BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG-

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

PERLINDUNGAN HUKUM kreditur SEPARATIS DALAM KEPAILITAN

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

Pembebanan Jaminan Fidusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PENERIMA JAMINAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH. Oleh Rizki Kurniawan

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN PADA PT. BANK. MANDIRI (PERSERO) Tbk. BANDAR LAMPUNG. Disusun Oleh : Fika Mafda Mutiara, SH.

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB III TINJAUAN UMUM. pembangunan nasional perlu senantiasa dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan

separatis dapat memintakan agar kekurangan tersebut diperhitungkan sebagai kreditor konkuren (kreditor pesaing). Kata kunci: Hak Eksekutorial, Pailit

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut pihak-pihak sebaiknya dituangkan dalam suatu surat yang memiliki

KEDUDUKAN HAK KREDITUR PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN TERHADAP KREDIT MACET AKIBAT KEPAILITAN TERHADAP ADANYA PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK JAMINAN.

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

BAB II HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA ATAS BARANG JAMINAN DALAM UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya

BAB II UPAYA HUKUM KREDITOR ATAS KELALAIAN MEMPERPANJANG HAK ATAS TANAH YANG DIAGUNKAN

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. mampu lagi untuk membayar hutang-hutangnya, maka pihak debitur ini

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

WEWENANG KREDITOR SEPARATIS DALAM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERKENAAN DENGAN KEPAILITAN. Abstrak

PARATE EXECUTIE PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN ASET KREDITOR DAN DEBITOR

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM JAMINAN DALAM HUKUM AGRARIA. A. Hak Tanggunan Sebagai Hukum Jaminan Tanah

Transkripsi:

1 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU dan Pertentangannya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Pelaksanaan kewenangan pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis untuk mengeksekusi benda jaminan dari debitor yang telah dijatuhi putusan pailit memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda dengan proses eksekusi atas benda jaminan debitor yang tidak dijatuhi putusan pailit, hal ini dikarenakan benda tidak bergerak yang dijadikan jaminan tersebut termasuk juga sebagai harta pailit (boedel pailit), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ini berarti dalam hal debitor dinyatakan pailit, maka kebendaan tersebut tetap merupakan harta pailit bagi kreditor secara umum, dengan ketentuan bahwa kreditor pemegang jaminan kebendaan tetap diberikan hak untuk menjual sendiri dan memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan tersebut (Pasal 55 UU Kepailitan dan PKPU), dan kreditor pemegang hak istimewa (yang disebutkan dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata) memiliki hak untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari penjualan harta pailit secara umum dan kebendaan tertentu dalam harta pailit 1. Berdasarkan ketentuan tersebut maka seluruh harta kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada dan dimiliki oleh debitor pailit menjadi boedel pailit tanpa memperdulikan telah dibebani jaminan maupun tidak dibebani jaminan, yang kemudian akan menjadi jaminan pelunasan seluruh utang kreditor baik yang berkedudukan sebagai kreditor separatis maupun 1 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 28 77

2 kreditor biasa (konkuren), serta kreditor pemegang privilege (kreditor preferen). Sikap UU Kepailitan yang tidak menempatkan harta Debitor yang telah dibebani dengan Hak Jaminan di luar harta pailit merupakan sikap yang meruntuhkan sendi-sendi sistem hukum Hak Jaminan. Hal itu lebih lanjut telah membuat tidak ada artinya penciptaan lembaga Hak Jaminan di dalam hukum perdata dan membuat kaburnya konsep dan tujuan Hak Jaminan itu 2. Kaburnya konsep hukum jaminan ini apabila tidak dihentikan akan membuat berkurangnya minat pelaku usaha untuk menggunakan pranata hak tanggungan untuk menjamin pelunasan piutang kreditor. Ketentun eksekusi UUHT, sebagaimana tercantum pada Pasal 6, Pasal 20 ayat (1) dan (2) serta Pasal 21 UUHT. Pasal 6 UUHT berbunyi: Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Pasal 20 ayat (1) UUHT berbunyi: Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan: a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya. Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT berbunyi: Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Terkait dengan terjadinya kepailitan Pasal 21 UUHT menentukan bahwa: 2 Sutan Remy Syahdeini, Op. cit, hlm 135

3 Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini. Eksistensi hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi secara langsung benda jaminan guna memperoleh pemenuhan piutang yang dimilikinya sesuai titel eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak Tanggungan tetap diakui keberadaannya oleh UU Kepailitan dan PKPU, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 55 ayat (1) yang berbunyi: Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolaholah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan ini penting dan tepat untuk melindungi hak kreditor pemegang hak tanggungan, akan tetapi menjadi sia-sia karena terdapatnya ketentuan di dalam UU Kepailitan dan PKPU yang menangguhkan dan membatasi hak pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan debitor pailit tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, danpasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalampasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalamjangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1). Ketentuan kedua pasal tersebut membatasi hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi benda jaminan secara langsung karena adanya penangguhan selama 90 (Sembilan puluh) hari dan pembatasan eksekusi

