Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan data Susenas Triwulan I yang menyatakan sebanyak 9,9 juta anak Indonesia adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam kategori penyandang disabilitas (Winarsih, dkk, 2013). Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2014 juga mempublikasikan jumlah anak yang mengalami diabilitas di Indonesia. Berdasarkan data Susenas 2012 didapatkan estimasi penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45% dan sekitar 39,97% dari jumlah tersebut mengalami lebih dari satu keterbatasan atau disabilitas (Infodatin, 2014). Berikut ini adalah gambar grafik yang memperlihatkan data penyandang disabilitas dari tahun ke tahun: Gambar 1. Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas Berdasarkan Data Susenas 2012 Pada Tahun 2003, 2006, 2009, dan 2012. Gambar 1 menunjukkan grafik perubahan persentase penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas pada tahun 2003, 2006, 2009 dan 2012. Berdasarkan data tersebut terlihat adanya peningkatan jumlah penyandang disabilitas pada tahun 2012. Winarsih, dkk (2013), dalam Buku Panduan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang dikeluarkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyebutkan disabilitas berada dibawah klasifikasi ABK yang dibagi menjadi dua belas kategori, yaitu 1) anak disabilitas penglihatan, 2) anak disabilitas pendengaran, 3) anak disabilitas intelektual, 4) anak disabilitas fisik, 5)
anak disabilitas sosial, 6) anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH), 7) anak dengan gangguan spectrum autisma, 8) anak dengan gangguan ganda, 9) anak lamban belajar, 10) anak dengan kesulitan belajar khusus, 11) anak dengan gangguan kemampuan komunikasi, 12) anak dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Definisi ABK adalah anak yang memiliki keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya (Winarsih, dkk, 2013). Disabilitas sendiri didefinisikan secara luas meliputi gangguan fisik, perkembangan, dan emosional, atau dalam literatur lain, penggunaan istilah diabilitas didefinisikan lebih spesifik dalam istilah dengan diagnosis, kondisi, dan keparahan tertentu (Neuhaus, 2011). Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997, Pasal 1, Ayat 1 tentang Penyandang Cacat, menyebutkan bahwa penyandang cacat (telah diubah menjadi penyandang disabilitas) merupakan orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan selayaknya, yang terdiri dari: a) penyandang cacat fisik, b) penyandang cacat mental, c) penyandang cacat fisik dan mental. Penggunaan istilah ABK ataupun disabilitas biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks yang melatarbelakangi. Penelitian ini sendiri akan menggunakan istilah disabilitas karena akan melibatkan subjek penelitian yang berhubungan dengan kondisi disabilitas, yaitu cerebral palsy (CP).
Kondisi disabilitas memunculkan berbagai stresor bagi anak, dimana kondisi tersebut dapat berdampak pada perkembangan fisik, kognitif, emosional, dan sosial sehingga menimbulkan dampak negatif pada self esteem anak (Jemta, Fugl-Meyer, Oberg, & Dahl, 2009). Orangtua yang memiliki anak disabilitas menghadapi tantangan yang besar dalam mengasuh dan membesarkan mereka. Anak yang memiliki disabilitas membutuhkan dukungan dan perhatian individual yang akan menyita sumber daya keluarga (Head & Abbeduto, 2007). Kehadiran anak disabilitas memberikan efek yang besar bagi seluruh keluarga, baik orangtua, saudara, dan anggota keluarga lainnya. Hal tersebut merupakan pengalaman luar biasa yang dialami bersama, yang kemudian dapat berdampak pada seluruh aspek fungsi keluarga (Reichman, Coreman, & Noonan, 2008). Reichman, dkk (2008) memaparkan dua sisi dampak kehadiran anak berkebutuhan khusus dalam sistem keluarga. Sisi positif, hal tersebut akan memperluas wawasan, meningkatkan kepekaan terhadap kekuatan batin, meningkatkan kebersamaan