V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN, KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH. Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung dan jaraknya

dokumen-dokumen yang mirip
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 1. Jumlah penduduk dan keadaan ekonomi Kabupaten Way Kanan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

8.1. Keuangan Daerah APBD

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

PROFIL KABUPATEN / KOTA

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM Letak Wilayah, Iklim dan Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat

BAB I PENDAHULUAN I - 1 A. VISI DAN MISI II - 3 B. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN DAERAH II - 5 C. PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH II - 13

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketersediaan pangan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

DAFTAR ISI Hal Daftar Isi... i Daftar Tabel... ii Daftar Gambar... v Daftar Lampiran... vi

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan

KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Kondisi Geografis

Profil Kabupaten Aceh Singkil

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

MAKALAH AKUNTANSI PEMERINTAHAN

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

PROFIL KECAMATAN TOMONI 1. KEADAAN GEOGRAFIS

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO

BAB IV KONTEKS LOKASI PENELITIAN

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR MANJUNTO

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

DAFTAR ISI. Kata Pengantar..

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tanggamus terbentuk atas dasar Undang-undang Nomor 2 tertanggal 3

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam data ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012

Transkripsi:

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN, KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH 5.1. Potensi Provinsi Wilayah administrasi Provinsi memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung dan jaraknya lebih kurang 567 kilometer. Luas wilayah mencapai lebih kurang 1 978 870 hektar, dan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia pada garis pantai sepanjang lebih kurang 433 kilometer. Bagian Timurnya berbukit-bukit dengan dataran tinggi yang subur, sedangkan bagian Barat merupakan dataran rendah yang relatif sempit, memanjang dari Utara ke Selatan serta diselang-selangi daerah yang bergelombang. Provinsi beribukota di Kota, terbagi atas 3 (tiga) daerah kabupaten dan 1 (satu) daerah kota, yaitu Kabupaten Selatan, Rejang Lebong, Utara, dan Kota. Setelah Otonomi Daerah tahun 2003 terjadi pemekaran daerah menjadi 8 (delapan) Kabupaten dan 1 (satu) daerah Kota yaitu : Kabupaten Selatan, Kabupaten Kaur, Kabupaten Seluma, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahyang, Kabupaten Lebong, Kabupaten Utara, dan Kabupaten Muko Muko. Berdasarkan topografinya Provinsi terletak pada 3 (tiga) ketinggian yaitu : (1) 0-100 meter di atas permukaan laut dan terklasifikasi sebagai daerah low land seluas 708 435 hektar atau 35.80 %; (2) ketinggian 100-1000 meter di atas permukaan laut. Posisinya merupakan lereng pegunungan Bukit Barisan dan terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range. Daerah ini dibagi dalam dua kelompok yaitu daerah dengan ketinggian antara 100-500 meter seluas

104 625 323 hektar atau 31.60 %, dan ketinggian antara 500-1000 meter luasnya mencapai 405 688 hektar atau 20.50 %; (3) ketinggian 1000-2000 meter di atas permukaan laut seluas 239 924 hektar atau 12.10 %. Posisinya berada di sebelah Timur jalur kedua sampai ke puncak pegunungan Bukit Barisan, umumnya merupakan daerah kegiatan vulkanis dan tektonis. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) jumlah penduduk provinsi pada tahun 2003 telah mencapai 1 517 181 jiwa terdiri dari 780 032 laki-laki dan 737 149 jiwa perempuan, dengan kepadatan penduduk 78 jiwa/km 2. Pada tahun 2003 jumlah angkatan kerja tercatat sebanyak 740 148 orang, sedangkan jumlah bukan angkatan kerja sebanyak 282 751 orang, pada tahun 2004 jumlah angkatan kerja meningkat menjadi 768 348 orang dengan tingkat partisipasi kerja sebesar 73.46%. Peningkatan angkatan kerja di Provinsi didorong oleh peningkatan jumlah penduduk yang mencari pekerjaan. Tahun 2004 jumlah pencari kerja tercatat sebanyak 50 479 orang, jenis lapangan pekerjaan yang tersedia di Provinsi sesuai dengan struktur perekonomian daerah yaitu di sektor pertanian sebesar 72.64%, sektor jasa sebesar 10.68%, sektor perdagangan sebesar 9.88%, dan sektor lainnya sebesar 6.8%. Perekonomian Provinsi ditopang dari 9 sektor yaitu : Pertanian; Pertambangan dan Penggalian; Industri pengolahan; Listrik, Gas, dan Air minum; Bangunan; Perdagangan, Hotel, dan restoran; Pengangkutan dan Komunikasi; serta Keuangan, dan Jasa-jasa. Berdasarkan kontribusinya terhadap PDRB sampai tahun 2004 sektor Pertanian masih menempati urutan teratas sebesar 40.07%, sektor perdagangan - hotel - restoran sebesar 20.15%, sektor jasa sebesar 15.87%, dan sektor pengangkutan-komunikasi sebesar 8.72%, sektor lainnya sebesar 15.19%.

105 Kondisi pertanian terdiri dari pertanian bahan makanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pertanian bahan makanan terdiri dari tanaman (padi sawah dan ladang), palawija (jagung, ubi, kedele). Tahun 2003 luas lahan padi 110 550 hektar terdiri dari padi sawah seluas 92 860 hektar dan padi ladang seluas 17 690 hektar. Total produksi padi sebanyak 413 380 ton, meningkat 8.83% dibanding produksi tahun 2002. Sementara itu luas palawija 49 790 hektar terdiri dari jagung seluas 28 210 hektar, ubi 12 970 hektar, dan kedele 8 540 hektar, dengan total produksi palawija 198 530 ton. Program Tanaman pangan sampai tahun 2010 adalah peningkatan produksi sampai 100% yang ditargetkan peningkatan produksi setiap tahun 25%. Luas lahan perkebunan tahun 2003 mencapai 272 230 ha di mana 90% diusahakan komoditas kopi seluas 54 840 hektar, karet seluas 22 270 hektar, kelapa sawit seluas 49 040 hektar, dan kelapa seluas 6 040 hektar dengan total produksi 137 010 ton. Program Perkebunan adalah perluasan areal taman 6 000 hektar untuk pengembangan kelapa sawit, karet dan kakao. Populasi ternak besar (sapi dan kerbau) pada tahun 2003 mengalami penurunan 40%, demikian halnya pada ternak keci ( kambing menurun 22%, dan domba turun 49%). Populasi unggas menurun 39%. Kondisi ini terjadi akibat berkembangnya berbagai penyakit sehingga dalam upaya program ketahanan pangan khususnya pemenuhan protein bagi masyarakat dilakukan program pengembangan produksi peternakan melalui intensifikasi usaha peternakan dan peningkatan populasi ternak. Usaha budidaya perikanan darat masih relatif kecil (<1% dari luas yang tersedia) dengan produksi tahun 2003 sebesar 4 642 ton. Sedangkan produksi perikanan tangkap sebesar 26 860 ton. Apabila dibandingkan dengan potensi perikanan yang dimiliki dengan garis pantai 400 km maka produksi perikanan di tergolong rendah. Program pengembangan perikanan sampai tahun