4 selama 2 (dua) bulan dan hal ini sangat kontradiktif dengan Pasal 21 UUHT yang memberikan perlakuan yang sama bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi meskipun terjadi kepailitan pada diri debitor. Menurut pendapat Sutan Remy Syahdeini, ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay) memasung hak separatis dari kreditor pemegang hak jaminan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum jaminan bahwa hak separatis dari seorang Kreditor pemegang Hak Jaminan ialah bahwa benda-benda yang dibebani dengan Hak Jaminan (Hak Agunan) tidak termasuk dan berada di luar harta pailit 3. Ketentuan penangguhan eksekusi (stay) merupakan ketentuan yang merugikan hak kreditor pemegang hak tanggungan dan mengakibatkan hak eksekusi harus menunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Terkait dengan pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan juga merugikan hak kreditor pemegang hak tanggungan karena hanya dapat melaksanakan haknya dengan tenggat waktu yang sangat terbatas dan bila tidak dilaksanakan sesuai jangka waktu tersebut kewenangan eksekusi beralih ke kurator, beralihnya kewenangan ini sangat merugikan kepentingan dari kreditor pemegang hak tanggungan, karena tidak hanya hilang hak eksekusinya tetapi juga harus tunduk juga dengan prosedur pembagian pembayaran sesuai UU Kepailitan dan PKPU yang menempatkan kreditor pemegang hak tanggungan sebagai kreditor separatis yang memiliki posisi dibawah kreditor preferen, yaitu kewajiban perpajakan dan biaya kepailitan. Akibat inkonsistensinya UU Kepailitan dan PKPU menimbulkan persoalan yaitu pertentangan UU Kepailitan dan PKPU dengan UUHT terkait prosedur eksekusi pemegang hak tanggungan pada saat terjadi kepailitan, diantaranya sebagai berikut: 1. Pertentangan Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU dengan Pasal 21 UUHT 3 Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hlm. 285

5 Ketentuan Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi: Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1). Kedua pasal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 UUHT yang menentukan bahwa: Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini. Pertentangan yang terjadi anatara kedua peraturan perundang-undangan tersebut terkait dengan prosedur eksekusi yang berlaku bagi pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis apabila terjadi kepailitan. Kelebihan yang dimiliki oleh pranata hukum hak tanggungan adalah terkait dengam kemudahan eksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi, eksekusi benda jaminnan diatur oleh Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang berbunyi: Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan: a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

6 Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut eksekusi benda jaminan melalui pranata hukum hak tanggungan menjamin kemudahan bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi benda jaminan yaitu melalui: parate executie, eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, atau penjualan dibawah tangan. Akan tetapi ketentuan ini mengalami kendala yang cukup pelik apabila debitor yang bersangkutan pada saat yang bersamaan telah dinyatakan pailit, karena ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) yang memberikan penangguhan (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari dan pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan akan diberlakukan. Pemberlakuan penangguhan (stay) akan memberikan konsekuensi bagi pemegang hak tanggungan yaitu hanya dapat melakukan haknya untuk mengeksekusi benda jaminan setelah lewatnya jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari atau setelah terjadinya insolvensi, sedangkan pemberlakuan ketentuan pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan akan memberikan konsekuensi bagi kreditor pemegang hak tanggungan, yaitu harus segera mengeksekusi benda jaminan selama jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut jika terlewati jangka waktu tersebut, maka kewenangan eksekusi akan beralih kepada kurator selaku pengurus dan pemberes boedel pailit, hal ini tentu tidak diinginkan oleh kreditor pemegang hak tanggungan karena haknya untuk mengeksekusi benda jaminan menjadi hilang. Hilangnya kewenangan ini bertentangan dengan teori keadilan aristoteles yang mengenal adanya keadilan distributif, yang menentukan bagian masing-masing pihak berdasarkan haknya, terkait hal ini, maka

