BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS II.1 Landasan Teori II.1.1 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) IHSG di BEI meliputi pergerakan-pergerakan harga untuk saham biasa dan saham preferen. IHSG mulai diperkenalkan pertama kali pada tanggal 1 April 1883 dengan menggunakan landasan dasar (baseline) tanggal 10 Agusutus 1982. Jumlah saham yang tercatat pada waktu itu yaitu 13 saham perusahaan. Rumus yang digunakan untuk menghitung IHSG adalah (Jogiyanto, 2010:102): Notasi: IHSG t Nilai Pasar = indeks Harga Saham Gabungan hari ke-t. = rata-rata tertimbang nilai pasar (jumlah lebar tercatat di bursa Dikalikan dengan harga pasar perlembarnya) Nilai Dasar = sama dengan nilai pasar tetapi dimulai dari tanggal 10 Agustus 1982 Nilai dasar dari IHSG selalu disesuaikan atas kejadian seperti Initial Public Offering (IPO), right issues, partial/company listing, konversi dari warrant dan convertible bond dan delisting (mengundurkan diri dari pencatatan bursa misalnya karena kebangkrutan). Nilai dasar IHSG tidak berubah pada kejadian-kejadian seperti pemecahan lembar saham (stock splits), dividen berupa
saham (stock dividens), bonus issue karena peristiwa-peristiwa tersebut tidak mengubah nilai pasar total. Rumus untuk menyesuaikan nilai dasar adalah (Jogiyanto, 2010:104): Notasi: NDB NPL = nilai dasar baru yang disesuaikan = nilai pasar lama NPTS = nilai pasar tambahan saham NDL = nilai dasar lama II.1.2 Analisis Saham Dalam melakukan investasi pada saham, seorang investor atau trader harus mememiliki kemampuan dan pengetahuan dalam menganalisis suatu saham. Dengan kemampuan dan pengetahuan menganalisis saham yang dimiliki investor atau trader dapat meminimalkan resiko dari investasi tersebut. Analisis saham dibutuhkan untuk menentukan resiko dan imbal hasil dari saham tersebut sebagai dasar keputusan investasi. Analisis tersebut dilakukan dengan dasar sejumlah informasi yang diterima investor dari saham tersebut. Secara garis besar analisis dalam memprediksi pergerakan harga saham dibagi menjadi dua, yaitu analisis fundamental (fundamental analysis) dan analisis teknikal (technical analysis). II.1.3 Analisis Fundamental Darmaji (2011:189) mendefiniskan analisis fundamental adalah sebagai berikut :
Analisis fundamental merupakan salah satu cara melakukan penilaian saham dengan mempelajari atau mengamati berbagai indikator yang terkait dengan kondisi makro ekonomi dan kondisi industri suatu perusahaan Dengan demikian, analisis fundamental dapat dikatakan analisis yang berbasis berbagai data rill untuk mengevaluasi nilai suatu saham. Beberapa data atau indikator yang umum digunakan, seperti pendapatan, laba, pertumbuhan penjualan, imbal hasil atau pengembalian atas ekuitas (return on equity), margin laba (profit margin), dan data-data keuangan lainnya sebagai sarana untuk menilai kinerja perusahaan dan pontensi pertumbuhan perusahaan di masa yang akan mendatang. Husnan (2009:307), para analis fundamental mencoba memperkirakan harga saham di masa yang akan datan dengan cara: i. Mengestimasi nilai faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang ii. Menerapkan hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham. II.1.4 Analisis Teknikal berikut : Husnan (2009:341) mendefiniskan analisis teknikal adalah sebagai Analisis Teknikal merupakan upaya untuk memperkirakan harga saham (kondisi pasar) dengan mengamati perubahan harga saham tersebut (kondisi pasar) diwaktu lalu. Berlainan dengan pendekatan fundamental, analisis teknikal tidak memperhatikan faktor-faktor fundamental (seperti kebijaksanaan pemerintah, pertumbuhan laba, perkembangan tingkat bunga, dan sebagainya), yang mungkin mempengaruhi harga saham (kondisi pasar). Analisis teknikal ini diperkenalkan untuk pertama kali oleh Charles H. Dow yaitu pada tahun 1884 bulan Juli, Dow menemukan ukuran perhitungan
