BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat, terutama pada kondisi lingkungan yang di bawah standar. (1)

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. memberikan daya dukungan bagi mahluk hidup untuk hidup secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya di dunia (Sugiato, 2006). Menurut Badan Kependudukan Nasional,

BAB I PENDAHULUAN. polusi udara atau sekitar 5% dari 55 juta orang yang meninggal setiap tahun di

BAB I PENDAHULUAN. (occupational disease), penyakit akibat hubungan kerja (work related disease)

BAB I PENDAHULUAN. Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di

BAB I PENDAHULUAN. tahun di dunia. Angka morbiditas sebagai dampak dari polusi udara jauh lebih

Argon 0,93% Ne, He, CH4, H2 1,04% Karbon Dioksida 0,03% Oksigen 20% Nitrogen 78% Udara

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan pemasaran (Manuaba, 1983). Aspek yang kurang diperhatikan bahkan

Pathologi Bangunan dan Gas Radon Salah satu faktor paling populer penyebab terganggunya kesehatan manusia yang berdiam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan kerja yang buruk dapat mengakibatkan masalah bagi. kesehatan karyawan. Jenis bangunan, alat dan bahan, proses pekerjaan

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat

ARTIKEL RISET URL artikel:

BAB 1 : PENDAHULUAN. lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Indian di Amerika untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sehingga memberikan

- TEMPERATUR - Temperatur inti tubuh manusia berada pada kisaran nilai 37 o C (khususnya bagian otak dan rongga dada) 30/10/2011

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI JURUSAN TEKNIK MESIN UNIVERSITAS GUNADARMA

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari-hari pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas sehingga jumlah tenaga kerja yang berkiprah disektor

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan suatu bangsa dan negara tentunya tidak bisa lepas dari peranan

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian,

BAB I PENDAHULUAN. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menyebabkan penyakit paru (Suma mur, 2011). Penurunan fungsi paru

BAB I PENDAHULUAN. bahaya tersebut diantaranya bahaya faktor kimia (debu, uap logam, uap),

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, maka ikut berkembang pula

BAB III METODE PENELITIAN

EVALUASI PENGARUH POLA ALIR UDARA TERHADAP TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI DAERAH KERJA IRM

BAB I PENDAHULUAN 1.2 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor lingkungan kerja merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai daerah penghasilan furniture dari bahan baku kayu. Loebis dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit

Studi Analisis Pengaruh Kondisi Lingkungan Kerja Terhadap Sick Building Syndrome (SBS) Pada Karyawan di Gedung Perkantoran Perusahaan Fabrikasi Pipa

TL-2271 Sanitasi Berbasis Masyarakat Minggu 3

BAB I PENDAHULUAN. kesadaran dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan

BAB III PELAKSANAAN MAGANG

BAB I PENDAHULUAN. kerjanya. Potensi bahaya menunjukkan sesuatu yang potensial untuk mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan mesin, mulai dari mesin yang sangat sederhana sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam usaha di bidang kesehatan seperti di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia terutama masalah lingkungan, Pencemaran udara yang paling

BAB I PENDAHULUAN. Udara merupakan faktor yang penting dalam kehidupan, namun dengan

BAB I PENDAHULUAN. berbahaya bagi kesehatan pekerja (Damanik, 2015). cacat permanen. Jumlah kasus penyakit akibat kerja tahun

BAB 1 : PENDAHULUAN. lainnya baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. (1)

Tanggal : Nomor Responden : Lokasi :

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, serta sistematika penulisan laporan.

PREVALENSI GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA BATU PADAS DI SILAKARANG GIANYAR BALI

BAB I PENDAHULUAN. Udara yang dimaksud adalah udara bersih belum tercemar dan tidak

PEMANTAUAN KUALITAS UDARA DI DALAM RUANGAN HR-05 INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya penyakit paru kronik (Kurniawidjaja,2010).