7 sudah selayakna pemegang hak tanggungan memperoleh keadilan atas pengakuan dan penjaminan hak eksekusi yang dimilikinya. 2. Benturan Kepentingan Para Kreditor Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, kedua pasal tersebut jika dikaitkan dengan ketentuan mengenai hak eksekusi pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi secara langsung atas benda jaminan sebagaimana diatur pada UUHT menjadi kontradiktif, karena dengan adanya penangguhan dan pembatasan tersebut akan mengekang hak pemegang hak tanggungan yang notabene dilindungi oleh UUHT bahkan jikalau terjadi pada debitor yang telah dinyatakan pailit, sebagaimana diatur pada Pasal 6, Pasal 20 ayat (1) dan (2), serta Pasal 21 UUHT. Berdasarkan UUHT, pemegang hak tanggungan tetap memiliki kewenangan untuk mengeksekusi benda jaminan pada saat debitor wanprestasi meskipun debitor yang bersangkutan telah dinyatakan pailit, akan tetapi hal tersebut meskipun diakui eksistensinya oleh UU Kepailitan dan PKPU akan tetapi keberadaannya mendapatkan pembatasan sehingga akan menyebabkan ketidakpastian hukum dan menyebabkan konflik bagi para pihak yang berkepentingan di dalamnya karena tidak adanya perlindungan hukum atas hak-hak yang dimilikinya. Terkait dengan hal tersebut maka sudah seharusnya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi dihilangkan dari UU Kepailitan dan PKPU karena merugikan kepentingan hak kreditor pemegang hak tanggungan dan dapat memicu adanya konflik antara kreditor pemegang hak tanggungan dengan kreditor-kreditor lainnya. Benturan kepentingan ini karena adanya perlakuan yang tidak adil sebagai akibat adanya pembatasan hak bagi kreditor pemegang hak tanggungan berupa penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU terkait pengakuan dan penjaminan terhadap hak eksekusi kreditor pemegang

8 hak tanggungan dapat menimbulkan berbagai persoalan sehingga benturan kepentingan para kreditor tidak dapat dihindari. 3. Tercapainya Tujuan Hukum UU Kepailitan dan PKPU dan UUHT Hukum sebagai suatu sistem memiliki tujuan yang hendak dicapai, adapun tujuan hukum tersebut terjelma di dalam materi muatan pada peraturan perundang-undangan yang dibentuk untuk selanjutnya tercantum di dalam pasal-pasalnya. Tujuan hukum merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh hukum tersebut sehingga menjadi penyebab terbentuknya hukum yang pada dasarnya hukum bertujuan untuk memberikan keadilan bagi para pihak dengan memberikan pengaturan yang jelas dan tegas terhadap hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga masing-masing pihak memperoleh bagian yang merupakan haknya. Keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan dapat terlihat dengan tercapai tidaknya tujuan peraturan perundang-undangan tersebut, peraturan perundang-undangan yang baik akan berisi materi muatan yang aplikatif sehingga tujuan dari peraturan perundangundangan tersebut dapat terlaksana dengan baik. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan 4. Ketertiban dan keseimbangan merupakan tatanan yang dikehendaki oleh hukum, karena dengan terciptanya ketertiban dan keseimbangan maka hak-hak para pihak yang terkait di dalamnya akan terlindungi sehingga menciptakan keadilan bagi semua pihak dan mencegah terjadinya konflik. Ketertiban merupakan tatanan ideal di dalam masyarakat, karena dengan adanya ketertiban akan terjadi keseimbangan diantara hak dan kewajiban sehingga hak dan kewajiban tersebut dapat diakui dan dijamin eksistensinya oleh hukum. Tujuan pembentukan UUHT secara tegas tidak terdapat di dalam UUHT, akan tetapi tersirat dari pertimbangan dan penjelasan 4 Bernard Nainggolan, Op. cit, hlm 22

9 umum UUHT yaitu untuk memberikan landasan hukum bagi lembaga jaminan di Indonesia terkait pembebanan jaminan dengan menggunakan jaminan benda tidak bergerak berupa tanah sebagaimana dimaksud UUPA, yang sebelumnya hanya diatur dengan produk hukum zaman kolonial Belanda yaitu Hypotheek sebagaimana diatur dalam Buku II KUHPerdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190. Sementara itu tujuan dari UU Kepailitan dan PKPU tercantum di dalam Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU, yang berbunyi: Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaankewajiban pembayaran utang: Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor. Kedua, untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor. Berdasarkan penjelasan umum UU Kepaiitan dan PKPU tersebut tujuan utama dari pembentukan UU Kepailitan dan PKPU adalah memberikan keadilan bagi semua pihak di dalamnya dengan cara melindungi boedel pailit sehingga nilai boedel pailit dapat maksimal guna membayar utang debitor pailit kepada para kreditornya. Bentuk keadilan tersebut adalah terjaminnya pembagian boedel pailit kepada seluruh kreditor secara seimbang berdasarkan prosentase besar

