Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia."

Transkripsi

1 Kedudukan Personal Guarantor Yang Telah Melepaskan Hak Istimewanya Dalam Proses Kepailitan (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 868 K/ Pdt.Sus/ 2010) Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Abstrak Dalam pemberian kredit, Bank biasanya mensyaratkan suatu jaminan atau guarantee, salah satunya dalam bentuk personal guarantee yang mana garantor diberikan hak istimewa oleh Undang-Undang guna melindungi kedudukannya sebagai penjamin. Apabila suatu debitur dalam keadaan tidak mampu membayar kepada kreditur utama maka seharusnya debitur itulah yang seharusnya melakukan pembayaran atas kewajibannya. Seorang personal guarantor dapat memiliki konsekuensi hukum yang jauh, dimana apabila syarat kepailitan telah terpenuhi, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap personal guarantor di Pengadilan Niaga. Namun, dalam perjanjian garansi seringkali diatur mengenai pelepasan hak istimewa garantor untuk menuntut lebih dahulu harta benda debitur untuk disita dan dijual demi melunasi utang-utangnya. Hal ini kerap kali menjadi dasar kreditur untuk mengajukan permohonan pailit terhadap guarantor. Personal guarantor dapat menjadi pihak yang dirugikan dikarenakan pelepasan hak istimewanya. Kata kunci : Pailit, Penjamin Perorangan, Jaminan, Personal Guarantor The Position of Personal Guarantor Who Has Discharged The Privileges in The Process Of Bankruptcy (Case Study: Supreme Court Decision No 868K/Pdt.Sus/2010) Abstract In order to grant a credit, banks usually require a guarantee. It can be a form of personal guarantee. Personal guarantor are given special privileges by law in order to protect his position as guarantor. If a debtor in a state where he can't afford to pay to the creditor, the personal guarantor is supposed to be the party who should fulfil the payments. A personal guarantor could have big legal consequences, where if requirements of bankruptcy are met, it follows that the creditor may file for a petition to declare bankruptcy of the personal guarantor on the Commercial Court. However, a guarantee agreement often arrange the discharge of guarantor s privilege to go after and prosecute property of a debtor first in order to pay debtor s debts. This frequently become the reason for creditor to file for a petition to declare against guarantor. Personal guarantor can have an inflicted loss because his privelege relinquishment. This thesis examine the position of the guarantor who has discharge his priveleges and the timing for filing the petition to declare against personal guarantor. Keywords : Bankruptcy, Guarantee, Personal Guarantor, Personal Guarantee Pendahuluan Dana merupakan oksigen bagi suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan usahanya. Seperti halnya manusia yang tidak mungkin hidup tanpa oksigen, perusahaan juga akan mati tanpa dana. Dana bagi perusahaan diperoleh dari berbagai sumber, baik dari modal

2 (equity) dan utang (loan). 1 Oleh sebab itu, banyak sekali perusahaan yang meminjam uang yang dibutuhkan kepada pihak lain. Pihak yang memberikan pinjaman uang disebut kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut debitur atau si berutang. Hal ini juga berkaitan erat dengan asas kepercayaan dari kreditur, untuk debitur dapat mengembalikan pinjaman tersebut tepat pada waktunya. Dalam perkembangannya sekarang ini dalam mengatasi kepailitan, sebuah perusahaan atau badan hukum memberikan suatu garansi atau jaminan kepada pihak pihak kreditur dalam pelunasan utangnya. Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Namun jaminan secara umum ini masih dirasakan kurang memadai oleh kreditur sehingga seringkali kreditur meminta diberikan jaminan khusus. Jaminan khusus ini dapat berupa jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (borgtocht). Jaminan perorangan atau borgtocht ini jaminan yang diberikan oleh debitur bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin/ guarantor) yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap debitur maupun terhadap kreditur, bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan; dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut. 2 Seorang penjamin memiliki hak istimewa yang terdapat dalam Pasal 1832 KUH Perdata yang salah satunya adalah untuk menuntut lebih dahulu pertanggungjawaban harta debitur utama untuk lebih dahulu disita dan dijual. Namun biasanya dalam perjanjian personal guarantor biasanya untuk melepaskan hak istimewa ini dijadikan salah satu klausulnya. Selama ini sering tidak disadari baik oleh bank maupun oleh para pengusaha bahwa seorang personal guarantor dapat mempunyai konsekuensi hukum yang jauh apabila personal guarantor itu tidak melaksanakan kewajibannya. Konsekuensinya ialah bahwa guarantor dapat dinyatakan pailit. Kepailitan ini diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Dalam kasus yang terjadi antara Standard Chartered Bank melawan Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra, para termohon merupakan penjamin dari PT Handalan Putera Sejahtera, untuk selanjutnya disebut sebagai PT HPS. PT HPS merupakan 1 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: Grafiti, 2010), hal Ibid.

3 nasabah dari Standard Chartered Bank dan mengadakan Perjanjian Fasilitas untuk fasilitas Ekspor dengan Standard Chartered Bank senilai Rp1,5 miliar. Sehubungan dengan perjanjian kredit tersebut, hadirlah Tundjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra sebagai personal guarantor dari PT HPS berdasarkan perjanjian jaminan pribadi form Guarantee. Sempat dilaksanakan restrukturisasi utang namun hal ini tak juga dapat menyelamatkan PT HPS. PT HPS dinilai gagal memenuhi kewajibannya sebagai debitur karena tidak bisa memenuhi perjanjian tersebut. Oleh karena hal inilah, Standard Chartered Bank mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada para penjamin PT HPS yaitu Tundjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra. Tinjauan Teoritis Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan mendefinisikan kepailitan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang. 3 Personal Guarantor adalah perorangan yang bertindak sebagai penjamin. berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin), bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan dan penjamin bersedia untuk melaksankan kewajiban debitur tersebut bila debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Dengan adanya garansi/jaminan ini, pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut. 4 Personal guarantor memiliki hak istimewa yaitu hak yang dimiliki seorang penjamin untuk menuntut agar harta kekayaan milik si berutang utama (debitur) terlebih dahulu disita dan dijual/dilelang, jika hasil penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi utangnya, kemudian baru harta kekayaan penjamin, 5 hak untuk meminta pemecahan uang, 6 dan hak untuk dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya kreditur. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif, di mana data penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan (library research), 3 Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443, Ps. 1 angka 1. 4 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps Ibid, Ps