BAB I PENDAHULUAN. di dalam kehidupan makhluk hidup. Manusia memerlukan udara untuk bernafas

BAB 1 PENDAHULUAN. A World Health Organization Expert Committee (WHO) menyatakan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. demikian upaya-upaya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan perlindungan tenaga

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. solusi alternatif penghasil energi ramah lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perkembangan teknologi yang semakin meningkat mendorong Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang bekerja mengalami peningkatan sebanyak 5,4 juta orang dibanding keadaan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan tersebut

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) Tahun 2005

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Iklim Perubahan iklim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDETEKSI DAN PENETRALISIR POLUSI ASAP DENGAN KONTROL MELALUI APLIKASI ANDROID (RANCANG BANGUN PERANGKAT KERAS)

I. PENDAHULUAN. adalah perokok pasif. Bila tidak ditindaklanjuti, angka mortalitas dan morbiditas

BAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang maupun negara maju (WHO, 2008). Infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... iv. ABSTRAK...

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumokoniosis merupakan penyakit paru yang disebabkan oleh debu yang masuk ke dalam saluran pernafasan

BAB I PENDAHULUAN. maupun mahluk hidup lainnya. Tanpa makan manusia bisa hidup untuk beberapa. udara kita hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja.

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari - hari pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan industri dapat memberikan dampak positif bagi

Kiat Atasi Gangguan Pernapasan Akibat Polusi Udara

BAB I PENDAHULUAN. ATP (Adenosin Tri Phospat) dan karbon dioksida (CO 2 ) sebagai zat sisa hasil

BAB VI HASIL PENELITIAN. analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan karakteristik masing masing

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah pulau sebanyak buah yang dikelilingi oleh garis pantai

Gunung api yang meletus akan mengeluarkan berbagai jenis debu serta gas dari dalam perut. Debu Vulkanik Dan Gangguan Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruangan merupakan suatu tempat aktivitas manusia di mana hampir 90 % dari waktu yang ada, waktu dihabiskan manusia di dalam ruangan, jauh lebih lama dibandingkan di udara terbuka. Beberapa penelitian telah menunjukkan di mana udara dalam ruangan sering kali lebih kotor atau lebih tinggi zat pencemarnya dibandingkan udara di luar (Codey, 2004). Secara sepintas ruang perkantoran di dalam gedung bertingkat bersih dan sedap dipandang. Hal ini dapat dipahami karena umumnya ruang perkantoran berkarpet, berdinding luar kaca dan dinding bagian dalam berupa tripleks atau asbes berlapis wallpaper serta full AC. Pada kenyataannya, justru di ruangan seperti inilah kesehatan orang yang bekerja sering terganggu. Gangguan kesehatan di dalam ruang perkantoran gedung bertingkat kemudian dikenal dengan sebagai sick building sindrome (BATAN, 2009). Sick Building Syndrome (SBS) atau yang disebut juga dengan Tight Building Syndrome atau Building Related Illness / Bulding Related Occupant Complaints Syndrome adalah situasi di mana penghuni gedung atau bangunan mengeluhkan permasalahan kesehatan dan kenyamanan yang akut, berkaitan dengan waktu yang dihabiskan dalam suatu bangunan, namun gejalanya tidak spesifik dan penyebabnya tidak dapat diidentifikasikan (EPA, 1991) dan juga merupakan kumpulan permasalahan kesehatan yang berhubungan dengan kualitas udara dalam lingkungan (Engelhart, 1999) atau juga dapat didefinisikan sebagai keluhan yang tidak spesifik dari penghuni ruangan ber-ac Manusia menghabiskan 90 % waktunya dalam lingkungan konstruksi, baik itu di dalam bangunan kantor ataupun rumah yang mungkin sekali kualitas udara dalam ruangnya tercemar oleh chemical yang berasal dari dalam maupun luar ruangan, tercemar oleh mikroba ataupun disebabkan karena ventilasi udara yang kurang baik. Contoh polutan yang bisa mencemari ruangan misalnya asap rokok; ozone yang berasal dari mesin fotocopy dan 1

