BAB VI PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan pada BAB V tentang Perbaikan Sikap Kerja Dan Penambahan Penerangan Lokal Menurunkan Keluhan Muskuloskeletal, Kelelahan Mata Dan Meningkatkan Ketelitian Hasil Kerja Mahasiswa Politeknik Negeri Bali dapat dibahas hal-hal sebagai berikut. 6.1 Kondisi Subjek Pada penelitian ini, yang menjadi subjek adalah para praktikan atau mahasiswa yang berjenis kelamin laki-laki dengan karakteristik yang menjadi bahasan adalah umur, berat badan, tinggi badan, dan indeks masa tubuh. Umur subjek yang menjadi sampel dalam penelitian ini antara 18-20 tahun dengan rerata 19,1 ± 0,9 tahun. Rentang umur ini merupakan rentang umur dalam kategori produktif di usia masa kuliah. Pada umur ini subjek bisa melakukan aktivitas dengan kekuatan fisik yang optimal, dan otak yang bisa diasah. Penelitian yang dilakukan Joko Susetyo (2012) juga mengambil sampel penelitian pada umur produktif yaitu 19-32 tahun. Sebagaimana juga dinyatakan oleh Pullat (1992) bahwa kapasitas fisik seseorang berbanding lurus dengan umur tertentu dan puncaknya pada umur 25 tahun. Rerata berat badan subjek 57,5 2,6 kg, sedangkan tinggi badan subjek reratanya 165,7 1,2 cm, dan rerata Indeks Masa Tubuhnya 20,9 0,8 tahun. 71
72 Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan kurang dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratif. Oleh karena itu, perlu bagi mahasiswa calon pekerja untuk mempertahankan berat badan normal sehingga bisa belajar dan bekerja lebih produktif. Sedangkan antropometri subjek yang diukur berkaitan dengan desain kursi kerja yang dibuat dan disesuaikan dengan kaidah ergonomi. Data antropometri subjek seperti yang disajikan pada Tabel 5.2. Berdasarkan data antropometrik tersebut maka ukuran kursi yang dipergunakan adalah: tinggi kursi 92,0 cm sesuai dengan tinggi bokong mahasiswa pada persentil 50 dikurangi 5cm, lebar kursi (diameter) adalah 33 cm disesuaikan dengan persentil 50 dari lebar pantat. Dari hasil pengukuran ini diperoleh desain kursi seperti yang ditampilkan pada Gambar 6.1 berikut.
73 a b Keterangan : a : diameter kursi = 33cm b : tinggi kursi = 92cm Gambar 6.1 Desain Kursi duduk berdiri 6.2 Kondisi Lingkungan Lokasi penelitian dilakuan di kampus Politeknik Negeri Bali, pada Bengkel Teknologi Mekanik. Kampus Politeknik Negeri Bali berada di daerah Bukit Jimbaran, Bali. Dari hasil pengukuran kondisi lingkungan diperoleh hasil sebagaimana tertera pada Tabel 5.3, di mana pada kelompok Kontrol rerata suhu basah 27,14 C, suhu kering 31,12 C, kelembaban relatif 72,72%, intensitas cahaya 225,26 lux, dan intensitas suara 80,14 db. Pada kelompok Perlakuan rerata suhu basah 27,40 o C, suhu kering 31,36 o C, kelembaban relatif 72,26%, intensitas cahaya 410 lux, dan intensitas suara 80,52 db. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa kondisi lingkungan di mana para subjek melaksanakan praktikum menunjukkan kondisi yang normal
74 dan nyaman, sebagaimana yang dinyatakan oleh Manuaba (1983) bahwa batas kenyamanan lingkungan kerja berada pada suhu antara 22 C - 28 C dengan kelembaban relatif antara 70-80 %. Untuk membandingkan kondisi lingkungan pada kelompok Kontrol dan kelompok Perlakuan dilakukan analisis menggunakan uji t. Hasil uji t tersebut menunjukkan bahwa pada suhu basah, suhu kering, kelembaban relatif, dan intensitas suara, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok Kontrol dan kelompok Perlakuan (p > 0,05). Sedangkan pada intensitas cahaya terdapat perbedaan yang signifikan (P<0,05) karena memang ada penambahan penerangan cahaya lokal yang merupakan intervensi pada penelitian ini. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mikroklimat untuk komponen suhu basah, suhu kering, kelembaban relatif dan intensitas suara tidak berpengaruh pada pemberian intervensi penelitian. Besar intensitas penerangan yang diperlukan sebenarnya tergantung dari jenis pekerjaan, pekerjaan presisi memerlukan intensitas yang lebih tinggi dari pada pekerjaan yang tidak memerlukan ketelitian dengan penerangan dari 300 700 lux. Nilai ambang batas intensitas suara tertinggi yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan gangguan daya dengar yang tetap untuk waktu kerja tidak lebih dari 8 jam sehari adalah 85 dba (Pulat, 1992; WHS, 1993; dan Permennaker, 1999).