106 2001 adalah dengan peningkatan produksi yang didukung dengan insfrastruktur yang baik. Sumber penerimaan keuangan pemerintah Provinsi sangat bergantung kepada subsidi pemerintah pusat melalui dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Sementara pendapatan asli daerah (PAD) belum dapat diharapkan untuk membiayai pembangunan daerah, karena nilainya masih relatif kecil. Hal itu disebabkan potensi sumber daya alam Provinsi belum digali dan dimanfaatkan secara optimal. Apabila dibandingkan dengan total penerimaan rutin, maka kontribusi PAD Provinsi dalam penerimaan rutin daerah cukup kecil (16.07%). Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, maka segala penyelenggaraan urusan pemerintah daerah didanai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terdiri dari penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Pembahasan kinerja fiskal dan perekonomian daerah pada studi ini merupakan pembahasan pada tingkat Kabupaten/Kota di Provinsi yang terdiri dari perkembangan penerimaan daerah dan pengeluaran daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, tingkat kemapuan fiskal daerah, serta perkembangan produksi dan tenaga kerja. 5.2. Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal daerah yang akan dibahas pada subbab ini meliputi kinerja penerimaan daerah, kinerja pengeluaran daerah, dan tingkat kemampuan fiskal daerah. 5.2.1. Kinerja Penerimaan Daerah Penerimaan daerah dalam rangka desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud UU

107 no.33 tahun 2004 bersumber dari : (1) pendapatan asli daerah (PAD), (2) dana perimbangan atau transfer, dan (3) lain-lain pendapatan seperti pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Sedangkan pembiayaan daerah terdiri dari : (1) sisa lebih perhitungan anggaran daerah; (2) penerimaan pinjaman daerah; (3) dana cadangan daerah; dan (4) hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun secara umum struktur penerimaan daerah Kabupaten/Kota berasal dari : (1) sisa lebih anggaran tahun lalu (SALT); (2) pendapatan asli daerah (PAD); (3) pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah dan atau instansi lain yang lebih tinggi atau transfer (TRNF); dan (4) pinjaman pemerintah daerah (PPD). Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan daerah sebelum dan setelah desentralisasi fiskal di masing-masing Kabupaten dan Kota mengalami peningkatan, demikian juga dari setiap komponen penerimaan daerah selain DAK juga mengalami peningkatan. Kondisi ini menunjukkan bahwa setelah desentralisasi fiskal pemerintah daerah berusaha meningkatkan komponen penerimaan daerah khususnya PAD. Namun demikian upaya pemerintah daerah ini belum mampu mengimbangi laju kenaikan total penerimaan daerah. Hal ini terlihat dari proporsi setiap komponen penerimaan daerah terhadap total penerimaan daerah seperti PAD, total bagi hasil, dan dana perimbangan prosentasenya mengalami penurunan. PAD setelah desentralisasi fiskal kurang 5%, rendahnya penerimaan PAD karena sumber-sumber yang masuk dalam kategori PAD merupakan sumber yang tidak potensial di daerah, belum intensifnya pelaksanaan pajak dan retribuai di daerah. Kabupaten Utara setelah pelaksanaan desentralisasi mampu meningkatkan PAD di daerahnya cukup besar dari 1.93% menjadi 4.,61%, hal ini karena adanya usaha sarang burung wallet yang diusahakan oleh pemerintah

108 Tabel 2. Rata-rata Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun 1998-2003 Uraian, Tahun 1. Sisa Anggaran Th lalu 2.Pendapatan Asli Daerah 3. Dana Perimbangan/Transfer Dana Total Bagi Hasil Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus 4. Pendapatan Lain-Lain Total Pendapatan Daerah Selatan 460.60 (1.21) 3 903.50 (3.25) 770.43 (2.82) 2 624.51 (2.19) 36 421.67 (95.69) 110 622.79 (92.17) 3 477.97 (19.14) 8 265.92 (6.89) 22 771.56 (59.83) 98 338.94 (81.94) 10 172.14 (26.72) 4 017.93 (3.35) 109.13 (0.29) 2 857.09 (2.38) 38 063.24 120 014.92 Rejang Lebong 457.11 (1.22) 5 064.52 (4.74) 1 431.60 (3.81) 3 246.71 (3.04) 34 714.91 (92.37) 96 977.93 (90.83) 2 643.28 (7.03) 5 422.27 (5.00) 17 014.44 (45.27) 89 865.05 (84.17) 15 057.19 (40.06) 1 690.61 (1.58) 478.15 (1.27) 1 478.87 (1.39) 37 583.61 106 768.03 Utara 837.69 (2.11) 4 294.31 (3.90) 766.54 (1.93) 5 075.45 (4.61) 37 856.15 (95.55) 97 308.77 (88.37) 3 599.10 (9.08) 5 098.99 (4.63) 19 658.15 (49.62) 92 209.78 83.74) 14 598.91 (36.85) 0 157.35 (0.40) 3 432.53 (3.12) 39 617.78 110 111.06 (Juta rupiah) Kota Total Kab dan Kota 1 531.10 (6.42) 3 717.91 (4.63) 2 363.99 (9.92) 3 489.38 (4.35) 19 486.45 (81.74) 67 420.80 (84.01) 1 828.80 (7.67) 4 781.61 (5.96) 10 250.36 (43.00) 60 691.77 (75.63) 7 407.29 (31.07) 1 946.42 (2.43) 297.18 (1.25) 5 423.14 (6.76) 23 840.76 80 250.40 3 286.50 (2.36) 16 980.24 (4.07) 5 332.56 (3.83) 14 436.05 (3.45) 128479.18 (92.56) 372330.29 (89.26) 11 549.15 (8.30) 23 568.79 (5.65) 69 694.51 (50.10) 341105.54 (81.77) 47 235.53 (33.96) 7 655.96 (1.84) 1 041.81 (0.75) 13 191.63 (3.16) 139105.39 417144.41 Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar 1993. Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap Total Penerimaan Derah