4 yaitu penelitian dengan cara menelusuri dan menganalisis bahan pustaka dan dokumen yang berhubungan dengan substansi penelitian. 7 Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan sebagai berikut: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. 8 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan di dalam skripsi ini. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang isinya memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. 9 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku, jurnal, skripsi, tesis, dan data dari internet. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia dan kamus. Dari sudut sifatnya, penulisan ini tergolong dalam penulisan deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis suatu gejala atau keadaan secara teliti dan menganalisis keadaan tersebut. 10 Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan dinyatakan secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata. 11 Pembahasan Jaminan diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dalam Pasal 1131 KUH Perdata dapat disimpulkan seluruh harta dari debitur menjadi jaminan dan tanggungan atas seluruh hutangnya dimana dengan kata lain bertujuan untuk menjamin kreditur mendapatkan kepastian atas pelunasan piutangnya. Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa semua kreditur mempunya kedudukan yang sama dan tidak ada 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet 8, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal Ibid. 10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press), 2008), hal Ibid., hal. 67.

5 yang didahulukan dalam pemenuhan piutangnya (kreditur konkuren) dan masing-masing kreditur tersebut memperoleh pembayaran yang seimbang dengan besarnya piutang masingmasing. Jaminan perorangan atau dapat disebut perjanjian penanggungan (borgtocht) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu 12, jadi jaminan yang diberikan kepada kreditur bukanlah benda, melainkan perseorangan, yakni seseorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, baik terhadap kreditur maupun debitur. Borgtocht ini lain daripada jaminan yang merupakan gadai, hipotik, atau fidusia, karena borgtocht ini merupakan jaminan yang dilakukan oleh seseorang atau jaminan pihak ketiga (persoonlijk). Pihak ketiga ini dapat berupa pribadi kodrati yaitu orang (personal guarantee) atau dapat berupa badan hukum (corporate guarantee). Pengaturan mengenai borgtocht ini diatur dalam Buku III Bab 17 KUH Perdata Pasal tentang Penanggungan. Dimana pasal 1820 KUH Perdata berbunyi: Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ke tiga guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. 13 Adapun ciri-ciri dari jaminan perorangan adalah sebagai berikut: 14 mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu; hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu; seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan bagi pelunasan utang; menimbulkan hak perorangan yang mengandung asas kesamaan atau keseimbangan (konkuren) artinya tidak membedakan mana piutang yang terjadi lebih dahulu dan yang mana terjadi kemudian. jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari bendabenda jaminan dibagi diantara para kreditur seimbang dengan besarnya piutang masing-masing. 15 Dalam hal tuntutan langsung kepada penjamin/borg, apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya, kreditur dapat menuntut agar penjamin melaksanakan kewajiban debitur sehingga akan terlihat bahwa pihak yang dituntut untuk melakukan 12 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, ditulis dalam rangka kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional Berupa Proyek Penulisan Karya Ilmiah,Tahun 2001, hal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), op.cit., Ps Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid 2, (Jakarta: Ind-Hill Co, 2002), hal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), op.cit., Ps

6 pemenuhan kewajiban pertama kali adalah debitur, dan dalam hal ini penjamin hanya menjadi cadangan. Tuntutan langsung kepada penjamin hanya diperbolehkan apabila penjamin telah melepaskan hak istimewanya secara tegas dalam perjanjian borg tersebut. Hak istimewa tersebut adalah hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning) yang diatur dalam Pasal KUH Perdata. Dalam kasus kepailitan Tundjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra sebagai personal guarantor dari PT HPS. Sengketa ini berkaitan dengan perjanjian facility agreement No.PK/SME/195/VII/08 tertanggal 1 Juli 2008 antara Pemohon Pailit dengan PT HPS dimana Pemohon Pailit menyetujui untuk menyediakan pembiayaan eksport kepada PT HPS. Nilai kontrak kedua belah pihak mencapai Rp1,5 miliar. Atas dasar perjanjian itulah Pemohon Pailit menyetujui kemudian mencairkan dana sebanyak Rp1,5 miliar kepada PT HPS. Di dalam facility agreement tersebut, disebutkan bahwa PT HPS telah dijamin secara pribadi oleh Tundjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra (untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Pailit ). Setelah dilakukan restrukturisasi utang pun PT HPS tidak bisa membayar kewajibannya kepada Standar Pemohon Pailit. Dikarenakan hal inilah, Pemohon Pailit mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada para Termohon Pailit. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memeriksa dan mengadili perkara ini dan mengambil putusan, yaitu putusan No. 53/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST yang pada intinya menolak permohonan Pemohon Pailit Standard Chartered Bank untuk seluruhnya dimana unsur dua atau lebih kreditur dianggap tidak terpenuhi dengan sempurna. Terhadap putusan tersebut, Pemohon Pailit mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dan telah diputus dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 868 K/Pdt.Sus/2010 tertanggal 15 Desember 2014 yang mengabulkan permohonan kasasi Pemohon Kasasi dan menyatakan kedua penjamin PT HPS, Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra, dalam keadaan pailit. Seorang personal guarantor tentunya memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur oleh Undang-Undang. Dalam kasus ini para guarantor yaitu Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra telah mengikatkan diri untuk menjadi penjamin PT Handalan Putra Sejahtera (PT HPS). Guarantor yang tidak melepaskan hak istimewanya berhak untuk menuntut kreditur untuk menagih kepada debitur utama terlebih dahulu. Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra dalam hal ini menjadi penjamin PT Handalan Putra Sejahtera (PT HPS) dengan Standard Chartered Bank telah melepaskan hak istimewanya dalam sebuah form Guarantee dan Facility Agreement. Akibat adanya perjanjian Guarantee ini, Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra tidak lagi memiliki hak-hak istimewa yang telah

