BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pendugaan Emisi Karbon (CO 2 ) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Propinsi Riau Tahun

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

IRA TASKIRAWATI. E Pengaruh Kadar Air Bahan Bakar hutan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

I. PENDAHULUAN. Singkong merupakan salah satu komoditi pertanian di Provinsi Lampung.

BAB I PENDAHULUAN. banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

Iklim Perubahan iklim

TINJAUAN PUSTAKA. Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (CO 2 ) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATRA SELATAN TAHUN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. Apakah pemanasan Global akan menyebabkan peningkatan terjadinya banjir, kekeringan, pertumbuhan hama secara cepat dan peristiwa alam atau cuaca yan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pendugaan Emisi CO 2 sebagai Gas Rumah Kaca akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Kalimantan Tengah, Tahun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

FIsika PEMANASAN GLOBAL. K e l a s. Kurikulum A. Penipisan Lapisan Ozon 1. Lapisan Ozon

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034%

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

Dampak Perubahan Iklim

Wiwi Widia Astuti (E1A012060) :Pengetahuan Lingkungan ABSTRAK

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

15B08063_Kelas C SYAMSUL WAHID S. GEJALA PEMANASAN GLOBAL (Kelas XI SMA) PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR STRUKTUR MATERI

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma

I. PENDAHULUAN. terdiri dari sekumpulan vegetasi berkayu yang didominasi oleh pepohonan. Hutan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

PENDAHULUAN Latar Belakang

STAF LAB. ILMU TANAMAN

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

APA ITU GLOBAL WARMING???

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan dan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan

2 TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Lingkup Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

Udara & Atmosfir. Angga Yuhistira

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

Transkripsi:

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan unsur-unsur yang lain dan ditandai dengan adanya panas, cahaya, serta penyalaan (Davis 1959). Kebakaran hutan merupakan suatu proses pembakaran yang terjadi secara menyebar bebas serta melahap bahan bakar yang ada di hutan seperti serasah, rumput, semak belukar, ranting, sisa-sisa tumbuhan yang telah mati, semak dedaunan, dan pohon-pohon segar yang masih berdiri dalam tingkat terbatas (United States Forest Service 1956 dalam Brown dan Davis 1973). Menurut Brown and Davis (1973) proses pembakaran merupakan proses kebalikan dari proses fotosintesis, yaitu proses perombakan karbohidrat (C 6 H 12 0 6 ) dan oksigen (O 2 ) yang menghasilkan energi panas, uap air (H 2 O), dan karbondioksida (CO 2 ). Pembakaran terjadi melalui proses kimia dan fisika. Proses ini berlangsung cepat dan memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur kimia, yang berlawanan dengan proses pembentukan bagian-bagian tanaman melalui proses fotosintesis (Suratmo et al. 2003). Kebakaran terjadi karena adanya interaksi antara tiga unsur, yaitu bahan bakar, oksigen (O 2 ) dan sumber panas. Ketiga unsur tersebut digambarkan seperti segitiga atau disebut segitiga api (fire triangle), sebagai berikut : Panas Oksigen Bahan bakar Gambar 1 Segitiga api (Clar dan Chatten 1954) Prinsip segitiga api ini merupakan prinsip dasar untuk melakukan tindakan pencegahan serta pengendalian kebakaran hutan, yaitu dengan mencegah

4 terjadinya hubungan antara ketiga unsur tersebut. Apabila salah satu unsur dari ketiganya tidak tersedia maka kebakaran tidak akan terjadi dan pada umumnya unsur yang paling berpotensi untuk dikurangi ketersediaanya adalah bahan bakar (Clar dan Chatten 1954). 2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan 1. Faktor Lingkungan Biofisik a. Karakteristik Bahan Bakar Menurut Brown dan Davis (1973) terdapat 3 tipe bahan bakar yaitu bahan bakar bawah yang terdiri atas duff, akar, dan gambut. Bahan bakar permukaan yang terdiri atas serasah, ranting, kulit kayu, dan cabang pohon yang semuanya belum terurai, termasuk juga rumput, tumbuhan bawah, anakan, dan semai. Bahan bakar tajuk yang terdiri atas bahan bakar hidup ataupun yang sudah mati yang berada diatas dan menutupi kanopi menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 meter. Menurut Clar dan Chatten (1954) ada beberapa hal yang mempengaruhi kebakaran yaitu ukuran bahan bakar, bahan bakar yang halus lebih cepat kering dan lebih mudah terbakar sedangkan bahan bakar kasar lebih sukar terbakar. Susunan bahan bakar juga mempengaruhi kebakaran, bahan bakar yang menyebar secara horizontal mempercepat meluasnya kebakaran dan volume bahan bakar, bahan bakar dalam jumlah besar akan memperbesar nyala api, temperaturnya tinggi dan sulit dipadamkan. Kerapatan bahan bakar mempengaruhi kebakaran, kayu yang memiliki kerapatan tinggi dan rendah akan terbakar dengan baik sedangkan rumput akan lebih mudah terbakar pada saat kerapatan rendah dan berhenti bila kerapatan tinggi. Kadar air bahan bakar mempengaruhi sulit atau tidaknya suatu bahan bakar untuk terbakar dan bahan bakar yang banyak mengandung air akan lebih sulit terbakar. Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar adalah faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan. Kandungan air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi sebelum bahan bakar dibakar, sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Kadar air dari bahan bakar berubah seiring dengan