109 daerah, serta penertiban berbagai izin usaha yang ada di daerah. Dana bagi hasil yang terdiri dari bagi hasil pajak (BHTX) dan bagi hasil sumberdaya alam (BHNTX) setelah desentralisasi fiskal di semua Kabupaten dan Kota justru mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan mengelola sumberdaya yang ada di daerah, dan masih melakkukan pembenahan administrasi pemerintahan seperti pemekaran wilayah Kabupaten dan Kecamatan. Demikian halnya dengan proporsi setiap daerah menunjukkan bahwa lebih dari 90% penerimaan daerah berasal dari dana perimbangan khususnya berasal dari DAU dan DAK, sedangkan penerimaan yang berasal dari potensi daerah proporsinya masih kurang 10%. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembiayaan daerah masih cukup besar dibiayai oleh pemerintah pusat, dan sebaiknya tidak dibiarkan berlangsung lama sehingga tujuan desentralisasi dapat terwujud di setiap daerah. Seiring dengan berjalannya tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan proporsi dana perimbangan semakin menurun dan proporsi PAD dan penerimaan daerah lainnya meningkat. 5.2.2. Kinerja Pengeluaran Daerah Pengeluaran daerah digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin (GRTN) dan pengeluaran pembangunan (GPBG). Pengeluaran rutin terdiri dari (1) belanja pegawai, (2) belanja barang, (3) belanja perjalanan dinas, (4) angsuran pinjaman dan bunga, (4) pengeluaran rutin lainnya. Sedangkan GPBG terdiri dari : (1) pengeluaran pembangunan sektor Pertanian (GPSP) yang mencakup : (a) subsektor Tanaman pangan (GPTP); (b) subsektor Perkebunan (GPPB); (c) subsektor Peternakan (GPPT); dan (d) subsektor Perikanan (GPPI), pengeluaran

110 Tabel 3. Rata-rata Pengeluaran Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun 1998-2003 Uraian, Tahun Belanja Pegawai Angsuran Pinjaman Belanja Barang Belanja Pemeliharaan Belanja Perjalanan Dinas Pengeluaran Rutin lainnya Total Pengeluaran Rutin Selatan 30 041.8631 (85.98) 68 630.7133 (76.95) 6.6486 (0.02) 85.0130 (0.09) 2 057.7033 (5.89) 8 450.44 (9.48) 397.6876 (1.14.) 3 299.6445 (3.70) 156.3275 (0.45) 1 137.5125 (1.28) 2 282.2904 (6.53) 7 581.6840 (8.50) 34 942.521 89 185.009 Rejang Lebong 28 728.1833 (84.08) 64 230.5947 (83.12) 43.5039 (0.12) 10.8802 (0.01) 2 578.0176 (7.54) 5 885.4571 (7.61) 391.2303 (1.14) 1 310.4640 (1.69) 290.1255 (0.85) 796.9820 (1.03) 2 137.2957 (6.25) 5 039.8630 (6.52) 34 168.3563 77 274.2411 Utara 27737.271 (83.51) 68012.357 (83.88) 874.6746 (2.63) 1576.6123 (1.94) 2118.6886 (6.37) 3590.1913 (4.42) 204.1077 (0.61) 2194.1194 (2.70) 180.4682 (0.54) 546.8119 (0.67) 2100.0476 (6.32) 5164.9012 (6.36) 33215.264 81082.993 Kota 14 894.0980 (77.39) 50 163.8850 (81.91) 123.0358 (0.63) 145.5527 (0.23) 2 328.8737 (12.10) 4 775.8402 (7.79) 318.1484 (1.65) 2 380.9224 (3.88) 179.8636 (0.93) 721.2342 (1.17) 1 400.7966 (7.27) 3 048.5782 (4.97) 19 244.8172 61 236.0127 (Juta rupiah) Total Kab dan Kota 10 1648.507 (82.74) 251 037.55 (81.30) 181.3486 (0.85) 241.4460 (0.07) 9 083.2832 (7.44) 2 2701.9286 (7.35) 1 311.174 (1.07) 9 185.1503 (2.96) 806.7848 (0.66) 3 202.5406 (1.04) 7 920.4303 (6.48) 20 835.0264 (6.75) 122 141.956 308 778.256 Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar 1993. Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap Total Pengeluaran Rutin Daerah

111 pembangunan sektor Kehutanan (GHT), (3) pengeluaran pembangunan sektor Perindustrian (GIND), (4) pengeluaran pembangunan Infrastruktur (GINFR), (5) pengeluaran pembangunan sektor Pertambangan (GTBG), dan (6) pengeluaran pembangunan sektor lainnya (GPBGL). Tabel 3 menunjukkan bahwa secara riil komponen pengeluaran rutin daerah setelah dilaksanakan desentralisasi fiskal di semua Kabupaten dan Kota mengalami peningkatan. Pengeluaran rutin terbesar adalah untuk belanja pegawai yaitu hampir 80 % dari pengeluaran rutin daerah. Tetapi apabila dilihat dari proporsi terhadap total pengeluaran rutin ternyata tidak seluruh komponen pengeluaran rutin menunjukkan peningkatan bahkan ada yang menurun, hal ini menunjukkan bahwa total pengeluaran rutin juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Pengeluaran untuk belanja pegawai setelah desentralisasi fiskal meningkat cukup besar (250%) karena adanya pelimpahan pegawai pusat ke daerah sebagai konsekuensi otonomi daerah. Sementara belanja rutin lainnya mengalami peningkatan dari 7.40 % sebelum desentralisasi fiskal menjadi 7.93 % setelah desentralisasi fiskal, hal ini akibat adanya perluasan wilayah Kabupaten maupun Kecamatan setelah desentralisasi fiskal membutuhkan pembiayaan dan anggaran khusus yang tidak termasuk dalam komponen anggaran yang ada. Demikian halnya pada pengeluaran pembangunan untuk sektoral, dan pengeluaran pembangunan lainnya seperti pelayanan umum, dan pelayanan sosial secara riil nilainya mengalami peningkatan di tiap Kabupaten dan Kota. Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran pembangunan di Provinsi meningkat besar dari Rp.69 470.97 juta menjadi Rp.84 829.4298 juta atau meningkat 26%, demikian pula untuk pengeluaran pembangunan setiap sektor juga mengalami peningkatan.

