TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE) Oleh: Tri Mulyadi 134130071 Sistim Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran yang semakin penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui SIG berbagai macam informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisa serta dikaitkan dengan letaknya di muka bumi. Menurut Danudoro (2006) SIG tumbuh sebagai respon atas kebutuhan akan pengelolaan data keruangan yang lebih efisien dan mampu menyelesaikan masalahmasalah keruangan. Secara garis besar, perkembangan SIG dipicu oleh setidak-tidaknya tiga hal utama, yaitu; (a) perkembangan teknologi komputer dan sistem informasi, (b) perkembangan metode analisis spasial di bidang geografi dan ilmu keruangan lainnya (pertanian), dan (c) tuntutan kebutuhan aplikasi yang menginginkan kemampuan pemecahan masalah di bidang masing-masing, yang terkait dengan aspek keruangan (spasial). Pengertian SIG sendiri telah diuraikan oleh banyak ahli dan memiliki arti yang relatif sama. Barus dan Wiradisastra (2000), menyatakan SIG adalah suatu sistim informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi Spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistim basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Sedangkan Aronoff (1989) dan Dulbahri (2003) menyebutkan bahwa SIG adalah sistim informasi yang mendasarkan pada kerja dasar komputer yang mampu memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisis data serta memberi uraian. Pernyataan Aronoff sejalan dengan pernyataan Danudoro (2006) bahwa SIG adalah sebuah sistim untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data; yang mana data tersebut secara keruangan (spasial) terkait dengan muka bumi. Berdasarkan berbagai pengertian SIG, tercermin adanya pemrosesan data keruangan dalam bentuk pemrosesan data numerik. Pemrosesan yang mendasarkan pada kerja mesin, dalam hal ini komputer yang mempunyai persyaratan tertentu. Data sebagai masukan harus dalam bentuk numerik, artinya data masukan apapun bentuknya harus diubah menjadi angka
digital, sedangkan data lain adalah data atribut (Dulbahri, 2003). Komponen utama SIG terbagi dalam empat kelompok yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Porsi masingmasing komponen tersebut berbeda dari satu sistim ke sistim lainnya, tergantung dari tujuan dibuatnya SIG (Barus dan Wiradisastra, 2000). Fasilitas perangkat lunak SIG digital pada dasarnya dapat dirinci menjadi tiga sub sistem yang saling terkait, yaitu; (1) sub sistem pemasukan data, (2) sub sistem pemrosesan data, dan (3) sub sistem output data. Sementara itu, Chang (2002) membagi SIG kedalam komponen-komponen berikut; (a) sistem komputer meliputi perangkat keras dan sistem operasinya, (b) perangkat lunak SIG yang meliputi program dan user interface untuk mengendalikan perangkat keras, (c) brainware untuk pengendalian aspek tujuan, manfaat, alasan dan justifikasi dalam penggunaan SIG, dan (d) infrastruktur yang mencakup lingkungan fisik, organisasional, administratif, serta kultural untuk mendukung mendukung operasi SIG, yang juga meliputi ketrampilan, standarisasi, data clearinghouse, serta pola organisasional. Salah satu isu utama dalam SIG adalah pemodelan spasial. Pemodelan spasial digunakan untuk memodelkan dunia nyata (real world), dan hal ini dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah lingkungan atau kewilayahan. Danudoro (2006) menyatakan terdapat lima macam model dalam SIG yang biasanya digunakan untuk pemodelan lingkungan dan kewilayahan, yaitu: 1) Model biner, Yang bertumpu pada logika biner (boolean logic) pada pengambilan keputusan masuk-tidaknya (atau memenuhi-tidaknya) suatu informasi digunakan pada tahap proses selanjutnya. Karena dasar pengambilan keputusan adalah logika biner (ya atau tidak), risiko kekeliruan pada penentuan nilai/kondisi ambang (threshold) juga cukup tinggi. Model ini biasanya hanya sesuai diterapkan pada skala kecil, di mana tidak tersedia cukup informasi rinci sebagai dasar pengambilan keputusan. Model biner dapat diterapkan dengan SIG vektor maupun raster, 2) Model indeks, Melibatkan penggunaan skor untuk setiap kategori yang berbeda dalam suatu peta tematik. Tumpangsusun peta-peta dengan model indeks biasanya akan melibatkan proses kalkulasi aritmetik, baik penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian. Indeks atau skor akhir yang dimiliki oleh satuansatuan pemetaan baru pada peta turunan (peta baru) akan menggambarkan kondisi atau performa gabungan dari berbagai kriteria, yang dijadikan dasar pengambilan keputusan. Model ini dapat diterapkan pada SIG vektor maupun raster,