keluarga, dan mendorong hubungan dengan komunitas atau institusi keagamaan. Sisi negatifnya, hal tersebut akan memakan waktu dan keuangan keluarga, memberikan tuntutan fisik dan emosi, serta memberikan kompleksitas pengadaan kebutuhan yang berhubungan dengan membesarkan anak berkebutuhan khusus. Akibat yang ditimbulkan tergantung pada kondisi dan keparahannya, seperti kondisi fisik, emosi, dan finansial yang diperlukan, serta ketersediaan sumber daya dalam keluarga. Orangtua yang memiliki anak disabilitas mengalami stresor lebih banyak daripada orangtua yang memiliki anak dengan perkembangan normal, dan
mengalami stres pengasuhan yang lebih besar (Hastings, 2002). Pengalaman ini didalamnya meliputi kecemasan, perasaan gelisah, ketegangan, dan tertekan. Gupta (2007) memaparkan hasil penelitiannya yang membandingkan tingkat stres pada orangtua yang memiliki anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), anak dengan Developmental Disability (DD), anak dengan asma, dan anak dengan infeksi HIV. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan stres pengasuhan dengan pada orangtua yang memiliki anak DD lebih tinggi dibandingkan dengan stres pengasuhan pada orangtua yang lain. Hasil penelitian Neuhaus (2011), mendukung penelitian terdahulu bahwa orangtua anak disabilitas menunjukkan tingkat stres yang tinggi, yang dipengaruhi oleh karakteristik anak dan hubungan disfungsional antara anak dan orangtua. Stres pengasuhan diprediksi memiliki pengaruh negatif pada perilaku pengasuhan dan perilaku pengasuhan yang negatif akan menyebabkan masalah perilaku pada anak (Bloomfield & Kendall, 2012). Penelitian ini akan memfokuskan pada satu jenis disabilitas, yaitu Cerebral Palsy (CP), sehingga perlu memahami definisi dan kondisi anak dengan CP terlebih dahulu. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2010 menunjukkan jumlah penyandang CP pada anak usia 24-59 bulan adalah 0,09% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia dengan usia yang sama (Infodatin, 2014). CP merupakan kondisi kerusakan otak permanen non-progresif yang terjadi pada usia dini, mengakibatkan kelainan pada perkembangan otak, posisi, tonus otot, koordinasi motorik, dan manifestasi neurologis lainnya (Rahmat, Mangunatmadja, Aap, Tambunan, & Suradi, 2010). Kondisi kerusakan fungsi
motorik merupakan tanda dari anak CP, namun banyak anak juga mengalami kerusakan fungsi sensori, komunikasi, dan intelektual serta mengalami keterbatasan kompleks dalam fungsi rawat diri (Raina, dkk, 2005). Orangtua yang memiliki anak CP dihadapkan pada permasalahan dengan tingkat disabilitas yang tinggi, kebutuhan akan perhatian yang tinggi, dan rendahnya tingkat kemandirian (Parkes, Caravale, Marcell, Franco, & Colver, 2011). Penelitian Raina, dkk (2005) tentang caregiver anak CP menunjukkan bahwa kondisi anak CP mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan psikologis caregiver secara langsung maupun tidak langsung, melalui efek persepsi diri dan keberfungsian keluarga. Keberfungsian keluarga sendiri dipengaruhi oleh efek dari persepsi diri caregiver, dukungan sosial, dan pengelolaan stres. Orangtua yang memiliki anak berperan untuk mengasuh, mendidik dan membesarkan anak. Peran tersebut menjadi berbeda ketika dihadapkan pada kondisi anak yang memiliki fungsi terbatas dan ketergantungan yang akan berlangsung seumur hidup. Orangtua dihadapkan pada tantangan dan permasalahan kompleks yang akhirnya berpengaruh pada kesehatan mental dan keberfungsian keluarga secara keseluruhan. Meskipun begitu, outcome atau dampak yang terjadi akan berbeda pada masing-masing keluarga tergantung pada banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi orangtua CP adalah karakteristik orangtua, karakteristik anak (tingkat keparahan disabilitas), faktor sosial, faktor ekonomi (status ekonomi sosial, kemampuan mengakses fasilitas kesehatan, dan konteks budaya (Raina, dkk, 2005).