112 Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun 1998-2003 (Juta rupiah) Uraian, Tahun Sektor Pertanian Sektor Kehutanan Sektor Perindustrian Infrastruktur Sektor Pariwisata Sektor Pertambangan Sektor Pendidikan, OR, P W Sektor Kesehatan dan Kesra Sektor Kependudukan, Kel Sjh Sektor-sektor lainnya Total Pengeluaran Pembg Selatan 714.6881 (4.58) 2 404.9083 (9.22) 57.7231 (0.37) 72.6460 (0.28) 77.6975 (0.49) 273.0137 (1.05) 6 801.1191 (43.57) 11 061.7476 (42.38) 132.3608 (0.85) 123.4338 (0.47) 34.1113 (0.22) 216.2591 (0.83) 2 751.3937 (17.62) 2 246.2262 (8.61) 1 082.8324 (6.94) 1 183.1023 (4.53) 45.5241 (0.29) 38.8404 (0.15) 3 913.5329 (25.07) 8 477.8863 (32.48) 15 610.9831 26 098.0638 Rejang Lebong 440.2993 (2.63) 1 116.8558 (4.66) 0.0000 (0.00) 133.1670 (0.55) 118.3867 (0.71) 93.1123 (0.39) 5 818.4470 (34.70) 7 839.7619 (32.68) 195.9491 (1.17) 666.2423 (2.78) 81.8851 (0.49) 341.3917 (1.42) 2 790.7473 (16.64) 2 992.4428 (12.48) 1 461.8971 (8.72) 1 143.4437 (4.77) 420.8563 (2.51) 53.2999 (0.22) 5 438.6607 (32.44) 9 607.6600 (40.05) 16 767.1286 23 987.38 Utara 1 247.7380 (5.64) 1 548.4873 (7.18) 0.0000 (0) 53.5438 (0.25) 113.4024 (0.51) 155.6564 (0.72) 11 434.726 (51.71) 9 809.5220 (45.49) 452.6770 (2.05) 27.6417 (0.13) 117.9161 (0.53) 193.6660 (0.90) 2 139.5933 (9.68) 2 777.5152 (12.88) 978.3737 (4.42) 1 338.7096 (6.21) 102.1397 (0.46) 48.1853 (0.22) 5 525.7297 (24.99) 5 608.9492 (26.00) 22 112.296 21 561.876 Kola 189.8887 (1.48) 291.9165 (2.21) 0.0000 (0) 71.0808 (0.54) 81.5533 (0.63) 15.5908 (0.12) 2 832.8299 (22.03) 3 104.5825 (23.55) 58.5027 (0.45) 271.9521 (2.06) 15.9035 (0.12) 0 (0) 2 182.6885 (16.97) 1 203.8044 (9.13) 789.9281 (6.14) 1 331.3119 (10.10) 4.2989 (0.03) 20.77864 (0.16) 6 708.2379 (52.15) 6 871.0942 (52.12) 12 863.8316 13 182.11 Total Kab dan Kola 2 594.6141 (3.85) 5 360.1679 (6.32) 57.7231 (0.09) 330.4376 (0.39) 391.0399 (0.58) 537.3732 (0.63) 26 887.122 (39.92) 31 815.614 (37.51) 839.4896 (1.25) 1 089.2699 (1.28) 249.816 (0.37) 536.0577 (0.63) 10 126.1324 (14.86) 9 219.9888 (10.87) 4 365.4960 (6.41) 4 996.5675 (5.89) 572.4392 (0.84) 161.1043 (0.19) 12 819.5483 (18.81) 28 711.0528 (33.85) 69 470.97 84 829.4298

113 Apabila dilihat dari proporsi terhadap total pengeluaran pembangunan, ternyata pengeluaran untuk Infrastruktur merupakan pengeluaran terbesar dibandingkan sektor lainnya (rata-rata 39.92%) sebelum desentralisasi fiskal namun setelah desentralisasi fiskal di semua Kabupaten dan Kota menurun (37.51%) dan masih merupakan pengeluaran terbesar. Kondisi ini terjadi karena pembangunan sarana jalan, saluran irigasi, listrik, dan pembangunan sarana air bersih masih menjadi kebutuhan daerah. Proporsi Pengeluaran untuk sektor Pertanian terhadap total pengeluaran pembangunan di semua Kabupaten dan Kota mengalami peningkatan cukup besar, namun besarannya masih kurang dari 10%. Peningkatan ini seiring dengan tujuan pembangunan daerah lima tahun untuk mendukung pelaksanaan revitalisasi Pertanian serta pertimbangan bahwa sampai tahun 2003 struktur perekonomian di masih berbasis pada Pertanian, bahkan masih menjadi sektor ekonomi andalan dalam PDRB yaitu 42.02% serta penyerap tenaga kerja terbesar diantara sektor ekonomi yang lain. Proporsi pengeluaran pendidikan, pembinaan wanita dan olah raga terhadap pengeluaran pembangunan cukup besar yaitu 14.86%, namun setelah desentralisasi fiskal turun 10.87%, hal ini terjadi karena setelah desentralisasi pengeluaran pembangunan untuk pelayanan umum, keamanan mengalami peningkatan sehingga pengeluaran pembangunan sektor-sektor ekonomi berkurang. Secara khusus, anggaran sektor Pertanian dialokasikan ke empat subsektor yaitu subsektor Tanaman pangan, subsektor Perkebunan, subsektor Peternakan, dan subsektor Perikanan. Tabel 5 menunjukkan bahwa alokasi anggaran Sub sektor Tanaman pangan adalah paling besar di setiap Kabupaten dan Kota yaitu hampir 50% dari anggaran sektor Pertanian. Secara riil anggaran masing-masing subsektor di semua Kabupaten dan Kota mengalami peningkatan, namun apabila

114 dilihat dari proporsi terhadap pengeluaran sektor Pertanian ternyata tidak semua subsektor mengalami peningkatan. Tabel 5. Rata-rata Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun 1998-2003 Uraian, Tahun Subsektor Tanaman Pangan Subsektor Perkebunan Subsektor Peternakan Subsektor Perikanan Sektor Pertanian Selatan 469.8575 (65.74) 1167.4918 (48.54) 57.3742 (8.03) 548.9121 (22.82) 131.7737 (18.43) 509.3481 (21.17) 55.6826 (7.81) 179.1601 (7.44) 714.6881 2404.9083 Rejang Lebong 190.75 (66.72) 625.64 (56.02) 35.09 (12.27) 28.97 (2.59) 31.49 (11.02) 299.29 (26.80) 28.58 (9.99) 162.96 (14.59) 285.91 1116.86 Utara 421.14 (45.20) 913.03 (58.96) 126.08 (13.53) 29.97 (1.94) 138.58 (14.87) 579.64 (37.43) 245.95 (26.40) 25.85 (1.67) 931.74 1548.49 Kola 77.19 (71.61) 202.17 (69.25) 4.52 (4.19) 0 (0) 14.19 (13.16) 70.00 (23.98) 11.89 (11.03) 19.75 (6.77) 107.78 291.92 (Juta rupiah) Total Kab dan Kota 905.87 (62.66) 2221.47 (58.19) 138.35 (9.57) 562.22 (6.78) 272.58 (14.37) 1373.68 (27.60) 128.80 (13.71) 1522.27 (6.57) 604.19 1340.0544 Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar 1993. Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap total Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Subsektor Tanaman pangan di Kabupaten Selatan dan Utara setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan 13 15%, hal ini akibat adanya perluasan lahan tanam dan intensifikasi Tanaman pangan khususnya komoditi padi, jagung, dan kedelai yang merupakan komoditas

