BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan ginekologi yang menempati urutan keempat dari semua jenis kanker ginekologi yang paling sering terjadi diseluruh dunia dan merupakan penyebab kematian utama (47% dari semua kematian akibat kanker ginekologi) (Ferlay et al., 2013). Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2002, kanker ovarium di Indonesia menempati urutan ke empat terbanyak dengan angka kematian mencapai 15 kasus per 100.000 wanita setelah kanker payudara, korpus uteri, dan kolorektal (Fauzan, 2009). Kanker ovarium tipe epitel adalah salah satu keganasan ginekologi yang paling sering terjadi dengan angka kematian sebanyak 150.000 jiwa setiap tahunnya di seluruh dunia (Ferlay et al., 2013). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, jumlah kasus kanker ovarium menempati urutan kedua terbanyak setelah kanker serviks, dimana pada tahun 2013 jumlah pasien kanker ovarium sebanyak 482 dan mengalami kenaikan jumlah pasien yang cukup besar di tahun 2014 yaitu sebanyak 1119 kasus. Hal ini menjadi salah satu yang harus dijadikan perhatian, mengingat jumlah kasus penderita kanker ovarium yang akan terus meningkat. Penanganan pasien dengan kanker ovarium stadium lanjut terdiri dari kombinasi operasi sitoreduksi yang diikuti dengan kemoterapi kombinasi (Busmar, 2006). Kemoterapi memainkan peran penting dalam penanganan pasien dengan keganasan ginekologi, yaitu dapat memberikan respon terapi yang baik, 1
2 selain itu terdapat juga efek toksik yang tidak dapat dihindarkan dari pemberian kemoterapi (Elisabeth, 2012). Berdasarkan data respon terapi, pemberian kemoterapi kombinasi memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan regimen tunggal, yaitu laju respon terapi yang dihasilkan lebih baik dibandingkan dengan kemoterapi tunggal dan dapat memperpanjang harapan hidup pasien (Skeel and Khleif, 2011). Kombinasi paklitaksel-karboplatin menjadi pilihan utama pada pengobatan kanker ovarium karena telah terbukti memiliki khasiat terapi yang lebih baik dan toksisitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kombinasi sisplatin-karboplatin (Ozols et al., 2003). Selain itu, menurut Piccart et al. (2000), kemoterapi kombinasi paklitaksel-karboplatin juga memberikan efektivitas yang lebih baik yaitu dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup 5 tahun yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemoterapi tunggal. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUP Sanglah Denpasar, regimen paklitaksel-karboplatin ini juga merupakan salah satu prosedur tetap yang digunakan untuk pengobatan kemoterapi pada pasien kanker ovarium. Penilaian respon keberhasilan terhadap kemoterapi yang digunakan dalam pengobatan pasien kanker ovarium salah satunya dapat ditentukan dengan melihat konsentrasi tumor marker HE4 (Mokhtar et al., 2012). Human Epidydimis protein 4 (HE4) merupakan tumor marker yang berhasil ditemukan dengan memiliki sensitivitas 72,9% dan spesifisitas 95% pada jaringan kanker ovarium yang tidak ditemukan pada jaringan tumor ovarium jinak maupun jaringan ovarium normal dan diekspresikan cukup tinggi dalam serum darah pasien kanker ovarium (Moore
3 et al., 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hatzipetros et al. (2013) menemukan bahwa kemoterapi kombinasi paklitaksel-karbopaltin yang dilakukan sebanyak 6 siklus menunjukan efektivitas yang baik pada pasien kanker ovarium yang ditandai dengan penurunan kadar HE4 yang signifikan. Selain efek terapi yang diperoleh pasien, juga terdapat efek toksik yang tidak dapat dihindarkan selama pengobatan dengan kemoterapi, diantaranya dapat menyebabkan terjadinya efek toksik yang merugikan bagi pasien. Berdasarkan hasil penelitian dari Khemapech et al. (2013), dari 64 pasien kanker ovarium yang diberikan kemoterapi paklitaksel-karboplatin, menyebabkan anemia sebesar 58,3%, leukopenia 