7 diberikan oleh Undang-Undang kepada mereka. Mengingat konsep perjanjian, berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, para pihak harus mematuhi apa yang telah disepakatinya dimana dalam hal ini para guarantor harus mematuhi apa yang telah menjadi kewajiban sebagai penanggung yang telah melepaskan hak-haknya berdasarkan perjanjian ini, yaitu menjalankan kewajibannya sebagai personal guarantor dimana ia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali menjamin kepada Standard Chartered Bank sebagai kewajiban terpisah dan independen dari Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra selaku penjamin, pembayaran jatuh tempo dan tepat waktu oleh PT HPS atas jumlah berapapun sifatnya yang jatuh tempo dan/atau menjadi jatuh tempo dari PT HPS berdasarkan atau menurut perjanjian kredit. Berdasarkan kasus ini, para penjamin awalnya menjamin secara pribadi masing-masing sejumlah Rp750 juta dan PT HPS sendiri menjamin dengan gadai deposito sejumlah Rp ,00. Ditegaskan kembali dalam isi perjanjian bahwa para penjamin dengan ini tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali menjamin kepada Standard Chartered Bank. Kemudian setelah restrukturisasi utang jumlah utang menjadi Rp ,00, dalam waktu 48 bulan, penjamin menjamin atas jumlah berapapun utang dari debitur. Majelis Hakim pula dalam pertimbangan hukumnya dalam Putusan No 53/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. menyatakan bahwa dalam menjamin utang dari perusahaan, penjamin dapat menjamin sebagian atau seluruh dari utang si debitur. Sesuai dengan konsepnya dalam penanggung (guarantor) ini, pihak kreditor dapat meminta pembayaran utang apabila pihak debitur tidak mampu membayar utang-utangnya kepada kreditur. Dalam kasus ini, debitur utama yaitu PT HPS tidak sedikitpun membayar utangnya kepada Pemohon Pailit. Kemudian Termohon Pailit dalam Jawaban berpendapat bahwa seharusnya Pemohon Pailit terlebih dahulu mengajukan permohonan pailit terhadap PT HPS selaku nasabah dan debitur utama. Menurut Termohon Pailit, hal ini sangatlah janggal dan aneh dikarenakan PT HPS selaku peminjam dan yang telah menikmati fasilitas kredit. Penulis menilai Jawaban Termohon tidaklah tepat. Dalam hak-hak istimewa telah dilepaskan, penjamin dapat dipailitkan bahkan tanpa mengikutsertakan debitur utama. Hal ini disebabkan oleh terjadinya peralihan dimana penjamin dapat beralih kedudukannya menjadi debitur sebagai konsekuensi dilepaskannya hak-hak istimewanya yang diberikan Pasal 1832 KUH Perdata sebagai seorang personal guarantor. Hal ini juga ditegaskan dalam permohonan Kasasi dimana kedua

8 penjamin selaku penjamin utang PT HPS masing-masing telah melepaskan hak istimewanya sesuai Pasal 1837 KUH Perdata sehingga dapat dimohonkan pailit oleh Pemohon Pailit. 16 Termohon Pailit berpendapat dalam Jawaban bahwa Termohon Pailit belum punya kewajiban untuk melaksanakan kewajiban mereka selaku penjamin utang PT HPS dikarenakan belum ada bukti dimana PT HPS tidak bisa membayar utangnya kepada Pemohon Pailit. Penanggung dapat menjadi debitur apabila: 1. Debitur utama cidera janji atau/ dan telah disita dan dilelang hartanya, tetapi hasilnya tidak cukup untuk membayar utangnya, maka penanggung mempunyai kewajiban untuk melunasi utang tersebut atau; 2. Apabila penanggung melepaskan hak isitmewanya untuk menuntut agar harta dan benda Debitur lebih dahulu disita dan dijual seperti sebagaimana diatur dalam 1831 KUH Perdata. Penulis berpendapat bahwa Majelis Hakim telah tepat dalam menyatakan para termohon pailit yaitu Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra adalah seorang personal guarantor atas fasilitas kredit yang diterima dari Standard Chartered Bank oleh PT HPS, dimana sehubungan dengan perjanjian fasilitas kredit tersebut Termohon Pailit telah melepaskan hak-hak istimewa mereka. Sehingga ketika PT HPS melakukan wanprestasi, maka kedudukan Termohon Pailit dapat beralih menjadi debitur yang dapat dimohonkan pailit, dengan memenuhi syarat untuk seorang dinyatakan pailit yaitu mempunyai dua/lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih yang diatur dalam Pasal 2 UUK-PKPU. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU telah terpenuhi. 17 Penulis juga setuju dalam hal pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Niaga berkesimpulan bahwa ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU telah cukup terbukti bahwa Para Termohon Pailit memang memiliki utang kepada kreditur-kreditur lain, maka permohonan Standard Chartered Bank dipandang beralasan dan menurut hukum dan patut dikabulkan. Dalam hal masing-masing penjamin disini menjamin atas utang PT HPS kepada Standard Chartered Bank, berdasarkan Pasal 1836 KUH Perdata mengatur apabila terdapat beberapa 17 Indonesia, op.cit, Ps. 8 Ayat 4.

