kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

PERTANGGUNG JAWABAN PIHAK PERSONAL GUARANTEE YANG DINYATAKAN PAILIT

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia. Oleh : Lili Naili Hidayah 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. hukumnya. Oleh karena itu, sewajarnya kita berbenah diri dalam menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan.

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. KEWENANGAN PIHAK KETIGA SEBAGAI PENJAMIN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1 Oleh : Sarah D. L.

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN KREDIT. dikembalikan oleh yang berutang. Begitu juga halnya dalam dunia perbankan

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

ANALISIS YURIDIS HAMBATAN PELAKSANAAN PUTUSAN KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 NOVALDI / D

BAB I PENDAHULUAN. kepada kreditor (si berpiutang)). Berdasarkan Hukum Positif Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

kreditur, tidak mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur.

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

BAB I PENDAHULUAN. terhadap beberapa segi kehidupan di Indonesia baik di bidang. sosial,ekonomi,budaya,dan lain-lain.khususnya di bidang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial berkemampuan terbatas yang diciptakan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR TERHADAP PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG KEPAILITAN NOMOR 37 TAHUN Oleh : Credo Woruntu 1

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. transaksi dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk kredit atau pinjaman.

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian dari pihak debitor, misalnya bank dalam memberikan kredit atau utang selalu mensyaratkan adanya jaminan. Hal ini diperlukan pihak kreditor untuk mencegah atau mengurangi resiko kerugian yang mungkin akan dialami kreditor. 1 Jaminan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). KUH Perdata merumuskan tentang jaminan secara umum yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Harta debitor yang sudah ada dan yang akan ada dikemudian hari digunakan sebagai jaminan atas segala jaminan atas pembayaran seluruh utangutangnya. 2 1 http:\\ www.hukumonline.com/jurnal akses 10 oktober 2009, 11 : 29 2 Sultan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillsementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Jakarta, Grafiti, 2002, hlm. 7.

Benda-benda yang dijadikan jaminan oleh debitor dijual dan hasilnya digunakan untuk melunasi utang-utang, hasil dari penjualan benda-benda jaminan dibagi sesuai dengan besar keclilnya piutang masing-masing kreditor, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainya. 3 Kreditor yang jumlahnya lebih dari satu terhadap seorang debitor yang sama, dan untuk utang yang sama, akan menjadi sangat dirugikan jika harta kekayaan yang dimiliki debitor tersebut hanya sedikit jumlahnya dan tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya. Dalam keadaaan tersebut, para kreditor akan saling berbagi atas harta kekayaan debitor yang ada berdasarkan pertimbangan masing-masing jumlah piutangnya, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. 4 Jaminan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu jaminan kebendaan, dan jaminan perseorangan. Pada jaminan kebendaan, debitor yang berutang memberi jaminan benda kepada kreditor, sebagai jaminan atas utang yang dipinjam debitor. 5 Jadi apabila debitor tidak membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditor dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan hlm. 315. 3 Ibid, hlm.8. 4 Ibid 5 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1982,

oleh debitor tersebut untuk melunasi utangnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan atau personal guarantee ini jaminan yang diberikan oleh debitor bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penanggung atau guarantor) yang tak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap debitor maupun terhadap kreditor, bahwa debitor dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan dengan syarat bahwa apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitor tersebut. 6 Dengan adanya jaminan perorangan maka pihak kreditor dapat menuntut kepada penanggung utang untuk membayar utang debitor bila debitor lalai atau tidak mampu untuk membayar hutangnya tersebut. Permasalahan yang sering terjadi adalah harta debitor tidak mencukupi untuk membayar utang-utang terhadap beberapa kreditor. Terhadap permasalahan ini, penanggung utang memiliki hak istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 KUH Perdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selain si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Menurt J. Satrio, tanggung jawab borg atau penanggung, pada asasnya bersifat subsidair, yang pokok sebenarnya adalah 6 Ibid., hlm. 8-9.