10 kecilnya piutang masing-masing dengan tetap memperhatikan kekhususan bagi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (termasuk hak tanggungan di dalamnya) sehingga merealisasikan asas pari passu dan pro rata menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Poin kedua tujuan UU Kepailitan dan PKPU secara tegas menyebutkan pembentukan UU Kepailitan dan PKPU untuk menghindari adanya kreditor separatis (termasuk kreditor pemegang hak tanggungan) yang melakukan eksekusi hak yang dimilikinya tanpa memperhatikan kepentingan debitor pailit dan kreditor konkuren, hal ini berarti sebelum dibentuknya UU Kepailitan dan PKPU seringkali terjadi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan selaku kreditor separatis melakukan eksekusi benda jaminan tanpa memperdulikan kepentingan debitor pailit dan para kreditor lainnya khususnya kreditor konkuren, misalnya eksekusi dilakukan sesuai kehendaknya sendiri sehingga tidak ada kepastian waktu dilakukannya eksekusi tersebut ataupun melakukan eksekusi melalui lelang dengan nilai limit yang rendah sekedar untuk pelunasan piutangnya saja meskipun ini diperbolehkan oleh hukum, akan tetapi hal ini dapat mendatangkan kerugian pihak lain, karena.terkait dengan adanya penangguhan eksekusi yang diatur Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU memilki tujuan sebagaimana tercantum pada penjelasan pasal tersebut, yang berbunyi: Penangguhan yang dimaksud dalam ketentuan ini bertujuan, antaralain: a. Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau b. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau c. Untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Hukum kepailitan merupakan jawaban atas kesulitan keuangan, yang bukan hanya sebagai masalah ekonomi tetapi juga merupakan masalah moral, politik, personal dan masalah sosial yang berakibat pada

11 partisipannya 5. Lebih lanjut pada hukum kepailitan terdapat circle of responbility, yang meliputi tiga elemen.pertama, tanggung jawab sosial debitor dalam kepailitan. Kedua, tanggung jawab para kreditor terhadap para kreditor lainnya. Ketiga, tanggung jawab para debitor dan kreditor terhadap masyarakat 6. Berdasarkan hal tersebut tujuan dibentuknya UU Kepailitan dan PKPU adalah melindungi dan menyeimbangan kepentingan para pihak yang terkait di dalamnya serta kepentingan masyarakat luas yang dapat terkena imbas dari putusan kepailitan tersebut. Benturan kedua peraturan perundang-undangan terkait dengan tujuan masing-masing undang-undang yaitu adanya penangguhan eksekusi (stay) bagi pemegang hak tanggungan pada saat debitor pailit dengan tujuan pembentukan UUHT yang bertujuan memberikan landasan hukum bagi pemegang hak tanggungan untuk dapat mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi sebagaimana dijamin oleh UUHT. 4. Terlaksananya Asas-Asas Hukum UU Kepailitan dan PKPU dan UUHT Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum 7. Asas hukum menurut Satjipto Rahardjo, merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum. Barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum. penyebutan demikian karena pertama merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada 5 Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 30 6 Ibid 7 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Op. cit, hlm. 135

12 akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut 8. Asas hukum memegang peranan penting karena merupakan roh atau jiwa dari peraturan perundang-undangan tersebut sehingga apabila adanya ketentuan-ketentuan yang tidak tercantum ataupun adanya ketentuan yang menimbulkan multitafsir yang terdapat di dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut maka dapat dipahami dengan cara memahami asas-asas yang terdapat di dalamnya. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa asas atau prinsip hukum bukanlah peraturan konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umumsifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat didiketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut 9. Terkadang asas atau prinsip hukum tersebut tidak tertulis secara konkret di dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi asas atau prinsip hukum tersebut hidup karena terjelma pada landasan dasar tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dan merupakan roh dari suatu peraturan perundang-undangan sehingga setiap pasal yang ada di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari asas atau prinsip hukum tersebut. Asas hukum mengandung tuntutan etis, sehingga asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa melalui asas hukum ini, peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis 10. Tatanan etis merupakan nilai-nilai keadilan yang merupakan tujuan dari hukum itu sendiri yang sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam 8 Bernard Nainggolan, Op. cit, hlm. 31 9 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan:Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2008, hlm. 26 10 Bernard Nainggolan, Op. cit, hlm. 31-32

13 masyarakat sehingga hukum tersebut dapat dipertahankan dan ditaati eksistensinya oleh semua pihak.asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, akan tetapi asas hukum dapat digunakan untuk memahami peraturan perundang-undangan karena di dalam asas-asas hukum tersebut terkandung nilai-nilai etis. Asas-asas hukum kepailitan tercantum di dalam Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah : a. Asas Keseimbangan Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. b. Asas Kelangsungan Usaha Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. c. Asas Keadilan Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya. d. Asas Integrasi