Studi pendahuluan telah dilakukan kepada orangtua yang memiliki anak CP, dengan menggunakan metode wawancara dan observasi (Permatasari, 2012). Penelitian pendahuluan ini termasuk dalam salah satu penelitian payung dengan tema Pengasuhan Positif dibawah bimbingan Prof. Noor Rachman Hadjam, SU., Psikolog. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengasuhan positif dalam berbagai setting keluarga. Wawancara dilakukan kepada tiga subjek yang merupakan ibu yang memiliki anak CP. Ketiga subjek, NN, AT, dan AN, dipilih sebagai subjek untuk studi pendahuluan karena profil mereka sebagai ibu dipandang cukup berhasil dalam mengasuh anak disabilitas dengan tingkat keparahan yang cukup berat. Ketiga subjek aktif di yayasan CP, dan salah satu subjek, yaitu NN, merupakan pendiri yayasan CP di Yogyakarta. Kesimpulan dari hasil wawancara ketiga subjek menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mengasuh anak disabilitas adalah penerimaan orangtua terhadap kondisi anak, co-parenting, dukungan sosial dan keseimbangan pengasuhan. Ibu yang menunjukkan penerimaan terhadap anaknya akan memberikan pengasuhan dan pemenuhan kebutuhan anak yang lebih baik. Mereka juga tidak lagi merasa canggung membawa anak-anaknya ke lingkungan luar rumah. Snell dan Rosen (1997), dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa keluarga yang sukses dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus/disabilitas menunjukkan karakteristik sebagai berikut: a) penerimaan terhadap kondisi anak, b) penerimaan terhadap peran pengasuhan yang berbeda, yang dipengaruhi oleh kondisi anak, c) keterampilan koping kognitif (termasuk pemberdayaan dan efikasi
diri) yang mempengaruhi kemampuan beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan anak. Oleh karena itu penerimaan ibu dinilai sebagai salah satu faktor penting dalam mengasuh anak, baik penerimaan kondisi anak maupun penerimaan peran pengasuhan. Penerimaan orangtua dalam berbagai penelitian dikaitkan dengan istilah penyesuaian atau proses adaptasi. Barnett, Clements, Kaplan-Estrin, dan Fialka (2003), lebih memilih menggunakan istilah adaptasi karena lebih diasumsikan sebagai proses yang akan terus berlangsung. Penerimaan orangtua merupakan proses yang tidak memiliki tahap akhir yang absolut. Orangtua secara emosional harus mengalami, menerima, dan mengekspresikan kekecewaan, kesedihan, kedukaan, kemarahan, serta perasaan bersalah, yang menyertai ketika mendapatkan berita mengenai kondisi disabilitas anak (Barnett, dkk, 2003). Orangtua harus melepaskan impian dan berduka akan harapan terhadap gambaran anak yang mereka inginkan, untuk mendapatkan penerimaan yang lebih baik. Orangtua secara terus menerus juga harus beradaptasi dengan perubahan keadaan dan kebutuhan anak, dengan stress sebagai konsekuensi yang selalu menyertai (Daire, Munyon, Calson, Kimemia, & Mitchan, 2011). Rogers (1967) mendefinisikan penerimaan adalah penghargaan terhadap orang lain sebagai seseorang tanpa syarat, tidak peduli bagaimana perilaku dan perasaan orang tersebut. Hal tersebut berarti menghormati orang lain sebagai seseorang dengan perasaan dan perilaku yang memiliki keunikan masing-masing yang tentunya berbeda pada tiap manusia. Thomas Gordon, kontributor dalam buku Client-Centered Therapy Rogers, menekankan bahwa penerimaan diri atau
anggapan diri orangtua dapat dikaitkan dengan derajat penerimaan terhadap anakanaknya (Nelson-Jones, 2011). Menurut Rogers (dalam Nelson-Jones, 2011), orangtua mampu memberikan anggapan positif tanpa syarat (unconditional positif regard) terhadap anaknya jika mereka juga mendapatkan hal tersebut. Semakin besar unconditional positif regard yang diterima seorang anak, maka semakin kecil kondisi yang berharga (condition of worth) pada diri anak, sehingga semakin tinggi pula tingkat penyesuaian psikologisnya Oleh karena itu penerimaan orangtua terhadap anak memiliki peranan penting dalam pengasuhan sehingga anak dapat memiliki penyesuaian psikologis yang baik. Menurut Porter (dalam Poon, 1996), penerimaan orangtua dijelaskan sebagai perasaan atau perilaku orangtua yang dikarakteristikkan dengan cinta tanpa syarat (unconditional love) kepada anak, mengenali anak sebagai individu yang memiliki hak dan kebutuhan untuk menyampaikan perasaannya, menilai anak sebagai individu yang unik, dan mengenali kebutuhan anak untuk membedakan dan memisahkan diri dari orangtua untuk menjadi individu yang mandiri. Kondisi penerimaan seseorang akan berbeda satu sama lain, tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi. Darling dan Darling (1982) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orangtua terhadap anak adalah umur anak, religiusitas orangtua, penerimaan diri, alasan orangtua memiliki anak, dan status sosial. Symond (dalam Johnson & Medinnus, 1974) menyinggung mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi orangtua dalam menerima atau menolak anaknya, yaitu karakteristik anak, karakteristik orangtua, hubungan pernikahan dengan pasangan, pengalaman masa kecil yang dilalui orangtua, dan penerimaan diri.
