BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TiO 2 jatuh pada 650 nm sedangkan pada kompleks itu sendiri jatuh pada 600 nm, dengan konstanta laju injeksi elektron sekitar 5,5 x 10 8 s -1 sampai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4 Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pencemaran udara adalah masuknya, atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke dalam

I. KONSEP DASAR SPEKTROSKOPI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Henni Eka Wulandari Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL SURYA HIBRID ZnO-KLOROFIL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

KIMIA ANALISIS ORGANIK (2 SKS)

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakterisasi luas permukaan fotokatalis menggunakan SAA (Surface Area

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. cahaya matahari.fenol bersifat asam, keasaman fenol ini disebabkan adanya pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Listrik merupakan kebutuhan esensial yang sangat dominan kegunaannya

Penentuan struktur senyawa organik

F- 1. PENGARUH PENYISIPAN LOGAM Fe PADA LAPISAN TiO 2 TERHADAP PERFORMANSI SEL SURYA BERBASIS TITANIA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar sumber energi yang dieksploitasi di Indonesia berasal dari energi fosil berupa

I. PENDAHULUAN. Kualitas udara yang dipergunakan untuk kehidupan tergantung dari lingkungannya. Udara

I. KEASAMAN ION LOGAM TERHIDRAT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang yang kaya akan radiasi matahari yang tinggi,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Komponen Materi. Kimia Dasar 1 Sukisman Purtadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. alkohol, dan fenol alkohol (Nair et al, 2008). Fenol memiliki rumus struktur

BAB I PENDAHULUAN. energi cahaya (foton) menjadi energi listrik tanpa proses yang menyebabkan

BENTUK KRISTAL TITANIUM DIOKSIDA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

Kimia Koordinasi Teori Ikatan Valensi

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4 Hasil dan pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang dialami hampir oleh seluruh negara di dunia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Tahapan Penelitian dan karakterisasi FT-IR dilaksanakan di Laboratorium

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS

abc A abc a = koefisien ekstingsi (absorpsivitas molar) yakni tetap b = lebar kuvet (jarak tempuh optik)

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian minyak, pekerjaan teknisi, dan proses pelepasan cat (Alemany et al,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

KIMIA. Sesi KIMIA UNSUR (BAGIAN IV) A. UNSUR-UNSUR PERIODE KETIGA. a. Sifat Umum

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin berkembang seiring dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

PENGARUH FILTER WARNA KUNING TERHADAP EFESIENSI SEL SURYA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II KOROSI dan MICHAELIS MENTEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Spektrofotometer UV /VIS

DAFTAR ISI. PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. HALAMAN TUGAS... iv. HALAMAN PERSEMBAHAN... v. HALAMAN MOTO...

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri di Indonesia selain membawa keuntungan juga

Kata kunci: surfaktan HDTMA, zeolit terdealuminasi, adsorpsi fenol

Solar Energy Conversion Technologies

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Teknik Voltametri dan Modifikasi Elektroda

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERBEDAAN EFISIENSI DAYA SEL SURYA ANTARA FILTER WARNA MERAH, KUNING DAN BIRU DENGAN TANPA FILTER

Jurnal Reaksi Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Vol. 3 No.5, Juni 2005 ISSN X

I. PENDAHULUAN. kimia yang dibantu oleh cahaya dan katalis. Beberapa langkah-langkah fotokatalis

I. PENDAHULUAN. kinerjanya adalah pemrosesan, modifikasi struktur dan sifat-sifat material.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1 Struktur Porfirin (Jaung, 2005)

PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi saat ini yang melanda dunia masih dapat dirasakan terutama di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. sol-gel, dan mempelajari aktivitas katalitik Fe 3 O 4 untuk reaksi konversi gas

Distribusi Celah Pita Energi Titania Kotor

! " "! # $ % & ' % &

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus )

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Ana Thoyyibatun Nasukhah Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

HASIL DAN PEMBAHASAN

Spektroskopi IR Dalam Penentuan Struktur Molekul Organik Posted by ferry

STUDI AWAL FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN EKSTRAKSI DAUN BAYAM SEBAGAI DYE SENSITIZER DENGAN VARIASI JARAK SUMBER CAHAYA PADA DSSC

Edisi Juli 2015 Volume IX No. 2 ISSN STUDI KOMPUTASI SENYAWA DOPAMIN DAN DOPAMIN-TI(OH) 2 UNTUK APLIKASI SEL SURYA TERSENSITASI ZAT WARNA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

I. PENDAHULUAN. Nanoteknologi diyakini akan menjadi suatu konsep teknologi yang akan

I. PENDAHULUAN. serius, ini karena penggunaan logam berat yang semakin meningkat seiring

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan. IV.1 Sintesis dan karaktrisasi garam rangkap CaCu(CH 3 COO) 4.6H 2 O

I. PENDAHULUAN. Nanoteknologi merupakan teknologi masa depan, tanpa kita sadari dengan

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Voltametri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SPEKTROSKOPI INFRA RED & SERAPAN ATOM

