Hubungan antara derajat konveksitas profil jaringan keras dan jaringan lunak wajah pada suku Bugis dan Makassar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 METODE PENELITIAN

Korelasi antara lebar mesiodistal gigi dengan kecembungan profil jaringan lunak wajah orang Bugis-Makassar

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan ortodontik bertujuan memperbaiki fungsi oklusi dan estetika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi-gigi dengan wajah (Waldman, 1982). Moseling dan Woods (2004),

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. susunannya akan mempengaruhi penampilan wajah secara keseluruhan, sebab

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung maupun tidak langsung pada pasien. 1. indeks kepala dan indeks wajah. Indeks kepala mengklasifikasian bentuk kepala

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tiga puluh orang menggunakan sefalogram lateral. Ditemukan adanya hubungan

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk. (2000). 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan bentuk wajah yang harmonis jika belum memperhatikan posisi jaringan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dalam melakukan perawatan tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan rahang saja

Gambar 1. Fotometri Profil 16. Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang,

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi. syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Oleh : MELISA NIM :

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan estetis yang baik dan kestabilan hasil perawatan (Graber dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. permukaan oklusal gigi geligi rahang bawah pada saat rahang atas dan rahang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

BAHAN AJAR Pertemuan ke 9

SEFALOMETRI. Wayan Ardhana Bagian Ortodonsia FKG UGM

Kata kunci: lebar mesiodistal gigi, indeks Bolton, maloklusi kelas I Angle, overjet, overbite, spacing, crowding

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

KARAKTERISTIK PROFIL JARINGAN LUNAK PADA PENDERITA OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS DENGAN KEBIASAAN BERNAPAS MELALUI MULUT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. atau bergantian (Hamilah, 2004). Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kesehatan gigi, estetik dan fungsional individu.1,2 Perawatan dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN SUDUT INTERINSISAL DENGAN PROFIL JARINGAN LUNAK WAJAH MENURUT ANALISIS RICKETTS PADA MAHASISWA SUKU BATAK FKG DAN FT USU

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. wajah dan jaringan lunak yang menutupi. Keseimbangan dan keserasian wajah

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

PENGENALAN SEFALOMETRI RADIOGRAFIK

MATERI KULIAH ORTODONSIA I. Oleh Drg. Wayan Ardhana, MS, Sp Ort (K) Bagian Ortodonsia

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah

HUBUNGAN SUDUT INTERINSISAL DENGAN JARINGAN LUNAK WAJAH BERDASARKAN ANALISIS STEINER PADA MAHASISWA FKG USU RAS DEUTRO MELAYU

BAB I PENDAHULUAN. Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. KELAINAN DENTOFASIAL

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari berbagai macam penyebab dan salah satunya karena hasil dari suatu. pertumbuhan dan perkembangan yang abnormal.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. Nama mata kuliah : Ortodonsia. II. Kode/SKS : KGO 1/2. III. Prasarat : Anatomi IV. V. Deskripsi Mata Kuliah. VI. Tujuan Pembelajaran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Eksperimental kuasi dengan desain one group pre dan post. Tempat : Klinik Ortodonti RSGMP FKG USU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penggunaan fotografi di bidang ortodonti telah ada sejak sekolah kedokteran

BAB I PENDAHULUAN. Oklusi secara sederhana didefinisikan sebagai hubungan gigi-geligi maksila

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Rasio lebar mesiodistal gigi Bolton pada geligi berjejal dan geligi normal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. Ukuran lebar mesiodistal gigi bervariasi antara satu individu dengan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Soetjiningsih (1995)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maloklusi adalah ketidakteraturan letak gigi geligi sehingga menyimpang dari

PERUBAHAN INDEKS TINGGI WAJAH PADA PERAWATAN ORTODONTI MALOKLUSI KLAS I DENGAN PENCABUTAN EMPAT GIGI PREMOLAR PERTAMA

PERUBAHAN KONVEKSITAS SKELETAL WAJAH SETELAH RETRAKSI ANTERIOR DENGAN PENCABUTAN EMPAT PREMOLAR PERTAMA T E S I S MARTHA

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat. memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Oleh: Ahmad Tommy Tantowi NIM:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah. Secara umum bentuk wajah (facial) dipengaruhi oleh bentuk kepala, jenis kelamin