Kondisi anak yang berbeda dengan anak pada umumnya, terkadang membuat orangtua tidak mudah untuk menerima, terutama jika orangtua belum mendapatkan gambaran dalam menjalani perannya dan memahami anak disabilitas. Amaya dan Tomasini (2014), dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa program bantuan khusus untuk ibu dengan anak disabilitas memberikan dampak yang postif terhadap pengertian dan pemahaman atas kondisi disabilitas anak dan meningkatkan keberfungsian keluarga. Ibu tidak hanya memahami perannya sebagai caregiver anak disabilitas, namun juga sebagai wanita yang memiliki hubungan dengan pasangan dan keluarga. Memberikan sudut pandang yang berbeda dan menyeluruh perlu diberikan kepada orangtua dan keluarga yang memiliki anak disabilitas. Kirby (2013) melakukan penelitian kualitatif dengan subjek penelitiannya adalah caregiver anak disabilitas. Pengalaman caregiver dalam mengasuh anak disabilitas tidak selalu menjadi pengalaman yang buruk, justru menjadi pengalaman hidup yang positif dan memberikan perubahan. Sumber dukungan potensial yang tersedia bagi keluarga dengan anak disabilitas dikategorikan menjadi empat jenis utama, yaitu 1) keluarga inti, 2) jaringan kekerabatan (hubungan darah dan pernikahan), 3) jaringan informal (teman, tetangga, anggota perkumpulan agama), dan 4) profesional dan organisasi (Solomon & Liefield, 1998; Correa, Bonilla, & Reyes-MacPherson, 2010). Sumber dukungan dari organisasi maupun profesional merupakan alternatif yang sekarang banyak dicari oleh orangtua yang memiliki anak disabilitas. Psikolog sebagai profesional memiliki kemampuan untuk memberikan dukungan berupa menyediakan intervensi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan klien.
Orangtua yang memiliki anak disabilitas biasanya lebih terfokus pada kebutuhan anak dan mengesampingkan kebutuhan pribadinya, terutama kebutuhan psikologis. Kondisi anak menuntut orangtua, terutama ibu sebagai caregiver utama, untuk memberikan perhatian ekstra. Apalagi jika kondisi anak tidak dapat mandiri dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Raina, dkk (2005), dalam penelitiannya pada 468 keluarga dengan anak disabilitas (cerebral palsy) menunjukkan bahwa kesejahteraan caregiver (ibu) ditentukan oleh masalah perilaku anak, tuntutan ibu, dan keberfungsian keluarga. Penelitian tersebut memberikan tuntutan kepada para profesional klinis untuk memberikan kerangka berpikir yang merujuk pada keberfungsian keluarga ketika memberikan intervensi pada masalah disabilitas. Tidak hanya berfokus pada permasalahan anak, namun juga permasalahan keluarga, terutama caregiver. Salah satu intervensi yang banyak diberikan kepada orangtua yang memiliki anak disabilitas adalah terapi kelompok. Intervensi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Brief Group Therapy (BGT). BGT merupakan tipe terapi kelompok yang memiliki keterbatasan waktu, memiliki terminasi yang sudah ditentukan dari awal, memiliki proses orientasi dan dipimpin secara/oleh profesional (Corey, Corey, & Corey, 2014). BGT merupakan pilihan intervensi yang mampu memberikan manfaat terapi kelompok namun dalam setting yang lebih singkat sehingga tidak menyita banyak waktu, energi, dan finansial bagi klien. BGT biasanya digunakan untuk kepentingan penelitian mengarah pada efektivitas dan kemampuan penerapan sebuah brief group untuk berbagai masalah klien dan beragam latar belakang (Piper & Ogrodniczuk, dalam Corey, dkk, 2014).