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Sintesis dan aplikasi material semikonduktor hibrid, suatu bahan semikonduktor yang didoping dengan senyawa kompleks atau ligan organik, sedang populer dikerjakan dengan tujuan untuk memperoleh sifat material baru yang diinginkan. Penggunaan bahan material semikonduktor pada saat sekarang antara lain sebagai permukaan fotokatalis, sel surya, electroluminescense display dan material sensor. Longo dan Paoli (2003) telah melakukan sensitisasi TiO 2 dengan senyawa dye, kompleks cis-ru(dcb) 2 (NCS) 2, (dcb=2,2-bipyridine-4,4- dicarboxylic acid) untuk keperluan sel surya. de Dood, et al. (2002) telah melakukan Sintesis material luminescence dengan cara mendopingkan logam tanah jarang Er 3+, Eu 3+, dan Tb 3+ pada sistem koloidal SiO 2. Identifikasi spektrum photoluminescense diperoleh lifetime 13,2 ms sehingga sangat prospektif sebagai electroluminescense display. Sayo, et al. (1999) telah melakukan pembuatan katalis Au yang diembankan pada material TiO 2 untuk katalis oksidasi CO menjadi CO 2. 1. TiO 2 Beberapa semikonduktor oksida mempunyai pita energi yang berada pada daerah energi cahaya UV-Vis, termasuk TiO 2, WO 3, SrTiO 3, ZnO, dan Fe 2 O 3. Tetapi diantara semikonduktor-semikonduktor tersebut TiO 2 telah terbukti paling baik untuk mengatasi masalah lingkungan dan aman untuk lingkungan. Fotokatalisis menggunakan TiO 2 telah dilakukan untuk memecahkan pelbagai masalah lingkungan antara lain untuk pemurnian air dan udara, destruksi bakteri, degradasi zat warna dan senyawa kimia beracun, serta pembuatan gas hidrogen dari air. TiO 2 secara biologi dan kimia bersifat inert, tidak mahal, dan cukup stabil atau sedikit mengalami fotokorosi. TiO 2 merupakan semikonduktor yang paling stabil terhadap fotokorosi dalam hampir semua pelarut kecuali dalam larutan yang sangat asam atau mengandung fluorida (Brown, 1992). TiO 2 yang bersifat lebih

stabil, tetapi sifat yang kurang menguntungkan adalah pita energi yang lebar yang hanya aktif dalam daerah cahaya ultraviolet, di mana cahaya ultraviolet tersebut hanya 10 % dari seluruh cahaya matahari (Linsebigler, et al., 1995). Titanium (IV) Oksida (II) mempunyai satu fase yang stabil, rutil (tetragonal) dan dua fase metastabil polimorf, brukit (orthorhombic) dan anatase (tetragonal). Kedua fase metastabil menjadi rutil (stabil) ketika memaparkan material pada temperature diatas 700ºC (dalam keadaan murni, dan tidak ada zat aditif yang ditambahkan). a. TiO 2 dalam Fase Metastabil Anatase Polimorf TiO 2 anatase adalah salah satu dari dua fase metastabil bersama dengan fase brukit. Untuk proses kalsinasi diatas 700ºC semua struktur anatase berubah menjadi rutil. Struktur anatase adalah tetragonal, dengan dua unit formula TiO 2 (enam atom) per sel. Atom logam (kation Ti 4+ ) berada pada posisi 4(b): (0, ¼, 3/8) dalam unit sel. Sementara atom oksigen (anion O 2- ) pada posisi 8(c): (0, ¼, z), dimana parameter internal z, berharga 0,1656 (Cobos, 2001). Gambar 1. Fase metastabil kristal TiO 2 anatase. b. TiO 2 dalam Fase Stabil Rutil Rutil secara termodinamika stabil pada semua temperatur dan merupakan salah satu yang paling penting dalam bijih titanium. Rutil mempunyai struktur yang sama dengan anatase, dengan pengecualian bahwa oktahedra memiliki empat sisi daripada empat sudut. Hal ini memungkinkan terbentuknya rantai, yang tersusun dalam simetri empat lipatan seperti terlihat pada Gambar 2 (Farrell, 2001).

Gambar 2. Fase stabil kristal TiO 2 rutil c. Model Pengikatan TiO 2 dengan Dye TiO 2 bisa melakukan ikatan kimia dengan molekul dye, atau senyawa sensitiser. Luis, et al. (2003) telah menunjukkan terjadinya ikatan antara TiO 2 anatase dengan katekol. Molekul katekol terikat pada permukaan kristal TiO 2 anatase dan membentuk kompleks permukaan dengan ion Ti 4+ pentakoordinat yang bertetangga (Gambar 3). Gambar 3. Geometri TiO 2 anatase yang berikatan dengan katekol. Ti(5) menunjukkan ion Ti 4+ pentakoordinat yang secara langsung mengikat katekol. Ti(6) menunjukkan ion Ti 4+ heksakoordinat yang berdekatan dengan katekol. Ikatan antara dye dan TiO 2 anatase bisa juga terjadi pada atom oksigen gugus hidroksil. Longo dan Paoli (2003), menyatakan bahwa gugus karboksilat pada ligan bpy senyawa dye bereaksi spontan dengan gugus hidroksil permukaan pada permukaan TiO 2 membentuk senyawa ester, sehingga terjadi ikatan yang stabil antara dye dan TiO 2.