115 unggulan di daerah. Rata-rata luas panen Tanaman pangan di Kabupaten Selatan meningkat dari 48 453.13 hektar menjadi 52 205.67 hektar setelah desentralisasi, sedangkan di Kabupaten Utara, Rejang lebong dan Kota mengalami penurunan. Proporsi pengeluaran pembangunan setelah desentralisasi fiskal untuk subsektor Perkebunan di setiap Kabupaten dan Kota mengalami penurunan hampir 10%, di sisi lain luas panen tanaman Perkebunan khususnya komoditas karet, kopi, dan kelapa sawit di tiga Kabupaten mengalami peningkatan yang cukup besar Di kabupaten Selatan luas panen Perkebunan sebelum desentralisasi fiskal meningkat 79 242.38 hektar menjadi 94 870.83 hektar, Rejang Lebong dari 51 749.82 hektar menjadi 73 644.25 hektar, dan di Utara dari 89 054.43 hektar menjadi 124 667.93 hektar. Peningkatan luas panen ini tidak serta diikuti pengeluaran pembangunan karena luas panen komoditas Perkebunan umur tanamnya sudah lebih dari 4 tahun, di sisi lain biaya terbesar untuk komoditas Perkebunan adalah pada awal pembukaan lahan dan tanam sedangkan untuk biaya selanjutnya hanya untuk pemeliharaan dan pembinaan. Pengeluaran pembangunan subsektor Peternakan di semua Kabupaten dan Kota setelah desentralisasi fiskal secara riil mengalami peningkatan 10-15% karena di setiap daerah sedang mengupayakan ketahanan pangan dan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat melalui peningkatan konsumsi protein hewani. Diharapkan besarnya pengeluaran pembangunan ini akan berdampak pada peningkatan produksi subsektor Peternakan sehingga secara agragat PDRBS Peternakan juga meningkat. Pengeluaran pembangunan untuk subsektor Perikanan setelah desentralisasi fiskal mengalami penurunan yang cukup besar kecuali di Kabupaten Rejang Lebong. Hal ini terjadi karena setelah pelaksanaan otonomi daerah

116 anggaran untuk Perikanan yang berasal dari APBD difokuskan untuk usaha perikanan budidaya sedangkan usaha penangkapan yang berada di Kabupaten Selatan, Utara, dan Kota berasal dari anggaran di luar APBD. Tabel 6. Rata-rata Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun 1998-2003 Uraian, Tahun Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Total Pengeluaran Daerah Selatan 34 942.5206 (69.12) 89 185.009 (77.36) 15 610.9831 (30.88) 26 098.0638 (22.64) 50 553.5037 115 283.073 Rejang Lebong 34168.356 (67.08) 77274.241 (76.31) 16767.129 (32.92) 23987.378 (23.68) 50935.485 101261.62 Utara 33215.264 (60.03) 81082.993 (78.99) 22112.296 (39.97) 21571.090 (21.01) 55327.56 102654.08 Kota 19244.817 (59.53) 61236.013 (82.29) 12863.832 (40.07) 13182.112 (17.71) 32108.649 74418.125 (Juta rupiah) Total Kab dan Kota 122141.96 (64.18) 308682.03 (78.44) 68148.75 (35.81) 84821.073 (21.55) 190290.70 393503.11 Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar 1993. Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap total Pengeluaran Daerah Tabel 6 menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran daerah baik pengeluaran rutin maupun pembangunan. Pengeluaran rutin secara riil di semua Kabupaten dan Kota mengalami peningkatan cukup besar rata-rata sebesar 14%, sedangkan untuk alokasi pengeluaran pembangunan di semua Kabupaten dan Kota terjadi hal sebaliknya. Hal ini disebabkan meningkatnya biaya rutin seperti gaji pegawai, biaya belanja barang untuk kepentingan administrasi pemerintahan yang lebih

117 luas, pemekaran wilayah dan pemekaran aparatur dan tunjangan jabatan pegawai daerah. Hal senada disimpulkan oleh Isdijoso (2002), DAU yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD di Surakarta sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin terutama untuk gaji pegawai akibat pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dari instansi vertikal kepada pemerintah daerah. 5.2.3. Tingkat Kemampuan Fiskal Daerah. Yang dimaksud dengan tingkat kemampuan fiskal dalam penelitian ini adalah kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan fiskal daerahnya /fiscal need melalui kapasitas fiskal daerah/fiscal capacity. Kapasitas fiskal/fiscal capacity menunjukkan kemampuan daerah dalam memperoleh sumber penerimaan sendiri melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki. Dengan demikian kapasitas fiskal dapat diartikan sebagai jumlah dari PAD dan total bagi hasil (TBHS) yang berasal dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam. Sedangkan kebutuhan fiskal daerah/fiscal need merupakan seluruh pengeluaran daerah. Apabila kebutuhan fiskal daerah lebih besar dari kapasitas fiskal daerah maka kesenjangan fiskal/fiscal gap juga semakin besar atau semakin senjang. Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan fiskal daerah di semua Kabupaten/Kota setelah desentralisasi fiskal semakin besar, demikian juga kapasitas fiskal daerah mengalami peningkatan. Kondisi ini juga menggambarkan bahwa di tiga Kabupaten yang sebagian besar merupakan daerah agraris membutuhkan pengeluaran yang lebih besar dibanding dengan Kota yang sebagian besar penduduknya bekerja di luar sektor pertanian. Setelah

