II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir, termasuk sebagian kecil endosperm berpati (Hadipernata, 2007). Perolehan bekatul melalui beberapa tingkatan dalam proses pengolahan gabah, yang mula-mula diperoleh dari beras pecah kulit dengan hasil ikutan sekam dan dedak kasar (Damardjati dkk., 1989), namun karena alat penggilingan padi tidak memisahkan antara dedak dan bekatul maka umumnya dedak dan bekatul bercampur menjadi satu dan disebut dedak atau bekatul saja (Wulandari, 2012). Komponen kimia bekatul secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia bekatul (per 100 gram bahan) Komponen Jumlah Protein (%) 12,0-15,6 Lemak (%) 23,3-24,9 Serat kasar (%) 7,0-11,4 Karbohidrat (%) 34,1-52,3 Abu (%) 6,6-9,9 Kalsium (mg/g) 0,3-1,2 Magnesium (mg/g) 5,0-13,0 Fosfor (mg/g) 11,0-25,0 Silika (mg/g) 5,0-11,0 Seng (μg/g) 43,0-258,0 Thiamin/ B1 (μg/g) 12,0-24,0 Riboflavin/B2 (μg/g) 1,8-4,0 Sumber : Luh (1991) dalam Janathan, 2007 Kandungan lemak bekatul yang relatif tinggi menyebabkan bekatul kurang tahan lama, cepat berbau dan menjadi tengik. Kandungan asam lemak bebas akan meningkat 1% setiap jam pada penyimpanan di suhu kamar 5
6 (Barber dan Benedito, 1980 dalam Janathan, 2007). Reaksi ketengikan diakibatkan oleh hidrolisis enzimatik lipase dan ketengikan oksidatif. Pada bekatul, ketengikan terjadi akibat lipase yang menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak bebas dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi bentuk peroksida, keton dan aldehid, sehingga bekatul menjadi tengik. Ketengikan yang tinggi berpengaruh terhadap penerimaan sensoris bekatul sebagai bahan pangan (Juliano, 1985 dalam Janathan, 2007). Bekatul mempunyai sifat yang tidak menguntungkan yaitu mudah tengik. Untuk memperoleh bekatul yang tidak tengik dan sekaligus memperpanjang masa simpan, maka bekatul harus langsung diolah dan diberi perlakuan yang mampu menginaktifkan enzim lipase yang menyebabkan ketengikan. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah dengan merubah bentuk bekatul menjadi tepung dan segera melakukan pengovenan dengan suhu 100 O C selama 15 menit (Janathan, 2007). 2.2 Biskuit Biskuit merupakan produk makanan yang dibuat dari bahan dasar terigu yang dipanggang hingga kadar air kurang dari 5 % (Noviana dkk., 2013). Biskuit merupakan salah satu makanan ringan atau snack yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Saksono (2012) menyatakan bahwa berdasarkan data asosiasi industri tahun 2012, konsumsi biskuit diperkirakan meningkat 5%-8% didorong oleh kenaikan konsumsi domestik. Menurut SNI 01-2973-1992 biskuit adalah produk yang diperoleh dengan memanggang adonan dari tepung terigu dengan penambahan makanan lain dan dengan atau
7 tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Biasanya resep produk ini diperkaya dengan lemak dan gula. Di Indonesia dalam hal ini Departemen Perindustrian RI membagi biskuit menjadi 4 kelompok yaitu: biskuit keras, crackers, cookies dan wafer (Koswara, 2006). Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi maupun rendah. Cracker adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah asin dan relatif renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis. Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya potongannya bertekstur kurang padat. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar, relatif renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga (Koswara, 2006). Biskuit yang dihasilkan harus memenuhi syarat mutu yang telah ditetapkan agar aman untuk dikonsumsi. Syarat mutu biskuit yang berlaku secara umum di Indonesia yaitu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2973-1992), seperti pada Tabel 2.
8 Tabel 2. Syarat Mutu Biskuit Menurut SNI 01-2973-1992 No Kriteria Uji Jumlah 1 Air Maksimum 5% 2 Protein Minimum 9% 3 Lemak Minimum 9,5% 4 Karbohidrat Minimum 70% 5 Abu Maksimum 1,6% 6 Logam Berbahaya Negatif 7 Serat kasar Maksimum 5% 8 Kalori (kal/100 g) Minimum 400 9 Bau dan rasa Normal 10 Warna Normal Sumber: (Anon.,1992) 2.3 Bahan-Bahan Dalam Pembuatan Biskuit 2.3.1 Terigu Terigu merupakan bahan dasar utama dalam segala jenis roti, kue kering, mie, biskuit, dan spaghetti (Harris, 1989). Terigu mempunyai sifat yang unik karena apabila dicampur dengan air, dengan perbandingan tertentu maka akan membentuk suatu massa atau adonan koloidal yang dapat menahan gas dan akan membentuk suatu struktur spon bila dipanggang. Komposisi kimia terigu dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia terigu (per 100 gram bahan) Komposisi Jumlah Energi (kal) 365 Protein (g) 8,9 Lemak (g) 1,3 Karbohidrat (g) 77,3 Air (g) 12,0 P (mg) 106 Kalsium (mg) 16 Fe (mg) 1,2 Sumber : (Anon., 1996)
9 Secara prinsip terigu dibedakan menjadi tiga jenis (Mudjajanto dan Yulianti, 2004) yaitu sebagai berikut : 1. Terigu Protein Rendah Terigu protein rendah berasal dari penggilingan gandum jenis soft atau lunak. Terigu tersebut mempunyai sifat gluten yang lemah, kandungan protein 8-9%, sifat elastisnya kurang, dan mudah putus. 2. Terigu Protein Sedang Terigu protein sedang merupakan terigu campuran dari terigu jenis soft dan hard. Terigu tersebut mempunyai sifat gluten sedang dan kadar protein 10-11 %. 3. Terigu Protein Tinggi Terigu jenis ini dihasilkan dari penggilingan gandum jenis hard atau keras. Terigu tersebut mempunyai sifat gluten yang kuat, kandungan proteinnya 11-12 %, sifat elastisitasnya baik dan tidak mudah putus. Persyaratan terigu untuk bahan makanan menurut SNI No. 01-3751-1995 dapat dilihat pada Tabel 4.