2. Senyawa Dye sebagai Sensitiser TiO 2 Penggunaan dye adalah satu usaha untuk meningkatkan kisaran respon panjang gelombang Vis dari bahan semikonduktor. Peranan senyawa kompleks sebagai dye pada material semikonduktor adalah mempengaruhi/merubah pita energi TiO 2. Perubahan mekanisme perpindahan elektron yang terjadi dengan penambahan dye adalah induksi elektron berasal dari ligan pada proses MLCT dye. Selanjutnya elektron tereksitasi dan lubang (hole) yang terbentuk pada pita valensi dapat mengalami beberapa alternatif mekanisme, misalnya elektron terksitasi tersebut dapat didonorkan untuk mereduksi suatu akseptor, atau dapat didonorkan ke sebuah lubang (hole). Pendistribusian hole maupun elektron pada bahan semikonduktor merupakan fungsi energi. Gambar 1 menunjukkan mekanisme perpindahan elektron yang berasal dari suatu senyawa kompleks [M]. [M]* menggambarkan tingkat energi orbital π* atau σ* dari ligan L pada senyawa kompleks [M]. MLCT menyebabkan perpindahan elektron dari orbital non bonding logam M (orbital t 2 g pada struktur oktahedral) ke orbital non bonding ligan L. CB hv [M] [M]* VB [M] + Gambar 4. Skema fotosensitisasi partikel semikonduktor dengan dye senyawa kompleks [M] (Dye sensitized) (CB=pita konduksi, VB=pita valensi). Vinodgopal, et al. (1995) telah berhasil menunjukkan adanya proses injeksi muatan dari tingkat energi keadaan tereksitasi pada dye ke partikel semikonduktor dengan konstanta laju pada daerah 5,5 x 10 8 s -1 sampai dengan 1,0 x 10 8 s -1 pada bahan semikonduktor TiO 2 dengan dye Ru(bpy) 2 -dcbpy) 2+ (dcbpy=4-4 -dikarboksi-2,2 -bipiridin).

3. Sensitisasi Semikonduktor Pengikatan dye senyawa kompleks pada material semikonduktor juga dapat dilakukan dengan metode adsorpsi pada permukaan nanokristalin TiO 2. Lees, et al. (2001) melakukan pengikatan senyawa kompleks dengan metode adsorpsi senyawa kompleks pada lapisan tipis TiO 2 dengan perendaman pada larutan senyawa kompleks selama 3 jam untuk pengukuran voltametri siklis dan 24 jam untuk pengukuran IPCE. Keberhasilan pembuatan material semikonduktor hibrid tampaknya sangat bergantung pada disubstitusi senyawa kompleks atau logam yang telah didispersikan pada material semikonduktor. de Dood, et al. (2002) telah menunjukan bahwa doping logam tanah jarang pada material silika dengan katalis asam-basa menghasilkan dispersi logam yang merata dalam ukuran nanometer. Sedangkan sintesis dengan katalis basa tidak berhasil oleh karena adanya fenomena agregasi yang terjadi. Fenomena agregasi dapat ditanggulangi dengan penggunaan silylating agent. Sylilating agent merupakan suatu terobosan yang sangat menjanjikan keberhasilan sintesis semikonduktor rekaan. Proses sensitisasi TiO 2 dengan dye melalui ikatan kimia menggunakan gugus penggandeng telah dilakukan Longo dan Paoli (2003). Mereka telah memodifikasi ligan bpy (bipiridin) pada senyawa dye, kompleks cis-ru(dcb) 2 (NCS) 2 (dcb=2,2-bipyridine-4,4-dicarboxylic acid), dengan gugus karboksilat menjadi dcb (Gambar 5). Hal itu dilakukan untuk memantapkan penataan dye pada permukaan TiO 2. Gugus karboksilat dapat bereaksi secara spontan dengan gugus hidroksil permukaan pada permukaan TiO 2 membentuk senyawa ester, sehingga terjadi ikatan yang stabil antara dye dan TiO 2. Fung, et al. (2003) juga telah melakukan proses sensitisasi TiO 2 dengan dye melalui ikatan kimia menggunakan gugus penggandeng silil. Dalam penelitian mereka, permukaan TiO 2 telah dimodifikasi dengan kompleks Ru(II) polipiridil melalui ikatan silil.

Gambar 5. Struktur kompleks cis-ru(dcb) 2 (NCS) 2 (Longo dan Paoli, 2003). Fung et al. (2003) juga telah mempelajari model pengikatan gugus penggandeng pada permukaan TiO 2, seperti ikatan kovalen, interaksi elektrostatik, ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan penjebakan fisis. Kemampuan gugus karboksil, fosfonat, amino, dan silil telah didemonstrasikan terutama pada pembentukan ikatan kovalen dengan permukaan TiO 2 (gambar 6). Gambar 6. Jenis gugus penggandeng dan pengikatannya pada permukaan TiO 2.