118 desentralisasi fiskal pemerintah daerah berusaha meningkatkan penerimaan yang bersumber dari masing-masing Kabupaten/Kota, namun demikian konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal juga membutuhkan pembiayaan yang semakin besar sehingga kebutuhan fiskal semakin besar. Tabel 7. Rata-rata Kapasitas dan Kesenjangan Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun 1998-2003 Uraian, Tahun Kebutuhan Fiskal (Total Pengeluaran Daerah) : : % peningkatan Selatan 50 553.5037 115 283.073 (128.04) Rejang Lebong 50 935.485 101 261.62 (98.83) Utara 55 327.56 102 654.08 (85.54) (Juta rupiah) Kota Total Kab dan Kota 32108.649 74418.125 (131.77) 190290.70 393503.11 (106.79) Kapasitas Fiskal (PAD + Total Bagi Hasil) : : % peningkatan Kesenjangan Fiskal (Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal : : % peningkatan 4 248.40 10 890.43 (156.34) 46 305.1037 104 392.643 (125.45) 4 074.88 8 668.98 (112.74) 46 860.61 92 592.64 (97.59) 4 365.64 10 174.44 (133.06) 50 961.92 92 479.64 (81.47) 4 192.79 8 270.94 (97.26) 27 915.86 66 147.19 (136.95) 17 418.93 38 004.85 (118.18) 172871.77 355498.26 (105.64) Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar 1993. Berbagai Tahun Dari besarnya kapitas daerah dan kebutuhan daerah yang diindikasikan sebagai kesenjangan fiskal terlihat bahwa di masing-masing Kabupaten/Kota menunjukkan kesenjangan fiskal semakin senjang. Sebelum desentralisasi fiskal, kesenjangan fiskal terbesar terjadi di Kabupaten Utara, kemudian Selatan, Rejang Lebong, dan terkecil adalah Kota. Setelah desentralisasi fiskal, kesenjangan fiskal di semua Kabupaten/Kota meningkat menjadi Rp.104.39 milyar atau 125.47%, kemudian Rejang Lebong sebesar

119 Rp.92.59 milyar atau 97.59%, Utara sebesar Rp.92.48 milyar atau 81.47%, dan Kota sebesar Rp.66.15 milyar rupiah atau meningkat 136.95%. Apabila dilihat secara deskriptif, maka potensi daerah di tiga Kabupaten cukup besar untuk dikelola karena memiliki kawasan hutan dan lokasi penambangan batubara, sedangkan Kota secara administratif paling kecil luas daerahnya, serta tidak memiliki kawasan hutan dan lokasi penambangan justru kesenjangan fiskal daerahnya paling kecil karena sebagian besar penduduk di Kota bekerja sebagai pegawai negri dan swasta sehingga potensi penerimaan PAD dan bagi hasil lebih besar dibanding 3 Kabupaten lainnya. Upaya untuk memperkecil kesenjangan fiskal yang semakin besar di setiap Kabupaten/Kota diberikan dana perimbangan/transfer pusat berupa DAU dan DAK. Tabel 8 menunjukkan rasio kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal yang menggambarkan kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya terlihat masih relatif kecil yaitu < 10%. Apabila dibandingkan dengan rata-rata kemampuan Kabupaten/ \Kota di Indonesia tahun 1999 sebesar 13.3%, kondisi Kabupaten/Kota di memiliki kemampuan yang rendah hal ini terjadi karena daerah-daerah di masih didominasi oleh sektor primer atau tradisional seperti Pertanian. Sementara di Kota hampir mendekati angka rata-rata Indonesia, karena sektor tersier (Industri dan Jasa) lebih berkembang dari sektor primer (pertanian) dibandingkan di tiga Kabupaten lainnya. Hasil temuan ini sejalan dengan studi Landiyanto (2005) tentang Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Surabaya, yaitu kapasitas fiskal kota Surabaya belum mampu digunakan untuk membiayai pengeluaran daerahnya khususnya pengeluaran rutin. Oleh karena itu pemerintah kota Surabaya

120 melakukan upaya meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi, mengoptimalkan kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Tabel 8. Rasio Kapasitas dan Kesenjangan Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun 1998-2003 Uraian, Tahun Kebutuhan Fiskal (Total Pengeluaran Daerah) : : Selatan 50 553.5037 115 283.073 Rejang Lebong 50 935.485 101 261.62 Utara 55 327.56 102 654.08 (Juta rupiah) Kola Total Kab dan Kola 32108.649 74418.125 190290.70 393503.11 Kapasitas Fiskal : : 4 248.40 10 890.43 4 074.88 8 668.98 4 365.64 10 174.44 4 192.79 8 270.94 17 418.93 38 004.85 Rasio Kap/Keb fiskal : : 8.40 9.45 2.10 8.56 7.89 9.91 13.06 11.11 9.15 9.66 Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar 1993. Berbagai Tahun Untuk melihat intensitas penggalian sumber-sumber potensi daerah serta penggunaan pengeluaran daerah disajikan pada Tabel 9. Intensitas dalam upaya menggali sumber-sumber pendapatan daerah setelah desentralisasi fiskal di semua Kabupaten/Kota menunjukkan peningkatan yang cukup berarti (hampir 50 %), peningkatan ini mengindikasikan adanya intensitas penggalian sumber-sumber penerimaan daerah baik berasal dari pajak, retribusi, maupun sumberdaya alam. Kondisi demikian sebenarnya dikhawatirkan oleh kalangan investor daerah karena semakin besar pajak maupun retribusi yang dipungut akan berdampak negatif terhadap investasi daerah yang akhirnya berdampak juga pada pertumbuhan ekonomi daerah, oleh karena itu upaya peningkatan pajak dan retribusi harus diimbangi dengan peningkatan pengeluaran pembangunan.

121 Tabel 9. Rasio Rata-rata Pengeluaran Daerah, Kapasitas dan Kesenjangan Fiskal Daerah terhadap Rata-rata PDRB Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun 1998 2003 Uraian, Tahun Total PDRB Sektoral : : Rasio Kebutuhan Fiskal dan PDRB : : Rasio Kapasitas Fiskal dan PDRB : : Selatan 303279.08 382639.66 13.78 43.95 1.17 2.18 Rejang Lebong 775478.60 656586.74 6.98 22.61 0.58 1.01 Utara 408260.38 458939.45 11.88 32.79 1.00 1.70 Kota 512860.21 604441.40 6.02 18.17 0.84 1.05 ( % ) Total Kab dan Kota 2162800.62 2399459.58 8.84 24.05 0.85 1.22 Rasio Kesenjangan Fiskal dan PDRB : : 12.60 41.78 6.40 21.60 10.88 31.09 5.18 17.12 7.99 22.83 Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar 1993. Berbagai Tahun 5.3. Kinerja Perekonomian Daerah Pada sub bab kinerja perekonomian daerah ini akan dibahas tiga indikator makro ekonomi penting yaitu : (1) perkembangan produksi daerah yang diindikasikan dengan perkembangan Produk Domestok Regional Bruto (PDRB) sektoral, (2) penyerapan tenaga kerja sektoral, dan (3) distribusi pendapatan. 5.3.1. Produksi Sektoral PDRB sektoral terdiri dari PDRB sektor Pertanian, Kehutanan, Industri, Pertambangan, Pariwisata, Jasa, dan sektor lain selain 6 sektor tersebut. Khusus PDRB sektor pertanian akan dilihat masing-masing subsektor yaitu Tanaman pangan, Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan. Tabel 10 menunjukkan bahwa