9 orang yang telah mengikatkan diri sebagai personal guarantor untuk seorang kreditor yang sama, tapi pula untuk utang yang sama, maka masing-masing adalah terikat untuk seluruh utang. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Mahkamah Agung juga telah mempertimbangkan bahwa pelepasan hak istimewa sesuai Pasal 1837 KUH Perdata yang dilakukan Para Termohon Pailit sehingga dapat dimohonkan pailit oleh Pemohon Pailit. Dapat disimpulkan dalam kasus ini bahwa adalah benar apabila Majelis Hakim berpendapat bahwa para termohon pailit benar melepaskan hak istimewanya yang diberikan oleh Undang-Undang dan dapat dibuktikan dalam persidangan, maka ia menggantikan kedudukan debitur utama dalam melaksanakan kewajiban debitur utama terhadap kreditur sehingga termohon pailit dapat dikategorikan sebagai debitur. Namun, keanehan lain yang Penulis lihat adalah konsep Kepailitan. Dalam Undang-Undang Kepailitan memang tidak dijelaskan secara rinci dan lengkap mengenai kedudukan seorang penjamin, baik corporate guarantee atau personal guarantee. Dalam kepailitan memang hanya disebutkan mengenai definisi debitur yang tertera pada Pasal 2 UUK-PKPU. Definisi yang tertera di dalam pasal ini juga cukup luas dimana dikatakan bahwa debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan. Mencermati konsep kepailitan, seharusnya memang dalam kasus ini pihak yang ditagih adalah PT HPS, bukan para penjaminnya. Akan tetapi debitur justru lebih memilih untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada penjamin. Walaupun hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan KUH Perdata dan juga tidak dilarang secara gamblang dalam UUK-PKPU, namun hal ini juga melahirkan celah yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Dalam menentukan pernyataan pailit terhadap penanggung atau penjamin perlu diperhatikan apakah penanggung atau penjamin tersebut telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya harga benda PT HPS sebagai debitur lebih dahulu disita dan dijual, atau tidak. Oleh sebab inilah Penulis membahas pokok permasalahan mengenai hak istimewa di dalam pokok permasalahan pertama dikarenakan hal ini sangatlah berkaitan. Dalam hal penanggung atau penjamin tidak melepaskan hak istimewanya seperti yang dijelaskan diatas, maka waktu pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap penanggung atau penjamin adalah setelah debitur dinyatakan pailit terlebih dahulu. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata yang menentukan bahwa penanggung atau penjamin tidak diwajibkan membayar utang debitur kepada kreditur selain apabila debitur lalai dan harta kekayaan debitur telah terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Setelah debitur dinyatakan pailit dan harta kekayaan debitur dijual namun belum juga dapat melunasi utang-utangnya, maka kepada setelah itu barulah kreditur dapat menagih kepada penjamin

10 atau penanggung. Apabila penjamin atau penanggung tidak mau membayar, maka kreditur dapat memohon pernyataan pailit atas penanggung. Dengan kata lain, pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap penjamin yang tidak melepaskan hak istimewanya adalah setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur utama. Dalam hal pernyataan pailit terhadap penanggung atau penjamin yang telah melepaskan hak istimewanya, dapat diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur, atau bahkan dapat diajukan tanpa mengajukan terlebih dahulu permohonan pernyataan pailit terhadap debitur. 18 Hal ini diartikan apabila debitur lalai memenuhi kewajibannya, maka kreditur dapat langsung menagih utang kepada penanggung atau penjamin. Namun dalam hal ini, kapasitas penjamin adalah sebagai penjamin, bukan sebagai debitur yang bersama-sama dengan debitur utama. Apabila dikaitkan dengan kasus ini, Termohon I dan Termohon II dapat diajukan permohonan pernyataan pailit tanpa mengajukan terlebih dahulu permohonan pernyataan pailit terhadap debitur. Hal ini disebabkan Termohon I dan Termohon II telah melepaskan hak istimewa yang telah diberikan oleh undang-undang. Hal ini merupakan konsekuensi dilepaskannya hak-hak istimewa seorang personal guarantor. Dengan demikian hal ini sudah sejalan dengan Pasal 1832 KUH Perdata. Disisi lain, apabila melihat ketentuan yang ada dalam Hukum Kepailitan, maka seharusnya PT HPS lah yang melakukan pelunasan utang. Akan tetapi, mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada penjamin dari PT HPS tidaklah melanggar hukum. Seperti halnya dalam Putusan Hakim Mahkamah Agung No. 868 K/Pdt.Sus/2010 dikatakan bahwa untuk dimungkinkan untuk menyatakan pailit secara bersamaan terhadap debitur dan penjamin. Kreditur dapat mengajukan permohonan dan mendaftarkan tuntutannya 100% (seratus persen) secara utuh dalam kepailitan terhadap debitur dan penjamin. Proses pengajuan pernyataan pailit terhadap penanggung atau penjamin didasarkan pada Pasal 1831 dan Pasal 1832 KUH Perdata serta Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU. Berbeda halnya apabila ia tidak melepaskan hak-hak istimewanya. Seorang penjamin dapat menuntut kreditur terlebih dahulu. Oleh karena dalam kasus ini kedua penjamin yaitu Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra keduanya melepaskan segala hak-hak istimewa mereka yang diberikan Undang-Undang maka mereka dapat dituntut langsung oleh kreditur atas utang yang dimiliki debitur utama. Kecuali, setelah diberitahukan dan ditegur sampai pada saat penanggung atau 18 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hal. 86.

