BAB 3 PENGOLAHAN DATA

dokumen-dokumen yang mirip
PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

BAB IV ANALISIS. 4.1 Data

Eko Yudha ( )

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR)

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

Pemanfaatan Metode Differential Intermerometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR) untuk Pemantauan Deformasi Akibat Aktivitas Eksploitasi Panasbumi

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Gunung Merapi [

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN GMTSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN ROI PAC

Kata Kunci : Deformasi; Gunung Merapi; InSAR

BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

BAB II Tinjauan Pustaka

DETEKSI PENURUNAN MUKA TANAH KOTA SEMARANG DENGAN TEKNIK DIFFERENTIAL INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN AKTIVITAS GUNUNG SEMERU

PDF Compressor Pro BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

REDUKSI ORBIT PADA INSAR UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI GUNUNG MERAPI ORBIT REDUCTION IN INSAR FOR DEFORMATION OBSERVATIONS MOUNT MERAPI.

Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB 2 LANDASAN TEORI

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB III METODE PENELITIAN. ada beberapa cara yang telah dilakukan, antara lain : akan digunakan untuk melakukan pengolahan citra.

BAB III PENGOLAHAN DATA

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Sistem Air Traffic Control (ATC)

PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT)

ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi pengolahan citra (image processing) telah banyak dipakai di berbagai

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

Jurnal Geodesi Undip Juli 2017

III. METODE PENELITIAN

BAB IV BASIS DATA SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH PENELITIAN

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

Analisis DEM SRTM untuk Penilaian Kesesuaian Lahan Kopi dan Kakao: Studi Kasus di Kabupaten Manggarai Timur. Ari Wahono 1)

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017

Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

Bab IV Analisa dan Pembahasan. Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai analisa dari materi penelitian secara menyeluruh.

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015

BAB III METODOLOGI. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam studi ini meliputi :

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI GUNUNG API DAN PENURUNAN TANAH

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

BAB 2 LANDASAN TEORI

Pengolahan Fasa untuk Mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (INSAR) Data Satelit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 4. METODE PENELITIAN

Gambar IV-1. Perbandingan Nilai Korelasi Antar Induk Wavelet Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Pertama

BAB I PENDAHULUAN. MMS (Multimedia Messaging Service) adalah puncak dari evolusi SMS

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB IV PENGOLAHAN DATA

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

PENERAPAN METODE INTERPOLASI LINIER DAN METODE SUPER RESOLUSI PADA PEMBESARAN CITRA

BAB 2 LANDASAN TEORI

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III. TEORI DASAR. benda adalah sebanding dengan massa kedua benda tersebut dan berbanding

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

BAB I PENDAHULUAN I.1

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI GEOMETRIK CITRA

Transkripsi:

BAB 3 PENGOLAHAN DATA 3.1 Diagram Alir Pengolahan Data Pengolahan data dimulai dari pengolahan data citra ALOS-PALSAR level 1.0 yaitu data mentah (RAW) hingga menjadi peta deformasi. Gambar 3.1 berikut ini adalah diagram yang menggambarkan keseluruhan dari proses pengolahan data. RAW Data 1 RAW Data 2 SAR Processing (MSP) SLC 1 SLC 2 InSAR Processing (ISP) Interferogram DEM SRTM Global DEM Generation DEM 1 DInSAR Processing Differential Interferogram 1 Differential Interferogram 2 Peta Deformasi 1 Peta Deformasi 2 Gambar 3.1 Proses keseluruhan pengolahan data 3.2 Data Yang Digunakan 3.2.1 Data untuk pembuatan InSAR Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data SAR dari satelit ALOS PALSAR level 1.0. Data ini berupa data mentah dari Gunung Merapi yang terdiri dari data citra yaitu 38