pasar saham miliknya. Oleh karena itu maka teori yang dikemukakan tersebut dinamakan Dow Theory (teori Dow) yang merupakan cikal bakal analisis teknikal sehingga teori Dow sering disebut sebagai kakek moyangnya analisis teknikal. Teori Dow bertujuan untuk mengindentifikasi harga pasar dalam jangka panjang dengan berdasarkan pada data-data historis harga dimasa lalu. (Tandelilin, 2001). Teori ini pada dasarnya menjelaskan bahwa pergerakan harga saham bisa dikelompokan menjadi 3, yaitu : 1. Primary Trend, yaitu pergerakan harga saham dalam jangka waktu lama (Tahunan) 2. Secondary Trend, yaitu pergerakan harga saham yang terjadi selama pergerakan harga dalam primary trend. Biasanya terjadi dalam mingguan atau bulanan. 3. Minor Trend, merupakan fluktuasi harga saham yang terjadi setiap hari. II.1.5 Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) Menurut Arsyad (2001:281) Metode ARIMA adalah sebagai berikut : ARIMA merupakan teknik uji linier yang istimewa. Dalam membuat peramalan, model ini sama sekali mengabaikan variabel independen. ARIMA merupakan suatu alat yang menggunakan nilai-nilai sekarang dan nilai-nilai lampau dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat Santoso (2009:152) mendefinisikan pengertian Metode ARIMA adalah sebagai berikut : Metode forecasting yang tidak menggunakan teori atau pengaruh antar variabel seperti adalah pada model regresi; dengan demikian, metode ARIMA tidak memerlukan penjelasan mana variabel dependen atau mana variabel independen. Metode ini juga tidak melihat pola-pola data seperti pada time series decompotion; data yang akan diprediksi tidak perlu di pecah menjadi komponen trend, seasonal, siklis atau irregular seperti perlakuan pada data time series pada umumnya. Metode ini secara murni melakukan prediksi hanya berdasarkan datadata historis yang ada.
Metode ARIMA atau biasa disebut juga sebagai metode Box-Jenkins merupakan metode yang dikembangkan oleh George EP Box dan Gwilym Jenkins (1976), sehingga ARIMA sering disebut sebagai metode deret waktu Box- Jenkins (Juanda & Juandi, 2012:69). Menurut Mulyono (2000:127) metode Box-Jenkis hanya dapat diterapkan, menjelaskan, atau mewakili series yang stasioner atau telah dijadikan stasioner melalui proses differencing. Karena series stasioner tidak punya unsur trend, maka yang ingin dijelaskan dengan metode ini adalah unsur sisanya, yaitu error. Kelompok model time series linier yang termasuk dalam metode ini antara lain: moving average, autoregressive, autoregressive-moving average, dan autoregressive integrated moving average. 1. Model Moving Average (MA) Model moving average merupakan model untuk peramalan nilai series yang stasioner (Y t ) sebagai fungsi linier dari kesalahan peramalan sekarang dan masa lalu yang berurutan. Bentuk umum model ini adalah (Mulyono, 2000:127): Di mana : Y t = a 0 + e t - a 1 e t-1 a 2 e t-2 - - a q e t-q Y t e t : nilai series yang stasioner; : kesalahan peramalan yang dihasilkan proses random (white noise) diasumsikan normally and independently distributed dengan rata-rata nol; e t-1, e t-2 : kesalahan peramalan masa lalu;