11 penjamin dituntut pertama kali di muka hakim juga tidak meminta penyitaan dan penjualan kebendaan debitur dan penanggung atau penjamin juga tidak melakukan kewajibannya maka sesuai rumusan pasal 1238 KUH Perdata, penanggung atau penjamin dapat dinyatakan lalai, dan atas kelalaiannya tersebut penanggung atau penjamin dapat dipailitkan. 19 Dalam hal ini Pemohon juga telah membuktikan bahwa Termohon I dan Termohon II mempunyai lebih dari satu kreditur seperti yang disyaratkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK- PKPU. Hal ini pula sejalan dengan azas yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata Pasal 163 HIR. Dari hal inilah dapat dilihat bahwa dengan dilepaskannya hak istimewa maka juga perlu dibuktikan bahwa hak istimewa tersebut memang dilepaskan oleh pihak yang berkaitan sesuai dengan prinsip siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia harus membuktikan. Dengan dapat dibuktikannya Termohon Pailit memiliki beberapa utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka dari itu Termohon Pailit I dan Termohon Pailit II dapat dimohonkan pailit karena telah memenuhi syarat Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU juncto Pasal 1831 KUH Perdata. Sehingga Putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan menolak permohonan pernyataan pailit terhadap Termohon I dan II tidaklah tepat. Namun, adalah benar judex factie memang telah salah dan keliru serta tidak cermat dalam mempertimbangkan seluruh fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Penulis menganalisa bahwa adanya pelepasan hak istimewa oleh penjamin adalah pertimbangan utama mengapa Majelis Hakim menyatakan bahwa penjamin dapat dipailitkan. Maka dari itu, hal yang perlu dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu bahwa terdapat utang milik debitur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Kemudian apakah terdapat penjamin dari debitur utama tersebut. Penjamin yang melepaskan hak istimewa adalah penjamin yang dapat dimohonkan pernyataan pailit tanpa m itkan debitur terlebih dahulu. Oleh sebab itu, syarat utama apabila ingin m itkan penjamin adalah pemohon harus dapat membuktikan bahwa apakah benar penjamin menjadi penjamin yang dapat ditagih atas utangutang debitur utama dan apakah ia sudah melepaskan hak istimewanya sehingga penjamin bisa dipailitkan tanpa m itkan debitur utama. Penulis menilai Majelis Hakim Pengadilan Niaga kurang tepat dalam menjatuhkan putusan pailit terhadap Para Termohon Pailit. Sebab, persyaratan adanya minimal dua kreditur telah terpenuhi pada diri para termohon sebagai guarantor yang telah berstatus debitur 19 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal 159.

12 dimana telah terbukti. Oleh karenanya, seharusnya Pengadilan Niaga menerima permohonan pailit Pemohon. Terlebih lagi dalam putusannya, Pengadilan Niaga kurang lengkap dalam mempertimbangkan dapat tidaknya pernyataan pailit dijatuhkan kepada guarantor. Dalam pertimbangannya, Pengadilan Niaga tidak jelas dalam mensyaratkan kedudukan garantor sebagai penjamin dalam Pasal 1832 Butir 1 KUH Perdata, bukan debitur yang bersama-sama debitur utama, dapat dinyatakan pailit seperti yang Penulis sebutkan diatas. Sebab bagaimanapun juga hal ini penting untuk dijadikan pertimbangan yang dituliskan dalam putusan mengingat pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU mensyaratkan seseorang haruslah berstatus sebagai debitur untuk dapat dinyatakan pailit dan bagaimana kedudukan Para Termohon Pailit dalam hal ini menjadi bisa dipailitkan. Dalam hal yang tertuang dalam dokumen sidang, Kuasa Hukum Termohon Pailit heran mengapa permohonan pailit dilayangkan kepada kliennya selaku penjamin dimana beliau merasa secara hukum adalah sangat janggal dan aneh karena PT HPS selaku peminjam dan yang telah menikmati fasilitas kredit, tidak dijadikan sebagai termohon pailit dalam permohonan pailit aquo. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh dan janggal dikarenakan telah ada beberapa putusan Mahkamah Agung yaitu No. 762 K/PDT.SUS/ 2010 tanggal 29 September 2010 jo. Putusan No. 03/PAILIT/2009/ PN.NIAGA/ MDN., tanggal 10 Februari 2010 dalam Perkara Permohonan Kepailitan yang diajukan oleh CITIBANK N.A, selaku Pemohon Pailit terhadap Sdr. Wijayanto, selaku Termohon Pailit I dan Sdr. Shelly Kustamin, selaku Termohon Pailit II, telah mengabulkan Permohonan Pailit terhadap para penjamin tanpa menarik Debitur Utama (PT Berkah Sawit Sumatera) sebagai Termohon Pailit. Memang banyak sekali pendapat yang muncul mengenai hal ini seperti halnya PT HPS lah yang menikmati kredit fasilitas tetapi justru Standard Chartered memohonkan pailit terhadap para penjaminnya. Hal inilah yang Penulis lihat sebagai konsekuensi pelepasan hak istimewa dari Termohon Pailit I dan II sebagai penjamin PT HPS seperti yang telah Penulis jelaskan di atas. Mencermati hal ini, Penulis melihat terjadi sebuah celah yang dirasa menjadi suatu ketidakadilan bagi penjamin. Hal ini terjadi ketika seorang debitur utama yaitu PT HPS tidak melunasi utang-utangnya bukan diakibatkan oleh ketidakmampuan si PT HPS untuk melunasi, namun PT HPS hanya tidak mau melunasi. Penulis merasa hal ini sangat mungkin menjadi sebuah dasar pemanfaatan debitur terhadap para penjamin. Debitur bisa saja bertindak semena-mena untuk tidak mau membayar utangnya, bukan dikarenakan debitur tidak mampu. Jika dilihat dari sisi penjamin, hal ini tentunya membuat penjamin dalam kondisi