Seringkali BGT disebut dengan terapi kelompok jangka pendek (short-term). Terapi kelompok jenis ini memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dalam mengatasi permasalahan klien. Joyce, Piper, & Ogrodniczuk (2007) dalam jurnal penelitiannya menyebutkan bahwa penyatuan dan keeratan kelompok sangat diperlukan dan mempengaruhi hasil terapi kelompok short-term. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan homogenitas latar belakang anggota kelompok dan kemampuan pemimpin kelompok untuk menyatukan kelompok sehingga tujuan terapi kelompok tersebut dapat berhasil. BGT banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan kelompok psikoterapi namun dalam setting yang tidak memakan banyak waktu dan biaya. Seperti umumnya psikoterapi individual, psikoterapi kelompok dilakukan dengan berbagai pendekatan. Beberapa contoh penelitian BGT menggunakan pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yaitu digunakan untuk mengatasi panic disorder (Marchand, Roberge, Primiano,& Germain, 2009), chronic pain (McCracken, Sato, & Taylor, 2013), dan anxiety disorder untuk remaja (Crawley, dkk, 2012). Pendekatan CBT digunakan pada permasalahan yang spesifik, dapat diukur intensitas dan frekuensinya, dan didalamnya terdapat distorsi kognitif yang membuat seseorang memiliki afeksi dan perilaku yang bermasalah. BGT dalam penelitian ini akan menggunakan pendekatan humanistik. Penggunaan pendekatan humanistik dalam terapi dengan setting brief dan kelompok tidak banyak dipublikasikan dalam jurnal penelitian. Namun terapi humanistik individual dalam bentuk brief telah banyak dilakukan oleh para terapis dan dituangkan dalam jurnal-jurnal, seperti dalam buku Brief Person-Centered
Therapies (Tudor, 2008). Para ahli psikologi humanistik memperdebatkan tentang keefektifan terapi humanistik dalam keterbatasan waktu (brief). Disatu sisi, terapi dengan keterbatasan waktu tetap memiliki keuntungan, sedangkan sisi lain mengatakan bahwa person-centered tidak cocok digunakan dalam pelayanan yang memiliki batas waktu (Taft, 1933; Rogers, 1942; Mearns & Thorne, 1999; Mearns, 2002; Wakefield, 2005; MacDonald, 2006; dalam Tudor, 2008). Rogers mengatakan bahwa keterbatasan waktu dalam kondisi terapeutik hanyalah seperti keterbatasan lain yang memberikan warna dalam proses konseling, dan disitulah manusia harus membuat penyesuaian (Tudor, 2008). Permasalahan penerimaan seorang ibu sangat erat kaitannya dengan pendekatan humanistik yang banyak dipengaruhi oleh Carl Rogers. Dalam teori humanistik, ibu merupakan kunci utama anak memiliki keberfungsian penuh sebagai manusia. Carl Rogers (dalam Nelson-Jones, 2006) menyebutkan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk anggapan positif atau kondisi yang berharga (conditions of worth) sejak bayi, dimana hal tersebut didapatkan dari ibu. Seorang ibu akan dapat memberikan anggapan positif tanpa syarat jika ia juga mendapatkan hal tersebut. Ibu yang memiliki anak disabilitas seringkali mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan dari orang lain, seperti penolakan dan penilaian orang tentang kondisi anak. Hal tersebut membuat mereka memiliki konsep diri yang lebih dipengaruhi oleh evaluasi dari orang lain. Menurut Rogers (dalam Corsini & Wedding, 2011), permasalahan klien berada pada tiga hal, yaitu konsep diri, locus of evaluation, dan pengalaman. Untuk menjadi individu yang berfungsi
sepenuhnya, klien harus menjadi pribadi yang lebih positif, percaya pada diri sendiri, tidak berfokus pada evaluasi dan nilai yang diberikan orang lain. Pendekatan humanistik secara spesifik tidak memberikan kriteria klien atau individu yang dapat menjalani terapi dengan pendekatan humanistik. Pendekatan humanistik menekankan tentang menghormati seseorang sebagai individu yang hidup dengan prosesnya yang kompleks, berbeda satu sama lain. Rogers mengembangkan person-centered therapy dengan asumsi manusia pada dasarnya trustworthy atau dapat dipercaya, bahwa mereka memiliki potensi untuk memahami diri sendiri dan menyelesaikan sendiri permasalahannya tanpa intervensi langsung dari terapis, serta mampu bertumbuh secara mandiri jika mereka terlibat dalam jenis hubungan terapeutik