122 diantara 6 sektor PDRB di semua Kabupaten, sektor Pertanian memberikan kontribusi paling besar, diikuti sektor Jasa, dan Industri, hal ini sesuai dengan kondisi daerah bahwa Provinsi merupakan daerah agraris dan struktur perekonomian daerah berbasis Pertanian. Sejalan dengan penelitian Kuznets dalam Sukirno (1985), sumbangan berbagai sektor terhadap produksi daerah akan mengubah struktur perekonomian Daerah. Tabel 10 menunjukkan bahwa struktur perekonomian Kabupaten Selatan, Rejang Lebong, dan Utara sebelum dan setelah desentralisasi fiskal cenderung tetap yaitu Pertanian Jasa Industri, namun kontribusinya mengalami perubahan. Di semua Kabupaten peranan Pertanian terhadap produksi daerah cenderung meningkat, sementara itu peranan Jasa dan Industri turun. Kondisi perubahan ini menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian masih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sedangkan penciptaan barang industri dan jasa belum diperlukan. Hal sebaliknya terjadi di Kota, sektor Jasa berperan dalam perekonomian diikuti sektor Pertanian dan Industri, struktur perekonomian sebelum dan setelah desentralisasi fiskal cenderung tetap namun peranannya berubah yaitu peranan sektor Jasa dan Industri menurun setelah desentralisasi fiskal. Kota merupakan ibukota Provinsi yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai pegawai, kondisi ini mendorong sektor tersier (Industri, Jasa) lebih maju dibanding sektor primer (Pertanian) yang berasal dari Tanaman pangan, Peternakan, dan sedikit Perikanan. Mengingat Provinsi merupakan daerah agraris, dan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, maka sektor Pertanian pada penelitian ini dilihat lebih detail (Tabel 11).

123 Tabel 10. Rata-rata PDRB Sektoral Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun 1998 2003 Uraian,Tahun Sektor Pertanian Selatan 10 937.5820 (36.08) 140 258.781 (36.66) Rejang Lebong 462816.98 (59.68) 383710.31 (58.44) Utara 128957.73 (31.59) 157300.74 (34.27) Kota 20083.307 (3.92) 34276.92 (5.67) Total Kab dan Kota 793148.706 (32.82) 940605.717 (33.76) Sektor Kehutanan 3 053.6755 (1.01) 3 924.6352 (1.03) 2011.7987 (0.26) 1596.2155 (0,24) 20493.984 (5.02) 28151.450 (6.13) 0.00 0.00 0.00 0.00 43194.5390 (1.57) 46636.7135 (1.94) Sektor Perindustrian 4 751.0866 (1.57) 5 755.7766 (1.50) 22612.101 (2.92) 18940.380 (2.88) 17888.713 (3.38) 18382.306 (4.01) 12437.114 (2.43) 21814.326 (3.61) 108103.451 (2.58) 132244.665 (3.00) Sektor Pertambangan Sektor Pariwisata Sektor Jasa Sektor-sektor lainnya Total PDRB Sektoral 4 167.2603 (1.37) 5 561.3070 (1.45) 3 824.9988 (1.26) 4 392.7228 (1.15) 60 753.8345 (20,03) 71 176.9671 (18.60) 117 290.642 (38.67) 151 569.471 (39.61) 303 279.079 382 639.661 2339.4618 (0.30) 1927.1787 (0.29) 16225.356 (2.09) 13109.787 (2,00) 103294.94 (13,32) 97868.620 (14.91) 166178.71 (21.43) 139434.24 (21.24) 775478.60 656586.74 42425.449 (10.39) 42724.733 (9.31) 2115.0019 (0.52) 2377.9960 (0.52) 83373.732 (20,42) 75515.388 (16.45) 113005.76 (27.68) 134486.84 (29.30) 408260.38 458939.45 3489.2141 (0.68) 5681.1462 (0,94) 12325.616 (2.40) 13914.527 (2.30) 107113.88 (20.89) 121968.35 (20.18) 357411.08 (69.69) 406786.13 (67.30) 512860.21 604441.40 76925.2234 (3.56) 67571.6846 (2.82) 32553.5424 (1.51) 38216.5100 (1.59) 297361.630 (18.67) 318881.896 (17.53) 811513.527 (39.47) 855302.395 (40.03) 2162800.62 2399459.58 Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar 1993. Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap total PDRB Sektoral

124 Tabel 11 menunjukkan bahwa PDRB sektor Pertanian di semua Kabupaten dan Kota setelah desentralisasi fiskal menunjukkan peningkatan 1% sampai 5 %, hal ini menunjukkan bahwa sektor Pertanian masih menjadi andalan pemerintah untuk mendukung perekonomian dan penampung tenaga kerja. Dari empat subsektor, ternyata subsektor Tanaman pangan di tiga Kabupaten memberikan kontribusi PDRB paling besar antara 17% sampai 33% diikuti sub sektor Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan. Kondisi ini didukung dengan lahan kering 70% berpotensi untuk pengembangan Pertanian, dan didukung dengan sarana irigasi yang memadai. Berbeda dengan wilayah Kota, subsektor yang memberikan kontribusi paling besar pada sektor Pertanian adalah Perikanan 3.18% khususnya dari perikanan laut yang didukung dengan 2 tempat pelelangan dan pendaratan ikan. Kemudian diikuti subsektor Peternakan 1.01%, Tanaman Pangan 0.84%, dan Perkebunan yang sangat kecil sebesar 0.01%, hal ini terjadi karena luas lahan untuk Tanaman pangan relatif kecil demikian juga luas lahan Perkebunan sangat kecil. 5.3.2. Penyerapan Tenaga Kerja Keterbatasan data penyerapan tenaga kerja sehingga dalam penelitian ini hanya dapat dijelaskan tenaga kerja sektor Pertanian, sektor Industri, sektor Pertambangan, dan tenaga kerja lainnya.tabel 12 menunjukkan penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian setelah desentralisasi fiskal meningkat rata-rata 20%, tenaga kerja sektor Industri meningkat 1%, sedangkan tenaga kerja sektor Pertambangan dan sektor lainnya menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa di