13 yang kurang beruntung. Seorang penjamin tentunya ingin debitur utama seperti PT HPS, sukses dan menjalani bisnis atau perusahaannya dengan berkembang. Bisa dilihat dalam hal ini bahwa penjamin memiliki niat baik untuk menjamin utang-utang debitur utama. Sungguh menyedihkan apabila seorang penjamin dipailitkan namun debitur utama hanya dalam keadaan tidak mau membayar, bukan dalam keadaan tidak mampu membayar. Untuk membela hal ini, tentunya debitur memiliki pemikiran bahwa perjanjian penjaminan antara debitur dan penjamin tidaklah melanggar ketentuan yang terdapat di KUH Perdata. Debitur juga tentunya akan membahas terkait Buku 3 KUH Perdata yang bersifat bebas dan terbuka serta dapat disimpangi dengan isi perjanjian diantara para pihak. Hal ini juga disebabkan oleh undang-undang terkait kepailitan di Indonesia yang mensyaratkan seseorang dapat dipailitkan hanya bila dapat dibuktikan bahwa ia mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. UUK-PKPU memang sudah banyak mengundang banyak tanggapan dari berbagai pihak. UUK-PKPU seakan memperbolehkan bahwa kepailitan itu bukan dikarenakan debitur tidak bisa membayar, tetapi bisa juga karena tidak mau membayar. Hal inilah yang menurut Penulis sangat bisa melahirkan ketidakadilan terhadap penjamin. UUK-PKPU membuka kesempatan yang cukup luas kepada kreditor untuk mempailitkan suatu debitor. Asalkan permohonan kepailitan memenuhi Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Alhasil, debitor dapat diputus pailit tanpa melihat kemampuan untuk menyelesaikan utang. Hal ini yang mendasari usulan untuk merevisi UUK-PKPU agar menggunakan konsep insolvency test dilakukan untuk menguji kemampuan debitur dalam membayar kewajibannya. Hal ini menimbulkan banyak sekali perdebatan dikarenakan kedua konsep mengenai insolvency test dan konsep yang dianut Indonesia saat ini. Tentunya terdapat perbedaan konsekuensi hukum yang terjadi ketika kreditur memilih untuk memohon pernyataan pailit terhadap penjamin, bukannya debitur utama. Konsekuensi yang timbul dari hal ini adalah debitur utama tidak lagi memiliki kewajiban membayar kepada kreditur, namun penjamin yang dalam hal ini telah melepaskan hak istimewanya menanggung semua kewajiban tersebut. Sehingga tidak terjadi likudasi terhadap harta kekayaan debitur utama. Hal ini lah yang Penulis nilai merupakan celah ketidakadilan seperti yang Penulis sebutkan diatas. Berbeda halnya jika kreditur memilih untuk memohon pernyataan pailit terhadap debitur utama. Konsekuensi hukum yang akan timbul adalah ketika perusahaan tersebut dinyatakan pailit, maka akan berdampak pada likuidasi. Apabila harta kekayaan debitur telah disita dan dilelang tetapi tidak cukup untuk melunasi seluruh utangnya sehingga masih terdapat sisa

14 utang yang belum terbayar atau telah terbukti debitur telah tidak memiliki harta apapun lagi atau debitur utama telah dinyatakan pailit oleh kreditur lain, baru kemudian kreditur dapat menagih utang debitur utama kepada penjamin. Dapat disimpulkan bahwa pada prakteknya, terdapat celah yang dapat melahirkan ketidakadilan bagi penjamin. Penulis setuju dengan pendapat J Satrio yang mengatakan bahwa penanggungan memang bisa membawa konsekuensi yang luas bagi borg, maka kepada borg perlu diberikan perlindungan. 20 Kondisi debitur tidak mau membayar sangat memungkinkan membuat kedudukan penjamin menjadi tameng dalam perkara kepailitan. Terlebih lagi peraturan perundang-undangan yang ada tidak mengatur secara detail mengenai hal ini, seperti KUH Perdata juga hanya mengatur mengenai hak-hak istimewa, UUK-PKPU tidak mengatur secara spesifik mengenai penjaminan atau personal guarantor dan UUK- PKPU yang melahirkan kesempatan yang luas kepada kreditur mempailitkan seorang debitur. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian hukum mengenai kedudukan personal guarantor yang telah melepaskan hak istimewanya dalam proses kepailitan, Penulis mencoba memberikan suatu kesimpulan dengan menjawab pokok-pokok permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada pembatasan terhadap seorang personal guarantor yang telah melepaskan hak istimewanya. Memang akta-akta dalam perjanjian dalam kasus ini disebut sebagai form guarantee, lazim dibuat janji-janji khusus antara kreditur dan garantor, dimana dimaksudkan untuk berjanji agar garantor melepaskan hak-haknya tertentu sebagaimana telah diberikan oleh undang-undang dalam rangka menghindari berlakunya ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Hal ini melahirkan konsekuensi pelepasan hak istimewa itu menyebabkan dirinya menjadi pihak yang melunasi utang debitur utama jika memang debitur utama wanprestasi, yang jumlah utangnya mungkin spesifik tertera atau menjamin berapapun dalam facility agreement dan form guarantee. Konsep perjanjian berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, para pihak harus mematuhi apa yang telah disepakatinya dimana dalam hal ini para guarantor harus mematuhi apa yang telah menjadi kewajiban sebagai penanggung yang telah melepaskan hak-haknya berdasarkan perjanjian ini, yaitu menjalankan kewajibannya sebagai personal 20 J. Satrio, Hukum Jaminan: Hak-Hak Jaminan: Hak-Hak Jaminan Pribadi, (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1996), hal. 18.