75 6.3 Keluhan Sistem Muskuloskeletal Keluhan muskuloskeletaldiprediksi berdasarkan kuesioner Nordic Body Map. Berdasarkan hasil kuesioner, keluhan muskuloskeletal yang dialami para praktikan sering terjadi pada bagian leher, punggung, pinggang, kedua lutut dan betis, serta keluhan kelelahan pada mata. Hal ini disebabkan oleh sikap kerja berdiri dan terkadang membungkuk ketika praktikum dan penerangan yang kurang karena praktek pembubutan memerlukan ketelitian yang cukup tinggi. Untuk mengurangi keluhan tersebut, dalam penelitian ini dilakukan intervensi berupa penambahan kursi kerja yang didesain khusus agar para praktikan bisa duduk berdiri, dan penambahan lampu penerangan lokal. Hasil analisis menunjukkan bahwa setelah menggunakan kursi dan lampu penerangan lokal terjadi perbedaan yang bermakna (p<0,05) dan terjadi penurunan keluhan muskuloskeletaldari kelompok Kontrol terhadap kelompok Perlakuan. pada kelompok Kontrol rerata skor 81,41 menjadi 65,74 atau menurun sebesar 19,3%. Sejalan dengan apa yang dinyatakan Ruccer & Sunnel (2002) terhadap para dokter gigi, mereka menyatakan bahwa posisi praktek yang salah dalam bekerja terlebih lagi dalam menggunakan perlatan pompa akan menyebabkan gangguan muskuloskeletal. Keadaan ini dapat ditanggulangi dengan melakukan perubahan sikap kerja yang tidak alamiah menjadi alamiah. Sutajaya dan Citrawathi (2000); Petrus dan Rina (2012) juga menyatakan bahwa keluhan subjektif berupa gangguan muskuloskeletaldan kelelahan dapat diturunkan secara signifikan (p 0,05) pada subjek dengan melakukan perbaikan pada stasiun kerja dan sikap kerja yang lebih ergonomis.
76 Perbandingan rerata keluhan muskuloskeletalsebelum dan sesudah praktikum antara periode 1 (kelompok Kontrol) dan periode 2 (kelompok Perlakuan) dapat di lihat pada Gambar 6.2 berikut. Gambar 6.2 Grafik rerata keluhan muskuloskeletal Terjadinya peningkatan keluhan muskuloskeletalpada periode 1 diprediksi disebabkan karena beberapa faktor, antara lain karena keluarnya energi selama bekerja, pekerjaan berdiri secara terus menerus, pekerjaan membungkuk ketika melihat objek kerja sehingga akan menyebabkan terjadinya penumpukan asam laktat pada bagian tertentu dari tubuh praktikan yang akhirnya menyebabkan keluhan pada beberapa otot skeletal. Penurunan keluhan muskuloskeletalpada periode 2 diprediksi karena penambahan kursi duduk berdiri yang di gunakan oleh praktikan. Praktikan bisa duduk berdiri pada kursi ketika melakukan pekerjaan, dan sewaktu-waktu juga bisa berdiri sesuai kebutuhan, sehingga keluhan otot
77 yang mungkin terjadi pada leher, bahu, kaki, betis dan yang lainnya bisa berkurang. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Titin (2010) bahwa skor kelelahan pada penggunaan alat tombol-tekan lama pada proses stamping part body component di Divisi Stamping Plant PT. ADM Jakarta adalah 44,10, sedangkan pada penggunaan alat tombol-tekan modifikasi adalah 41,05 atau terjadi penurunan sebesar 6,92%. Demikian juga pada penelitian Adiatmika (2007) juga disebutkan bahwa perbaikan kondisi kerja dengan pendekatan ergonomi total dapat menurunkan kelelahan secara signifikan dari skor 37,77 menjadi 35,37 pada perajin pengecatan logam di Kediri Tabanan. 6.4 Kelelahan Mata Kelelahan mata pada penelitian ini diukur menggunakan kuesioner. Barnes (1980) menyatakan bahwa Kelelahan merupakan suatu keadaan sementara yang ditimbulkan oleh aktivitas yang berlebihan atau berkepanjangan yang dimanifestasikan sebagai penurunan fungsi aktivitas, fungsi kapasitas organ, baik pada organ itu sendiri atau seluruh tubuh, dan dirasakan secara spesifik sebagai kelalahan umum. Kelelahan (fatigue) merupakan tanda alami tubuh untuk segera beristirahat, biasanya berkaitan dengan bekerja dalam waktu yang lama. Kelelahan dalam industri mengacu pada tiga gejala yang berhubungan yaitu: (1) rasa lelah; (2) perubahan fisiologi dalam tubuh misalnya saraf dan otot tidak berfungsi sebagaimana mestinya; dan (3) menurunnya kapasitas kerja.