Stabilitas ikatan ini bervariasi, dan dalam medium cair beberapa dari ikatan ini yaitu: karboksil dan fosfonat-ester, hanya stabil pada range ph tertentu. Dalam pelarut organik atau campuran pelarut organik, kekuatan ikatan-ikatan ini bahkan lebih lemah. Kecuali gugus penggandeng silil, semua ikatan kovalen konvensional mengalami tingkat dissosiasi tertentu atau penguraian kelatnya. Gugus penggandeng silil tampaknya merupakan bahan modifikasi permukaan yang ideal untuk TiO 2 oleh karena afinitasnya yang tinggi terhadap gugus hidroksil pada permukaan semikonduktor dan sifat inert dari ikatan silil, Si O. Kajian terhadap kompleks logam dengan ligan polipiridil yang diturunkan dari gugus silil telah memperlihatkan ketahanan ikatan silil pada permukaan silika, SnO 2, TiO 2 dan ITO. 4. Agen Penggandeng Silan Agen penggandeng silan termasuk ke dalam kelas senyawa organosilan yang mempunyai sedikitnya dua gugus reaktif dengan tipe yang berbeda yang terikat pada atom silikon dalam molekul. Salah satu gugus reaktif dengan tipe yang berbeda (contoh: metoksi, etoksi, dan gugus hidroksi silanolik) reaktif dengan material anorganik seperti kaca, logam, pasir silika dan membentuk ikatan kimia dengan permukaan material anorganik sementara gugus reaktif lainnya (contoh: vinil, epoksi, metakril, amino dan gugus merkapto) reaktif dengan pelbagai material organik atau resin sintetis membentuk ikatan kimia. Dengan memiliki dua tipe gugus reaktif ini, agen penggandeng silan mampu membentuk ikatan kimia antara material organik dan material anorganik. Sifat agen penggandeng silan yang unik ini dimanfaatkan secara luas pada perlakuan produk serat kaca, peningkatan kemampuan plastik yang diperkuat serat dengan pencampuran langsung pada resin sintetis, peningkatan kualitas cat, material adhesif dan sintetis lainnya, modifikasi sifat permukaan bahan pengisi anorganik, cat dasar permukaan pelbagai material substrat, dan sebagainya. Ketika agen penggandeng silan digunakan pada material serat termoset berbahan dasar resin yang diperkuat, (thermosetting resin-based fiber-reinforced)

peningkatan kualitas yang luar biasa diperoleh terutama sifat mekanis dan kelistrikan serta efek material ketika digunakan pada kondisi basah dan lembab. Beberapa contoh senyawa organosilan adalah N-ß(aminoethyl)-γaminopropyl-trimethoxysilane, 3-aminopropyl-triethoxysilane, γ-glycidoxypropyl methylidiethoxysilane, N-ß(aminoethyl)-γ-aminopropylmethyldimethoxysilane, 3-kloropropiltrimetoksisilan (KPTS). KPTS mempunyai bentuk fisik cair dengan berat molekul 198,72 g/mol, massa jenis 1,09 g/ml dengan titik leleh 177 ºC pada tekanan 1 atm. KPTS merupakan senyawa turunan dari tetrametoksisilan (TMOS) yang sudah dikenal luas penggunaannya sebagai material awal pembentuk komposit silika. Senyawa KPTS memiliki satu gugus aktif klor yang mudah terdekomposisi sehingga memungkinkan untuk berikatan dengan senyawa lain dan tiga gugus metoksi yang sangat mudah tersubtitusi oleh gugus hidroksil jika sistem tersedia gugus hidroksil. Tabel 1. Struktur 3-kloropropiltrimetoksisilan (KPTS) dan senyawa-senyawa organosilan yang lain (anonim). No. Nama Senyawa Organosilane Rumus Kimia 1. 3-kloropropiltrimetoksisilan (KPTS) MeO OMe Si Cl OMe 2. N-ß(aminoethyl)-γaminopropylrimethoxysilane 3. 3-aminopropyl-triethoxysilane 4. γ-glycidoxypropylmethylidiethoxysilane 5. N-ß(aminoethyl)- γ-aminopropylmethyl dimethoxysilane

5. Spektrum Elektronik Absorpsi cahaya ultraviolet atau cahaya tampak mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan transisi berenergi lebih tinggi. Transisi ini memerlukan 40-300 kkal/mol. Energi yang diserap selanjutnya terbuang sebagai kalor, sebagai cahaya atau tersalurkan dalam reaksi kimia (misalnya isomerisasi atau reaksireaksi radikal bebas). Panjang gelombang cahaya UV atau cahaya tampak bergantung pada mudahnya promosi elektron. Molekul yang memerlukan energi lebih besar untuk promosi elektron akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek sedangkan molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang. Senyawa yang menyerap cahaya dalam daerah tampak (yakni senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah di promosikan daripada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang UV yang lebih pendek. Absorbsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada pelbagai panjang gelombang dan dialirkan oleh suatu perekam untuk menghasilkan spektrum. Spektrum UV maupun tampak, memiliki radiasi pita absorbsi lebar pada daerah panjang gelombang yang lebar. Ini disebabkan oleh terbaginya keadaan dasar dan keadaan eksitasi sebuah molekul dalam subtingkat-subtingkat rotasi dan vibrasi. Karena pelbagai transisi ini berbeda energi sedikit sekali, maka panjang gelombang absorbsinya juga berbeda sedikit dan menimbulkan pita lebar yang tampak dalam spektrum. Absorbsi energi direkam sebagai absorban pada suatu panjang gelombang tertentu didefinisikan sebagai : Io A=log...(1) I dimana, A = absorbansi Io I = intensitas berkas cahaya rujukan = intensitas berkas cahaya contoh