15 guarantor dimana ia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali menjamin kepada Standard Chartered Bank sebagai kewajiban terpisah dan independen dari Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra selaku penjamin, pembayaran jatuh tempo dan tepat waktu oleh PT HPS atas jumlah berapapun sifatnya yang jatuh tempo dan/atau menjadi jatuh tempo dari PT HPS berdasarkan atau menurut perjanjian kredit. 2. Waktu pengajuan permohonan pailit terhadap penanggung atau penjamin memperhatikan ketentuan yang mengatur tentang adanya pelepasan hak istimewa untuk menuntut supaya harta benda Debitur lebih dahulu disita dan dijual, atau tidak. Apabila personal guarantor melepaskan hak istimewanya yang diatur dalam 1832 KUH Perdata, maka waktu pengajuannya adalah bersamaan dengan pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur, bahkan dapat diajukan tanpa mengajukan terlebih dahulu permohonan pailit terhadap debitur. Adapun syarat-syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap personal guarantor atau penjamin pada dasarnya sama dengan syarat-syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur. Pembeda keduanya adalah terhadap personal guarantor, selain memperhatikan Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU harus juga memperhatikan Pasal 1832 butir (1) KUH Perdata yang mencantumkan hal terkait hak istimewa. Seorang penanggung tidaklah dapat dimohonkan kepailitan tanpa m itkan debitur utama terlebih dahulu sepanjang ia belum melepaskan hak istimewanya. Kreditur memiliki hak untuk menuntut langsung penjamin sebagai pihak Tergugat di pengadilan tanpa menggugat kreditur terlebih dahulu atau tanpa mengikutsertakan debitur. Hal ini diperbolehkan dengan kondisi 21 : 1. Penjamin telah secara tegas melepaskan atau gugurnya hak istimewa penjamin yaitu untuk menuntut lebih dulu (voorrecht van uitwinning); 2. Penjamin mengikat diri secara tanggung renteng dengan debitur; 3. Debitur dalam keadaaan pailit; 4. Debitur lalai untuk memajukan hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning) sebagai jawaban pertama dalam persidangan di muka hakim. Dalam kasus ini, hal yang terjadi adalah kondisi pada poin pertama. Pelepasan hak istimewa oleh penjamin adalah pertimbangan utama mengapa Majelis Hakim menyatakan bahwa penjamin dapat dipailitkan. Maka dari itu, hal yang perlu dilakukan dalam m itkan penjamin adalah: 21 Ibid.

16 memastikan terlebih dahulu bahwa terdapat utang milik debitur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih; memastikan terdapat penjamin atau beberapa penjamin dari debitur utama terdapat perjanjian pelepasan hak istimewa sesuai Pasal 1832 Ayat (1) KUH Perdata dan penjamin berkedudukan menjadi pihak yang dapat dimohonkan pernyataan pailit oleh kreditur tanpa m itkan debitur terlebih dahulu. Pengadilan Niaga dalam Putusan MA No. 868 K/Pdt.Sus/2010 kurang lengkap dalam mempertimbangkan kedudukan penjamin dalam pernyataan pailit kepada Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra. Majelis Hakim hanya menyebutkan bahwa sebagai personal guarantor dari PT HPS maka penjamin kemudian berkedudukan sebagai debitur. Pada tingkat Pengadilan Niaga, Majelis Hakim juga kurang lengkap dalam mempertimbangkan dapat tidaknya pernyataan pailit dijatuhkan kepada personal guarantor. Dalam pertimbangannya Pengadilan Niaga tidak secara detail menjelaskan kedudukan personal guarantor dalam hal kapasitasnya sebagai penjamin, bukan debitur utama. Melihat hal ini terjadi sebuah celah yang dirasa menjadi suatu ketidakadilan bagi penjamin ketika seorang debitur utama tidak melunasi utang-utangnya bukan diakibatkan oleh ketidakmampuan si debitur untuk melunasi, namun debitur hanya tidak mau melunasi. Dalam konsep dasar kepailitan, PT HPS adalah pihak yang seharusnya dimohonkan pernyataan pailit. Hal ini juga ditambah dengan terlalu luasnya kesempatan kreditor untuk mempailitkan suatu debitor dilihat dari syarat kepailitan dan tidak pengaturan terkait penjaminan di UUK-PKPU. Terlebih lagi dalam praktek, banyak sekali celah yang dapat melahirkan ketidakadilan. Banyak sekali harapan dari berbagai pihak untuk UUK-PKPU agar menggunakan konsep insolvency test dilakukan untuk menguji kemampuan debitur dalam membayar kewajibannya. Saran Berdasarkan hasil penelitian hukum dan kesimpulan yang telah dijabarkan, maka Penulis mencoba untuk memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Majelis Hakim Pengadilan Niaga hendaknya lebih lengkap dalam mempertimbangkan dapat tidaknya pernyataan pailit dijatuhkan kepada guarantor. Dalam pertimbangannya Pengadilan Niaga perlu mempertimbangkan lebih lengkap kedudukan personal guarantor selaku penjamin untuk dapat dipailitkan. Hal ini penting untuk dijadikan pertimbangan yang dituliskan dalam putusan, Pasal 1 Ayat (1)

17 UUK-PKPU mensyaratkan seseorang haruslah berstatus sebagai debitur untuk dapat dinyatakan pailit. 2. UUK-PKPU hendaknya dilakukan revisi melihat urgensi yang cukup tinggi yang datang dari masyarakat Indonesia atas berbagai kasus yang telah ada. 3. Usulan terkait insolvency test perlu dipertimbangkan dalam revisi UUK-PKPU demi terciptanya keadilan. Daftar Referensi Buku Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid 2. Jakarta: Ind-Hill Co, Mamudji, Sri. Et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Satrio, J. Hukum Jaminan: Hak-Hak Jaminan: Hak-Hak Jaminan Pribadi. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet.3. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press), Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet 8. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Berupa Proyek Penulisan Karya Ilmiah, Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta: Grafiti, Sutedi, Adrian. Hukum Kepailitan. Bogor: Ghalia Indonesia, Regulasi Indonesia (1), Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443, Ps. 1 angka 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 8, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN Oleh : Dewa Made Sukma Diputra Gede Marhaendra Wija Atmadja Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI A. Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN

ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN.NIAGA/JKAT-PST DALAM PERKARA PT HANIF DINAMIKA YANG DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO 4 TAHUN 1998 TENTANG KEPAILITAN Oleh : Dendi Tjahjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 15 BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 1. Guarantor dengan Personal Guarantee : 1.1 Definisi Guarantor is a person or entity that agrees to be responsible for another s debt or a

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemberian Kredit 1. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa tabungan, giro, deposito pada akhirnya akan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Pada kasus hukum kepailitan, setiap debitor yang dinyatakan pailit akan dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D 101 09 397 ABSTRAK Dengan adanya perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung, maka lahirlah akibat-akibat

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT ( Putusan Pengadilan Niaga Jak.Pst Nomor : 1 / PKPU / 2006. JO Nomor : 42 / PAILIT /2005 ) STUDI KASUS HUKUM Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh Ida Ayu Kade Winda Swari A.A. Gede Ngurah Dirksen A.A. Sagung Wiratni Darmadi Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda bergerak maupun yang tidak berwujud. Pesatnya perkembangan masyarakat dewasa ini, kebutuhan akan sarana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

kreditur, tidak mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur.

kreditur, tidak mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dana merupakan oksigen bagi suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan usahanya. Seperti halnya manusia yang tidak mungkin hidup tanpa oksigen, perusahaan juga akan

Lebih terperinci

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN A. Pelaksanaan Penanggungan dalam Perjanjian Kredit di BPR Alto Makmur Bank Perkreditan Rakyat adalah bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada kreditor (si berpiutang)). Berdasarkan Hukum Positif Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. kepada kreditor (si berpiutang)). Berdasarkan Hukum Positif Indonesia, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor berhenti melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada para kreditornya. Ketidakmampuan debitor dalam melakukan pembayaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada

Lebih terperinci

PERTANGGUNG JAWABAN PIHAK PERSONAL GUARANTEE YANG DINYATAKAN PAILIT

PERTANGGUNG JAWABAN PIHAK PERSONAL GUARANTEE YANG DINYATAKAN PAILIT PERTANGGUNG JAWABAN PIHAK PERSONAL GUARANTEE YANG DINYATAKAN PAILIT Luky Pangastuti (Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UNS) pangastutiluky@gmail.com Abstract This research aim to know

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur pada pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan ketidakmampuan membayar

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan.

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Utang piutang acap kali menjadi suatu permasalahan pada debitor. Masalah kepailitan tentunya juga tidak pernah lepas dari masalah utang piutang. Debitor tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI Oleh: Mitia Intansari I Made Walesa Putra Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul Kedudukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KURATOR DALAM MENJALANKAN TUGAS PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KURATOR DALAM MENJALANKAN TUGAS PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT 1 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KURATOR DALAM MENJALANKAN TUGAS PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT Oleh: I Made Darma Adi Putra Marwanto Ida Ayu Sukihana Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Winandya Almira Nurinasari, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Winandya Almira Nurinasari, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Konversi Utang Menjadi Saham (Debt to Equity Swap) sebagai Upaya Menyelamatkan Perusahaan dari Kepailitan, Studi Kasus: PT Istaka Karya (Persero) Winandya Almira Nurinasari,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

sebagaimana tunduk kepada Pasal 1131 KUHPer. Dengan tidak lahirnya jaminan fidusia karena akta fidusia tidak didaftarkan maka jaminan tersebut

sebagaimana tunduk kepada Pasal 1131 KUHPer. Dengan tidak lahirnya jaminan fidusia karena akta fidusia tidak didaftarkan maka jaminan tersebut 81 suatu benda jaminan. Kedua, dengan tidak lahirnya jaminan fidusia maka benda jaminan tidak menjadi jaminan yang diistimewakan sesuai undang-undang (preferen) melainkan menjadi jaminan umum (konkuren)

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang populasi manusianya berkembang sangat pesat. Pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat tajam pada setiap tahun akan menimbulkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. KEWENANGAN PIHAK KETIGA SEBAGAI PENJAMIN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1 Oleh : Sarah D. L.

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. KEWENANGAN PIHAK KETIGA SEBAGAI PENJAMIN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1 Oleh : Sarah D. L. KEWENANGAN PIHAK KETIGA SEBAGAI PENJAMIN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1 Oleh : Sarah D. L. Roeroe 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kewenangan pihak ketiga dalam perjanjian

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website : ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN PENJAMIN PERORANGAN (PERSONAL GUARANTEE) PADA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS Annisa Amalia Rachmah*, Etty Susilowati, R.Suharto Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini.

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangMasalah Penelitian Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. Sengketa merupakan sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 Oleh : Wulan Wiryanthari Dewi I Made Tjatrayasa Bagian Hukum

Lebih terperinci

Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia)

Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia) Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia) MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah LBHK semester I Angkatan V Oleh: Prasaja Pricillia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014 AKIBAT HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NIAGA TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Evie Sompie 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang keseluruhan bagiannya meliputi aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia usaha adalah dunia yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

DAFTAR REFERENSI. Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.

DAFTAR REFERENSI. Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. DAFTAR REFERENSI 1. Buku Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Epstein, David G., Steve H. Nickles., James J. White, Bankruptcy, ST.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing lagi di masyarakat dan lembaga jaminan memiliki peran penting dalam rangka pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE Oleh Ni Made Asri Alvionita I Nyoman Bagiastra Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Putusan pernyataan pailit adalah putusan yang diberikan oleh pengadilan niaga atas permohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian Indonesia, khususnya dunia perbankan saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat baik, walaupun kegiatan bisnis bank umum sempat

Lebih terperinci