10 Tabel 4. Persyaratan terigu untuk bahan makanan (SNI No. 01-3751- 1995) Persyaratan No Kriteria Uji Satuan Terigu Hard Terigu Medium Terigu Soft Keadaan : Bentuk - Serbuk Serbuk Serbuk 1 halus halus halus Warna, rasa, - Normal Normal Normal bau 2 Kadar Air % b/b Maks 14,5 Maks 14,5 Maks 14,5 3 Kadar Abu % b/b Maks 0,6 Maks 0,6 Maks 0,6 4 Serat Kasar % b/b Maks 0,4 Maks 0,4 Maks 0,4 5 Serat Asing - Tidak Tidak Tidak boleh ada boleh ada 6 Serangga - Tidak Tidak boleh ada boleh ada 7 Protein % b/b Min 12,0 10,0-11,0 8,0-9,0 Sumber : (Anon.,1995) boleh ada Tidak boleh ada 2.3.2 Gula Halus Gula merupakan senyawa kimia termasuk karbohidrat yang memiliki rasa manis dan larut dalam air (Anon., 1991 dalam Rohimah, 2012). Fungsi gula pada pembuatan biskuit adalah memberikan pengaruh terhadap tekstur dan warna. Penggunaan gula yang tinggi dapat menyebabkan adonan keras dan regas (mudah patah), daya lekat adonan tinggi, adonan kuat dan setelah dipanggang bentuk kue kering menyebar (Rohimah, 2012). Dalam pembuatan cake dan kue-kue kering, gula yang umumnya digunakan adalah gula halus. Gula halus merupakan gula pasir yang digiling hingga halus sehingga terbentuk tepung gula dan ditambahkan tepung maizena agar tidak mudah menggumpal (Maryana, 2013).
11 2.3.3 Margarin Margarin adalah lemak padat yang memiliki sifat plastis dan kestabilan tertentu, umumnya berwarna kuning. Margarin banyak digunakan dalam bahan pangan terutama dalam pembuatan cake dan kue yang dipanggang. Fungsinya adalah untuk memperbaiki cita rasa, tekstur, keempukan, dan memperbesar volume roti atau kue (Winarno, 1997). Margarin berasal dari lemak nabati. Selain lemak nabati, margarin juga terdiri dari air dan garam. Air sebagai fasa dispersi didistribusikan secara homogen dan sangat halus di dalam fasa kontinyu (lemak). Lemak atau campuran lemak merupakan faktor yang sangat penting di dalam formulasi margarin. Sifat fisik dan karakteristik lemak sangat berpengaruh pada titik leleh dari margarin, sehingga akan mempengaruhi kemampuan oles margarin tersebut (Astiti, 2010). 2.3.4 Garam Pengolahan bahan makanan yang dilakukan dengan pemberian garam NaCl pada konsentrasi tinggi, dapat mencegah kerusakan bahan pangan. Pada konsentrasi NaCl sebesar 2-5% yang dikombinasikan pada suhu rendah, cukup untuk mencegah pertumbuhan mikroba psikrofilik. Pada pembuatan biskuit, garam memiliki fungsi penambah rasa gurih, pembangkit rasa bahan-bahan lainnya dan membantu untuk meningkatkan sifat-sifat adonan (Saputra, 2008, dalam Aprilia 2013).
12 2.3.5 Telur Penggunaan telur yang ditambah ke dalam bahan pangan berfungsi sebagai pengental dan pengikat karena protein telur akan terkoagulasi bila dipanaskan, sebagai pengemulsi karena telur mengandung lesitin, dan sebagai pembusa bila putih telur dikocok karena udara akan terjebak dan protein terkoagulasi sebagian (Gaman dan Sherrington, 1992). Dalam pembuatan biskuit, telur berfungsi sebagai pelembut dan pengikat. Telur dapat melembutkan tekstur biskuit dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur. Penggunaan kuning telur tanpa putih telur pada proses pengadonan biskuit akan menghasilkan cita rasa sempurna, tetapi struktur biskuit tidak sebaik pada penggunaan telur secara keseluruhan. Oleh karena itu agar adonan lebih kompak sebaiknya ditambahkan putih telur secukupnya (Matz, 1978 dalam Aprilia, 2013). 2.3.6 Susu Skim Bubuk Susu skim merupakan susu yang tidak mengandung lemak. Susu ini merupakan suplemen protein yang bermanfaat karena mengandung sekitar 37% protein. Susu ini juga mengandung kalsium dan riboflavin yang tinggi (Gaman dan Sherrington, 1992). Susu skim bubuk digunakan untuk memperbaiki warna, aroma, menahan penyerapan air, sebagai bahan pengisi dan untuk meningkatkan nilai gizi biskuit (Matz, 1978 dalam Aprilia, 2013).