< CN - Deret ini berguna untuk meramalkan posisi puncak absorbsi untuk Absorpsi suatu senyawa pada panjang gelombang tertentu bertambah dengan banyaknya molekul yang mengalami transisi. Oleh karena itu, absorbsi tergantung pada struktur elektronik senyawa dan juga pada kepekatan contoh dan panjangnya sel contoh. Karena itu absorbsi energi dinyatakan sebagai absorbtivitas molar ε (koefisien ekstingsi molar) dan bukan sebagai absorbsi sebenarnya. A ε=...(2) cl dimana, ε = absorbtivitas molar A = absorbansi c = konsentrsi dalam M l = panjang gelombang dalam cm (Fessenden dan Fessenden, 1995). Unsur-unsur blok d mengabsorpsi pada daerah UV dan daerah tampak. Transisi 3d dan 4d mempunyai pita yang lebar dan umumnya terdeteksi dalam daerah tampak, puncak-puncak absorbsi dipengaruhi oleh lingkungan yang mengelilinginya. Sifat spektrum dari logam transisi meliputi transisi elektronik antara tingkat-tingkat energi yang berbeda pada orbital d. Dari teori medan kristal diketahui bahwa orbital t 2g (d xy, d yz, dan d xz ) dan orbital e g (d x2-y2, d z2 ) terpecah sebesar dengan adanya ligan. Besarnya splitting ( ) oleh ligan dapat disusun dalam suatu deret spektrokimia berikut. I - < Br - < Cl - < F - < OH - < Oksalat 2- < H 2 O < SCN - < NH 3 < en < NO 2 pelbagai jenis kompleks dengan ligan-ligan diatas, bertambahnya pada deret di atas sesuai dengan bertambahnya kekuatan medan dan makin kecil (Kopkar, 1990). Pemakaian utama spektrofotoskopi UV-Vis dalam kimia anorganik melibatkan transisi elektron pada kompleks metal digambarkan dengan diagram MO (molecular orbital).

π*(l) transisi e g * transisi (a) (b) t 2g transisi (c) e g t 1u Gambar 7. Diagram MO yang disederhanakan dan tipe transisi elektron yang memungkinkan untuk kompleks d 1. MLCT ditunjukkan dengan anak panah (b). a 1g Jika ligan termasuk tipe π akseptor, maka jenis transisi kedua kemungkinan bisa terjadi (dari t 2g ke tingkat π*, panah (b), pada Gambar 7 diatas). Transisi ini mengubah distribusi muatan metal-ligan, karena densitas elektron bergeser dari orbital dengan karakter logam yang tinggi ke orbital dengan karakter ligan yang tinggi. Karenanya, transisi ini merupakan pita metal-to-ligand charge transfer. Dan hal itu dperbolehkan oleh aturan seleksi orbital ( l=1, dengan asumsi bahwa π* mempunyai asal usul tipe-p). Pita seperti itu cenderung kuat (ε=10 3-10 4 L/mol.cm), dan selalu ditemukan pada level energi yang lebih tinggi dari transisi d d. MLCT memiliki kegunaan besar pada teknologi standpoint, sensitiser pada dye-sensitized photovoltaic cells, sebagai pencatat luminescence pada optik sensor

gas, sensor ph, dan material fotokatalisis (Whittle, et al., 2001). Sehingga Sintesis kompleks logam transisi yang memuat transfer muatan dari logam ke ligan (metalto-ligan-charge transfer, MLCT) akhir-akhir ini banyak diminati untuk dipelajari karena kemungkinan aplikasi yang sangat tinggi untuk konversi energi cahaya ke energi listrik. MLCT meliputi absorbsi cahaya tampak, photoluminescense, dan long lifetime. Photoluminescense pada kompleks europium dan terbium telah dapat dimanfaatkan untuk optik sensor ph (Blair, et al., 2001). Sedangkan absorpsi cahaya tampak dapat dimanfaatkan untuk photodegradator senyawa organik kromofor (Hoffman, et al. 1995). Tingkat eksitsasi MLCT dapat diklasifikasikan dalam decay non-radiatif, proses transfer elektron, efek pelarut, dan interaksi molekul kecil dengan biopolimer. Studi MLCT mayoritas difokuskan pada kompleks dengan logam Ru(II)-polipiridin karena absorbsi transfer muatan pada daerah visibel yang intensitasnya sangat tinggi dan reaktivitas redoks yang baik, namun studi MLCT akhirnya meluas untuk kompleks-kompleks dari Os(II), Cu(I), Re(I), Pt(II), Fe(II) dan Ir(III) (Whittle, 2001 dan Islam, 2001). Lees, et al. (2001) telah mempelajari sifat fotoelektrokimia dari nanoporous TiO 2 yang dimodifikasi permukaannya dengan kompleks dinuklear Ru(II)-(bpt)-Os(II) (bpt=3,5-(bis(piridin-2-il)-1,2,4- triazol). Data elektrokimia, data spektroskopi time-resolved transient absorption dan penentuan IPCE (incident-photon-to-current-efficiency) dapat menerangkan adanya transfer elektron dari logam Ru(II) pada Ru(II)-(bpt)-Ru(II) ke material TiO 2. Islam, A., (2001) menyebutkan sensitiser MLCT alternatif dari komplekskompleks Fe(III), Re(I), dan Cu(I) pada bahan semikonduktor TiO 2 yang telah dipelajari masih kurang efisien sebagai bahan solar cell dibandingkan dengan sensitiser MLCT dari kompleks-kompleks logam Ru(II) dan Os(II). Young Min Cho (2001) telah berhasil menunjukkan proses MLCT pada kompleks Ru II (bpy-cooh) 2 ) 2+ 3. Pita absorpsi maksimum dari metal-to-ligand charge transfer (transisi MLCT, dπ π*) sensitiser terlihat pada 467 nm (Gambar 8).