a 0, a 1, a 2 : konstanta dan koefisien model, mengikuti konvensi koefisien pada model ini diberi tanda negatif. nilai Y t merupakan rata-rata tertimbang dari kesalahan sebanyak q periode kebelakang. Jumlah kesalahan yang digunakan pada persamaan ini (q) menunjukan tingkat dari model moving average. Jika model moving average bernilai 1 maka model dilambangkan sebagai MA (1). Hampir setiap model exponential smoothing pada prinsipnya ekuivalen dengan suatu model ini. Suatu syarat perlu dilakukan agar model MA dikatakan statsioner yang dinamakan invertibility condition adalah bahwa jumlah koefisien model ( ) selalu kurang dari 1. Hal ini berarti jika makin ke belakang peranan kesalahan makin mengecil. Jika kondisi ini tak terpenuhi maka kesalahan yang makin ke belakang justru makin berperan. Metode MA digunakan untuk menghilangkan fluktuasi data yang teliti, khususnya terjadi pada fluktuasi data yang dikarenakan nilai-nilai yang dianggap irregular. Suatu series dikatakan iregulear, karena jumlah frekuensi tidak banyak tetapi nilai yang berbeda cukup tinggi dengan rata-rata. Metode MA juga dapat dikatakan bahwa data historis (masa lalu) mempunyai nilai yang relatif sama dengan saat ini, maka dapat dikatakan data yang terdapat di masa lalu dianggap masih berkaitan dengan saat ini dan juga dapat dilakukan peramalan data di masa yang akan datang. Moving Average (rata-rata bergerak) karena proses dari ratarata digunakan secara kontinu, dari data-data masa lalu dan akan bergerak ke data saat ini (Santoso, 2002: 76)
2. Model Autoregressive Model Autoregressive adalah model untuk peramalan Y t sebagai fungsi linier dari data di masa lalu yang berurutan atau nilai sekarang series merupakan rata-rata tertimbang nilai-nilai masa lalu dengan kesalahan sekarang. Bentuk model ini adalah (Mulyono, 2000:128): Di mana : Y t = b 0 + b 1 Y t-1 + b 2 Y t-2 + + b q Y t-p + e t Y t Y t-1, Y t-2 b 0, b 1, b 2 e t : nilai series yang stasioner; : nilai lampau series yang bersangkutan; : konstanta dan koefisien model; : kesalahan peramalan dengan ciri seperti sebelumnya. Jumlah nilai lampau yang digunakan pada model AR (p) menunjukkan tingkat model. Jika model AR hanya digunakan sebuah nilai lampau, maka dikatakan model autoregressive tingkat satu atau dapat dilambangkan dengan AR (1). Jumlah koefisien model autoregressive ( ) harus selalu kurang dari 1, agar model ini menjadi stationer. Hal tersebut dilakukan karena merupakan syarat yang diperlukan untuk menjamin stationarity. 3. Model Autoregressive-Moving Average Dalam proses random stasioner bisa tidak dapat dijelaskan oleh model moving average saja atau autoregressive saja, karena proses itu mengandung keduanya. Model dinamakan autoregressive-moving average karena merupakan gabungan dari kedual model, hal ini dilakukan agar model dapat lebih efektif.
Pada model gabungan ini series stasioner adalah fungsi dari nilai lampaunya serta nilai sekarang dan lampau kesalahannya. Bentuk umum model ini adalah (Mulyono, 2000:128): di mana : Y t = b 0 + b 1 Y t-1 +. + b p Y t-p + e t a 1 e t-1 + a q e t-q Y t Y t-1, Y t-p e t-1, e t-2 e t b 0 dan b 1, b p, a 1, a q : nilai series yang stasioner; : nilai lampau series yang bersangkutan; : kesalahan masa lalu; : kesalahan peramalan dengan ciri seperti sebelumnya; : konstanta dan koefisien model syarat perlu agar proses ini stasioner adalah b 1 + b 2 +... b q < 1 model p menunjukkan tingkat model autoregressive dan q menunjukkan tingkat model moving average, sehingga jika model menggunakan satu nilai lampau series dan dua kesalahan masa lalu, model itu dilambangkan sebagai ARMA (1,2) dengan bentuk persamaan: Y t = b 0 + b 1 Y t-1 + e t a 1 e t -, - a 2 e t-2 4. Model Autoregressive Integrated Moving Average Menurut Gujarati (2003) model time series yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa data time series tersebut stasioner artinya rata-rata varian suatu time series konstan. Banyak data time series dalam ilmu ekonomi adalah tidak stasioner, melainkan integrated. Jika data time series integrated dengan ordo 1 disebut I (1) artinya differencing pertama. Jika series itu melalui proses