yang spesifik (Corey, 2009). Rogers (dalam Corey, 2009) menjelaskan tiga sikap utama dalam terapi menggunakan pendekatan humanistik, yaitu 1) congruence atau genuineness, 2) unconditional positive regard dan penerimaan, dan 3) Empati. Konsep utama dalam menerapkan person-centered therapy kedalam proses kelompok adalah kepercayaan terhadap kemampuan kelompok untuk mengembangkan potensi dengan bergerak kearah yang membangun (Corey, 2009). Cain (dalam Corey, 2009) menyebutkan pernyataan Rogers bahwa ketika keaslian (genuineness), penerimaan, dan empati yang diberikan oleh terapis sebagai fasilitator kelompok diterima oleh anggota kelompok, maka kondisi terapeutik untuk perubahan dan pertumbuhan kepribadian akan tercapai. Modul pada penelitian ini berjudul Humanistic-Brief Group Therapy untuk ibu dengan anak disabilitas. Pada modul terapi ini didalamnya dirancang pemrosesan
tujuh elemen penting Rogers, yang dikembangkan oleh Tudor dan Worall (dalam Withfield, 2008). Ketujuh elemen tersebut adalah pelonggaran perasaan, perubahan sikap dalam mengalami, gagasan (membangun gagasan atau keyakinan), komunikasi, kongruen, dan sikap dalam berhubungan. Elemen-elemen tersebut merupakan sebuah tahapan atau tingkatan, semakin tinggi pemrosesan elemen maka semakin tinggi pencapaian klien. Proses terapeutik ini dapat dijalankan secara fleksibel tergantung pada permasalahan yang dialami klien. Dalam penelitian ini, sesi-sesi yang melibatkan proses ketujuh elemen ini disesuaikan dengan tema penerimaan untuk mempermudah anggota kelompok fokus pada tema tersebut. Pendekatan humanistik yang dikembangkan oleh Rogers telah melewati banyak penelitian untuk mengetahui keefektifan person-centered therapy (dalam Gibbard, 2008). Hasil-hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa dampak terapi sangatlah tergantung pada kondisi terapeutik dan kemampuan klien untuk bersentuhan dengan pengalaman-pengalamannya. Gibbard (2008), dalam jurnal terapinya menyebutkan bahwa melakukan terapi humanistik menggunakan waktu yang terbatas kuncinya adalah klien dan terapis sama-sama menyadari keterbatasan waktu mereka. Pada terapi humanistik yang konvensional klien memiliki kebebasan dan banyak waktu untuk menceritakan seluruh pengalaman hidupnya, menemukan dan mengidentifikasi permasalahannya sehingga terapis hanya perlu menunggu dan menemani klien. Terapi humanistik dengan waktu yang terbatas mengharuskan klien untuk langsung menuju inti permasalahan, membicarakan tentang hal-hal yang membuatnya terluka, dan fokus bersentuhan dengan perngalaman-
pengalamannya. Hal tersebut akan menjadi mudah ketika klien dan terapis samasama menyadari keterbatasan waktu yang mereka punya. Hipotesis dari penelitian ini adalah BGT dengan pendekatan humanistik dapat meningkatkan penerimaan ibu yang memiliki anak disabilitas. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi empirik terhadap modul Humanistic-Brief Group Therapy dalam meningkatkan penerimaan ibu yang memiliki anak disabilitas.
Orangtua yang memiliki anak disabilitas: Tuntutan fisik, emosi, dan kompleksitas kebutuhan anak Tuntutan menyeimbangkan pengasuhan Tuntutan untuk beradaptasi dengan kondisi anak Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasuhan anak disabilitas: Pengasuhan yang seimbang Co-parenting Dukungan sosial Penerimaan orangtua (peran pengasuhan dan kondisi anak) Dampak positif: Menambah wawasan keluarga Keterikatan, kedekatan emosi, dengan anggota keluarga Kesehatan mental keluarga yang baik Pengasuhan yang positif Dampak negatif: Menguras sumber daya keluarga Sibling rivalry Stres pengasuhan yang tinggi, rentan terhadap kecemasan dan depresi Pengasuhan yang buruk Kesehatan mental keluarga yang buruk HUMANISTIC- BRIEF GROUP THERAPY Penerimaan orangtua yang lebih baik Tercapainya dampak positif memiliki anak disabilitas Meningkatkan penerimaan diri dan kondisi anak Terapi dengan seting kelompok: menyediakan sumber dukungan sosial Lingkungan teraputik yang mengutamakan pertumbuhan kepribadian melalui penerimaan tanpa syarat, empati, kongruen Menggunakan tahap perubahan terapeutik Rogers untuk membantu peningkatan penerimaan orangtua Gambar 2. Kerangka Kerja Penelitian