IMG serta metadata yaitu LED. Tabel berikut adalah daftar dari data mentah serta waktu pengambilan dari citra Gunung Merapi yang digunakan. Tabel 3.1 Data-data SAR yang digunakan IMG Data LED Waktu Pengambilan IMG-HH-ALPSRP160247030-H1.0 A LED-HH-ALPSRP160247030-H1.0 A 26 Januari 2009 IMG-HH-ALPSRP180377030-H1.0 A LED-HH- ALPSRP180377030-H1.0 A 13 Juni 2009 IMG-HH- ALPSRP200507030-H1.0 A LED-HH- ALPSRP200507030-H1.0 A 29 Oktober 2009 IMG-HH- ALPSRP207217030-H1.0 A LED-HH- ALPSRP207217030-H1.0 A 14 Desember 2009 IMG-HH- ALPSRP213927030 -H1.0 A LED-HH- ALPSRP213927030-H1.0 A 29 Januari 2010 IMG-HH- ALPSRP234057030-H1.0 A LED-HH- ALPSRP234057030-H1.0 A 16 Juni 2010 IMG-HH- ALPSRP247477030-H1.0 A LED-HH- ALPSRP247477030-H1.0 A 16 September 2010 IMG-HH- ALPSRP254187030-H1.0 A LED-HH- ALPSRP254187030-H1.0 A 1 November 2010 IMG-HH- ALPSRP260897030-H1.0 A LED-HH- ALPSRP260897030-H1.0 A 17 Desember 2010 IMG-HH- ALPSRP267607030-H1.0 A LED-HH- ALPSRP267607030-H1.0 A 1 Februari 2011 3.2.2 Data DEM Global SRTM 3 Data DEM yang digunakan merupakan data DEM Global SRTM 3 dari Gunung Merapi. Data ini dibutuhkan utuk melakukan proses mereduksikan efek topografi dari interferogram sehingga efek deformasi dari interferogram dapat diamati. DEM Global SRTM 3 untuk kawasan Merapi ini didapatkan dengan menggabungkan DEM Global SRTM 3 pada beberapa daerah sekitar kawasan Merapi kemudian dilakukan pengambilan sebagian DEM pada kawasan Merapi. Gambar 3.2 berikut merupakan gambar DEM Global SRTM 3 dari Gunung Merapi yang dipakai dalam proses mereduksi efek topografi yang dilakukan dalam penelitian. 39

Gambar 3.2 DEM Global SRTM 3 3.2.3 Data Titik Ketinggian DEM RBI Badan Informasi Geospasial Data DEM yang digunakan merupakan data titik ketinggian DEM RBI Badan Informasi Geospasial sebagai kontrol DEM yang diturunkan dari pasangan interferogram yang dibuat dari 2 SLC. Ketinggian berdasarkan beda fase DEM simulasi tersebut digeoreferensi dengan menggunakan dengan menggunakan titik ketinggian DEM RBI Badan Informasi Geospasial. DEM hasil simulasi ini akan digunakan sama seperti DEM SRTM 3 Global yang digunakan untuk mereduksi efek topografi pada interferogram. Dengan menggunakan DEM berasal dari interferogram ini akan didapatkan DEM dengan resolusi yang sama dengan interferogram yang ada sehingga didapatkan peta deformasi yang memiliki resolusi yang lebih baik dibandingan dengan menggunakan DEM Global SRTM 3. Gambar 3.3 berikut merupakan gambar kumpulan titik ketinggian pada DEM RBI BIG yang digunakan pada penelitian. 40

Gambar 3.3 Titik Ketinggian DEM RBI BIG 3.3 Perangkat Lunak GAMMA Perangkat lunak GAMMA merupakan salah satu perangkat lunak yang dapat dipergunakan untuk melakukan pengolahan citra InSAR.Perangkat lunak GAMMA merupakan perangkat lunak yang diluncurkan perusahaan GAMMA Company yang bergerak di bidang penginderaan jauh oleh Charles Wegner dan Urs Wegmuller pada tahun 1995. Perangkat lunak ini digunakan pada UNIX operating system dan dibuat dari bahasa ANSI-C. Salah satu kemampuan dari GAMMA adalah dapat digunakan untuk pengamatan deformasi dari citra hasil pengolahannya. Perangkat lunak ini terbagi atas beberapa program yaitu sebagai berikut. 1. Modular SAR Processing Program ini memiliki fungsi untuk pengolahan data RAW untuk menjadi data SLC (Single Look Complex) dan MLI (Multi Look Intensity). Beberapa fungsi dapat dilakukan untuk pengolahan data RAW seperti range compression, penentuan Doppler centroid, autofocus, azimuth compression, pembentukan multilook dan lain sebagainya. 2. Interferometric SARProcessing Program ini menyediakan fungsi-fungsi untuk membentuk interferogram dari data SLC serta berbagai fitur lain seperti flattening, penentuan koherensi, filtering interferogram, phase unwrapping dan lain sebagainya. 41