differencing sebanyak d kali dapat dijadikan stasioner, maka series itu dikatakan non stasioner homogen tingkat d. Dalam praktik, banyak series Y t adalah tidak stasioner. Jika series itu melalui proses differencing sebanyak d kali dapat dijadikan stasioner, maka series itu dikatakan nonstasioner homogen tingkat d. Contoh: Misalkan Y t nonstasioner Z t = AY t = Y t Y t-1 dan Z t adalah stasioner, maka Z t dikatakan first order homogeneus dan Y t dikatakan nonstasioner homogeny tingkat 1. Jika Z t mengikuti proses ARMA (p,q), maka Y t dikatakan mengikuti proses autoregressive integrated moving average yang dilambangkan dengan ARIMA (p,d,q) dimana d adalah tingkat proses differencing Suatu series nonstasioner homogem mungkin tidak tersusun atau kedua proses itu, yaitu proses autoregressive maupun moving average. Jika model hanya mengandung proses autoregressive, maka series itu dikatakan mengikuti proses integrated autoregressive dan dilambangkan ARIMA (p,d,0). Namun, jika hanya mengandung proses moving average, maka series dikatakan mengikuti proses integrated moving average atau dapat dinamakan ARIMA (0,d,q) (Mulyono, 2000:129). II.1.6 Tahapan Metode ARIMA (BOX-JENKINS) Menurut Arsyad (2001:282) tahapan Box-Jenkins adalah sebagai berikut : Metode Peramalan Box-Jenkins berbeda dengan hampir semua metode peramalan lainnya. Metode ini menggunakan pendekatan iteratif dalam mengidentifikasi suatu model yang paling tepat dari semua kemungkinan model yang ada. Model yang telah dipilih diuji lagi dengan data historis untuk melihat apakah model tersebut menggambarkan keadaan data secara akurat atau tidak
Langkah-langkah penerapan metode ARIMA secara berturut-turut adalah 1. Spesifikasi atau identifikasi model; 2. Pendugaan parameter model; 3. Diagnostic checking, dan 4. Peramalan. Berikut digambarkan setiap tahapan metode diagram air metode ARIMA dalam bentuk flowchart: Gambar 2.1 Flowchart Tahapan Metode ARIMA Perumusan Model-model secara umum Identifikasi Model Sementara Tidak Pengestimasian parameter dari Model Sementara Uji Diagnostik: Apakah Model Memadai? Ya Penggunaan Model untuk Peramalan Sumber : Box & Jenkins (1976) dalam Arsyad (2001:283)
1. Model Umum dan Uji Stasioner Suatu series dapat dikatakan stasioner atau menunjukkan kesalahan random yaitu jika koefisien autocorrelation untuk semua lag (selisih waktu) secara statistik tidak berbeda dari nol atau berbeda dari nol hanya untuk beberapa lag yang didepan. Kata secara statistik menunjukkan bahwa sedang berhubungan dengan koefisien autocorrelation sample, sehingga ada sampling error. Menurut Bartlett, suatu koefisien dikatakan tidak berbeda dari nol jika berada dalam interval sebagai berikut: 0 ± Z a/2 (1 / ) di mana : Z a/2 N : nilai variabel normal standar dengan tingkat keyakinan 1 α : banyaknya observasi, pada model ini biasanya digunakan n besar, paling tidak 72 2. Identifikasi Model Jika data telah menjadi series stasiioner, maka dilakukan penentuan model ARIMA (p,d,q) yang sekiranya cocok (tentatif) dengan cara menentukan berapa nilai p, d, dan q. Jika data yang diolah tanpa melakukan proses differencing maka d diberi nilai 0. Jika data menjadi stasioner setelah first order differencing maka d bernilai 1 dan seterusnya. Dalam menentukan nilai p dan d dapat ditentukan berdasarkan pengujian corrrelogram dengan mengamati pola fungsi autocorrelation dan partial autocorrelation (correlogram) dari series yang dipelajari. Berikut ini merupakan acuan penentuan pola ARIMA dengan acuan seperti berikut (Mulyono, 2000:130-131):