BAB 1 PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan wajah dan gigi-geligi, serta diagnosis,

Dentofasial, Vol.11, No.3, Oktober 2012: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diri atau tidak melalui bentuk gigi dan bentuk senyuman. Penting bagi dokter gigi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi geligi pada posisi ideal dan seimbang dengan tulang basalnya. Perawatan

Perawatan Maloklusi Klas II Divisi 1 Dentoskeletal Disertai Retrusi Mandibula Dengan Alat Fungsional Bionator

Kata kunci : retraksi gigi anterior, mesialisasi gigi posterior, profi l muka jaringan keras, maloklusi angle kelas II divisi 1

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maloklusi adalah keadaan yang menyimpang dari oklusi normal dengan

ABSTRAK. Kata kunci: persepsi, minat, remaja, alat ortodontik cekat, maloklusi

Perawatan Ortodonti pada Geligi Campuran. Abstrak

ANALISA PROFIL JARINGAN LUNAK MENURUT METODE HOLDAWAY PADA MAHASISWA FKG USU SUKU DEUTRO MELAYU

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan retrospective

PERBEDAAN SUDUT MP-SN DENGAN KETEBALAN DAGU PADA PASIEN DEWASA YANG DIRAWAT DI KLINIK PPDGS ORTODONSIA FKG USU

Kata kunci: sefalometri; ortodontik; metode konvensional; metode computerized radiograph

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

ABSTRAK KORELASI ANTARA BENTUK WAJAH DAN BENTUK GIGI INSISIVUS SENTRAL MAKSILA PADA ETNIS TIONGHOA USIA TAHUN

ABSTRAK GAMBARAN MALOKLUSI PADA SISWA SISWI SDK 6 BPK PENABUR KELOMPOK USIA TAHUN BERDASARKAN KLASIFIKASI ANGLE DAN KLASIFIKASI PROFFIT-ACKERMAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu jenis maloklusi yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang penting dalam perawatan ortodonti adalah diagnosis, prognosis dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ABSTRAK. Calvin Kurnia, 2011 Pembimbing I : drg. Susiana, Sp.Ort Pembimbing II: dr. Winsa Husin, M.Sc, M.Kes

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UKURAN DAN BENTUK LENGKUNG GIGI RAHANG BAWAH PADA SUKU MONGONDOW

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK. Kata kunci: analisis Bolton, rasio keseluruhan, rasio anterior, suku Tionghoa, suku Papua

Transkripsi:

Susilowati: Hubungan antara derajat konveksitas profil 125 Hubungan antara derajat konveksitas profil jaringan keras dan jaringan lunak wajah pada suku Bugis dan Makassar Susilowati Bagian Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia ABSTRACT One of the orthodontic treatment goals is to correct malocclusion in order to get a healthy occlusion functionally and esthetically. Facial esthetics is greatly influenced by soft tissue facial profile. The aim of the study was to know the relationship between the convexity degree of skeletal and soft tissue facial profiles. A sample of 50 cephalometric radiographs of untreated individuals (32 female, 18 males) was obtained. Criteria for sample selection comprised were aged over 17 years, never undergone orthodontic treatment, Makassarese and/or Buginese of ancestry, and the presence of complete teeth from the left through the right first molars. The following angular measurements were performed on lateral cephalograms: the skeletal convexity degree (N-A-Pog) and the soft tissue convexity degree (n-no-pog), based on the Subtelny s analysis. The data was analyzed statistically by using independent t-test and correlation test. The results were as the mean values of skeletal convexity degree were 167.44º (male) and 166.53º (female), and the mean values of soft tissue convexity degree were 159.05 o (male) and 162.77 o (female) Conclusion of the study is there was a significant correlation between degree of skeletal and soft tissue convexity. Key words: convexity degree of facial profile, cephalometric, Buginese-Makassarese ABSTRAK Salah satu tujuan perawatan ortodontik ialah untuk mengoreksi maloklusi sehingga diperoleh oklusi yang sehat baik secara fungsional maupun estetis. Salah satu faktor yang mendukung kecantikan wajah adalah profil jaringan lunak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara besarnya sudut konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah secara sefalometrik. Sampel adalah 50 subyek (32 perempuan dan 18 laki-laki) yang memenuhi kriteria usia minimal 17 tahun, belum pernah dirawat ortodontik, maloklusi Angle Kelas I, suku Bugis dan atau Makassar, dan gigi permanen lengkap dari molar pertama kiri sampai kanan. Kepada sampel dilakukan pengambilan foto sefalometrik dalam keadaan oklusi sentrik. Pada sefalogram dilakukan penapakan untuk mendapatkan besarnya sudut konveksitas skeletal (N -A-Pog) dan sudut konveksitas jaringan lunak (n -no-pog), sesuai metode Subtelny. Data diuji secara statistik dengan uji-t independen dan uji korelasi. Hasil penelitian adalah rerata derajat konveksitas skeletal laki-laki sebesar 167,44º sedang perempuan 166,53º; rerata derajat konveksitas jaringan lunak pada laki-laki adalah 159,05º dan perempuan 162,77º. Dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara besarnya derajat konveksitas profil skeletal dengan profil jaringan lunak wajah. Kata kunci: derajat konveksitas profil wajah, sefalometrik, Bugis-Makassar Koresponden: Susilowati, Bagian Ortodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hasanuddin. Jl.Kandea No.5. Makassar, Indonesia. E-mail: susmudjari@indosat.co.id.