3. Geocoding and Differential Program ini menyediakan fungsi geocoding yaitu seperti melakukan transformasi DEM dari sistem koordinat peta menjadi sistem koordinat RADAR (slant range) dan begitu pula sebaliknya. Selain itu program ini dapat digunakan untuk membentuk interferogram diferensial serta pembuatan peta deformasi (displacement map). 3.4 Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan jumlah data RAW sebanyak 10. Keseluruhan data RAW dapat dilihat pada tabel 3.1. Data-data ini diolah hingga menjadi peta deformasi. 3.4.1 Pengolahan Data DEM SRTM 3 Global Pada proses ini dilakukan pengolahan data DEM SRTM 3 yaitu proses geocoding agar DEM SRTM 3 Global tersebut dapat dilakukan pensimulasian menjadi interferogram yang memiliki sistem koordinat slant range. Hal ini dilakukan sebelum dapat menghilangkan efek topografi pada interferogram. 3.4.1.1 Proses Pembentukan Tabel Lookup dan Transformasi DEM SRTM 3 menjadi memiliki Sistem Koordinat Slant Range Pada proses ini dilakukan transformasi DEM global SRTM 3 menjadi sistem koordinat slant range serta pembentukan tabel lookup. Tabel lookup digunakan untuk melakukan geocoding kembali sehingga dari DEM dengan sistem koordinat slant range dapat ditransformasi kembali menjadi DEM. Namun pada proses ini tabel lookup yang dihasilkan masih memiliki ketelitian yang kurang baik sehingga pada proses selanjutnya tabel lookup tersebut akan diperbaiki. Hasil DEM dalam sistem koordinat slant range ini sesuai dengan masukan yang dilakukan. Apabila masukan berupa SLC maka hasil keluaran akan berupa SLC (Single Look Complex) dan apabila berupa MLI (Multi Look Intensity) maka hasil keluaran akan berupa MLI. 3.4.1.2 Proses Resampling dari Geometri DEM menjadi Geometri SAR Dengan menggunakan tabel lookup dilakukan resampling dari geometri DEM menjadi geometri slant range menjadi sistem koordinat peta. Pada proses ini dilakukan 42

transformasi agar ukuran DEM sesuai dengan ukuran citra. Selain itu hasil dari proses ini masih memiliki ketelitian yang kurang baik karena tabel lookup belum diperbaiki. 3.4.1.3 Proses Penghitungan Offset dan Regristrasi Polinomial Pada proses ini dilakukan penghitungan offset dan proses registrasi polinomial citra dengan DEM dalam geometri slant range. 3.4.1.4 Proses Perbaikan Tabel Lookup Dengan menggunakan parameter offset yang dihitung pada proses sebelumnya kemudian dapat dilakukan perbaikan tabel lookup sehingga akan dihasilkan tabel lookup yang memiliki ketelitian yang baik. 3.4.1.5 Proses Geocoding dari Geometri Peta menjadi Geometri SAR Pada proses ini dilakukan geocoding DEM dari geometri peta menjadi geometri SAR dengan menggunakan tabel lookup yang telah diperbaiki. Gambar 3.4 DEM hasi proses geocoding dalam slant range dan telah menjadi interferogram simulasi (kiri : didapatkan dari DEM Global SRTM 3, kanan : didapatkan dari DEM yang diturunkan dari data SAR) 3.4.2 Pengolahan Data RAW menjadi SLC Pada proses ini dilakukan pengolahan data mentah hingga menjadi data SLC (Single Look Complex) yang dilakukan melalui serangkaian proses sinyal digital yang terdapat pada data RAW. Gambar 3.3 berikut menggambarkan proses lengkapnya. 43