14 Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Sedangkan asas-asas hukum yang terdapat pada hak tanggungan dapat dipahami dari beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UUHT, yaitu: a. Asas Kedudukan yang Diutamakan Bagi Pemegang Hak Tanggungan Pemegang hak tanggungan merupakan kreditor separatis, kata separatis secara bahasa berarti terpisah, dikatakan terpisah karena pemegang hak tanggungan memiliki kedudukan yang dipisahkan dari kreditor biasa dan diutamakan (droit de preference) sebab haknya untuk mendapatkan pelunasan pembayaran utang debitor didahulukan dari kreditor lainnya melalui benda yang dijadikan jaminan kepadanya. Ketentuan yang mengatur mengenai kedudukan yang diutamakan bagi pemegang hak tanggungan terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 dan Penjelasan Umum UUHT, yang berbunyi: Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnyadisebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untukpelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentuterhadap kreditor-kreditor lain. Selanjutnya pada Penjelasan Umum UUHT, menyatakan bahwa: Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak

15 Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditorkreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. b. Asas Kemudahan Eksekusi Kreditor pemegang hak tanggungan memiliki kemudahan untuk menjual sendiri benda jaminan apabila debitor wanprestasi guna pelunasan piutang yang dimilikinya, hal inilah yang merupakan kelebihan dari hak tanggungan sehingga menjadi pilihan bagi pihak kreditor guna memperoleh perlindungan atas pelunasan piutangnya. Eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditor pemegang hak tanggungan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu: parate eksekusi, eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, serta eksekusi penjualan di bawah tangan. Ketentuan terkait eksekusi ini diatur di dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang berbunyi: Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan: a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6, atau b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalampasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yangditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang HakTanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya. Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapatdilaksanakan di bawah

16 tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yangmenguntungkan semua pihak. c. Asas Tidak Dapat Dibagi-bagi Asas tidak dibagi-bagi yaitu bahwa pembayaran atas sebagian utang tidak menyebabkan hapusnya sebagian benda yang dijadikan benda jaminan, benda jaminan baru bebas apabila seluruh utang telah dibayar lunas seluruhnya oleh debitor, ketentuan ini terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UUHT yang berbunyi: Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam AktaPemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam AktaPemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukandengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakanbagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehinggakemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utangyang belum dilunasi. d. Asas Accesoir Perjanjian hak tanggungan merupakan perjanjian ikutan dan bukan merupakan perjanjian pokok, sehingga perjanjian hak tanggungan itu ada jikalau perjanjian pokoknya ada, perjanjian pokok tersebut yaitu perjanjian utang-piutang. Sifat accesoir hak tanggungan diatur pada Penjelasan Umum UUHT yang berbunyi: Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatupiutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, makakelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya

17 e. Asas Publisitas Tujuan dari publisitas adalah supaya perjanjian yang dibuat oleh pihak debitor dan kreditor tersebut diketahui oleh seluruh pihak yang berkepentingan sehingga mejamin kepastian hukum terkait perbuatan hukum yang dilakukan tersebut karena telah terdaftar. Ketentuan terkait asas publisitas ini tercantum pada Pasal 13 ayat (1) UUHT yang berbunyi: Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, selanjutnya Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT berbunyi: Salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas. Oleh karena itu didaftarkannya pemberian HakTanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya HakTanggungan terhadap pihak ketiga. f. Asas Spesialitas Merupakan asas yang menghendai kejelasan keterangan terkait subyek dan obyek atas hak tanggungan tersebut sehingga menghindarkan kerancuan akibat ketidak jelasan keterangan terkait subyek dan/atau obyek hak tanggungan. Ketentuan asas spesialitas tercantum pada Pasal 11 ayat (1) UUHT yang berbunyi: Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan: a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan; b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih; c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal3 dan Pasal 10 ayat (1); d. Nilai tanggungan; e. Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.

18 Kedudukan asas-asas hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan sebagai jantung hukum memegang peranan penting untuk menjaga dan mengawal terlaksananya cita-cita hukum yang menjadi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan tersebut, karena asas hukum ini merupakan roh yang menjiwai isi dari pasal-pasal yang terdapat pada UUHT dan UU Kepailitan dan PKPU. Akan tetapi terdapat asas hukum yang kontradiktif diantara kedua peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu adanya asas keadilan pada UU Kepailitan dan PKPU dan asas kemudahan eksekusi yang dianut oleh UUHT. Asas keadilan pada UU Kepailitan dan PKPU menghendaki kreditor memperhatikan kepentingan kreditor lain pada saat menuntut haknya dengan tidak bersikap sewenang-wenang, meskipun tidak dinyatakan secara tegas kreditor yang dimaksud oleh asas tersebut, akan tetapi ketentuan tersebut merujuk kepada kreditor separatis yang termasuk di dalamnya kreditor pemegang hak tanggungan yang memiliki hak untuk melakukan eksekusi sendiri atas benda jaminan, di sisi menurut asas kemudahan eksekusi yang dianut oleh UUHT, kreditor pemegang hak tanggungan memiliki hak berupa kemudahan untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan apabila debitor wanprestasi, yaitu dengan cara parate eksekusi, eksekusi berdasarkan titel ekskutorial atau dengan penjualan di bawah tangan, sehingga adanya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang merupakan penjelmaan asas Asas keadilan pada UU Kepailitan dan PKPU menjadi bertentangan dengan asas kemudahan eksekusi yang dianut oleh UUHT. Benturan asas hukum tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus sehingga kedua asas-asas hukum peraturan perundang-undangan tersebut dapat terlaksana. Penggolongan kreditor yang dilakukan oleh UU Kepailitan dan PKPU, sebagaimana disebutkan pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang membagi kreditor menjadi tiga yaitu: kreditor preferen (kreditor pemegang hak istimewa), kreditor separatis (kreditor