3) Model regresi, Merupakan model yang memanfaatkan persamaan regresi untuk mengubah nilai pada peta menjadi nilai baru yang menggambarkan suatu kecenderungan (trend) fenomena tertentu. Model ini biasa diterapkan pada SIG raster, di mana nilai piksel diubah melalui persamaan regresi, dan peta raster berubah menjadi peta kuasi-kontinyu nilai kuantitatif, 4) Model proses, Adalah model yang menggunakan pengetahuan mengenai proses lingkungan di dunia nyata ke dalam suatu himpunan persamaan untuk mengkuantifikasi proses tersebut. Model ini lebih efektif dijalankan dalam lingkungan SIG raster, khususnya apabila datanya bersifat kuasi-kontinyu, dan 5) Model jaringan, Merupakan jenis pemodelan SIG yang hanya dapat dijalankan pada SIG vektor yang mempunyai struktur topologi (topological vector). Struktur topologi dalam data vektor itu secara eksplisit menyatakan hubungan antarentitas spasial dalam peta; titik (point), garis (arc) dan area (polygon). INDEKS STORIE Indeks Storie adalah metode semi kuantitatif untuk penilaian tanah yang pada awalnya digunakan untuk mengklasifikasikan tanah untuk keperluan tata guna lahan pertanian berdasarkan produktivitas tanamannya (Storie, 1978; Reganold and Singer 1979). Pada perkembangannya indeks Storie ini juga dapat digunakan untuk mengkaji kerentanan gerakan tanah (Sitorus, 1995; Arifin et al., 2006). Pada perkembangannya indeks Storie ini juga dapat digunakan untuk mengkaji kerentanan gerakan tanah (Sitorus, 1995; Arifin et al., 2006). Metode ini tidak memperhitungkan faktor fisik lainnya atau faktor ekonomi yang mungkin mempengaruhi kesesuaian tanaman di suatu lokasi. Analisisnya mudah dilakukan: berbagai kategori dikelompokkan menjadi beberapa kategori saja. Ada empat atau lima parameter yang lazim dievaluasi yaitu: A: Kedalaman tanah dan tekstur; B: Permeabilitas tanah; C: Sifat Kimia tanah; D: Drainase, limpasan permukaan; E: Iklim. Indeks dihitung dengan perkalian parameter-parameter, yaitu: Sindex = A x B x C x D x E...(1) Metode ini memiliki kelemahan adalah jika ada suatu kategori parameter memiliki nilai nol, maka hasil perkalian (Indeks Storie) akan menjadi nol dan tanah dianggap memiliki keterbatasan fisik dan tidak sesuai untuk keperluan lahan pertanian. Berdasarkan hasil penilaian Indeks Storie maka karakteristik tanah untuk pertanian dapat dibagi menjadi enam peringkat mulai dari Peringkat 1 (nilai 80-100) hingga Peringkat 6 (nilai<10) (anonim 2011). Peringkat 1 menunjukkan kemampuan lahan yang
terbaik untuk pertanian, kemudian peringkat selanjutnya menunjukkan kemampuan lahan yang baik, sedang, buruk, sangat buruk dan tidak sesuai untuk pertanian (Peringkat 6). Diagram alir penelitian. Pada perkembangannya dilakukan revisi terhadap Indeks Storie (1978) dengan menggunakan algoritma discrete dan fuzzy logic untuk menghasilkan nilai peringkat yang lebih akurat dan mengurangi unsur subjektifitas dalam pemeringkatan (rating) (O Geen dan Southard, 2005). Penggunakan Indeks Storie di Indonesia selain di bidang pertanian juga telah diaplikasikan untuk menentukan tingkat kerentanan gerakan tanah (Sitorus, 1995 dan Arifin, e.l, 2006) dengan modifikasi parameter pada Indeks Storie sebagai berikut: L = A x B/10 x C/10 x D/10 x...(2) dimana : L = tingkat kerentanan A = tataguna lahan B = kemiringan lereng C = jenis tanah D = curah hujan Daftar pustaka Barus, B., dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi: Sarana Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Chang, K.T. 2002. Introduction to Geographic Information Systems. Prentice Hall. New York. Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Danudoro, P. 2006. Sains Informasi Geografis: Dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Dulbahri. 2003. Sistem Informasi Geografi. Pelatihan Sistem Informasi Geografis Informasi Sumberdaya Lahan. Lokakarya Sistem Informasi Sumberdaya Lahan Untuk Perencanaan Tata Ruang. Kerjasama Fakultas Geografi UGM bersama Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Yogyakarta 24-25 Desember 1989. Arifin, S., Carolila, I., Winarso, G., 2006. Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Longsor (Propinsi Lampung). Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital, 3 (1), 77-86. Badan Geologi, 2013, Kejadian Gerakan Tanah, Anonim. 2011. Rekapitula kejadian gerakan tanah. esdm.go.id index.php gerakan tanah. Reganold, J. P., and M.J. Singer, 1979. Defining Prime Farmland by Three Land Classification System. Journal of Soil and Water Conservation 34, 172-176. Sitorus, S., 1995. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Tarsito, Bandung. Storie, R., 1978. Storie Index Soil Rating. Oakland, University of California Division of Agricultural Sciences Special Publication 3203. Wiradisastra, U.S. 1989. Metodologi Evaluasi Lahan Dalam Hubungan Sistem O Green, A. T., and S.B. Southard, 2005. A Revised Storie Index Modeled in NASIS. Soil Survey Horizons 46 (3), 98-109.