Data RAW Penentuan Ambiguitas Doppler Estimasi Pusat Doppler Kompresi Range Auto-fokus Kompresi Azimuth Data SLC Gambar 3.5 Proses pembuatan SLC 3.4.2.1 Proses Pembentukan File Parameter serta File RAW Pada proses ini dilakukan proses pembentukan file parameter yang berisikan informasi-informasi (berupa header atau metadata) dari data mentah serta file RAW yang merupakan data mentah citra satelit. File parameter ini dibuat dari data leader (LED) dan file RAW dibuat dari data citra (IMG). 3.4.2.2 Penentuan Ambiguitas Doppler Pada proses ini dilakukan penentuan kemiringan pencitraan terhadap arah tegak lurus gerak orbit satelit. Proses ini diperlukan untuk proses selanjutnya yaitu estimasi dari Doppler centroid. Terdapat 2 metode yang dapat digunakan untuk penentuan ambiguitas Doppler yaitu MLBF (Multi-Look Beat Frequency) dan MLCC (Multi-Look Cross Corelation). Pada penelitian ini saya melakukan metode MLCC karena salah satu keuntungan dari MLCC adalah lebih dapat menghemat penyimpanan data. 3.4.2.3 Estimasi Doppler Centroid Setelah ambiguitas Doppler maka proses selanjutnya dapat dilakukan yaitu proses estimasi Dopper centroid. Proses ini diperlukan untuk proses azimuth compression. 44

3.4.2.4 Range Compression Pada proses ini dilakukan pengkompresan pada arah range untuk memaksimumkan intensitas gelombang pantulan kembali. 3.4.2.5 Autofocus Pada proses ini dilakukan penghilangan pengkaburan pada data yang diakibatkan oleh pergerakan satelit yang tidak sempurna pada jalur. 3.4.2.6 Azimuth Compression Pada proses ini dilakukan pengkompresan pada arah azimut dengan menggunakan Doppler centroid yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan proses ini sama dengan proses range compression. Pada proses ini dilakukan dengan masukan umum pada data PALSAR yaitu jumlah blok pemrosesan 16384 dan konstanta kalibrasi 10,2 db. Terdapat dua jenis format SLC yang dihasilkan pada proses ini yaitu FCOMPLEX dan SCOMPLEX. FCOMPLEX merupakan format data SLC dengan setiap pikselnya memiliki resolusi radiometrik 4 byte sedangkan SCOMPLEX memiliki resolusi radiometrik 2 byte. Hasil dari proses yang dilakukan ini adalah berupa SLC dengan format SCOMPLEX karena untuk penghematan memori penyimpanan serta pengamatan hasil tidak terlalu berpengaruh dari resolusi radiometrik. 3.4.3 Pengolahan Data SLC Hingga Menjadi Interferogram serta DEM Simulasi dari Interferogram Pada proses ini dilakukan pengolahan dari data SLC hingga menjadi data unwrapped interferogram. Gambar 3.6 dan 3.7 berikut menggambarkan proses lengkapnya serta salah satu SLC. SLC Master SLC Slave Penentuan Offset ResamplingSLC Slave Multilook Multilook Pembentukan Interferogram Interferogram Penentuan Baseline Orbit Gambar 3.6 Proses pembuatan interferogram serta data baseline orbit 45

Gambar 3.7 SLC dari data RAW 13 Juni 2009 3.4.3.1 Penghitungan Offset Kedua SLC Proses ini diawali dengan pembuatan file parameter offset. Pembuatan offset dilakukan dengan hasil file parameter offset yang masih kosong dan belum berisi offset dari kedua citra. Setelahfile parameter offset telah dibuat maka selanjutnya adalah penghitungan offset dari kedua citra. Penghitungan ini dilakukan dengan nilai pencarian pada tabel 3.2.. Pada proses tersebut dilakukan penghitungan offset pendekatan dari orbit kedua citra. Setelah itu dilakukan penghitungan ulang untuk memperbaiki penghitungan offset dengan penghitungan awal menggunakan multi look untuk meningkatkan keakuratan dari estimasi offset. Setelah dilakukan penghitungan dari offset pendekatan maka selanjutnya kembali dilakukan penghitungan offset dengan menggunakan korelasi intesitas kedua citra. Proses ini dilakukan dengan menggunakan batas korelasi sebesar 7.0 dan jendela pencarian korelasi pada tabel 3.2 berikut. 46