Gambar 8. Spektra UV-Vis TiO 2 dan TiO 2 tersensitisasi dan spektrum absorbansi Ru II (bpy-cooh) 2 ) 3 2+. James K. Mccusker (2003) telah berhasil menunjukkan proses MLCT pada kompleks [Ru(bpy) 3 ] 2+ pada panjang gelombang 450 nm (Gambar 9). Gambar 9. Spektrum absorbansi [Ru(bpy) 3 ] 2+

Vinodgopal, et al. (1995) membuktikan adanya injeksi elektron dari dye Ru(bpy) 2 (dcbpy) 2+ tereksitasi ke material TiO 2. Keadaan tereksitasi dye melibatkan metal-to-ligand charge transfer dan sebagai akibatnya konfigurasi elektronik pada keadaan tereksitasi memegang peran penting dalam mengontrol laju penginjeksian. Injeksi muatan dari sensitiser tereksitasi ke dalam pita konduksi semikonduktor dengan band gap besar terjadi dengan waktu yang ultra cepat. Pada prinsipnya logam yang dapat mengadakan proses MLCT adalah logam yang memiliki densitas elektron yang berlebih yang disebabkan oleh tambahan densitas elektron dari ligan secara ikatan σ. Penggunaan ligan dua jenis yaitu ligan σ-donor dan ligan π-akseptor dapat mengarahkan terjadinya MLCT kepada ligan π-akseptor. Misalnya penggunaan ligan Cp (siklopentadienil), ligan PPh 3 atau ligan halida dengan ligan-ligan polipiridin atau turunan piridin. Pada senyawa kompleks, kontribusi σ-donor maupun π-akseptor secara sinergis memberi kestabilan senyawa kompleks secara keseluruhan. Logam mengadakan proses MLCT juga dapat didukung oleh tingkat oksidasi logam. Logam pada tingkat oksidasi rendah atau nol memiliki densitas elektron yang lebih besar sehingga kemampuan untuk mengadakan proses MLCT akan meningkat. Faktor elektronegativitas logam juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya MLCT. Logam dengan elektronegativitas relatif rendah akan lebih mudah untuk melepaskan elektronnya sehingga proses MLCT lebih mudah terjadi. Proses MLCT tidak lain adalah proses pembentukan ikatan π-back bonding dari orbital dπ(m) ke orbital π*(l) atau σ*(l) (tergantung orbital anti-bonding yang dimiliki ligan). 6. Konversi Energi Cahaya ke Energi Listrik Longo dan Paoli (2003) telah melakukan serangkaian percobaan dalam rangka mempelajari penginjeksian elektron yang dimanfaatkan untuk konversi energi cahaya ke energi listrik. Mereka membuat sebuah konsep konversi energi pada TiO 2 tersensitisasi dye sebagai berikut:

Gambar 10. Skema sel surya TiO 2 tersensitisasi dye dan proses yang terlibat dalam konversi energi. Reaksi-reaksi yang terjadi dalam proses konversi energi terangkum menjadi enam reaksi sederhana. Reaksi (1) menerangkan keadaan tereksitasi dye oleh energi matahari. Injeksi muatan merupakan proses yang sangat cepat, biasanya dalam ukuran femtosekon (reaksi 2). Di sisi lain, rekombinasi, atau reaksi balik elektron (reaksi 3) sangat lambat dan terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama (skala mikrosekon atau lebih lama). Laju reaksi regenerasi dye (reaksi 4) sangat penting untuk efesiensi sel, karena mempengaruhi efisiensi pengumpulan elektron yaitu jumlah elektron yang meninggalkan semikonduktor dan menyumbangkan arus foto (photocurrent). Kinetika reaksi pada elektroda konter harus menjamin regenerasi cepat mediator muatan (reaksi 5). Elektron yang diinjeksikan bisa juga bereaksi dengan triodide. Hal ini kemungkinan terjadi melalui penjebakan dan reaksi antara. Reaksi ini juga dinamakan reaksi dark current yang merupakan mekanisme kehilangan utama (main loss) dalam DSSC (Dye-Sensitized Solar Cell) (reaksi 6). Pengukuran konversi energi cahaya ke energi listrik ini menghasilkan kurva I-V seperti pada Gambar 11 berikut:

Gambar 11. Kurva I-V pada pelbagai intensitas cahaya. Injeksi elektron dari dye ke material TiO 2 memegang peranan penting dalam konversi energi. Konversi energi yang terjadi pada material TiO 2 -dye dipelajari dengan penentuan kurva arus-voltase. Kemudian dari kurva didapat efisiensi konversi energi total, η, dibawah intensitas penerangan yang berbeda dan dihitung dengan persamaan: 2 ( Voc( V). I sc( A/ cm ). FF) η =...(3) 2 P ( W / cm ) in Dimana V oc, I sc, FF, P in masing-masing merupakan voltase open-circuit, arus short-circuit, filling factor, dan fluks daya sumber sinar. Filling factor didefinisikan sebagai perhitungan daya maksimum, daerah persegi empat dibawah kurva I-V. Filling factor dihitung menggunakan persamaan: V p. I p FF =...(4) V. I oc sc V p dan I p merupakan titik belok kurva I-V dengan daerah segi empat daya maksimum. 7. Spektrofotometri Inframerah Inti atom yanga terikat oleh ikatan kovalen mengalami getaran (vibrasi) serupa dengan bola yang terikat pada pegas. Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap menyebabkan kenaikan dalam amplitudo getaran

atom-atom yang terikat itu. Jadi, molekul ini berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi. Energi yang terserap akan dibuang dalam bentuk panas bila molekul itu kembali ke keadaan dasar. Tipe ikatan yang berlainan (C-H, C-C, O-H, dan sebagainya) menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang karakteristik yang berlainan. Banyaknya energi yang diabsorbsi oleh suatu ikatan bergantung pada perubahan dalam momen ikatan. Jadi untuk dapat mengabsorbsi, molekul harus memiliki perubahan momen dipol sebagai akibat dari vibrasi. Berarti radiasi medan listrik yang berubah-ubah akan berinteraksi dengan molekul dan menyebabkan perubahan amplitudo salah satu getaran molekul. Senyawa-senyawa seperti O 2, dan N 2 tidak memiliki perubahan momen dipol dalam vibrasi maupun rotasinya sehingga tidak dapat mengabsorbsi sinar IR. Skala pada dasar spektra adalah bilangan gelombang (ν). Panjang gelombang atau frekuensi titik minimum suatu pita absorbsi digunakan untuk mengidentifikasi tiap pita. Pita-pita inframerah dalam sebuah spektrum dapat dikelompokkan menurut intensitasnya yaitu kuat (s, strong), medium (m), dan lemah (w,weak). Suatu pita lemah yang bertumpang-tindih dengan suatu pita kuat disebut bahu (sh, shoulder) (Fessenden dan Fessenden, 1995). 8. Differential Thermal Analysis (DTA) Analisis termal adalah suatu teknik untuk menentukan sifat fisika dan kimia dari suatu bahan, campuran atau komponen reaksi sebagai fungsi temperatur dan waktu. Differential Thermal Analyzer atau biasa disebut DTA termasuk sebagai salah satu metode pengukuran termal. Adapun prinsip dari pengukuran DTA adalah mengukur perbedaan temperatur yang timbul antara sampel dan standar sebagai akibat dari pemanasan bersama pada laju pemanasan yang dikendalikan. Pada DTA panas yang dipancarkan oleh sistim diselidiki dengan mengukur perbedaan temperatur antara sistim dan senyawa pembanding inert (alumina, alumunium, silicon carbida, gelas, platinum), jika temperatur keduanya dinaikkan dengan kecepatan sama dan konstan.

DTA dapat juga mendeteksi gejala gejala yang lain seperti transisi polimorfis (perubahan bentuk) yang tidak melibatkan perubahan berat. Transisi fase polimorfis biasa dipelajari dengan mudah dan akurat dengan DTA, karena banyak sifat fisika dan kimia pada sample-sampel tertentu dapat dimodifikasikan atau dirubah seluruhnya dengan transisi fase ini, misalnya penambahan material untuk mendapatkan sifat material yang diinginkan. Gejala-gejala yang terjadi pada DTA dapat digunakan untuk tujuan karakterisasi maupun analisis material, jika suatu sampel tidak diketahui identitasnya tentu tidak mungkin dapat diidentifikasi hanya dengan DTA saja, tetapi DTA sangat bermanfaat untuk mengelompokkan golongan-golongan material. Pola dari kurva DTA juga merupakan finger print sehingga bisa digunakan untuk karakterisasi suatu material jika sudah ada pola standarnya. Disamping itu DTA juga bisa digunakan untuk mengetahui kemurnian material (quality control) secara lebih akurat. Temperatur transisi glass (Tg) menunjukkan temperatur dimana terjadi transformasi padatan atau transisi struktur dari keadaan rigid menjadi fleksibel pada polimer yang disebabkan adanya perubahan kapasitas panas (Dood, et al, 1987). Harry, et al, (1994) mengatakan nilai Tg diatas 200 C dimiliki material dengan komposisi gugus samping yang beragam. Nilai Tg yang tinggi menunjukkan material tersebut memiliki desain yang kuat. Prinsip kerja DTA 50 adalah sebagai berikut, temperatur sampel dan zat pembanding dipanaskan pada temperatur konstan maka pada zat pembanding akan terjadi kenaikan temperatur sesuai dengan kenaikan temperatur yang mengenainya, sementara itu pada sampel akan terjadi kenaikkan atau penurunan temperatur pada batas tertentu sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada sampel. Jika perubahan pada sampel telah sempurna maka temperatur sampel akan konstan kembali, seiring dengan zat pembandingnya. Ketika peristiwa yang terjadi adalah proses eksotermal, maka panas akan dilepaskan oleh sampel sehingga dalam sampel akan terjadi kenaikan temperatur yang ditandai dengan suatu puncak maksimum pada kurva DTA. Apabila perubahan yang terjadi pada sampel adalah proses endotermal maka akan terjadi penyerapan panas oleh sampel yang