19 pemegang hak jaminan kebendaan), serta kreditor konkuren (kreditor biasa). Tujuan dari keadilan adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait kepailitan yang menimpa debitor, sehingga masing-masing kreditor terlindungiakan hak-haknya untuk mendapatkan pembayaran piutang yang dimilikinya dari boedel pailit. Keadilan yang dianut oleh Pancasila sebagaimana tercantum pada Sila kelima Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga keadilan bagi orang banyak harus lebih diutamakan dengan tetap memperhatikan keadilan bagi setiap individu. Berdasarkan hal tersebut, maka meskipun penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang ditetapkan oleh UU Kepailitan dan PKPU merupakan ketentuan yang diciptakan untuk memenuhi keadilan bagi masyarakat, akan tetapi tidak dapat dibenarkan karena merugikan hak individu yang pokok yaitu hak eksekusi yang dimiliki oleh kreditor pemegang hak tanggungan. Pengaturan tentang kepailitan dalam undang-undang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan yang adil dan seimbang terhadap pihak kreditor maupun pihak debitor dalam menyelesaikan permasalahan utang piutangnya 11. Keadilan bagi semua pihak merupakan hal yang ingin dicapai oleh UU Kepailitan dan PKPU, karena keadilan merupakan salah satu asas yang dianut dan akan direalisasikan oleh UU Kepailitan dan PKPU. Menurut Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU, asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangwenanganpihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya. Keadilan yang ingin dicapai oleh UUHT adalah keadilan bagi pemegang hak tanggungan untuk dapat melakukan eksekusi atas benda jaminan apabila debitor melakukan wanprestasi. Keberadaan UUHT yang 11 Dijan Widijowati, Hukum Dagang, CV. Andi, Yogyakarta, 2012, hlm. 219

20 memberikan hak bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi merupakan hal yang harus diperhatikan dan dijamin kepastiannya, sehingga ketentuan penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi tidak tepat, mekanisme pertanggungjawaban laporan hasil penjualan benda jaminan oleh kreditor pemegang hak tanggungan sudah cukup untuk memberikan keadilan bagi seluruh pihak. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah dan legislator dengan dilakukannya revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU khususnya ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi, sehingga akan terhindarkannya benturan kepentingan antara para kreditor akibat adanya pertentangan antara Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU dengan Pasal 21 UUHT, terwujudnya asas-asas dan tujuan hukum yang dianut dan tercantum di dalam UU Kepailitan dan PKPU dan UUHT, serta terciptanya undang-undang yang memberikan keadilan bagi kreditor pemegang hak tanggungan atas hak eksekusi terhadap benda jaminan pada saat debitor dijatuhi putusan pailit. B. Upaya Mengatasi Inkonsistensi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Pranata hukum kepailitan dan hak tanggungan merupakan pranata hukum yang diciptakan untuk menciptakan perlindungan hukum bagi kreditor dan debitor terkait adanya perjanjian utang-piutang yang dibuat oleh kedua belah pihak. Pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis memiliki hak untuk didahulukan dan diutamakan atas pembayaran piutang yang dimilikinya terhadap kreditor-kreditor lainnya yang berkedudukan sebagai kreditor konkuren. UU Kepailitan dan PKPU yang merupakan produk hukum yang lebih baru dibandingkan UUHT

21 tetap mengakomodir kedudukan yang didahulukan (droit de preference) dan diutamakan bagi kreditor pemegang hak tanggungan, sebagaimana diatur Pasal 55 ayat (1), dan Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hakagunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Selanjutnnya Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: Semua biaya kepailitan dibebankan kepada setiap benda yangmerupakan bagian harta pailit, kecuali benda yang menurutketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 telah dijual sendirioleh Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Hak didahulukan kreditor pemegang hak tanggungan tersebut meskipun diakui oleh UU Kepailitan dan PKPU, akan tetapi pelaksanaan hak tersebut diberikan pembatasan guna memberikan perlindungan hukum kepada boedel pailit, yaitu dengan cara penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi, sebagaimana diatur Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yangberada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator,ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Selanjutnya Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, danpasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalampasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalamjangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1). Ketentuan yg inkonsisten UU Kepailitan dan PKPU terkait hak eksekusi atas benda jaminan oleh kreditor pemegang hak tanggungan tersbut