Tabel 3.2 Nilai pencarian korelasi Parameter pemrosesan ISP Nilai Range pencarian 128 Azimuth pencarian 128 Lebar jendela pencarian 256 Panjang jendela pencarian 256 Selanjutnya adalah menentukan parameter polinomial untuk melakukan resampling dari salah satu citra (slave) terhadap salah satu citra (master). 3.4.3.2 Proses Coregristration dan Resampling Kedua SLC Pada proses ini dilakukan coregistration dan resampling kedua citra dengan mengunakan parameter offset yang telah ditentukan. Sebelum proses ini dilakukan terlebih dahulu pada kedua citra dilakukan proses multi look untuk mengurangi noise yang ada dengan mengorbankan resolusi dari citra. Perbandingan untuk multi look pada data PALSAR adalah 1 : 3 untuk range dan azimut. Multi look dilakukan menggunakan faktor 2 pada range dan faktor 6 pada azimuth untuk menghemat penyimpanan data. 3.4.3.3 Proses Pembentukan Interferogram Pada proses ini dilakukan pembentukan interferogram dari kedua citra. Proses ini dilakukan dengan menggunakan salah satu SLC untuk menjadi master dan salah satu SLC untuk menjadi slave. SLC master digunakan untuk menjadi referensi pada pembentukan interferogram. SLC master yang digunakan merupakan SLC dengan waktu pengambilan yang lebih duluan dari SLC slave sehingga pengamatan deformasi dilakukan berdasarkan arah waktu yang tepat. Dengan menggunakan keseluruhan SLC maka didapatkan hasil 45 interferogram yang didapatkan dengan memasangkan 9 SLC yang ada. Gambar 3.8 berikut adalah salah satu interferogram hasil pengolahan data dari pasangan SLC yang diproses menjadi interferogram dalam penelitian ini. 47

Gambar 3.8 Gambar interferogram hasil pasangan SLC 20090613 dan 20091029 3.4.3.4 Proses Penentuan Baseline Orbit Pada proses ini dilakukan penentuan baseline dari orbit kedua citra. Proses ini dilakukan dengan menggunakan data orbit satelit yang terdapat pada data parameter kedua SLC (*.slc.par). Hasil yang didapatkan adalah baseline dari orbit kedua citra dalam sistem referensi koordinat lokal yaitu TCN (Track, Cross-track, andnormal). Track merupakan vektor ke arah orbit satelit master, cross-track merupakan vektor ke arah tegak lurus dari arah track dan normal, normalmerupakan vektor ke arah normal satelit master. Hasil penentuan baseline tegak lurus dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut. Tabel 3.3 Pasangan SLC serta Baseline Tegak Lurusnya Interferogram Baseline Tegak Lurus (m) Master 20090126-384.613-384.613 20090126-344.082-344.082 20090126 20091214-472.807 20090126 20100129-274.955 48

Tabel 3.4 Pasangan SLC serta Baseline Tegak Lurusnya (lanjutan) Interferogram Baseline Tegak Lurus (m) Master 20090126 20100616-773.168 20090126 20100916-1079.12 20090126 20101101 2094.799 20090126 20101217-1180.1 20090126 20110201-1133.13 20090613 20091029 43.0105 20090613 20091214-80.923 20090613 20100129 106.721 20090613 20100616-388.796 20090613 20100916-684.905 20090613 20101101-761.037 20090613 20101217-786.304 20090613 20110201-744.301 20091029 20091214-122.265 20091029 20100129 63.724 20091029 20100616-430.966 20091029 20100916-726.741 20091029 20101101-802.612 20091029 20101217-830.117 20091029 20110201-788.139 49

Tabel 3.5 Pasangan SLC serta Baseline Tegak Lurusnya (lanjutan) Interferogram Baseline Tegak Lurus (m) Master 20091214 20100129 185.309 20091214 20100616-308.142 20091214 20100916-602.345 20091214 20101101-679.728 20091214 20101217-704.634 20091214 20110201-663.535 20100129 20100616-497.895 20100129 20100916-790.617 20100129 20101101-871.390 20100129 20101217-894.837 20100129 20110201-853.299 20100616 20100916-293.074 20100616 20101101-371.832 20100616 20101217-396.566 20100616 20110201-355.595 20100916 20101101-75.336 20100916 20101217-96.508 20100916 20110201-60.340 20101101 20101217-21.132 20101101 20110201 16.615 20101217 20110201 41.555 50

3.4.4 Pengolahan Interferogram Hingga Menjadi DEM SAR Sebelum dilakukannya proses eliminasi kelengungan Bumi pada interferogram terlebih dahulu dilakukan proses pemilihan interferogram yang cocok untuk dapat membentuk DEM yang memiliki kualitas baik. Pemilihan ini dilakukan dengan melakukan pengamatan korelasi antara interferogram dan DEM Global SRTM 3. Gambar 3.9 berikut menggambarkan proses lengkap pembuatan DEM yang diturunkan dari data SAR.Gambar 3.10 berikut merupakan contoh masking korelasi interferogram yang berkorelasi baik dan buruk. Interferogram Pengamatan Korelasi dengan DEM SRTM Global 3 DEM SRTM Global 3 Penghilangan Efek Kelengkungan Bumi Pada Interferogram Informasi Baseline Estimasi Tingkat Koherensi Filtering Interferogram Unwrapping Interferogram Estimasi Kuadrat Terkecil Baseline Inteferogram Pembentukan DEM InSAR DEM InSAR Gambar 3.9 Proses pembuatan DEM yang diturunkan dari SAR 51