2 printer; volatile organics compounds yang berasal dari carpets, furniture, cat, cleaning agents dan sebagainya; debu, carbon monoxide, formaldehyde dan lainlain. Keluhan utama yang ditimbulkan dari pencemar udara dalam ruangan itu bisa berupa iritasi (mata berair, bersin, hidung tersumbat, gatal tenggorokan), sesak napas, sakit kepala, kelelahan, gejala seperti flu, dan bronkitis (E.G Legionella, 2006). Kondisi tersebut mengakibatkan kelembaban udara dalam ruangan meningkat, dan banyaknya benda berupa peralatan terbuat dari bahan sintetik yang menghasilkan emisi gas juga memperburuk kualitas udara dalam ruangan meningkat. Kondisi ini mendorong Environmental Protection Agency (EPA) Amerika menjadikan masalah kualitas udara dalam ruangan sebagai salah satu lima resiko kesehatan masyarakat tertinggi di Amerika Serikat (Moetiara dkk., 2008). Pada tahun 1984, setelah menganalisa 300 kasus Sick Building Syndrome, NIOSH (National Institute for Occupational Safety & Health) menyimpulkan bahwa 48 % dari kasus SBS disebabkan oleh ventilasi yang kurang baik, 5 % disebabkan oleh kontaminasi bakteri, dan 16 % nya disebabkan oleh office machines dan products. Tahun 1984, sebuah Komite Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa sekitar 30 % gedung baru atau gedung yang baru direnovasi memiliki masalah dengan kualitas udara ruangan. Kondisi ini sering berlangsung secara temporer, tetapi banyak gedung yang mengalami masalah ini dalam kurun waktu yang lama. Umumnya kasus ini terjadi karena gedung dioperasikan berdasarkan prosedur yang tidak konsisten dengan desain dasar. Dalam kasus lain kadang-kadang masalah kualitas udara ini merupakan hasil dari desain gedung yang memang tidak baik atau dapat juga akibat aktivitas pekerja yang menyimpang dari prosedur. Istilah Sick Building Sindrome (SBS) digunakan untuk mendeskripsikan situasi pekerja di dalam sebuah gedung yang mengalami penurunan kesehatan yang berkaitan dengan lamanya waktu ketika berada di dalam gedung dan bukan merupakan penyakit yang spesifik (EPA, 1991). Pada kasus yang ringan, keluhan ini akan menghilang ketika pekerja keluar dari gedung tersebut. Keluhan yang dialami biasanya menetap dalam waktu yang cukup lama setidaknya selama dua minggu.

3 Hampir tidak dapat dipungkiri bahwa pekerja di era modern sekarang ini lebih banyak menghabiskan waktunya di ruangan kerja. Sepanjang hari karyawan bekerja di kantor, sedangkan tempat tinggal kini hanya untuk tidur malam saja. Bahkan banyak pula karyawan yang bekerja lembur hingga malam hari. Dengan demikian, kondisi dan kualitas ruang kerja sangat mempengaruhi kondisi tubuh pekerja. EPA melaporkan bahwa peningkatan kualitas udara dalam ruangan dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi beberapa hari kerja yang hilang. EPA juga mengestimasi bahwa kualitas udara dalam ruangan buruk dapat mengakibatkan kerugian negara hingga puluhan miliar dolar Amerika setiap tahunnya akibat rendahnya produktivitas dan biaya pelayanan kesehatan (Moetiara, dkk, 2008). Hal serupa juga dibuktikan melalui hasil penelitian William Fisk dan Arthur Rosenfeld bahwa kondisi gedung dan lingkungan ruangan kantor yang baik dapat mengurangi biaya kesehatan dan hilangnya waktu kerja, serta dapat meningkatkan kineja pegawai. Berdasarkan riset yang dilakukan Institut Nasional Kesehatan dan Keselamatan Kerja (NIOSH) Amerika pada tahun 1997, sebanyak 52 % penyakit pernapasan yang terkait dengan sick building Syndrome bersumber dari kurangnya ventilasi dalam gedung dan kineja AC gedung yang buruk (Baechler et al., 1991). Perlu diketahui bahwa suhu AC di dalam gedung bertingkat biasanya kelewat dingin, yaitu berkisar antara 20 s.d. 23 derajat Celsius. Rekayasa suhu inilah yang membuat bakteri-bakteri merugikan seperti Chlamydia, Eschceriachia dan Legionella spleluasa bergerilya di saluran pernafasan. Sisanya, 17 % disebabkan oleh kontaminan udara yang ada di dalam gedung. Kontaminan ini dapat berasal dari mesin foto kopi, pengharum ruangan, larutan pembersih, atau bahan lain pelapis dinding dan tidak tertutup kemungkinan naiknya konsentrasi radioaktif alamiah seperti radon dan thoron. Sedangkan radon dan thoron merupakan pemicu infeksi saluran pernafasan. Radon (Rn-222) merupakan sumber radiasi alamiah yang signifikan. Menurut laporan UNSCEAR tahun 2000, radon merupakan sumber radiasi alamiah terbesar dan mencapai 50% (IAEA, 2005). Radon merupakan