126 Dentofasial, Vol.8, No.2, Oktober 2009:125-130 LATAR BELAKANG Pada masa kini, estetik menjadi hal yang sangat diperhatikan. Tampilan wajah merupakan fenomena yang sangat penting. Walaupun tidak ada ukuran obyektif mengenai daya tarik fisik, individu dalam kehidupan sosial atau budaya memiliki standar yang hampir sama. 1 Standar kecantikan selalu berubah sejalan dengan usia dan kesadaran manusia. Evaluasi wajah oleh orang awam bersifat subyektif, yaitu mengenai bagian wajah yang seimbang, harmonis, simetris, dan proporsional. 2 Penampilan wajah merupakan kriteria diagnostik penting yang harus dipertimbangkan dalam rencana perawatan ortodontik komprehensif. Perawatan ortodontik tidak hanya memperbaiki susunan gigi geligi, tetapi dalam kasus-kasus tertentu mempunyai pengaruh yang besar pada tampilan wajah seseorang. Tampilan wajah yang tidak menarik bisa berdampak secara psikologis pada penderita maloklusi. 3 Ada beberapa jenis maloklusi yang bisa berdampak pada profil wajah, misalnya gigi atas yang protrusi, retrusi, dan lain-lainnya. Protrusi biasanya menyebabkan wajah menjadi cembung, sedang retrusi menyebabkan wajah menjadi cekung. 4 Pola struktur wajah seseorang ditentukan oleh banyak faktor, antara lain genetik, ras, usia, serta pola pertumbuhan dan perkembangan wajah. Pertumbuhan wajah meliputi pertumbuhan dari basis kranium, kompleks nasomaksila, dan mandibula. 5 Analisis profil wajah memegang peranan penting dalam menentukan rencana perawatan dan menegakkan diagnosis dalam bidang ortodontik, karena dengan analisis tersebut dapat diperoleh keterangan tentang kondisi jaringan keras dan jaringan lunak wajah yang ada hubungannya dengan maloklusi. Selain itu, juga dimungkinkan dilakukan evaluasi secara terinci dari pergerakan gigi yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Profil wajah dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran rahang, panjang ramus, prognasi dentoalveolar, dimensi mesiodistal gigi, besarnya sudut gonion, dan distribusi serta jumlah jaringan subkutan halus pada wajah. 5,6 Ada beberapa analisis profil jaringan lunak wajah secara sefalometrik yang digunakan di bidang ortodontik, salah satunya adalah dari Holdaway. Analisis ini mencoba menggambarkan secara kuantitatif hubungan jaringan lunak wajah dengan gambaran wajah, baik yang menyenangkan dan harmonis maupun yang tidak. Selain itu, analisis ini lebih rinci dibandingkan dengan analisis jaringan lunak yang lain karena pengukurannya dilakukan pada sebelas variabel. 7 Menurut Holdaway yang dikutip Hamilah, pengukuran terhadap posisi jaringan lunak dagu lebih baik dari pada pengukuran sudut fasial jaringan keras karena adanya variasi ketebalan jaringan lunak dagu. 5 Menurut Yacobson, pengukuran jaringan keras memperlihatkan nilai yang kurang lebih sama tetapi memperlihatkan estetika wajah yang berbeda. 1 Widayanti dan Hamilah 8 yang mengutip Muzj, menganalisis profil wajah dengan menggunakan 3 titik, yaitu titik frontal, titik pada dasar hidung, dan titik gnathion, dengan pertimbangan bahwa ketiga titik tersebut tidak terpengaruh oleh posisi gigi geligi, dan meliputi seluruh profil karena mengikutsertakan dagu. Ketiga titik tersebut membentuk sudut yang disebut sebagai sudut frontofasial. Berdasarkan besarnya sudut frontofasial, maka wajah dapat dibagi dalam 3 jenis, yaitu: (1) mesognathous, yaitu sudut fronto fasialnya normal; (2 ). prognathous, yaitu sudut frontofasialnya lebih kecil, dan (3) orthognathous, yaitu sudut frontofasialnya hampir lurus.