Gambar 3.10 Hasil masking corelation raster interferogram 3.4.4.1 Proses Penghilangan Kelengkungan Bumi Proses ini dilakukan sebelum proses unwrapping sehingga proses tersebut tidak dipengaruhi oleh kelengkungan Bumi. Proses ini dilakukan hanya untuk 4 interferogram yaitu interferogram 20090613_20091029,20091029_20091214,20090616_20090916 dan 20090916_20101101 yang dipilih melalui pencarian korelasi dengan DEM Global SRTM 3 dengan batas korelasi 0,7 dan jumlah daerah yang berkorelasi baik hingga 70%. Proses ini dilakukan untuk pembentukan DEM simulasi dari interferogram. Gambar 3.11 berikut merupakan salah satu interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi pada penelitian. Gambar 3.11 Interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi (20090613_20091029) 52

3.4.4.2 Proses Estimasi Derajat Koherensi Proses ini dilakukan untuk mencari nilai koherensi fase dari interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Buminya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan jendela koherensi 5 baris dan 5 kolom yang merupakan pengaturan biasa digunakan dan fungsi bobot pembesaran triangular. Fungsi bobot pembesaran ini memiliki hasil yang relatif tidak jauh beda untuk semua metode. Gambar 3.12 berikut merupakan gambar koherensi interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan bumi pada penelitian. Gambar 3.12 Gambar koherensi interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi (20100616_20100916) 3.4.4.3 Proses Filtering Interferogram Pada proses ini dilakukan pemfilteran interferogram terhadap noise atau gangguan fase yang ada pada interferogram. Proses ini dilakukan dengan. Proses ini dilakukan dengan menggunakan batas koherensi 0.25 agar batas koherensi yang digunakan tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Selain itu untuk parameter lainya digunakan masukan yang biasa digunakan (default). Gambar 3.13 berikut merupakan interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan bumi dan telah difilter dari noise. 53

Gambar 3.13 Interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi dan telah difilter dari noise (20090613_20091029) 3.4.4.4 Proses Unwrapping Interferogram Pada proses ini dilakukan pengubahan interferogram yang masih memiliki fase relatif menjadi fase absolut. Proses ini dilakukan dengan menggunakan metode Minimum Cost Flow (MCF) dan masukkan yang biasa digunakan. Sebelum dilakukan unwrapping terlebih dahulu dilakukan masking pada fase dengan korelasi rendah pada interferogram dengan menggunakan batas korelasi 0,25. Gambar 3.14 berikut merupakan gambar interferogram yang telah di-unwrapping Gambar 3.14 Interferogram yang telah di-unwrapping (20100616_20100916) 54