4 radionuklida berumur pendek yang dapat menempel pada partikel halus di udara dan akan terhirup serta meradiasi jaringan paru-paru dengan partikel alpha (α) sehingga dapat menaikkan resiko kanker paru-paru. Isotop radon yang lain yaitu Radon-220 (thoron) juga memiliki sifat yang sama tetapi dengan derajat paparan radiasi di paru-paru lebih kecil (BATAN, 2008). Kanker paru-paru akibat paparan Radon disebabkan oleh inhalasi partikulat luruhan radon yang berumur pendek seperti 218 Po, 214 Pb, 214 Bi atau 214 Po. Hasil peluruhan radon yang terhirup di ruangan-ruangan memiliki diameter partikel carrier sekitar 50 hingga 200 nm. Sedangkan persentase radioaktivitas 218 Po sebagai partikel superhalus dengan diameter nanometer bervariasi antara beberapa persen hingga 50%. Hubungan antara konsentrasi radon dengan resiko relatif terjadinya kanker paru-paru ditujukan pada gambar. Studi resiko relatif terjadinya kanker paru-paru akibat paparan radon domestik. Ekstrapolasi Resiko Relatif (RR) dari pekerja tambang bawah tanah. Garis putus-putus ini menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi radon (Bq/m 3 ) menyebabkan kenaikan resiko relatif terjadinya kanker paru-paru. Pada studi yang menganalisis data 400 kasus kanker paru-paru dan 400 sebagai kontrol di New Jersey (Lippmann, 2006), disimpulkan bahwa paparan lingkungan akibat radon berhubungan dengan terjadinya kanker paru-paru. Sedangkan Dewan Riset Nasional Amerika (NRC) melaporkan 10 % hingga 14 % dari kematian karena kasus kanker berasal dari paparan radon di lingkungan yaitu sekitar 10.000 s.d. 14.000 orang/ tahun. Di Indonesia, resiko kanker paru-paru akibat paparan kronik radon di dalam rumah menggunakan faktor resiko yang dirumuskan oleh Komite Bidang Epidemiologi UNSCEAR 2000, diperkirakan sebesar 5900 kanker fatal pertahun dengan asumsi harapan hidup 65 tahun, jumlah penduduk 202 juta orang (Bunawas, 2001). Diperkirakan resiko kematian karena menderita kanker paru-paru akibat gas Radon dan Thoron ini mencapai 0.005 %. Hal ini berarti bahwa pada setiap kelompok populasi yang jumlahnya 20.000 orang, dapat diramalkan bahwa satu orang diantara mereka meningggal karena kanker paru-paru akibat menghirup gas radioaktif Radon dan Thoron ini (Anies, 2004). Radon adalah sejenis gas radioaktif yang biasanya terkandung dalam

5 tanah. Radon menjadi berbahaya apabila terserap ke dalam pori-pori bahan bangunan dan terendap dalam konsentrasi yang tinggi. Polusi radiasi lainnya adalah lingkup elektromagnetik yang berwujud energi yang mengelilingi kabel-kabel listrik dan peralatan listrik lainnya. Beberapa jenis lampu dan pendeteksi asap juga disinyalir mengandung sedikit bahan radioaktif yang bisa membahayakan kesehatan (Susanti, D, 2008). Mengingat gedung bertingkat tinggi dan bagian basement sebagai tempat parkir semakin banyak, sedangkan disisi lain orang yang bekerja di gedung tersebut perlu mendapat jaminan kesehatan yang baik maka penelitian mengenai kualitas udara dalam hubungannya dengan SBS sangatlah penting. Seperti diketahui bahwa untuk mempertahankan agar kondisi ruangan di dalam gedung selalu sejuk dengan sistem AC bila dibandingkan dengan kondisi di luar gedung yang selalu panas maka semua ruangan dibuat tertutup rapat. Kondisi inilah yang membuat gedung bertingkat kurang baik sistem ventilasinya sehingga konsentrasi kontaminan udara ruangan semakin lama semakin meningkat. Pada akhirnya peningkatan konsentrasi kontaminan dalam ruangan sangat berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan. 1.2 Rumusan Masalah Jakarta adalah termasuk daerah ibukota yang paling terbesar di Indonesia, Jakarta juga banyak bangunan gedung bertingkat seperti perkantoran dan pusat-pusat perbelanjaan. Di bangunan gedung tinggi tersebut mayoritas parkiran menggunakan lahan bawah tanah yang disebut juga dengan basement. Hingga saat ini ada berbagai kasus keracunan gas di ruang bawah tanah, seperti di salah satu pusat perbelanjaan yang terjadi dua kali berturut-turut dan kasus lainnya yang sejenis, serta adanya laporan di berbagai media mengenai keluhan kesehatan dari karyawan yang bekerja di gedung tingkat tinggi khususnya area parkiran basement. Permasalahan dalam penelitian adalah belum pernah dilakukan pengukuran aktivitas Radon dan Thoron di udara dalam ruangan pada 3 gedung di DKI Jakarta, serta data mengenai SBS belum ada. Untuk