66,7% dan trombositopenia 22,2%. Menurut Takakura et al. (2010), pemberian obat kemoterapi paklitaksel-karboplatin pada 50 pasien menyebabkan anemia 32,0%, leukopenia 60,0% dan trombositopenia 24,0%. Menurut Ehrenpreis dan Eli (2001) efek samping dari karboplatin diketahui dapat terjadi myelosuppressive atau depresi sumsum tulang belakang yaitu menyebabkan penurunan produksi sel darah merah sehingga mudah terjadinya anemia dan trombositopenia. Depresi sumsum tulang dapat disebabkan oleh toksisitas hampir setiap jenis kemoterapi, yaitu penurunan kadar hemoglobin yang mengindikasikan adanya anemia (Ariawati, dkk. 2007). Berdasarkan American Cancer Society (2013), kadar leukosit yang rendah pada pasien yang menderita kanker dapat meningkatkan adanya resiko infeksi yang serius, dan menurut Kuter (2013) pemberian obat sitotoksik juga menyebabkan toksisitas pada trombosit sehingga dengan penurunan kadar trombosit dalam darah akan menyebabkan pendarahan yang spontan dan menyebabkan kondisi pasien memburuk. Oleh
4 karena itu, pemberian kemoterapi pada pasien kanker diberikan pada kadar trombosit yang normal sehingga tidak memperburuk kondisi dan resiko pendarahan (Kuter, 2013). Berdasarkan hasil review beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Caro et al. (2001), mendapatkan hasil bahwa angka kematian pasien-pasien yang mengalami penurunan kadar hemoglobin dapat meningkat hingga sebesar 65%, sehingga efek toksik yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah hemoglobin, leukosit dan trombosit. Berdasarkan pemaparan di atas, karenanya perlu dilakukan penelitian ini untuk menilai respon kemoterapi dan efek toksik pada pasien kanker ovarium stadium IC-IIIC di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar yang mendapatkan regimen paklitaksel-karboplatin. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1.2.1 Apakah terdapat perbedaan nilai HE4 sebelum kemoterapi siklus I dan kanker ovarium stadium IC-IIIC? 1.2.2 Apakah terdapat perbedaan kadar hemoglobin sebelum kemoterapi siklus I dan sesudah kemoterapi siklus VI dengan paklitaksel-karboplatin pada pasien kanker ovarium stadium IC-IIIC? 1.2.3 Apakah terdapat perbedaan kadar leukosit sebelum kemoterapi siklus I dan kanker ovarium stadium IC-IIIC?
5 1.2.4 Apakah terdapat perbedaan kadar trombosit sebelum kemoterapi siklus I dan sesudah kemoterapi siklus VI dengan paklitaksel-karboplatin pada pasien kanker ovarium stadium IC-IIIC? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui efektivitas kemoterapi paklitaksel-karboplatin pada pasien kanker ovarium sel epitel stadium IC-IIIC. 2. Untuk mengetahui toksisitas kemoterapi paklitaksel-karboplatin pada pasien kanker ovarium sel epitel stadium IC-IIIC. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perbedaan nilai HE4 sebelum kemoterapi siklus I dan kanker ovarium sel epitel stadium IC-IIIC. 2. Untuk mengetahui perbedaan kadar hemoglobin sebelum kemoterapi siklus I dan kanker ovarium stadium IC-IIIC. 3. Untuk mengetahui perbedaan kadar leukosit sebelum kemoterapi siklus I dan kanker ovarium stadium IC-IIIC.
6 4. Untuk mengetahui perbedaan kadar trombosit sebelum kemoterapi seri I dan sesudah kemoterapi seri VI dengan paklitaksel-karboplatin pada pasien kanker ovarium stadium IC-IIIC. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1.4.1 Bagi Dokter Dapat memberikan informasi efektivits dan efek toksik mengenai regimen paklitaksel-karboplatin sebagai dasar pertimbangan kemoterapi pada pasien kanker ovarium. 1.4.2 Bagi Apoteker Dapat meningkatkan peran apoteker sebagai tenaga kesehatan dalam memonitor respon terapi dan efek samping kemoterapi pada pasien kanker ovarium untuk menjamin keamanan pasien kanker ovarium khususnya tipe sel epitel. 1.4.3 Bagi Pasien Dapat mendapatkan efek terapi yang maksimal dan efek toksik yang minimal sehingga memperoleh pengobatan yang rasional.