ditandai dengan penurunan temperatur dari sampel sehingga kurva DTA yang diperoleh adalah sebagai puncak minimum. Contoh kurva endotermal dan eksotermal pada material dapat dilihat pada Gambar 12 (Dood, et al, 1987). Gambar 12. Kurva endotermal dan eksotermal material menggunakan Differential Thermal Analyzer (DTA). Beberapa fenomena yang terjadi dalam analisis material menggunakan Differential Thermal Analyzer (DTA) (Dood, et al, 1987). Tabel 2. Fenomena yang terjadi dalam analisis material menggunakan DTA. Fenomena Eksotermis Endotermis Tg (transisi glass) x x Titik Leleh - x Proses Rekristalisasi - x Proses Dekomposisi x x Proses Dehidrasi - x

B. Kerangka Pemikiran TiO 2 bersifat stabil secara kimia dan merupakan bahan semikonduktor maka bisa digunakan sebagai bahan dasar untuk sintesis semikonduktor rekaan. Tetapi ditinjau dari sifat fotoelektrokimianya TiO 2 mempunyai sifat yang kurang menguntungkan yaitu memiliki pita energi lebar yang hanya aktif dalam daerah cahaya ultraviolet, di mana cahaya ultraviolet tersebut hanya 10 % dari seluruh cahaya matahari. Fotosensitisasi merupakan metode untuk memperluas fotorespon pita energi yang lebar material TiO 2 ke daerah cahaya tampak, dengan mendopingkan suatu bahan yang memiliki respon terhadap panjang gelombang tampak. Dye, kompleks Mn(bpy) 2 Cl 2, memiliki aktivitas di daerah tampak sehingga dapat digunakan sebagai bahan sensitiser dalam fotosensitisasi. Silylating agent 3-kloropropiltrimetoksisilan (KPTS) mempunyai dua gugus aktif yaitu gugus klor dan gugus metoksi yang terletak pada dua ujung yang berbeda dan berlawanan. Jika ditambahkan pada dye, kompleks Mn(bpy) 2 Cl 2, gugus klor bisa bereaksi dengannya sehingga 3-kloropropiltrimetoksisilan terikat pada kompleks. Selanjutnya bila silylating Agent telah berikatan dengan kompleks tersebut direaksikan dengan material TiO 2, gugus metoksi bisa mengadakan reaksi dengan hidrogen gugus OH pada material TiO 2. Sebagai akibat reaksi ini atom Si menjadi berikatan dengan atom Ti melalui atom oksigen, dan kompleks bisa terikat pada permukaan TiO 2. KPTS berperan sebagai gugus penggandeng antara dye dengan material TiO 2 dan bisa dikarakterisasi dari spektra FTIR material TiO 2 -dye. Fotosensitisasi diawali dengan diserapnya energi cahaya tampak oleh dye pada material semikonduktor rekaan TiO 2 -dye. Akibat penyerapan energi cahaya ini dye mengalami eksitasi MLCT. Karakteristik MLCT ini bisa diketahui dengan mempelajari spektrum elektronik (UV-Vis) dan observasi back bonding dari dye dan material TiO 2 -dye. Dalam keadaan tereksitasi ini bisa terjadi penginjeksian elektron dari kompleks ke material TiO 2, karena perbedaan tingkat energi keadaan terksitasi dan pita konduksi dari material kecil serta berdekatannya orbital antibonding ligan dengan pita konduksi material. Injeksi elektron ini menyebabkan keadaan elektronik material TiO 2 berubah. Karena semikonduktor memiliki

kemampuan yang terbatas dalam menghasilkan arus, maka dengan berjalannya waktu arus yang dihasilkan akan semakin menurun. Lamanya material menghasilkan arus selama waktu tertentu bisa dijadikan ukuran stabilitas fotoelektrokimia material. Stabilitas fotoelektrokimia merupakan karakteristik fotoelektrokimia material TiO 2 -dye dan bisa dipelajari dengan dengan metode pengukuran arus foton-voltase. Penginjeksian elektron ini merupakan proses transfer elektron yang terjadi di dalam material TiO 2 -dye yang disebabkan oleh energi cahaya tampak. Jika material disusun sedemikian sehingga menjadi sebuah sel elektrokimia, maka transfer elektron ini akan menimbulkan arus dan voltase. Dengan adanya arus dan voltase yang dihasilkan maka material berfungsi sebagai suatu bahan yang dapat mengkonversi energi cahaya ke energi listrik. C. Hipotesis. 1. Material TiO 2 -dye dapat disintesis dari TiCl 4 sebagai bahan dasar, senyawa kompleks Mn(bpy) 2 Cl 2 sebagai sensitiser, menggunakan agen penggandeng silan 3-kloropropiltrimetoksisilan (KPTS). 2. Dye dapat mensensitisasi TiO 2 sehingga material TiO 2 -dye memiliki kisaran respon terhadap panjang gelombang daerah tampak. 3. Material TiO 2 -dye dapat mengkonversi energi cahaya ke energi listrik yang ditandai dengan arus yang dihasilkan.