Susilowati: Hubungan antara derajat konveksitas profil 127 Pertumbuhan tulang mandibula ke anterior yang diikuti oleh pertumbuhan jaringan lunak yang menutupinya, berlangsung sangat cepat pada tahun-tahun pertama kehidupan. Pertumbuhan maksila lebih lambat dari mandibula, sehingga kecembungan wajah makin lama makin berkurang, atau profil semakin lurus. 2 Kenyataannya pertumbuham jaringan lunak tidak sepenuhnya tergantung dari pertumbuhan jaringan keras, sehingga perlu diteliti apakah ada hubungan antara besarnya derajat koveksitas jaringan keras dengan konveksitas jaringan lunak wajah. Standar ukuran yang sekarang dipakai kebanyakan dari ras Kaukasoid, maka dari itu perlu diteliti pada ras Deutero-Melayu, khususnya suku Bugis- Makassar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besar sudut konveksitas profil jaringan keras (skeletal) dan jaringan lunak wajah, yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin, dan mengetahui hubungan antara derajat konveksitas jaringan lunak dengan jaringan keras wajah berdasarkan jenis kelamin. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar. Sampel penelitian adalah mahasiswa Universitas Hasanuddin yang memenuhi kriteria, yaitu berusia minimal 18 tahun, gigi permanen lengkap sampai dengan gigi molar pertama, maloklusi Kelas I Angle, belum pernah dirawat ortodontik, bersuku Bugis, atau Makassar, atau campuran Bugis dan Makassar. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Jumlah sampel sebanyak 50 orang. Jalannya penelitian Pertama-tama, dilakukan penyeleksian sampel sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Selanjutnya dilakukan pengambilan foto ronsen secara sefalometrik dalam keadaan oklusi sentrik terhadap masing-masing subyek penelitian. Setelah itu, dilakukan penilaian derajat konveksitas menurut Subtelny ( yang dikutip dari Rakosi) 10 dengan cara melakukan penapakan (tracing) pada setiap sefalogram. Untuk profil jaringan lunak, hubungkan titik n dengan no serta no dengan pog, membentuk dua garis berpotongan yang membentuk sudut. Besarnya sudut ini diukur dengan busur derajat, disebut sebagai derajat konveksitas jaringan lunak. Untuk besar derajat konveksitas profil jaringan keras dilakukan hal yang sama tetapi titik-titik yang dipakai adalah titik N, A, dan Pog. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 12.0 kemudian diuji secara statistik dengan menggunakan uji-t independen dan uji korelasi Pearson. HASIL PENELITIAN Dari penelitian mengenai hubungan antara derajat konveksitas profil jaringan keras dan jaringan lunak wajah pada suku Bugis dan Makassar tampak beberapa hal yang dapat dipaparkan. Tabel 1 menunjukkan derajat koveksitas jaringan keras laki-laki rata-ratanya 167,37 o sedangkan untuk perempuan 166,55 o. Pengujian dengan uji-t independen didapatkan hasil bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05). Rerata derajat konveksitas jaringan lunak wajah untuk laki-laki adalah 159,05 o, sedangkan untuk perempuan 162,7 o. Dari hasil pengujian dengan uji-t independen diperoleh hasil bahwa antara lakilaki dan perempuan terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05).