5 perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang lebih pendek (Chandler et al. 1983). b. Kondisi Bahan Bakar Kondisi bahan bakar mempengaruhi mudah-tidaknya api membakar bahan bakar, kondisi bahan bakar tersebut berhubungan dengan kadar air dan jumlah bahan bakar. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, apabila kadar airnya tinggi maka api tidak mudah menyala. Kelembaban kurang dari 30% mendukung terjadinya kebakaran (Saharjo 2003 dalam Darwo 2009). 2. Faktor Manusia Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya adalah faktor manusia, baik sengaja maupun karena kelalaian, dimana kegiatan konversi menjadi kegiatan yang seringkali menjadi penyebab kebakaran hutan (Syaufina 2008). Masyarakat melakukan kegiatan pembakaran dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi. Faktor ini sangat erat hubungannya dengan konsep penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masyarakat yang memiliki lahan yang kecil/tidak memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut bekerjasama dengan masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani yayasan, atau koperasi (Heryalianto 2006). Menurut Boonyanuphap (2001) pemukiman merupakan faktor aktivitas manusia yang paling signifikan yang menentukan resiko kebakaran hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Akibat bertambahnya pendatang baru dan meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, dan pembukaan lahan dengan pembakaran. 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan (Land Use Change) Menurut Arsyad (1989) perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kehidupannya, baik materil mapun spiritual. Begitu juga dengan perubahan penggunaan lahan yang sebelumnya berupa hutan menjadi lahan yang digunakan untuk aktivitas lain, seperti pertanian, pemukiman, perindustrian, dan

6 perkebunan. Perubahan ini dapat berdampak pada penurunan kualitas lahan itu sendiri, seperti semakin meningkatnya luas lahan kritis, meningkatnya erosi tanah, sedimentasi, terjadinya banjir pada musim hujan, dan kekeringan pada musim kemarau. Dampak dari perubahan penggunaan lahan seringkali tidak diperhitungkan karena adanya keterbatasan dalam nilai barang dan jasa lingkungan (Bonnieux dan Goffe 1997). Perubahan penggunaan lahan ini berdampak pada manfaat langsung yang diperoleh akibat peningkatan pendapatan. Aktivitas ini terlihat rasional secara ekonomis karena banyak nilai dan manfaat langsung yang diperoleh, namun dari sisi lain banyak manfaat dari perlindungan lingkungan yang hilang dan tidak diperhitungkan dalam merubah penggunaan lahan. Salah satu alasan dari perubahan penggunaan hutan menjadi non hutan adalah karena semakin terbatasnya lahan yang ada di Indonesia dan didorong dengan pertumbuhan populasi manusia yang semakin tinggi. Salah satu permasalahan dalam perubahan penggunaan lahan tersebut adalah pembukaan hutan dengan cara pembakaran yang tidak terkendali dengan asumsi pembakaran hutan untuk pembukaan lahan lebih praktis dan efisien (Syaufina 2008). Menurut Ekadinata dan Dewi (2011), faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan adalah konversi, perubahan praktek, kebakaran, bencana, dan perubahan iklim. Perubahan tutupan seringkali dikaitkan dengan perubahan penggunaan, pengertian dari perubahan tutupan lahan sendiri menurut Hartanto (2006) berkaitan dengan jenis kenampakan yang terdapat di permukaan bumi, dengan ada atau tidak adanya aktivitas manusia, sementara penggunaan lahan mengarah pada kegiatan manusia pada obyek tersebut. 2.3 Emisi Karbondioksida (CO 2 ) Kebakaran hutan tidak hanya berdampak terhadap lingkungan sekitar, tetapi juga dapat menembus batas geografis suatu negara melalui asap dan emisi karbon yang dihasilkannya. Hasil pembakaran hutan berupa emisi tersebut menjadi salah satu masalah karena sangat berhubungan dengan pemanasan global, yaitu mengakibatkan akumulasi polutan-polutan di atmosfer sehingga menyebabkan efek rumah kaca (green house effect). Emisi karbon merupakan jumlah total gas karbondioksida yang termasuk sebagai gas rumah kaca dan secara