kewajiban debitor utama terhadap kreditor, sedang borg baru berperan kalau debitor wanprestasi. 7 Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, salah satu syarat untuk dapat dipailitkan adalah adanya seorang debitor. Pertanyaannya adalah adalah apakah seorang penanggung utang adalah debitor, sehingga kepadanya dapat dimohonkan pailit. Hal ini mengingat yang dapat dipailitkan hanyalah debitor, yaitu debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. KUH Perdata memberikan hak-hak istimewa kepada penanggung utang. Salah satu hak tersebut adalah hak kreditor menuntut lebih dahulu agar harta kekayaan debitor (prior exhaustion or remedies againts the debtor) disita dan dilelang terlebih dahulu untuk melunasi utang debitor kepada kreditornya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 KUHPerdata. Dengan kata lain, hak ini mengatur bahwa apabila debitor wanpresasi maka hasil penjualan atas segala kekayaan debitor merupakan sumber pelunasan bagi utangnya. Namun demikian, Pasal 1832 KUH Perdata mengatur bahwa penanggung utang tidak dapat 7 J. Satrio. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi Penanggungan (Borgtocht) dan Perikatan Tanggung-Menanggung, ctk. Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 113.

menggunakan haknya tersebut, apabila penanggung telah melepaskan hak istimewanya. 8 Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat utama apabila ingin mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap penanggung utang adalah pemohon harus dapat membuktikan bahwa status penanggung utang telah beralih menjadi debitor, karena hanya debitor yang dapat dipailitkan, setelah itu barulah pemohon harus membuktikan bahwa debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, setelah terbukti barulah debitor dapat dinyatakan pailit. 9 Namun demikian, dalam praktek penegakan Undang-Undang Kepailitan, terdapat kasus berkaitan dengan perjanjian penanggungan, dimana antara majelis hakim yang satu dengan majelis hakim yang lain berbeda pendapat dalam melihat apakah penanggung utang dapat langsung dimohonkan pernyataan pailit, ketika debitor telah memenuhi syarat permohonan pernyataan pailit. Putusan Kasasi Nomer 016 PK/N/2007 dalam permohonan Kasasi Hendro Tjokrosetio (penanggung utang) pemohon Kasasi melawan PT BANK PAN INDONESIA, Tbk sebagai termohon peninjauan kembali (kreditor), dalam 8 Siti Anisah, Personal Gurantee dan Corporate Gurantee dalam Putusan Peradilan Niaga, Jurnal Hukum, Edisi no. 19 Vol. 9, 2002, hlm. 53-54. 9 http://www.disriani latifa s blogspot.com akses 10 oktober 2009, 11:29

kasus tersebut terdapat kesamaan dasar pertimbangan hukum majelis hakim baik Pengadilan Niaga maupun Majelis Hakim Mahkamah Agung, Majelis Hakim berpendapat bahwa suatu perjanjian penanggungan adalah suatu pelengkap dari suatu perjanjian pokok, dalam hal ini adalah perjanjian kredit. Selain itu Hedro Tjokrosetio bertindak sebagai penanggung utang dari debitor. Oleh karena itu utang kepada PT BANK PAN INDONESIA, Tbk merupakan utang penangung utang, selain itu penanggung utang mempunyai 2 (dua) kreditor. Berdasarkan dalil-dalil itu maka debitor dinyatakan pailit. Selanjutnya Putusan Nomor 06/K/N/2005 dalam permohonan kasasi yang diajukan oleh Alex Korompis selaku penanggung utang terhadap PT Candra Sakti Utama Leasing. Kasus ini berawal dari adanya perjanjian Perjanjian Leassing antara PT Hutan Domas Raya dengan PT Candra Sakti Utama Leasing. Alex Korompis bertindak sebagai penanggung utang sesuai dengan Perjanjian Penanggungan. Dalam kasus ini terdapat perbedaan pertimbangan hukum majelis hakim antara majelis hakim pengadilan Niaga dengan majelis hakim Mahkamah Agung. Dalam putusan pada Pengadilan Niaga Majelis Hakim berpendapat bahwa Alex Korompis berkedudukan sebagai penanggung yang telah melepaskan hak-hak istimewanya dan mempunyai lebih satu kreditor, sedangkan pada Mahkamah Agung Majelis Hakim berpendapat karena tidak dapat dibuktikan secara sederhana tentang adanya dua kreditor dari Alex Korompis,