128 Dentofasial, Vol.8, No.2, Oktober 2009:125-130 Tabel 1. Perbedaan rata-rata derajat konveksitas jaringan keras dan jaringan lunak wajah antara lakilaki dan perempuan. Jenis kelamin N Rerata SD p Konveksitas Jaringan keras Laki-laki 18 167,37 4,95 Perempuan 32 166,55 5,96 0,618 Konveksitas jaringan lunak Keterangan: uji t-independen Laki-laki 18 159,05 4,21 Peempuan 32 162,77 4,42 0,005 Tabel 2. Korelasi antara derajat konveksitas jaringan keras dengan derajat konveksitas jaringan lunak wajah berdasarkan jenis kelamin Konveksitas jaringan Lunak Keterangan: uji korelasi dari Pearson. Konveksitas jaringan keras Jenis kelamin N P Korelasi Laki-laki 19 0,002 + 0,658 Perempuan 31 0,001 + 0,586 Tabel 2 memperlihatkan adanya korelasi antara derajat konveksitas jaringan keras dengan jaringan lunak wajah baik pada laki-laki maupun perempuan. Kekuatan korelasi untuk laki-laki sebesar +0,658 dengan probabilitas 0,002 (p<0,05), menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan. Korelasinya positif berarti perubahan kedua variabel menunjukkan arah yang sama. Untuk perempuan, kekuatan korelasi sebesar +0,586 dengan probabilitas sebesar 0,001 (p<0,05), menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Korelasinya juga positif, berarti perubahan kedua variabel menunjukkan arah yang sama juga. PEMBAHASAN Rerata sudut konveksitas pada laki-laki lebih besar dari perempuan. Hal ini berarti profil jaringan keras laki-laki lebih lurus dibanding perempuan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Salzmann yang menyatakan bahwa pertumbuhan muka ke arah anteroposterior pada perempuan selesai pada waktu pubertas (17 tahun), dan laki-laki pada usia dewasa (25 tahun). Di samping itu, pertumbuhan mandibula lebih cepat dibanding maksila sehingga laki-laki memiliki kesempatan tumbuh lebih banyak pada bagian mandibulanya,yang berakibat profil lakilaki dewasa lebih lurus dibanding perempuan. 9 Sebaliknya Subtelny mendapatkan nilai rerata konveksitas jaringan keras sebesar 177,5º pada usia 12 tahun dan semakin berkurang sejalan dengan bertambahnya umur. 10 Setelah diuji secara statistik, perbedaan sudut konveksitas jaringan keras antara laki-laki dan perempuan, hasilnya tidak bermakna (p>0,05).