7 umum dinyatakan setara ton karbondioksida (CO 2 ). Unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan, karena hampir 45% materi kering tumbuhan adalah karbon (Hao et al. 1990). Sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara dalam bentuk CO 2, sisanya berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH 4, dan asap. Sulfur akan tertinggal sebagai asap dan sedikit terbentuk menjadi SO 2 dan unsur klorin membentuk senyawa CH 3 Cl (Crutzen dan Andreae 1990 dalam Lobert et al. 1990). Karbondioksida (CO 2 ) merupakan salah satu gas rumah kaca yang memiliki nilai Global Warming Potential (GWP) sebesar 1. Global Warming Potential memiliki definisi yaitu suatu nilai berdasarkan sifat radiatif yang digunakan untuk memperkirakan potensi efek pemansan global dari emisi beberapa gas (Forster et al. 2007 dalam Kusuma 2011) 2.4 Titik Panas (Hotspot) Menurut Anderson, Imanda dan Muhnandar (1999) dalam Heryalianto (2006), pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api. Namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas. Data tentang hotspot tersebut dapat dihimpun melalui satelit MODIS, yang juga dapat digunakan untuk pemantauan secara global. Terlebih lagi, NASA telah membuka akses yang luas bagi para pengguna MODIS di seluruh dunia. MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah perangkat yang memiliki satelit Terra dan Aqua. Orbit satelit Terra adalah di sekitar bumi yang bergerak dari arah utara ke selatan melintasi khatulistiwa di pagi hari, sementara satelit Aqua bergerak dari selatan ke utara di atas khatulistiwa setiap sore hari. Perangkat MODIS menyediakan sensitivitas radiometrik yang tinggi (12 kanal) dalam 36 spektral band dengan kisaran panjang gelombang dari 0,4 14,4 µm dengan resolusi spasial yang bervariasi (2 kanal pada 250 m, 5 kanal pada 500 m dan 29 kanal pada 1 km). Alat ini didesain untuk menyediakan pengukuran dalam skala besar termasuk perubahan tutupan bumi oleh awan, radiasi dan peristiwa yang terjadi di laut, di daratan, dan pada tingkat atmosfir terendah. Sebuah hotspot MODIS/lokasi terjadinya kebakaran menunjukan pusat yang berisi 1 atau lebih hotspot/kebakaran yang sedang aktif terbakar dengan

8 radius 1 km pixel (rataan), hotspot/kebakaran tersebut dideteksi menggunakan data dari alat MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Pada umumnya, hotspot MODIS merupakan kebakaran vegetasi, namun terkadang dapat berupa erupsi vulkanik atau semburan api dari sumur gas. Satelit MODIS akan mendeteksi suatu obyek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang terdeteksi sebagai hotspot oleh satelit MODIS adalah sekitar 330 K (NASA 2002). 2.5 Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang rawan kebakaran hutan dan lahan di Pulau Kalimantan. Salah satu kebakaran paling besar adalah pada tahun 1997-1998 yang menghanguskan 6,5 juta ha areal hutan di Kalimantan, terutama di Kalimantan Barat (Bappenas 1999 dalam Tacconi 2003) dan total kerugian diperkirakan mencapai US$ 9 milliar dengan emisi karbon yang cukup tinggi dan merupakan poluter terbesar di dunia yaitu sebesar 206,6 juta ton dan 75% dihasilkan dari kebakaran gambut atau sekitar 156,3 juta ton (ADB 1999 dalam Tacconi 2003). Menurut Kementerian Kehutanan (2012) luas kebakaran hutan di Kalimantan Barat pada tahun 2000 mencapai 104 ha dan mengalami peningkatan pada tahun 2001 menjadi sekitar 170 ha. Luas kebakaran hutan di Kalimantan Barat kembali mengalami peningkatan pada tahun 2002 menjadi sekitar 361 ha dan mengalami penurunan pada tahun 2003 menjadi sekitar 28 ha. Pada tahun 2004, 2005, dan 2006 luas hutan dan lahan yang terbakar di Kalimantan Barat masing-masing sekitar 1.027 ha, 1.686 ha dan 3.489,96 ha. Peningkatan jumlah luasan kebakaran hutan dan lahan tersebut berbanding lurus dengan jumlah hotspot atau titik panas yang terdeteksi di Provinsi Kalimantan Barat. Pada tahun 2004 terdapat sejumlah 4.784 hotspot yang tersebar di berbagai kabupaten di Kalimantan Barat, hotspot yang terdeteksi terdapat pada non kawasan hutan (65%) dan pada kawasan hutan (35%). Peningkatan jumlah hotspot terjadi pada tahun 2006 menjadi 11.517 hotspot yang tersebar pada non kawasan hutan (48%) dan kawasan hutan (52%) (Kementerian Kehutanan 2012).