22 menimbulkan kejanggalan karena pengakuan yang dilakukan oleh UU Kepailitan dan PKPU langsung diamputasi dengan adanya ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang merugikan kepentingan kreditor pemegang hak tanggungan. Berdasarkan kedua pasal tersebut adanya putusan pailit atas debitor memberikan konsekuensi yuridis bagi kreditor pemegang hak tanggungan terkait pelaksanaan hak mendahului yang dimilikinya, mekanisme yang harus dilalui oleh pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan adalah setelah lewatnya masa penangguhan (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari atau setelah terjadinya keadaan insolvensi yaitu suatu keadaan apabila jumlah utang debitor lebih banyak daripada nilai boedel pailit, setelah dimulainya masa eksekusi tersebut kreditor pemegang hak tanggungan harus melaksanakan eksekusi selambatlambatnya selama jangka waktu 2 (dua) bulan. Tujuan dari diberlakukannya penangguhan (stay) tersebut sebagai berikut 12 : 1. Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; 2. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; 3. Untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Jika dilihat dari tujuan pemberlakuan penangguhan (stay) tersebut tampak bahwa UU Kepailitan dan PKPU tidak realistis menempatkan tujuan hukum kepailitan untuk memperbesar kemungkinan terciptanya perdamaian, seharusnya upaya kepailitan merupakan upaya terakhir dan sudah dimungkinkan lagi upaya perdamian, sehingga tidak diperlukannya upaya hukum penangguhan (stay) tersebut. Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik Kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan 13. Ketentuan ini secara 12 Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 13 Ibid

23 tegas melarang segala bentuk upaya hukum yang terkait atas boedel pailit, tak dikecualikan atas kreditor apapun sehingga kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis dikekang haknya karena tidak dimungkinkan melakukan upaya hukum apapun atas benda jaminan yang telah dinyatakan pailit tersebut Keberlakuan hak eksekusi atas benda jaminan bagi kreditor pemegang hak tanggungan sebagaimana diatur pada UUHT dapat ditinjau dari teori yang terkait dengan benda jaminan, yaitu teori antara (intermediate theory) dan teori executie. Teori antara (intermediate theory) memberikan hak untuk memiliki, menguasai dan menikmati hasil kepada pihak debitor, tetapi hak tersebut segera beralih ke pihak kreditor pemegang jaminan ketika terjadi wanprestasi terhadap utang debitor 14. Keberadaan hak tanggungan sebenarnya merupakan solusi yang menguntungkan bagi pihak debitor dan kreditor, debitor masih memiliki hak dan kesempatan untuk mengusahakan benda jaminan selama tidak mengalihkan kepemilikannya dan kreditor terlindungi haknya untuk memperoleh pembayaran piutang yang dimilikinya dengan cara mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi sebagaimana dianut oleh teori executie. Pada teori ini hak kreditor untuk menjual bendabenda obyek jaminan utang adalah berdiri sendiri (zelfstanding) dari pihak pemegang jaminan utang 15. Adanya hak eksekusi ini memberikan kebebasan bagi kreditor untuk menjual sendiri benda jaminan apabila debitor wanprestasi atas pembayaran utangnya. Ketentuan UU Kepailitan dan PKPU yang memberlakukan masa penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi benda jaminan bagi kreditor pemegang hak tanggungan merupakan inkonsisten terhadap sikap UU Kepailitan dan PKPU yang mengakui adanya hak eksekusi bagi pemegang hak tanggungan, ketentuan yang inkonsisten ini mengakibatkan membatasi dan membelenggu hak kreditor 14 Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Erlangga, Jakarta, 2014, hlm 5 15 Ibid, hlm. 58

24 pemegang hak tanggungan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk memperbaiki ketentuan UU Kepailitan dan PKPU sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada kreditor pemegang hak tanggungan dengan cara-cara sebagai berikut: 1) Penerapan Teori Perlindungan Hukum Perlindungan hukum menunjukkan fungsi hukum sebagai sarana perlindungan kepentingan manusia sekaligus menunjukkan tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, sehingga di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Perlindungan hukum erat kaitannya dengan jaminan kepastian hukum, karena dengan adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait akan memberikan kepastian hukum atas pemenuhan hak-hak masingmasing pihak. Kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan ini. Terkait kepailitan, setiap kreditor tentunya ingin memperoleh kepastian hukum terkait pembayaran piutang yang dimilikinya, terlebih pada saat terjadinya kepailitan yang tentunya melibatkan banyak kreditor, sehingga dengan adanya kepastian hukum ini akan melindungi hak-hak tiap kreditor, begitu pula halnya dengan kreditor pemegang hak tanggungan yang harus mendapatkan perlindungan hukum atas hak eksekusi yang dimilikinya atas benda jaminan milik debitor termasuk apabila debitor dinyatakan pailit. Menurut Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian hukum (certainty) meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum

25 undang-undang tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka sudah seharusnya materi muatan di dalam suatu produk hukum berupa peraturan perundang-undangan memiliki pasal-pasal yang konsisten sehingga pasal-pasal tersebut saling mendukung satu sama lain untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terdapat di dalamnya, sehingga UU Kepailitan dan PKPU seharusnya juga konsisten terhadap setiap pasal di dalamnya termasuk terkait pengakuan atas hak eksekusi pemegang hak tanggungan yang diakui oleh Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, akan tetapi kemudian oleh Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU ditangguhkan dan dibatasi pelaksanaannya. Inkonsistensi ini menyebabkan tidak terlindunginya hak pemegang hak tanggungan untuk melakukan hak eksekusinya. Apabila dikaitkan dengan teori perlindungan hukum, peraturan perundang-undangan diciptakan untuk memberikan perlindungan hukum bagi seluruh kreditor yang memiliki piutang kepada debitor dengan cara memberikan jaminan kepastian bagi kreditor untuk memperoleh pembayaran piutang dari boedel pailit. Berdasarkan teori perlindungan hukum sudah semestinya UU Kepailitan dan PKPU konsisten terhadap pengakuan dan penjaminan hak pemegang hak tanggungan dan tidak melakukan penangguhan (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi. Suatu produk hukum berupa peraturan perundang-undangan haruslah konsisten pasal demi pasal sehingga menciptakan aturan hukum yang aplikatif untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi semua pihak di dalam kepailitan. Menurut pendapat Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, secara teoritis perlindungan hukum dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum

26 suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk definitif 16. Sedangkan perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa 17. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara intrinsik melekat pada Pancasila dan seyogyanya memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berdasarkan Pancasila 18. Kedudukan yang diutamakan dan didahulukan bagi kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis merupakan hak mutlak yang harus diakui dan dijamin eksistensinya karena menjadi ciri khas dari jaminan kebendaan untuk memperoleh jaminan kemudahan eksekusi apabila debitor wanprestasi, sehingga dengan adanya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi tidak memberikan perlindungan hukum bagi kreditor pemegang tanggungan. 2) Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali sini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum 19. Berdasarkan asas ini harus ditentukan terlebih dahulu ketentuan hukum yang bersifat Lex Specialis dan ketentuan hukum yang bersifat Legi Generalis. Menurut pendapat penulis, ketentuan UUHT merupakan Lex Specialis, karena UUHT merupakan ketentuan yang secara khusus diciptakan untuk mengatur 16 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 264 17 Ibid 18 Philipus M. Hadjon, Op.cit, hlm. 20 19 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 102

27 perjanjian yang dilakukan oleh pihak debitor dan kreditor terkait pemberian benda jaminan atas utang-piutang yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan tersebut apabila debitor melakukan wanprestasi. Kemudahan melakukan eksekusi atas benda jaminan tersebut merupakan upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada kreditor sekaligus untuk mengembangkan perekonomian negara dengan menciptakan lembaga jaminan untuk menstimulus pihak perbankan memberikan kredit kepada masyarakat, sedangkan UU Kepailitan dan PKPU merupakan Legi Generalis karena merupakan ketentuan yang berlaku umum untuk memberikan perlindungan kepada kreditor-kreditor untuk memperoleh pelunasan pembayaran piutang dari debitor, yang umumnya merupakan kreditor konkuren yang tidak memiliki jaminan kebendaan, sehingga terkait pengaturan mengenai hak kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis untuk mengeksekusi benda jaminan harus tunduk pada ketentuan yang terdapat pada UUHT. Secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generalis). Apabila dihubungkan dengan pandangan Dworkin, dengan asas ini maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus 20. Terkait dengan hal tersebut apabila terjadi kepailitan, maka ketentuan hukum yang berlaku bagi kreditor pemegang hak tanggungan adalah tetap UUHT dan ketentuan yang diatur UU Kepailitan dan PKPU sebatas ketentuan tersebut tidak diatur oleh UUHT. Menurut Bagir Manan, ada beberapa prinsip yang 20 Didik Hery Santosa, Aturan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Aturan Yang Bersifat Umum, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/21165- aturan-yang-bersifat -khusus-mengesampingkan-aturan-yang-bersifat-umum, diakses tangggal 21 Maret 2016 pukul 19:00 WIB