Tabel 2.1 Pola Otokorelasi dan Otokorelasi Parsial Autocorrelation Partial Autocorrelation ARIMA tentatif Menuju nol setelah lag q Menurun secara bertahap / bergelombang Menurun secara Menuju nol setelah lag p bertahap/bergelombang Menurun secara Menurun secara bertahap/bergelombang bertahap/bergelombang (sampai lag q masih (sampai lag p masih berbeda dari nol berbeda dari nol) Sumber : Mulyono (2000:131) ARIMA (0,d,q) ARIMA (p,d,q) ARIMA (p,d,0) Dalam mengamati pola autocorrelation dan partial autocorrelation seringkali pola yang terjadi pada data tidak sama dengan pola yang ada pada tabel itu, hal ini disebabkan karena adanya variasi sampling. Jika dalam penentuan p dan q sudah terbiasa maka diharapkan dekat dengan pola yang benar. Namun, kesalahan dalam penentuan nilai p dan q bukan merupakan masalah karena nanti akan dimengerti setelah dilakukan proses diagnostic checking. 3. Pendugaan Parameter Model Jika model tentatif telah ditentukan maka langkah berikutnya yaitu menduga parameternya. Pendugaan parameter model ARIMA akan menjadi sulit karena terdapat unsur moving average yang mengakibatkan ketidaklinieran parameter. Pendugaan parameter model ARIMA tidak menggunakan ordinary least squares (OLS), tetapi menggunakan metode penduga nonlinier. Dalam model regresi, kriteria pendugaan adalah sum squared error minimum.
Dalam proses pendugaan di awali dengan menentukan nilai awal parameter kemudian dilakukan proses iterasi menuju parameter yang menghasilkan sum squared error terkecil. Pemilihan nilai awal parameter berpengaruh terhadap banyaknya iterasi. Jika pilihan awal (dekat dengan parameter yang sebenarnya) maka konvergensi akan tercapai lebih cepat. Namun, jika dugaan yang salah maka kemungkinkan proses iterasi tidak konvergen (Mulyono, 2000:131). 4. Diagnostic Checking Jika pendugaan parameter telah ditentukan maka perlu melewati tahap diagnostic checking, yaitu memeriksa atau menguji apakah model telah dispesifikasi secara benar atau apakah model telah dipilih p, d, dan q yang benar. Model siap dilakukan peramalan jika telah melewati proses diagnostic checking. Ada beberapa cara yang dilakukan untuk memeriksa model adalah sebagai berikut Mulyono (2000:133): Pertama, model dispesifikasi dengan benar jika kesalahannya bersifat random atau merupakan suatu proses invitite noise atau antar-error tidak berhubungan, sehingga fungsi autocorrelation dari kesalahan tidak berbeda dengan nol secara statistik. Jika model kesalahaannya bersifat non random maka spesifikasi model yang lain perlu diduga dan diperiksa agar model dapat dispesifikasi dengan benar. Kedua, model yang dispesifikasi dengan benar dapat dilakukan pengujian dengan menggunakan modifted Box-Pierce (Ljung-Box) Q statistic yaitu menguji apakah fungsi autocorrelation kesalahan semuanya tidak berbeda dari nol. Rumusan itu adalah:
Q = n(n + 2) Di mana: r k = koefisien autorrelation kesalahan dengan lag k; n = banyaknya observasi series stasioner. Statistik Q mendekati distribusi chi-square dengan derajat bebas k-p-q. Jika nilai statistik Q lebih kecil dari nilai kritis chi-square seperti yang terdapat pada tabel, maka semua koefisien autocorrelation dapat dikatakan tidak berbeda dari nol atau model telah dispesifikasi dengan benar. Ketiga, Jika hasil pengujian dengan menggunakan modifted Box-Pierce (Ljung-Box) Q statistic menyisakan lebih dari satu model, maka model yang dipilih adalah model yang menghasilkan nilai MSE terkecil. Rumus MSE adalah sebagai berikut: Di mana: n = banyaknya observasi series stasioner; = nilai ramalan model; = nilai series. MSE yang lebih kecil dapat dikatakan model yang lebih cocok dengan data. Jika nilai MSE diantara model-model itu tidak menunjukkan perbedaan yang menonjol, maka semua model terpilih dipertahankan dan seleksi dilakukan pada setelah pengukuran kesalahan peramalan
5. Peramalan Mengacu pada pendapat Mulyono (2000:133) Jika model telah melewati tahap diagnostic checking maka langkah terakhir menggunakan model yang terbaik untuk melakukan peramalan. Jika model terbaik telah ditentukan maka model tersebut dapat digunakan untuk peramalan. Pada series homogeny non stasioneri memerlukan ramalan series asli, maka bentuk selisih harus dikembalikan pada bentuk variabel yang asli. Teknik peramalan ini juga dapat memberikan interval keyakinan. Jika semakin jauh ke depan, maka interval keyakinan akan semakin lebar. Namun tidak demikan untuk interval keyakinan pada moving average model murni. Berdasarkan ciri tersebut, model time series lebih cocok untuk melakukan peramalan jangka sangat pendek. Dalam melakukan peramalan jangka panjang, model struktual lebih cocok untuk digunakan peramalan. Peramalan dapat dikatakan sebagai never ending process, artinya jika data terbaru muncul, model perlu diduga dan diperiksa kembali. II.2 Penelitian Terdahulu Sudah banyak penelitian-penelitian terdahulu yang mencoba memprediksi gerakan suatu indeks harga saham menggunakan analisis teknikal dengan berbagai metode. Mulyono (2000) meneliti tentang peramalan jangka pendek pergerakan IHSG di BEI dan nilai tukar rupiah terhadap dolar dengan metode Box-Jenkins (ARIMA). Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa metode Box-Jenkins ini cocok untuk peramalan jangka pendek. Wongkaroon (2002) melakukan penelitian saham di Thailand menggunakan mengenai efisiensi bursa saham dengan menggunakan model
ARIMA. Hasil penelitian menunjukkan model ARIMA lebih akurat dalam meramal pergerakan indeks harga saham SET50 periode tahun 1997 daripada Random Walk Theory. Namun hasil test indeks SET50 pada tahun 1996, 1998, dan 2001, metode ARIMA kurang akurat jika dibandingkan dengan hasil test Random Walk Theory. Yani (2004) melakukan peramalan terhadap pergerakan IHSG di BEI dengan menggunakan metode Box-Jenkins (ARIMA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ARIMA cocok untuk peramalan jangka pendek. Nachrowi (2007) melakukan prediksi terhadap pergerakan IHSG di BEI dengan beberapa pendekatan dan kemudian membandingkan daya prediksinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ARIMA mempunyai kesalahan lebih kecil dalam memprediksi gerakan IHSG dibandingkan metode GARCH. Murwaningsari (2008) melakukan penelitian mengenai nilai prediksi IHSG. Hasil penelitian menunjukkan metode ARIMA memberikan hasil selisih nilai terkecil antara aktual dengan prediksi sebesar 47.34 (ARIMA) dan 258.48 (GARCH). Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode ARIMA dapat digunakan untuk memprediksi gerakan IHSG karena mempunyai kesalahan prediksi lebih kecil. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Nachrowi (2007) Sadeq (2008) melakukan peramalan IHSG dengan metode ARIMA untuk periode 2 Januari 2006 28 Desember 2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ARIMA terbukti akurat dengan tingkat kesalahan peramalan ratarata sebesar 4.13%.