maka gugatan tersebut harus diajukan ke Pengadilan Negeri. Berdasarkan dalildalil tersebut maka putusan pada Pengadilan Niaga harus dibatalkan. Dari 2 (dua) contoh kasus dapat kita ketahui bahwa syarat untuk mengajukan permohonan pailit terhadap penanggung utang (personal guarantee) manakala penanggung utang telah melepaskan hak istimewanya mengacu pada Pasal 1832 KUH Perdata ayat 2 (dua) yang menyatakan penanggung tidak dapat meminta agar harta debitor dijual terlebih dahulu apabila si penanggung telah melepaskan hak istimewanya dan telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitor secara tanggung menanggung atau tanggung renteng, akan tetapi kita harus melihat apakah dalam perjanjian penanggungan tersebut dibuat terlebih dahulu daripada perjainjian pokoknya. Kalau memang faktanya perjanjian penanggungan mendahului perjanjian pokoknya, akibatnya perjanjian penanggungan menjadi tidak sah, tetapi tidak hanya itu perlu adanya pembuktian yang sederhana terhadap persyaratan permohonan pailit.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap penanggung utang harus terlebih dahulu mengajukan pernyataan pailit terhadap debitor utama? 2. Dapatkah seorang penanggung utang dimohonkan pailit apabila ternyata debitor tidak mampu atau hartanya tidak cukup untuk membayar utangnya? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengkaji lebih mendalam apakah penanggung utang dapat dimohonkan pernyataan pailit dan juga apa akibat hukum yang timbul dari pernyataan pailit terhadap penaggung utang. 2. Untuk memahami dapatkah seorang penanggung utang dimohonkan pailit apabila ternyata debitor tidak mampu atau hartanya tidak cukup untuk membayar utangnya. D. Tinjauan Pustaka Peraturan mengenai kepailitan pada awalnya diatur oleh Failliessementsverordening, Staatsblad 1905-217 juncto 1906-348, namun peraturan tersebut sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di bidang perekonomian terutama dalam menyelesikan masalah

utang-piutang, untuk itu perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap Faillissementsverordening tersebut dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan tanggal 22 April 1998 yang kemudian menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan pada tanggal 9 September 1998 dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, Dengan perubahan ini berarti pemerintah telah memenuhi salah satu persyaratan yang diminta oleh kreditor-kreditor luar negeri, agar para kreditor luar negeri memperoleh jaminan kepastian hukum. Kemudian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Penundaan Pembayaran Utang. 10 Istilah kepailitan yang digunakan di Indonesia berasal dari kata pailit yang bersumber dari bahasa Belanda yaitu failliet yang berarti kebangkrutan, 11 dan faillissement untuk istilah kepailitan yang berarti keadaan bangkrut. 12 10 http://www.disriani latifa s blogspot.com, Kedudukan Gurantor dalam Kepailitan, Akses 29 Oktober 2009, 11:24 11 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Edisi Revisi, Malang, 2008, hlm. 4. 12 Ibid., hlm. 4.

Sedangkan dalam Bahasa Prancis failite yang berarti kemacetan pembayaran. 13 Menurut Subekti, pailisemen itu adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil. 14 Sedangkan pengertian kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit terhadap debitor. Pihakpihak tersebut yaitu: 1. Debitor itu sendiri 2. Salah satu atau lebih dari pihak kreditor 3. Pihak kejaksaan jika menyangkut dengan keprntingan umum 4. Pihak Bank Indonesia jika debitornya adalah Bank 5. Permohonan pernyataan pailit oleh Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan). 6. Menteri Keuangan 13 http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=16321&cl Akses 8 Maret 2010. 14 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 1987, hlm. 230.

Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor, bila debitor itu tidak memenuhi perikatannya. 15 Tiada penanggungan bila tiada perikatan pokok yang sah menurut undang-undang. 16 Akan tetapi orang dapat mengadakan penanggungan dalam suatu perikatan, walaupun perikatan itu dapat dibatalkan dengan sanggahan mengenai diri pribadi debitor misalnya dalam hal belum cukup umur. Penanggung utang tidak wajib membayar kepada kreditor kecuali debitor lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitor harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya. Penanggung utang tidak dapat menuntut supaya barang milik debitor lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya: 1. bila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang barang debitur lebih dahulu disita dan dijual; 2. bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur terutama secara tanggung-menanggung, dalam hal ini, akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang tanggungmenanggung; 3. jika debitor dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi; 15 Pasal 1820 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. 16 Pasal 1821 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4. jika debitor berada dalam keadaan pailit; 5. dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh Hakim. Kreditor tidak wajib menyita dan menjual lebih dahulu barang kepunyaan debitor, kecuali bila pada waktu pertama kalinya dituntut dimuka Hakim, penanggung utang mengajukan permohonan untuk itu. Penanggung utang yang menuntut agar barang kepunyaan debitor disita dan dijual lebih dahulu wajib menunjukkan barang kepunyaan debitor itu kepada kreditor dan membayar lebih dahulu biaya-biaya untuk penyitaan dan penjualan tersebut. Penanggung utang tidak boleh menunjuk barang yang sedang dalam sengketa di hadapan Pengadilan, atau barang yang sudah dijadikan tanggungan hipotek untuk utang yang bersangkutan dan sudah tidak lagi berada di tangan debitor itu, ataupun barang yang berada di luar wilayah Indonesia. Bila penanggung utang sesuai dengan pasal yang lalu telah menunjuk barang-barang debitor dan telah membayar biaya yang diperlukan untuk penyitaan dan penjualan, maka kreditor bertanggung jawab terhadap penanggung utang atas ketidakmampuan debitor yang terjadi kemudian dengan tiadanya tuntutantuntutan, sampai sejumlah harga barang-barang yang ditunjuk itu. 17 Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penanggung utang untuk seorang debitor yang sama dan untuk utang yang sama, maka masingmasing penanggung utang terikat untuk seluruh utang itu. Akan tetapi masing-. 17 Pasal 1822 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