125 Provinsi sektor Pertanian masih berperan dalam penyerapan tenaga kerja terbesar. Tabel 11. Rata-rata PDRB Subsektor Pertanian Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun 1998 2003 Uraian Subsektor Tan pangan (% TQSP) (% PDRBS) (% TQSP) (% PDRBS) Subsektor Perkebunan (% TQSP) (% PDRBS) 2001-2003Setelah DF (% TQSP) (% PDRBS) Subsektor Peternakan (% TQSP) (% PDRBS) (% TQSP) (% PDRBS) Subsektor Perikanan (% TQSP) (% PDRBS) (% TQSP) (% PDRBS) Sektor Pertanian (% TQSP) (% PDRBS) (% TQSP) (% PDRBS) Selatan 54801.7836 (50.08) (18.07) 70033.6476 (49.93) (18.30) 34568.7690 (31.59) (11.40) 41555.5154 (29.63) (10.86) 10683.9049 (9.76) (3.52) 21359.5990 (5.57) (3.25) 17659.5989 (3.82) (2.28) 14119.1473 (3.68) (2.15) 10937.5820 (36.08) 140258.781 (36.66) Rejang Lebong 261782.238 (56.56) (33.76) 215619.798 (56.19) (32.84) 157001.498 (33.92) (20.25) 132611.767 (34.56) (20.20) 26373.6503 (5.70) (3.40) 21359.5990 (5.57) (3.25) 17659.5989 (3.82) (2.28) 14119.1472 (3.68) (2.15) 462816.98 (59.68) 383710.31 (58.44) Utara 70344.9120 (54.55) (17.23) 72393.9558 (46.02) (15.77) 29365.2276 (22.77) (7.19 46324.8978 (29.45) (10.09) 18200.6653 (14.11) (4.46) 23035.6532 (14.64) 5.02 11046.9288 (8.57) (2.71) 15546.2309 (9.88) (3.39) 128957.73 (31.59) 157300.74 (34.27) Kota 2871.6154 (14.3) (0.56) 5090.4031 (14.85) (0.84) 20.0314 (0.10) (0.004) 44.4564 (0.13) (0.01) 3279.4482 (16.33) (0.64) 6092.2368 (17.77) (1.01) 13912.2119 (69.27) (2.71) 23049.8297 (67.25) (3.81) 20083.307 (3.92) 34276.92 (5.67) Total Kab dan Kota 391347.389 (49.34) (18.09) 499874.235 (53.14) (20.83) 262397.837 (33.08) (12.13) 256217.893 (27.24) (10.68) 57271.6754 (7.22) 92.65) 74169.9155 (7.89) (3.09) 82131.8050 (10.36) (3.80) 110343.673 (11.73) (4.60) 793148.706 (36.67) 940605.717 (39.20) Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar 1993. Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap total PDRB Sektoral

126 Dalam proses pembangunan daerah di Provinsi terlihat bahwa sektor pertaninan sangat berperan dalam penyediaan lapangan kerja, sedangkan sektor industri menjadi bertambah penting walaupun peningkatannya relatif kecil. Di sisi lain peranan sektor tambang menjadi kurang berperan dalam penyerapan tenaga kerja di daerah. Kondisi setelah desentralisasi fiskal tidak menunjukkan perubahan struktur penyerapan tenaga daerah yaitu masih pada sektor Pertanian. Tabel 12. Rata-rata Tenaga kerja Sektoral Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun 1998 2003 Uraian Sektor Pertanian Sektor Perindustrian Sektor Pertambangan Tenaga Kerja Lainnya Total Tenaga Kerja Selatan 91888 (62.88) 143435 (83.29) 2160 (1.48) 3345 (1.94) 4841 (3.31) 624 (0.36) 47252 (32.33) 24797 (14.39) 146141 172202 Rejang Lebong 115333 (60.91) 164598 (77.03) 6240 (3.36) 10290 (4.82) 1266 (0.67) 1129 (0.53) 59581 (35.13) 37656 (17.63) 189356 213673 Utara 112665 (49.56) 157918 (71.12) 2664 (1.17) 2838 (1.28) 5193 (2.28) 1412 (0.64) 106829 (46.98) 59868 (26.97) 227352 222036 Kota 5014 (4.63) 12464 (13.95) 8620 (7.96) 6225 (6.96) 3059 (2.82) 733 (0.82) 91665 (84.59) 69953 (78.27) 108359 89376 Total Kab dan Kota 324901 (48.41) 478415 (68.61) 19685 (2.93) 22698 (3.26) 14359 (2.14) 3898 (0.56) 312264 (46.52) 192275 (27.58) 671208 697286 Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar 1993. Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap total Tenaga kerja

127 5.5.3. Distribusi Pendapatan Pengalokasian dana DAU mempunyai salah satu tujuan untuk memperkecil terjadinya kesenjangan fiskal di daerah khususnya setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal. Pemberlakuan kebijakan desentralisasi fiskal akan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam dan potensi ekonomi cukup banyak, dan hal sebaliknya akan terjadi pada daerah yang potensi sumberdaya dan ekonomi rendah. Daerah yang memiliki kapasita fiskal rendah akan menerima alokasi dana DAU yang tinggi, dan sebaliknya (Isdijoso, 2002 ; Ismail, 2001). Tabel 13. Nilai Indeks Williamson Provinsi Tahun 1993 2003. Tahun CVw CVuw 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 0.777 0.759 0.759 0.757 0.753 0.754 0.752 0.760 0.758 0.757 0.755 0.750 0.753 0.753 0.751 0.752 0.750 0.752 0.75 0.752 0.753 0.752 Rata-rata: sebelum DF setelah DF 0.755 0.757 0.750 0.752 Tabel 13 menunjukkan bahwa distribusi antar Kabupaten dan Kota di Provinsi sebelum dan setelah desentralisasi fiskal menunjukkan nilai CVw semakin besar, yang menunjukkan distribusi pendapatan antar daerah semakin senjang. Demikian halnya apabila menggunakan perhitungan jumlah daerah (CVuw) juga menunjukkan peningkatan kesenjangan sebesar 0.2%. Hal

128 ini terjadi akibat perbedaan sumberdaya daerah khususnya potensi Kota dan Kabupaten Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi yang dimulai tahun 2001 di Provinsi meningkatkan penerimaan daerah khususnya peningkatan DAU, di sisi kemampuan daerah masih tergolong rendah (<10%). Peningkatan pengeluaran rutin berdampak berkurangnya pengeluaran pembangunan sebesar 14% namun total produksi daerah meningkat sebesar 10%, sementara itu distribusi pendapatan antar Kabupaten dan Kota di Provinsi semakin senjang. Hal senada disimpulkan oleh Isdijoso (2002) bahwa pada awal desentralisasi fiskal potensi penerimaan asli daerah melalui pajak dan retribusi belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Di sisi lain DAU yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD sebagian besar terserap untuk keperluan rutin sehingga proyek-proyek di daerah menjadi tertunda.