Susilowati: Hubungan antara derajat konveksitas profil 129 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Kusnoto yang meneliti tentang profil wajah dengan menggunakan sudut acuan yang berbeda, menyatakan bahwa sudut SNA (Sela Nasion titik A) dan SNB (Sela Nasion titik B) pada laki-laki dan perempuan tidak berbeda bermakna. SNA adalah sudut yang menyatakan hubungan antara kedudukan maksila dengan basis kranium. Sedangkan SNB adalah sudut yang menyatakan hubungan antara kedudukan mandibula terhadap basis kranium. Besarnya perbedaan antara sudut SNA dan SNB dinyatakan dengan sudut ANB. Bila sudut ANB besar, maka konveksitas wajah juga besar (profil semakin lurus). 11 Rerata derajat konveksitas jaringan lunak pada perempuan lebih besar dari laki-laki yang juga bermakna secara statistik (p<0,05). Hasil ini menunjang penelitian yang dilakukan oleh Downs dan Rickets, yang dikutip oleh Fernandez, yang menggunakan titik-titik G-Sn-Pg sebagai acuan 2. Sedangkan Subtelny, yang dikutip oleh Rakosi menetapkan nilai rerata sudut konveksitas jaringan lunak pada laki-laki maupun perempuan adalah sama yaitu 161 o. 10 Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan oleh Salzmann 6 yang menyatakan bahwa pada umumnya pola pertumbuhan antara laki-laki dan perempuan berbeda. Muka perempuan lebih sempit, sedangkan muka laki-laki lebih lebar, terutama sesudah usia 7 tahun. Holdaway yang dikutip oleh Widhayanti yang menganalisis profil jaringan lunak secara sefalometrik radiografik, menggunakan pengukuran jarak dan sudut-sudut. Sudut fasial jaringan lunak yang dibentuk oleh garis fasial (N Po ) dengan FHP pada rumpun Kaukasoid besarnya 90±7º untuk muka yang harmonis. Sudut ini menunjukkan maju mundurnya dagu terhadap kepala. Sudut H yang dibentuk oleh garis H dan N Po yang ideal besarnya adalah 10º pada kecembungan muka 0º, dengan batasan 7-15º Jika sudut H besar, kecembungan bertambah; begitu juga sebaliknya. 8 Pada tabel 2 terlihat adanya korelasi yang bermakna antara konveksitas jaringan keras dengan konveksitas jaringan lunak baik pada lakilaki maupun perempuan (p<0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamilah. 5 Adanya korelasi ini bisa dibuktikan pada dagu jaringan lunak bayi yang maju ke depan seiring dengan pertumbuhan ke anterior dari tulang dagu. Jadi, pertumbuhan jaringan lunak mengikuti pertumbuhan tulang di bawahnya. Yuniar dan Permana yang juga telah melakukan penelitian sefalometrik pada penderita maloklusi berdasarkan Ricketts, mendapatkan hasil yang menunjukkan ada korelasi yang bermakna antara konveksitas jaringan keras dengan posisi insisivus atas dan bawah, serta posisi bibir atas dan bawah. 12 SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang konveksitas profil jaringan keras dan jaringan lunak wajah terhadap 50 orang Bugis- Makassar, dapat disimpulkan bahwa rerata derajat konveksitas jaringan keras pada laki-laki sebesar 167,44º sedang pada perempuan 166,53º dan secara statistik tidak berbeda bermakna. Rerata derajat konveksitas jaringan lunak pada laki-laki adalah 159,05º sedangkan pada perempuan adalah 162,77º, yang secara statistik perbedaan ini bermakna, dan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara besarnya derajat konveksitas profil jaringan keras dengan derajat konveksitas profil jaringan lunak wajah. Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan penelitian serupa dengan kelompok etnis yang berbeda dan metoda analisis sefalometrik yang berbeda pula.

130 Dentofasial, Vol.8, No.2, Oktober 2009:125-130 DAFTAR PUSTAKA 1. Jacobson A. Introduction to radiographic cephalometry. Philadelphia: Lea & Febiger; 1985. p. 14-59. 2. Fernandez P. Angular photogrammetic analysis of the soft tissue profile. Eur J Orthod 2003; 25: 393-9. 3. Purwanegara MK. Pengaruh penampilan kelainan dentofasial terhadap harga diri remaja awal [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 1985. p. 2. 4. Graber TM, Bedrich N. Removable orthodontic appliances. 2 nd ed. Philadelphia: WB. Saunders Co.; 1984. p. 102. 5. Hamilah DK. Pola pertumbuhan jaringan lunak kraniofasial dan kaitannya dengan pola pertumbuhan jaringan keras kraniofasial dan pertumbuhan umum [tesis]. Jakarta: Universitas Trisakti; 1991. p. 2-7. 6. Salzmann JA. Orthodontic in daily practice. Toronto: JP Lippincott Co.; 1974. p. 249-50. 7. Yusra Y, Widhayanti D, Widijanto S. Evaluasi jaringan lunak fasial Abang-None Jakarta Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2005; 59 (20):5-12. 8. Widhayanti D, Hamilah DK. Hubungan tipologi kraniofasial dengan maloklusi. Dalam Jurnal Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Edisi Khusus Kongres Nasional PDGI XVIII Februari 1989. Ujung Pandang 1989. p. 148-9. 9. Mokhtar M. Dasar-dasar orthodonti: pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial. Medan: Bina Insani Pustaka; 2002. p. 4-33. 10.Rakosi T. An atlas and manual of cephalometric radiography. London: Wolfe Med. Publ. Ltd.; 1982. p. 67-83. 11.Kusnoto H. Penggunaan radiografi sefalometrik pada rencana perawatan kasuskasus ortodontik. Simposia dan Temu Ilmiah Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Semarang; 1989. 12.Yuniar ZM, Permana IM. Hubungan antara kenveksitas skeletal, posisi insisif dan posisi bibir pada penderita maloklusi. Komunikasi Ilmu dan Teknologi Kedokteran Gigi (Abstrak). Bandung: Universitas Padjajaran; 2004. p. 46.