masing dari mereka, bila tidak melepaskan hak istimewanya untuk meminta pemisahan utangnya, pada waktu pertama kali digugat di muka Hakim, dapat menuntut supaya kreditor lebih dulu membagi piutangnya, dan menguranginya sebatas bagian masing-masing penanggung utang yang terikat secara sah. 18 Jika salah satu penanggung utang menuntut pemisahan utangnya, seorang atau beberapa teman penanggung utang tidak mampu, maka penanggung utang tersebut wajib membayar utang mereka yang tak mampu itu menurut imbangan bagiannya, tetapi ia tidak wajib bertanggung jawab jika ketidakmampuan mereka terjadi setelah pemisahan utangnya. Jika kreditor sendiri secara sukarela telah membagi-bagi tuntutannya, maka ia tidak boleh menarik kembali pemisahan utang itu, biarpun beberapa di antara para penanggung utang berada dalam keadaan tidak mampu sebelum ia membagibagi utang itu. E. Metode Penelitian 1. Fokus Penelitian Adapun fokus penelitian sebagai berikut: a. Ketentuan tentang penanggung utang yang diatur dalam (KUH Perdata) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 18 Pasal 1823 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Haruskah permohonan pernyataan pailit terhadap penanggung utang terlebih dahulu mengajukan pernyataan pailit terhadap debitor utama c. Permohonan pernyataan pailit terhadap penanggung apabila debitor tidak mampu atau hartanya tidak cukup untuk membayar utangnya. 2. Bahan Hukum Bahan-bahan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini berupa : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat scara yuridis, yaitu: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 3) Putusan Nomor 016/K/N/2005 4) Putusan Nomor 09/Pailit/2005/PN.Niaga/Jkt.Pst 5) Putusan Nomor 06/K/N/2005 3. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, seperti literatur, jurnal, hasil penelitian terdahulu. 4. Cara Pengumpulan Bahan Hukum Dalam mengumpulkan data yang diperlukan penulis menggunakan metode sebagai berikut : a. Studi pustaka dilakukan dengan mencari data yang berhubungan dengan penelitian dalam peraturan-peraturan, literatur, mengkaji

jurnal, hasil penelitian hukum yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. b. Studi dokumen yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 5. Metode Pendekatan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yakni menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani atau diteliti 6. Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, penulis menggunakan menggunakan pendekatan perundang-undangan, yaitu bahan hukum yang diperoleh disajikan secara diskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian. b. Hasil kualifikasi bahan hukum selanjutnya disistemasikan. c. Bahan hukum yang telah disistemasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar pengambilan kesimpulan.

F. Kerangka Penulisan Bab I tentang pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan kerangka penulisan. Bab II tinjauan umum kepailitan. Bab ini berisi persyaratan permohonan pernyataan pailit, proses beracara di Pengadilan Niaga, dan akibat hukum pernyataan pailit. Bab III adalah pernyataan pailitan terhadap penanggung utang. Bab ini berisi pembahasan mendalam apakah penanggung utang dapat dimohonkan pernyataan pailit dan juga apa akibat hukum yang timbul dari pernyataan pailit terhadap penaggung utang. Selanjutnya membahas dapatkah seorang penjamin dimohonkan pailit apabila ternyata debitor tidak mampu atau hartanya tidak cukup untuk membayar utangnya. Bab IV adalah penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.