78 Berdasarkan hasil pengukuran pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata kelelahan mata sebelum praktikum dimulai pada periode 1 adalah 11,23 1,44 dan pada periode 2 adalah 11,61 1,42. Analisis kemaknaan dengan uji t-pair menunjukkan bahwa kedua kelompok sebelum melakukan praktikum, rerata kelelahannya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). Sedangkan sesudah melakukan praktikum didapatkan bahwa rerata skor kelelahan mata pada periode 1 adalah 31,41 1,78 dan pada periode 2 adalah 16,89 2,32. Analisis kemaknaan dengan uji t-pair menunjukkan bahwa terjadi perbedaan bermakna (p<0,05) pada kedua periode/kelompok sesudah melakukan praktikum. Dilihat dari nilai reratanya, terjadi penurunan skor kelelahan mata dari periode 1 dengan periode 2 yaitu dari 31,41 menjadi 16,89 atau menurun sebesar 46,2%. Terjadinya peningkatan kelelahan mata pada periode 1 diprediksi disebabkan karena lampu penerangan yang kurang memadai, yaitu rerata 225,26 lux, sedangkan untuk pekerjaan yang memerlukan ketelitian diperlukan intensitas cahaya sebesar 300-700 lux. Penurunan skor kelelahan disebabkan oleh implementasi ergonomi yang diterapkan pada periode 2. Implementasi tersebut adalah penambahan lampu penerangan lokal pada objek kerja. Setelah diberikan penambahan lampu penerangan terjadi penurunan skor kelelahan mata sebesar 46,2%. Hal ini diprediksi terjadi bahwa ada pengurangan akomodasi mata saat melihat objek kerja, pengurangan penggunaan energi pada otot mata, dan dapat melihat objek kerja lebih baik. Kelelahan adalah salah satu dari dua cara utama dari tubuh mengingatkan bahwa ada persoalan. Cara lain adalah rasa nyeri, yaitu ketika badan terasa lelah
79 atau nyeri barulah disadari bahwa ada penyebab yang harus dihilangkan, namun kelelahan sering mendapatkan perhatian yang tidak semestinya, sehingga kelelahan menjadi semakin buruk secara perlahan-lahan (Spiritia, 2011). Kelelahan harus ditangani dengan baik, karena kelelahan yang berkepanjangan akan dapat menurunkan produktivitas kerja. Richardson and Rothstein (2008) mengatakan bahwa pekerja pemanenan (harvest workers) mengalami kelelahan dan keluhan muskuloskeletal pada leher, pinggang dan bahu. Agung dan Riki (2010) melakukan perancangan ulang fasilitas kerja secara ergonimis untuk menurunkan kelelahan serta peningkatan produktivitas kerja. Senada juga dengan yang dilakukan oleh Arief RM dkk. (2007) melakukan desain ergonomis untuk meningkatkan kapasitas kerja operator. 6.5 Ketelitian Pada proses penilaian ketelitian yaitu setelah para mahasiswa/praktikan menyelesaikan praktikum, benda hasil kerja diukur dimensinya menggunakan jangka sorong. Hasil benda kerja yang diukur dibandingkan dengan ukuran yang sudah ditetapkan oleh instruktur/dosen pembina praktikum. Setelah itu diambil selisih (nilai bias) antara hasil ukur dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh instruktur/dosen pembina praktikum, semakin kecil selisihnya (nilai biasnya) maka semakin tinggi nilai ketelitian hasil kerja mahasiswa. Hal ini dilakukan baik pada periode 1 maupun periode 2.
80 Gambar 6.3 Foto profil benda kerja sebelum dan sesudah di bubut. Dari hasil pengukuran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.11, diperoleh bahwa terdapat peningkatan ketelitian mahasiswa dalam praktikum antara Periode 1 dengan periode 2. Peningkatan tersebut secara statistik adalah signifikan (p<0,05). Rerata ketelitian pada periode 1 adalah 1,29 cm sedangkan pada periode 2 adalah 0,56,cm, penurunan hasil ini artinya bahwa nilai bias pada periode 2 lebih kecil dari pada nilai bias pada periode 1 dari 1,29 cm menjadi 0,56 cm atau nilai bias menurun sebesar 56,9% atau bisa dikatakan sebagai peningkatan ketelitian sebesar 56,9%. Secara grafik, peningkatan ketelitian atau penurunan nilai bias hasil praktikum digambarkan seperti pada Gambar 6.4 berikut.
