkapkan bahwa pengertian makna (sense-bahasa Inggris) dibedakan dari arti (meaning-bahasa Inggris) di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna setiap kata yang digunakan dalam berkomunikasi merupakan payung dari kajian semantik. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema artinya tanda atau lambang. Istilah semantik tersebut digunakan oleh para pakar untuk menyebut bagian dari ilmu bahasa yang mempelajari makna dalam bahasa tertentu.
Tidak hanya makna kata, makna kalimat juga dapat dijadikan sebagai objek dalam kajian semantik, karena suatu kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya (Dedi Sutedi, 2003:105). 1.4.2 Kerangka Teori Setiap penelitian yang dilakukan selalu memerlukan suatu acuan untuk meneliti. Acuan tersebut dijadikan sebagai alat untuk menyoroti masalah yang akan dipecahkan. Pada penulisan ini, perbedaan pola-pola yang menyatakan kalimat pengandaian dalam bahasa Jepang namun memiliki makna yang sama dalam bahasa Indonesia merupakan permasalahan yang akan dikaji. Menurut Chaer (1994:59), makna itu terbagi dua, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. Dalam bahasa Jepang makna leksikal disebut jisho teki imi (makna kamus) atau goi teki imi (makna kata) yang sesungguhnya sesuai dengan referensi sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau dapat juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Sedangkan makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut bunpo teki imi (makna kalimat) yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya (Sutedi, 2003:105-106). Banyak teori yang dikemukakan oleh para pakar filsafat dan linguistik sekitar teori makna dalam studi semantik. Menurut Parera (1990:16), secara umum teori makna dibedakan atas: 1. Teori Referensial atau Korespondensi. 2. Teori Kontekstual. 3. Teori Mentalisme.
4. Teori Formalitas. Dari beberapa makna yang termasuk dalam kajian semantik, teori makna yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas adalah teori makna kontekstual. Makna kontekstual merupakan makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks (Chaer, 2003:290). Teori kontekstual mengisyaratkan pula bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks ( Parera, 1991:18). Penggunaan pola to, ba, tara dan nara pun disesuaikan dengan konteks yang ada. Walaupun dalam bahasa Indonesia keempat pola tersebut memiliki arti yang sama, namun terdapat perbedaan penafsiran mengenai makna tersebut. Dalam buku Nihongo Bunpo Keitairon, Shigeyuki Suzuki mengatakan bahwa kalimat pengandaian to menunjukkan suatu syarat dari suatu gatra yang sudah tetap/pasti, tidak ada hubungannnya dengan masa lalu, sekarang, atau masa yang akan datang dan tidak ada hubungannya dengan asumsi/ perkiraan dan hal yang sudah ditetapkan. Contoh: (5). 本をよむと 僕はねむくなる Hon wo yomuto, boku wa nemuku naru. Kalau membaca buku, saya jadi mengantuk (Suzuki, 1972: 355) Sependapat dengan pendapat Suszuki di atas, Yokobayashi dan Shimomura juga menjelaskan bahwa bentuk pengandaian to menunjukkan kebiasaan, kebenaran, gejala alam dan lain-lain, dimana ketika telah dipenuhi
syarat pada klausa pertama, maka akan terjadi apa yang diungkapkan pada klausa kedua secara otomatis. Shinobu Suzuki menguraikan fungsi ba sebagai persyaratan (joken), dengan memperkirakan keadaan yang terjadi di masa mendatang (mirai ni okoru kotogara wo katei shite, sore wo jouken to shita mono). Contoh: (6). 君が来れば 五人になります Kimi ga kureba, go nin ni narimasu. Kalau anda datang, menjadi lima orang. (Suzuki, 1977:211) Pada kalimat pengandaian tara, Alfonso menguraikan arti dasar dari tara, bahwa dengan terkandungnya unsur ta, maka selalu berarti bahwa kata kerja yang tampil dalam bentuk tara menunjukkan perbuatan atau keadaan yang sudah terjadi atau rampung, yang mendahului perbuatan atau keadaan yang dinyatakan dalam klausa kedua. Contoh: (7) そんなものを見たらすぐわかりました Sonna mono wo mitara, sugu wakarimashita. Kalau makan sesuatu seperti itu, nanti sakit perut. (Alfonso, 1974:659) Lebih lanjut, Shigeyuki Suzuki dalam bukunya yang berjudul Nihongo Bunpo Keitairon juga menjelaskan bahwa kalimat pengandaian nara menunjukan pendapat atau penilaian terhadap sesuatu keadaan itu sendiri dan menunjukkan maksud (ishi) atau rencana (yotei).
Contoh: (8) 経済を勉強をやるなら あの大学がいいでしょう Keizai no benkyou wo yaru nara, ano daigaku ga ii deshou. Kalau mau mengambil bidang ekonomi, universitas itu bagus (Suzuki, 1977:234) Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan di atas, landasan teori yang dipergunakan dalam menjelaskan makna kalimat pengandaian to, ba, tara dan nara sebagai makna gramatikal dalam bahasa Jepang adalah teori milik Hisayo Yokobayashi Dan Akiko Shimomura. Teori Tokobayashi ini juga didukung oleh pendapat-pendapat pakar lainnya, seperti Naoko Maeda, Tomita Takayuki, Shigeyuki Suzuki, dan lain sebagainya. 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan ini adalah: a. Untuk mengetahui bagaimana makna kalimat pengandaian to, ba, tara dan nara dalam bahasa Jepang. b. Untuk mengetahui bentuk kalimat pengandaian mana yang paling banyak dipergunakan dalam novel Noruwei No Mori dan makna apa saja yang terkandung di dalamnya.
1.5.2 Manfaat Penelitian Adapun manfaat daripada penulisan ini adalah: a. Dapat menambah wawasan mengenai makna kalimat pengandaian bahasa Jepang, baik bagi peneliti maupun bagi para pembaca mengingat bahwa bentuk tersebut merupakan salah satu hal yang paling sulit dimengerti. b. Teori-teori yang terdapat dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi yang berkaitan dengan bidang linguistik. c. Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca dalam memahami makna kalimat pengandaian bahasa jepang yang terdapat dalam novel Noruwei no Mori 1.6 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam menyusun penulisan ini adalah metode deskriptif. Kata deskriptif berasal dari bahasa latin descriptivus yang berarti uraian. Penelitain deskriptif adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.(m. Nazir, 1999:63) Metode lain yang digunakan adalah metode kepustakaan. Dalam penelitian dengan menggunakan metode kepustakaan,digunakan sumber-sumber data berupa buku-buku yang relevan dengan judul makalah/skripsi/tesis atau disertasi yang akan disususn. (Erna Widodo Mukhtar, 2000:76). Pada skripsi ini, Penulis mencari sumber-sumber data yang berbahasa Indonesia, Inggris maupun Jepang yang relevan dengan topik yang dibahas.
Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan antara lain: a. Mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan topik, serta menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. b. Mempelajari penggunaan bentuk pengandaian yang ada. c. Mengutip kalimat-kalimat pengandaian yang terdapat dalam sumber data, dalam hal ini adalah novel Noruwei no Mori yang berbahasa Jepang, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. d. Menganalisa masing-masing bentuk dan membandingkannya dengan pendapat pakar. e. Menarik kesimpulan.