3.4.4.5 Proses Estimasi Kuadrat Terkecil Baseline Interferogram Pada proses ini dilakukan dengan 3 proses yaitu : 1. Pemilihan titik kontrol tanah 2. Ekstraksi nilai fase yang sudah di-unwrap 3. Estimasi kuadrat terkecil dengan menggunakan titik kontrol tanah dan nilai fase yang sudah di-unwrap Proses pemilihan titik kontrol tanah dilakukan dengan menggunakan RBI Badan Informasi Geospasial. Pemilihan titik-titik kontrol tanah yang dipilih merupakan titik-titik yang dapat diamati dengan jelas. Pemilihan titik ini dilakukan secara manual dengan menggunakan interferogram yang sudah di-unwrap-kan yang kemudian dirasterkan. Selanjutnya dilakukan ekstraksi nilai fase absolut titik kontrol tanah yang kemudian dilanjutkan dengan estimasi kuadrat terkecil dengan menggunakan titik kontrol tanah dan nilai fase yang sudah di-unwrap. 3.4.3.9 Proses Pembentukan Peta Ketinggian Interferometrik Pada proses ini dilakukan pembentukan peta ketinggian interferometrik dengan mengestimasi ketinggian dan ground range dari interferogram. Ketinggian dan ground range ini masih dalam koordinat SAR (slant range atau azimuth) yang kemudian akan diubah menjadi koordinat ortonormal. Untuk melakukannya dilakukan proses resampling dari interferogram sehingga terbentuk peta ketinggian interferometrik dengan koordinat sepanjang jalur dan tegak lurus jallur (along track dan across track). Hasil pembuatan DEM tersebut dapat dilihat pada gambar 3.4. 3.4.5 Pengolahan Interferogram Hingga Menjadi Peta Deformasi Pada proses ini dilakukan proses penghilangan efek topografi pada interferogram dengan menggunakan DEM yaitu DEM Global SRTM 3 dan DEM yang diturunkan dari data SAR sehingga dihasilkan peta deformasi. Gambar 3.6 berikut menggambarkan proses pembuatan peta deformasi. 3.4.5.1 Pengolahan DEM Global SRTM 3 DEM SRTM Global 3 tidak dapat langsung digunakan dan diproses oleh perangkat lunak GAMMA karena memiliki format data yang berbeda yaitu big endian. Untuk itu perlu 55

dilakukan pengubahan format data little endian menjadi big endian. Selain itu pada piksel yang tidak memiliki data berisikan nilai -9999 sehingga perlu diubah menjadi nilai 0. Interferogram DEM Penentuan Transformasi Geometrik Awal Perbaikan Transformasi Geometrik Resampling DEM Simulasi Fase Topografi Penghilangan Fase Topografi Penghilangan Trend Linear Fase Unwrapping Pembentukan Peta Deformasi Peta Deformasi Gambar 3.15 Proses pembuatan peta deformasi 56

3.4.5.2 Pengolahan Diferensial Interferogram dengan Menggunakan DEM SRTM Global 3 Hingga menjadi Peta deformasi Pada proses ini dilakukan penghilangan efek topografi pada interferogram yang belum dilakukan unwrapping dengan menggunakan DEM SRTM Global 3. Dengan dihilangkannya efek topografi sehingga interferogram sehingga pada interferogram tersisa fase akibat pergerakan dan atmosfer dan efek lain sebagainya yang dapat diabaikan. Setelah efek topografi dihilangkan kemudian sebelum diubah menjadi peta deformasi terlebih dahulu dilakukan proses unwrapping sehingga fase yang ada pada interferogram merupakan fase absolut. Sebelum dilakukan proses unwrapping terlebih dahulu dilakukan proses masking terhadap interferogram untuk daerah berkolerasi rendah dengan batas korelasi 0,25. Hal ini dilakukan agar daerah yang memiliki korelasi rendah tidak diikutkan dalam proses unwrapping sehingga proses lebih cepat. Setelah itu kemudian dilakukan proses interpolasi interferogram yang telah di-unwrapping untuk mendapatkan daerah yang kosong akibat korelasi rendah. Setelah proses tersebut kemudian dilakukan pembentukan peta deformasi pada interferogram dengan fase absolut sehingga pergerakan dapat diamati dengan baik. Peta deformasi yang dibuat merupakan peta deformasi vertikal sehingga mengabaikan deformasi horizontal yang ada.hasil peta deformasi dapat dilihat pada gambar 3.15. 3.4.5.2 Pengolahan Diferensial Interferogram dengan Menggunakan DEM Simulasi Hingga menjadi Peta Deformasi Proses ini sama dengan proses pengolahan diferensial dengan menggunakan DEM SRTM Global 3 namun dengan menggunakan DEM simulasi yaitu peta ketinggian interferometrik. Proses ini dilakukan persis sama dengan menggunakan DEM SRTM Global 3 hingga terbentuk peta deformasi. Penghilangan efek topografik dengan menggunakan DEM sumulasidilakukan karena ketelitian pada DEM simulasi yang lebih baik dari DEM SRTM Global 3. Selain itu DEM simulasi dibuat dari data yang digunakan sehingga korelasi waktu lebih baik. Contoh hasil peta deformasi dapat dilihat pada gambar 3.16. 57

Gambar 3.16 Peta deformasi hasil dengan menggunakan DEM yang diturunkan dari interferogram 58

Gambar 3.17 Peta deformasi hasil dengan menggunakan DEM Global SRTM 3 59