81 Gambar 6.4 Grafik rerata ketelitian (nilai bias) Peningkatan ketelitian ini diprediksi akibat adanya penambahan kursi duduk berdiri dan lampu penerangan lokal yang merupakan intervensi ergonomi pada keluhan otot dan kelelahan mata pada mahasiswa praktikan. Dengan penambahan kursi duduk berdiri bisa dilakukan secara dinamis sehingga mengurangi keluhan otot. Penambahan penerangan lokal akan menambah jelasnya benda kerja yang diproses dalam praktikum, menambah jelasnya pembacaan pada ukuran benda kerja, dan dapat mengurangi kelelahan mata akibat akomodasi yang terus menerus karena kekurangan cahaya dalam melihat benda kerja. Intervensi ergonomi dalam hal perbaikan sikap kerja atau stasiun kerja adalah mutlak diperlukan (Manuaba, 1998), karena dengan intervensi ergonomi, misalnya intervensi peralatan yang sesuai antropometri dan sebagainya akan dapat menurunkan beban kerja ataupun keluhan subjektif serta dapat meningkatkan produktivitas kerja (Adiputra et al., 2000; Azmi dan Marentani,
82 2001). Nataya dkk (2011) juga menyatakan bahwa kegiatan kerja aplikasi ergonomi akan menjadikan kegiatan kerja menjadi lebih produktif. 6.6. Perbaikan Sikap Kerja Dan Penambahan Penerangan Lokal Pada Proses Pembubutan Menurunkan Keluhan Muskuloskeletal, Kelelahan Mata Dan Meningkatkan Ketelitian Hasil Kerja Mahasiswa Di Bengkel Mekanik Aplikasi ergonomi pada penelitian ini berupa penggunaan kursi duduk berdiri dan penambahan lampu penerangan lokal pada praktikum pembubutan terbukti efektif dalam menurunkan keluhan otot skelatal, menurunkan kelelahan mata dan meningkatkan ketelitian mahasiswa. Perubahan yang terjadi pada proses praktikum/proses kerja adalah perubahan sikap kerja dan kondisi pencahayaan pada objek benda kerja. Pada periode 1 sikap kerja yang terjadi adalah berdiri secara terus menerus dan sesekali membungkuk untuk melihat objek kerja lebih jelas karena kondisi pencahayaan yang kurang. Pada kelompok Perlakuan sikap kerja yang terjadi adalah sikap kerja berdiri dan duduk berdiri secara bergantian sesuai kebutuhan. Penambahan lampu penerangan lokal menjadikan mahasiswa tidak perlu membungkuk karena objek kerja sudah bisa dilihat lebih jelas. Perubahan sikap kerja dan pemberian lampu penerangan lokal ini bisa dilihat pada Gambar 6.5 dan Gambar 6..6 berikut.
83 Keterangan gambar : Sikap kerja praktikum berdiri, sedikit membungkuk,tanpa kursi kerja dan tanpa penerangan lampu lokal Gambar 6.5 Sikap Kerja sebelum intervensi ergonomi Lampu lokal Kursi kerja Keterangan gambar : Intervensi berupa perubahan Sikap kerja duduk berdiri menggunakan kursi kerja, dan penambahan lampu lokal Gambar 6.6 Sikap Kerja Setelah Intervensi Ergonomi
84 Akibat dari perubahan sikap kerja (karena penggunaan kursi kerja) dan penambahan lampu penerangan lokal tersebut, hasil pengukuran dalam penelitian ini baik pada keluhan otot skeletal, kelelahan mata, maupun ketelitian hasil kerja para praktikan/mahasiswa memberikan hasil bahwa : a. Perbaikan sikap kerja dan penambahan penerangan lokal pada proses pembubutan dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal mahasiswa di bengkel mekanik Politeknik Negeri Bali sebesar 19,3%. b. Perbaikan sikap kerja dan penambahan penerangan lokal pada proses pembubutan dapat menurunkan kelelahan mata mahasiswa di bengkel mekanik Politeknik Negeri Bali sebesar 46,2%. c. Perbaikan sikap kerja dan penambahan penerangan lokal pada proses pembubutan dapat meningkatkan ketelitian hasil kerja mahasiswa di bengkel mekanik Politeknik Negeri Bali sebesar 56,9%.