Pada tabel berikut dapat dilihat ikhtisar dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan analisis prediksi harga saham yang menggunakan metode ARIMA dalam melakukan peramalan, adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No. Peneliti Metode Periode Data Penelitian dan Hasil 1. Sri Mulyono (2000) 2. Rewat Wongkaroon (2002) 3. Achmad Yani (2004) 4. Nachrowi Djalal, Hardius Usman (2007) Metode Jenkins (ARIMA) ARIMA, Random Theory Metode Jenkins (ARIMA) Metode Jenkins (ARIMA) metode GARCH Boxwalk Box- Boxdan Data harian periode 3 Januari 31 Maret 2000 Data periode 1996-2001 Data harian periode 2 Januari 2003 30 Desember 2003 Data harian periode 3 Januari 2005 2 Januari 2006 Dalam penelitiannya mengenai peramalan jangka pendek IHSG di BEJ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Box-Jenkins cocok untuk peramalan jangka pendek. Dalam penenlitiannya, melakukan peramalan pergerakan harga indeks SET50 di Thailand. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model ARIMA hanya lebih akurat dalam meramal indeks SET50 pada tahun 1997. Namun pada tahun 1996, 1998, dan 2001 kurang akurat jika dibandingkan dengan Random Walk Theory. Peramalan pergerakan IHSG di BEI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model ARIMA cocok untuk peramalan jangka pendek. Dalam penelitiannya melakukan Prediksi tergadap pergerakan IHSG di BEI dengan menggunakan beberapa pendekatan dan kemudian
5. Etty Murwaningsari (2008) 6. Ahmad Sadeq (2008) Metode OLS, model GARCH, dan model ARIMA Metode Jenkins (ARIMA) Box- Data bulanan dari tahun 1992-2006 Data harian periode 2 Januari 2006 28 Desember 2006 membandingkan daya prediksinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model ARIMA mempunyai kesalahan lebih kecil dibandingkan metode GARCH Penelitian mengenai nilai prediksi IHSG. Hasil penelitian menunjukkan metode ARIMA memberikan hasil selisih nilai terkecil antara aktual dengan prediksi sebesar 47,34 (ARIMA) dan 258,48 (GARCH). Peramalan IHSG dengan metode ARIMA. Hasil penelitian menujukkan bahwa peramalan IHSG dengan metode ARIMA terbukti akurat dengan tingkat kesalahan peramalan ratarata sebesar 4,14%.
II.3 Kerangka Pikir Teoritis Dalam penelitian ini terdapat 2 variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas yang digunakan adalah hasil perdiksi IHSG menggunakan metode ARIMA dan variabel terikat IHSG pada harian mendatang. Berikut ini gambar hubungan variabel bebas dengan variabel terikat: Prediksi IHSG ARIMA Y t-1 IHSG pada harian mendatang Y t-2 Y t Y t-n II.4 Hipotesis Berdasarkan uraian diatas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: Ho : b 1 = 0, Analisis prediksi IHSG dengan menggunakan metode ARIMA tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG pada harian mendatang di BEI Ha : b 1 0, Analisis prediksi IHSG dengan menggunakan metode ARIMA berpengaruh signifikan terhadap IHSG periode harian mendatang di BEI II.5 Definisi Operasional Variabel 1. IHSG IHSG merupakan indeks yang nenunjukkan pergerakan harga saham seluruh harga saham yang telah tercatat di bursa yang menjadi acuan perkembangan
kegiatatan di pasar modal. IHSG dapat dihitung sebagai berikut: dimana: IHSG t Nilai Pasar = indeks Harga Saham Gabungan hari ke-t. = rata-rata tertimbang nilai pasar (jumlah lebar tercatat di bursa dikalikan dengan harga pasar perlembarnya) Nilai Dasar = sama dengan nilai pasar tetapi dimulai dari tanggal 10 Agustus 1982 2. ARIMA ARIMA merupakan metode peramalan yang secara penuh mengabaikan variabel independen karena model ini menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat. dimana : Y t = b 0 + b 1 Y t-1 +. + b n Y t-n a 1 e t-1 - - a n e t-n + e t Y t Y t-1, Y t-2 e t-1, e t-2 e t b 0 b 1, b p, a 1, a q : nilai series yang stasioner; : nilai lampau series yang bersangkutan; : variabel bebas yang merupakan lag dari residual : residual : konstanta : koefisien model Definisi operasional variabel penelitian dapat identifikasi adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Operasional Variabel variabel Definisi Skala Pengukuran IHSG (Y) ARIMA (X) IHSG merupakan indeks yang nenunjukkan pergerakan harga saham seluruh harga saham yang telah tercatat di bursa yang menjadi acuan perkembangan kegiatatan di pasar modal ARIMA merupakan metode peramalan yang secara penuh mengabaikan variabel independen karena model ini menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat. Sumber : dikembangkan untuk penelitian Rasio Rasio X t-1 = Harga saham 1 hari sebelum t (dijadikan sebagai variabel independen) X t-2 = Harga saham 2 hari sebelum t (dijadikan sebagai variabel independen) X t-n = Harga saham 2 hari sebelum n (dijadikan sebagai variabel independen)