6 mendapatkan informasi mengenai aktivitas Radon dan Thoron di udara dalam ruangan pada 3 gedung di DKI Jakarta dan dampaknya terhadap karyawan, maka perlu dilakukan penelitian tentang hubungan antara aktivitas Radon dan Thoron di udara dalam ruangan dengan Sick Building Syndrome pada karyawan pada 3 gedung DKI Jakarta tahun 2009. 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Studi ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai hubungan aktivitas Radon dan Thoron di udara dalam ruangan dengan Sick Building Syndrome pada 3 gedung DKI Jakarta tahun 2009. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui hasil pengukuran parameter aktivitas Radon dan Thoron di udara pada 3 gedung DKI Jakarta tahun 2009. b. Mengetahui hasil pengukuran parameter fisik cahaya, kelembaban dan temperatur ruangan. c. Mengatahui hasil distribusi karakteristik responden terhadap persepsi kualitas udara dalam ruangan, menghirup asap rokok, hubungan psikologis. d. Melakukan analisis hasil pengukuran parameter tersebut terhadap standar parameter aktivitas Radon dan Thoron di udara yang telah ditetapkan secara internasional dalam ruangan. e. Mengetahui hubungan aktivitas Radon dan Thoron di udara dalam ruangan dengan Sick Building Syndrome pada 3 gedung DKI Jakarta tahun 2009. f. Diketahuinya hubungan antara karakteristik responden yaitu persepsi kualitas udara dalam ruangan, menghirup asap rokok, hubungan psikologis dengan kejadian SBS.

7 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Mahasiswa a. Sebagai media belajar dengan mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya selama ini, serta menambah wawasan dalam membantu pelaksanaan tugas-tugas pekerjaannya. 1.4.2 Bagi Fakultas a. Sebagai jembatan penghubung antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja. b. Mendapatkan masukan tentang perkembangan bidang keilmuan dan teknologi yang diterapkan dalam praktek kerja di perusahaan. 1.4.3 Bagi Perusahaan a. Sebagai bahan evaluasi guna meningkatkan produktivitas kerja dengan memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja sehingga dapat mencapai kineja yang optimal. b. Hasil penelitian ini, menjadi bahan informasi dan masukan yang berguna bagi perusahaan dan karyawan. c. Menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dan bermanfaat antara Perusahaan dengan Departemen K3 FKM UI. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan di ruangan pada 3 gedung DKI Jakarta tahun 2009, gedung yang dipilih adalah gedung yang memiliki karakteristik yang menunjukkan penyebab SBS terhadap karyawan yang bekerja di gedung tersebut. aktivitas di udara yang diukur adalah Radon dan Thoron. Pengukuran aktivitas Radon dan Thoron di udara dilakukan di ruangan pada 3 gedung DKI Jakarta. Bersamaan dengan itu dilakukan pengukuran suhu, kelembaban, kecepatan aliran udara dan pencahayaan, dan kepadatan dilakukan dengan observasi. Data mengenai perilaku merokok dalam ruangan dan faktor psikologis, serta faktor karakteristik meliputi jenis kelamin, umur, lama bekerja, persepsi mengenai kualitas udara, dan kebiasaan sehari-hari dilakukan dengan

8 penyebaran angket. Pertanyaan mengenai gangguan SBS yang dialami karyawan dibatasi dalam jangka waktu 2 minggu sebelum dilakukan wawancara, observasi atau pengisian kuesioner dalam bentuk angket. Selain untuk menghindari adanya bias recall dari responden, pelaksanaan pengukuran kualitas udara dan penyebaran angket dilakukan pada waktu yang bersamaan dalam 1 gedung.